Naya Amira duduk di sebuah kafe kecil di sudut jalan Jakarta yang selalu ramai. Hiruk-pikuk kendaraan dan suara orang-orang berlalu-lalang jadi latar belakang pikirannya yang kacau. Dia menyesap kopi hitamnya pelan-pelan, berharap rasa pahit itu bisa menenangkan gejolak di dadanya. Seharusnya pagi ini dia menyelesaikan panel terakhir komik barunya, cerita yang dia curahkan hati dan jiwanya selama berbulan-bulan. Tapi, telepon dari pengacaranya dua jam yang lalu, mengubah semuanya.
"Hak cipta karya kamu digugat sama perusahaan desain besar. Mereka klaim visual kamu melanggar konsep yang udah mereka patenkan."
Naya terdiam saat kata-kata itu menggaung di kepalanya. Gugat? Karyanya? Apa salah dia? Dia udah meneliti setiap detail karyanya dengan cermat, memastikan nggak ada yang mirip sama karya orang lain. Setiap sketsa yang dia buat adalah refleksi dari perasaannya sendiri. Mana mungkin ada yang sama?
“Studio Evander Designs,” lanjut pengacaranya, suaranya terdengar serius di ujung telepon.
Nama itu bikin jantung Naya berdegup lebih kencang. Siapa sih yang nggak kenal Studio Evander Designs? Salah satu studio desain grafis paling terkenal di Indonesia, yang kerja sama sama klien-klien besar, dan punya pengaruh kuat di industri kreatif. Tapi, nggak pernah terlintas dalam pikirannya kalau studio sebesar itu akan ngegugat karyanya—apalagi dengan alasan melanggar hak cipta.
Naya menarik napas panjang. Nggak ada waktu buat takut atau bingung. Dia hidup mandiri, hanya mengandalkan karyanya buat bertahan. Kalau ini sampai menghancurkan reputasinya, dia nggak tau harus gimana.
Tiba-tiba, ponselnya berdering, memecah keheningan yang menyelimuti dirinya. Nomor nggak dikenal muncul di layar. Dengan sedikit waspada, dia mengangkat telepon itu.
"Selamat siang, Nona Amira?" Suara di ujung sana terdengar dingin dan tegas.
"Ya, saya sendiri. Ini siapa?" jawab Naya, sedikit kaku.
"Dante Evander. Saya kira Anda sudah mendengar tentang masalah kita. Saya ingin kita bertemu hari ini untuk mendiskusikan solusinya."
Naya terdiam sejenak. Dante Evander? Pemilik studio desain yang ngegugatnya? Nama itu udah sering dia dengar di dunia kreatif—terkenal sebagai pebisnis yang licin, nggak pernah kompromi, dan punya reputasi dingin. Naya menelan ludah, berusaha buat tetap tenang.
"Saya udah dengar," jawabnya. "Tapi saya nggak yakin pertemuan ini bisa menyelesaikan masalah kita dengan mudah."
"Saya tidak mencari kemudahan, Nona Amira. Saya mencari solusi. Bisakah kita bertemu sore ini di kantor saya?" Suaranya terdengar lebih seperti perintah daripada undangan.
Naya mengerutkan kening. Dia benci didikte, apalagi oleh seseorang yang bahkan belum pernah dia temui. Tapi, di sisi lain, dia tahu kalau pertemuan ini mungkin satu-satunya cara buat mempertahankan karyanya.
"Oke, jam tiga sore saya akan ada di sana," balas Naya singkat, lalu menutup telepon sebelum pria itu sempat bicara lebih banyak.
Tepat pukul tiga, Naya melangkah masuk ke dalam gedung kaca yang megah di pusat kota. Kantor Evander Designs menjulang tinggi, memancarkan aura profesionalisme dan kekuasaan yang bikin Naya merasa sedikit terintimidasi. Ruang resepsionisnya luas, berkilauan dengan desain minimalis modern—mewah tapi tetap fungsional. Naya merasa kayak masuk ke dunia lain, jauh dari studio kecilnya yang sederhana, tempat ia biasanya bekerja.
Seorang resepsionis menyambutnya dengan senyum sopan dan segera meminta Naya naik ke lantai 15. Semakin dekat dia menuju kantor Dante Evander, semakin kuat perasaan tegang yang menjalar dalam dirinya.
Begitu pintu lift terbuka, Naya diantar ke sebuah ruang konferensi besar dengan dinding kaca yang menampilkan pemandangan kota. Di sana, berdiri sosok yang sudah menantinya. Dante Evander.
Pria itu persis seperti yang Naya bayangkan—tinggi, rapi, mengenakan setelan mahal, dengan tatapan mata tajam yang langsung bikin suasana terasa dingin. Rambut hitamnya tertata sempurna, tanpa ada satu helai pun yang tidak pada tempatnya, mencerminkan kepribadiannya yang penuh kendali. Naya berusaha tegak, menolak terlihat lemah di hadapan pria ini.
“Selamat sore, Nona Amira,” sapanya, suaranya lebih dingin dibanding waktu di telepon.
“Sore,” jawab Naya singkat, lalu duduk di kursi yang disediakan.
Tatapan Dante seolah-olah sedang menilai Naya, bukan sebagai manusia, tapi seperti aset bisnis yang bisa dihitung untung-ruginya. “Anda tahu kenapa Anda di sini.”
Naya mengangguk, tidak gentar. “Ya, saya tahu. Tapi saya juga yakin karya saya nggak melanggar hak cipta siapa pun. Semua ide saya orisinal.”
