Matahari sudah sedari tadi menampakkan wujudnya. Cahaya panas bahkan sudah menjalar ke seluruh bumi.
Tetapi, seorang gadis cantik malah menarik selimutnya semakin tinggi. Menenggelamkan seluruh tubuh dan wajahnya di balik selimut. Tak peduli hari sudah mulai siang, ia hanya ingin tidur.
Tak lama, gawai milik gadis tersebut berbunyi menghancurkan mimpi indahnya. Gadis Tersebut bangkit dengan terpaksa menjawab panggilan tersebut.
"Lara apa kau gila? tiga hari lagi ayah akan menikah tapi kau belum kembali ke Indonesia."
Lara menjauhkan ponsel dari telinganya. Mulut gadis itu mengumpat tanpa suara, ia bahkan belum mengatakan apapun tetapi ayahnya sudah membentaknya.
"ayah, maaf Lara akan kembali hari ini juga. Kemarin Lara sempat sakit sekali lagi Lara minta maaf ayah."
"..."
Mata Lara membulat mendengar ucapan sang ayah. Tidak Lara memang selama ini terbiasa, tapi sudah enam bulan Lara tidak mendapat memar di tubuhnya sudah pasti Lara tidak dapat membayangkan rasa sakit tersebut.
"Terserah ayah."
Lara memutuskan panggilan sepihak. Lara melempar ponselnya ke tempat tidur kemudian beranjak ke kamar mandi dengan perasaan dongkol.
Selesai mandi, Lara menelepon seseorang memerintahkannya untuk menyiapkan penerbangan Lara siang ini.
Setelah itu, Lara berjalan ke balkon. Gadis itu memandangi pemandangan kota Roma dari ketinggian. Tak terasa matanya berair, Lara teringat ibunya. Kota ini adalah tempat kelahiran dan di besarkan ibu Lara.
Lara sangat merindukan sang ibu maka ia memutuskan untuk ke kota ini tanpa sepengetahuan siapa pun termasuk keluarga ibunya. Hanya ayahnya yang mengetahui hal ini.
Lara menguatkan hatinya tak ingin berlarut dalam kesedihan. Gadis itu segera berbalik ia lantas menutup pintu balkon dengan penuh emosi.
~-----~
Seorang gadis cantik menyeret kopernya. Gadis cantik dengan penampilan yang sederhana tersebut menarik perhatian orang orang. Meskipun penampilannya tidak mencolok, tetapi seluruh pakaian dan aksesoris di tubuhnya sudah pasti merupakan barang barang branded edisi terbatas.
Setiap yang memandangnya terpana, bukan hanya kecantikan yang alami tetapi juga aura gadis tersebut yang mampu menghipnotis siapa pun yang melihatnya.
Lara sedikit menghentakkan kakinya lebih kuat ketika ponselnya kembali berbunyi. Ini adalah yang kesekian kalinya dari puluhan atau bahkan ratusan panggilan yang Lara abaikan.
"Ada apa?" Lara bertanya seperti biasa, sangat datar.
"Nona apakah yakin akan kembali sendirian?
Lara memutar bola matanya. Apakah Tommy tuli? Sudah berulang kali menanyakan hal yang sama. Apakah ia berpikir jawaban Lara akan berubah?
Lara menarik napas dalam untuk menetralkan emosi. "Aku akan pulang sendirian kau tak perlu khawatir. Lakukan saja perintah ku tadi aku merasakan ada yang tidak beres."
Lara langsung mematikan panggilan tanpa menunggu balasan Tommy.
~-----~
"haiiii."
Lara menatap sosok tampan di hadapannya datar. Bukan karena tak suka, tetapi tatapan Lara juga menyiratkan rasa kecewa dalam dirinya.
Rey Adiyata Mahendra sosok tersebut merupakan cinta pertama Lara dan sekarang menjadi tunangannya. Bisa dikatakan perjodohan keduanya hanya karena bisnis. Rey tidak mencintai Lara, Rey hanya mencintai sahabat kecilnya tak ada yang bisa menggantikan posisi sahabatnya di hati Rey
"Rey, kenapa kamu tahu aku kembali? Apa ayah?"
Rey melepas kacamata yang melekat di wajah tampannya. Rey tersenyum membuat Lara tak dapat mengontrol perasaannya.
"aku tunangan kamu, sudah pasti aku akan menjemputmu." Rey mengambil alih koper Lara kemudian memegang tangan gadis itu untuk menuntunnya menuju mobil.
Lara luluh, ia akui ia tak bisa berbuat banyak jika itu berhubungan dengan Rey. Gadis itu mengikuti Rey menuju mobil tetapi Lara terkejut saat melihat ada orang lain yang datang bersama Rey.
"Maaf kakak, sebaik kakak duduk di belakang aku sudah lebih dulu berada di sini."
Lara tercengang, tangan gadis itu terkepal kuat.
"Maaf kakak, sebaik kakak duduk di belakang aku sudah lebih dulu berada di sini."
Lara tercengang, tangan gadis itu terkepal kuat.
Mata Lara menangkap nama lengkap gadis di hadapannya. Kebetulan gadis tersebut mengenakan seragam sekolah. Seketika Mata Lara memerah, apa ini? Alena Revelton. Alena memiliki marga keluarganya padahal Alena tidak memiliki hubungan darah dengan ayah Lara.
"siapa yang izinin lo panggil gue kakak? dan kenapa lo pakai nama belakang keluarga gue? Gue anak tunggal, dan selamanya akan terus begitu."
Ucapan Lara penuh tekanan pada setiap katanya. Lagi pula memang begitu bukan kenyataan?
"Lara bisa bersikap lebih baik? Dia adik kamu meskipun bukan adik kandung. Dia juga sahabat ku Lara tolong hargai dia" Rey berusaha menghentikan mulut Lara yang pasti akan membuat sahabatnya terluka.
Lara menahan air matanya, ia tak boleh menangis. Apa tadi Rey menyuruhnya menghargai Alena sebagai sahabat padahal Rey tidak menghargai dirinya sebagai tunangan Rey.
"Tapi Rey..."
"Cukup. Kamu kebelakang sekarang tempat ini memang milik Alena, dan nama belakang Alena itu om Ravindra yang suruh Alena pakai nama belakang keluarga kamu."
Lara menghala napas, gadis itu mengalah kemudian duduk di kursi belakang. Berdebat dengan Rey juga percuma perdebatan itu hanya membuat Lara kehilangan tenaga dan akhirnya menangis.
Sepanjang perjalanan Lara hanya diam sangat berbanding terbalik dengan Alena yang tak henti hentinya mengoceh bersama Rey. Sesekali Alena melirik Lara dengan tatapan mengejek.
Lara menyumbat telinga dengan earphone sambil mendengarkan lagu favoritnya. Tak peduli dengan Alena ataupun Rey, Lara memutuskan untuk memejamkan mata sampai akhirnya tiba di mansion.
Setibanya di mansion, Ravindra telah menunggu di ruang keluarga bersama seorang wanita. Lara yakin itu adalah calon istri ayahnya dan mereka akan menikah.
"ayah." Alena memeluk Ravindra erat.
"Lo panggil dia ayah, gue ga ikhlas lo bukan adik gue Alena."
Ravindra melirik tajam Lara seakan tidak terima ucapan Lara barusan. Anak ini baru saja kembali sudah membuat Ravindra darah tinggi.
"Lara jaga..."
"kenapa? Apa ucapan aku salah ayah."
Plakkkk
Lara merasa perih, sakit, dan panas menjadi satu. Pipinya memerah akibat tamparan Ravindra.
"Om, jangan pakai kekerasan sama Lara."
Rey mencoba melindungi Lara dengan cara membawa gadis itu berlindung di balik tubuhnya.
"ayah." Alena berucap lirih dengan ketakutan. Ravindra dan Rania yang menyadari hal tersebut segera membawa Alena ke dalam pelukan mereka.
Alena menangis, dia sangat ketakutan dengan kejadian tadi. Alena bahkan menangis terisak isak akibat ketakutan dalam dirinya.
"Alena tenanglah ayah di sini untuk mu."
Lara berusaha menahan air matanya. Seharusnya Lara yang mendapatkannya bukan Alena. Pemandangan tersebut membuat hati Lara hancur, ia yang di tampar tetapi Alena yang menangis dan mendapat pelukan. Apakah ini adil untuk Lara?
Lara melangkahkan kakinya lesu gadis itu ingin ke kamar menenangkan dirinya.
"Lara ingin kemana kamu? Tak ingin meminta maaf pada Alena? Karena kamu dia ketakutan."
suara Ravindra kembali membuat Lara menoleh menyaksikan pemandangan yang membuat hati Lara berdenyut.
"Dia ketakutan karena ayah tak ada hubungannya denganku, Ayah yang terlalu berlebihan padanya. sepertinya, selama aku pergi ayah semakin membenci ku dan banyak dari keluarga ini yang berubah. Keluarga hancur yang semakin hancur."
"Clara Florencia Revelton." Ravindra mengucap nama lengkap Lara dengan emosi.
"sudahlah ayah, aku lelah, aku ingin tidur, bangunkan aku saat makan malam tiba."
Baru saja Clara hendak berbalik suara Alena membuatnya kembali menoleh.
"Bukankah kamar kakak sudah menjadi kamarku."
Baru saja Lara hendak berbalik suara Alena membuatnya kembali menoleh.
"Bukankah kamar kakak sudah menjadi kamarku."
Lara mengabaikan Alena ia beralih menatap Ravindra seperti meminta penjelasan. Ravindra tak merasa bersalah sedikitpun membuat Lara kesal sekaligus bercampur sedih.
"Lara, kamu akan pindah kamar karena kamar kamu yang sebelumnya akan menjadi milik Alena. Lagi pula kamar itu sedang di renovasi untuk menyesuaikannya dengan keinginan Alena."
Bukan Ravindra yang berkata seperti itu melain Rania.
"Maaf tante, tapi saya bicara dengan ayah bukan tante. Tante sebaiknya diam tante hanya orang luar."
Entah keberanian darimana Lara berkata seperti itu di depan Ravindra. Mungkin ini karena Lara tidak dapat mengontrol emosinya kembali.
"Lara! Ayah tidak pernah mengajarkan kam..."
"Apa ayah lupa? Ayah bahkan tidak pernah mengajariku sejak tujuh tahun yang lalu."
Wajah Ravindra merah padam ia menjauhi Lara karena kesalahan anak itu sendiri.
"Itu karena kesalahan kamu sendiri."
"Bukan Lara Ayah! Bukan Lara!" Tanpa sadar Lara berteriak membentak Ravindra. "Bukan, aku bukan pembunuh." Ucap Lara lirih.
Anak ini, Ravindra berjalan dengan langkah lebar hendak menghukum Lara. Anak itu baru saja pulang tetapi sudah bersikap kelewatan.
Lara yang sadar bahwa nyawanya saat ini terancam segera berlari menuju salah satu kamar yang Lara yakini kamar itu kosong.
"Lara"
Tok tok tok
Brak
"Lara cepat buka pintunya kamu harus ayah hukum."
Tak lama, Lara dapat mendengar Rania menyusul bersama Alena untuk menenangkan Ravindra. Setelah itu Ketiga pergi dari entah kemana Lara juga tidak peduli.
Lara memeluk kedua lututnya di balik pintu gadis itu menangis tenggorokannya terasa sakit karena menahan isak tangisnya.
Saat ini hanya bayangannya yang sedia memberikan pelukan dan sandaran untuk Lara. Tak terasa, Lara begitu nyaman menangis hingga akhirnya gadis itu tertidur.
~-----~
tok tok tok
"Nona sudah saatnya makan malam."
Lara mencoba membuka matanya dengan berat. Nyawanya masih belum sepenuhnya terkumpul, pusing itulah yang Lara rasakan saat ini mungkin ini efek karena Lara menangis dalam waktu yang lumayan lama.
"Nona, apa nona baik baik saja?"
"Aku baik, pak Joko tenang aja. Aku akan menyusul sebentar lagi."
Setelah memberi sahutan pada Joko Lara segera bersiap untuk makan malam.
Suara langkah kaki Lara berhasil menarik perhatian Ravindra, Rania, dan Alena yang tengah asik bercengkrama. Lara sadar ada perubahan dari wajah ketiganya tetapi gadis itu mengabaikan dan duduk di meja makan.
"Apakah sopan membuat orang tua menunggu?" Ravindra bertanya tajam.
Rania menepuk bahu Ravindra lembut.
"Lara sudah 6 bulan di Roma, kota itu pasti sangat bebas. Kamu tenang saja setelah ini aku akan mengajarkan hal baik padanya."
Lara tak peduli dengan drama sampah di depannya meskipun begitu tetapi Lara tetap saja merasa sedih dan iri. Lara menyuapkan steak ke dalam mulutnya, gadis itu makan dengan table manner yang sangat sempurna.
"Terima kasih tante sangat perhatian padaku, tapi aku tidak menyuruh kalian keluarga cemara menungguku. Jadi sepertinya tak ada yang perlu diajarkan disini."
Lara berucap dengan nada santai tanpa ada penekanan di setiap katanya. Tapi, entah kenapa Ravindra merasa tertusuk dengan kata tersebut.
"Tidak bisakah kamu bersikap sopan Lara? Atau ayah terpaksa memberimu peringatan?"
Lara diam, tak ingin membalas gadis itu segera bangkit hendak meninggalkan meja makan.
"Tunggu."
"Aku sudah selesai."
"Sebentar saja berikan kehangatan keluarga untuk Alena."
Lara seketika membeku.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!