Dante tersenyum tipis, tapi senyum itu nggak sampai ke matanya. “Orisinalitas itu relatif, Nona Amira. Di dunia desain, kami memiliki hak cipta untuk elemen visual tertentu, dan proyek besar kami kebetulan memiliki kemiripan dengan karya Anda.”
“Kemiripan?” Naya hampir saja tertawa sinis. “Anda menggugat saya hanya karena ada sedikit kemiripan? Dunia seni nggak bisa dipatenkan dengan konsep-konsep samar kayak gitu.”
Dante menyilangkan tangannya di dada, tidak terganggu oleh ketegangan yang mulai terasa. “Anda mungkin menganggap ini masalah kecil, tapi kami tidak mengambil risiko di bisnis ini. Kami melindungi aset kami dengan segala cara, termasuk lewat jalur hukum kalau perlu.”
Naya mengepalkan tangannya di bawah meja. Ada sesuatu tentang pria ini yang bikin dia makin jengkel. Bukan hanya karena arogansinya, tapi cara bicaranya yang penuh kontrol, seolah-olah dia bisa mengendalikan segalanya sesuai keinginannya. Naya tidak akan membiarkan dirinya diremehkan.
"Anda mungkin bisa mengontrol bisnis Anda, Tuan Evander, tapi Anda nggak bisa mengontrol apa yang saya buat. Seni adalah ekspresi, bukan angka yang bisa dihitung di spreadsheet," Naya membalas tajam, menatap lurus ke mata Dante.
Ada jeda sejenak. Sorot mata Dante sedikit berubah, meski hanya sesaat. “Baiklah, kalau begitu kita lihat apakah ekspresi Anda bisa bertahan di pengadilan,” ucapnya dengan tenang.
Namun, sebelum dia sempat bicara lebih lanjut, pintu ruangan terbuka. Seorang asisten masuk membawa tumpukan dokumen. “Tuan Evander, saya rasa Anda ingin melihat ini.”
Dante memandangi dokumen-dokumen itu, lalu menarik napas pelan. “Kelihatannya kita harus menunda diskusi ini untuk sementara.”
Naya berdiri cepat. “Kalau begitu, kita selesaikan ini nanti. Tapi percayalah, saya tidak akan mundur.”
Dengan tegas, Naya berbalik dan melangkah keluar, meninggalkan Dante yang masih menatap pintu. Di luar ruangan, dia menarik napas dalam-dalam, menenangkan detak jantungnya yang berdegup kencang. Dante jelas bukan orang yang bisa diremehkan—bukan hanya karena kekuasaannya, tapi karena caranya meremehkan orang lain.
***
Setelah keluar dari gedung Evander Designs, Naya berjalan cepat menyusuri trotoar yang ramai. Udara panas Jakarta terasa menyengat, tapi pikirannya masih terus terfokus pada pertemuannya dengan Dante. Pria itu benar-benar membuat darahnya mendidih. Dengan rahang yang mengeras, dia bertekad tidak akan mundur dari tantangan ini.
Saat Naya masuk ke taksi yang menunggunya, ponselnya berdering. Nama di layar membuat senyumnya sedikit muncul, meski rasa kesal masih menggumpal di dadanya. Arfan. Dia selalu tahu cara menenangkan hati Naya, bahkan di saat-saat sulit.
“Halo, sayang,” jawab Naya, suaranya langsung melembut.
“Hai, Naya! Kamu di mana? Jangan bilang kamu masih di kota!” Suara Arfan terdengar ceria.
Naya mendesah, menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi. "Iya, aku baru keluar dari pertemuan. Masih di kota. Kenapa?"
Arfan tertawa. "Kamu lupa ya? Hari ini kita ada pemotretan prewedding di pegunungan. Kita harus berangkat sore ini kalau nggak mau ketinggalan cahaya matahari."
“Oh, Tuhan! Aku lupa,” Naya terkejut, memijat keningnya. Semua yang terjadi hari ini bikin dia lupa sama jadwal penting ini.
"Aku tahu kamu sibuk," suara Arfan terdengar lembut. "Tapi ini penting buat kita, kan?"
“Iya, aku tahu,” jawab Naya cepat. “Aku akan pulang dan siap-siap. Tunggu aku, ya.”
Arfan tertawa lagi. “Baik, aku jemput dalam satu jam. Siap-siap, ya? Aku nggak sabar lihat kamu di gaun cantik itu.”
Di tengah segala kekacauan hari ini, Naya merasa hatinya sedikit tenang. Arfan selalu jadi tempat aman buatnya. Setelah tiga tahun bersama, pemotretan prewedding ini jadi langkah besar menuju babak baru—pernikahan mereka yang akan datang. Meski karier Naya sering menyita waktu, Arfan selalu mendukung tanpa mengeluh.
“Aku juga nggak sabar, Fan. Sampai nanti,” ucap Naya lebih santai. Sambil memasukkan ponselnya ke dalam tas, dia memandang keluar jendela, melihat hiruk-pikuk kota yang perlahan terasa lebih jauh.
Satu jam kemudian, Naya berlari masuk ke rumahnya. Ia segera menuju kamar, membuka lemari pakaian, dan menyiapkan gaun berwarna krem lembut yang telah ia pilih untuk pemotretan prewedding mereka. Gaun itu dirancang sederhana namun elegan, dengan detail renda halus di bagian leher dan punggung yang terbuka. Naya mengenakannya dengan cepat sambil sesekali memandangi dirinya di cermin, memastikan setiap bagian tampak sempurna.
Pikiran tentang Dante dan pertemuan mereka yang intens pagi ini masih berkecamuk di benaknya, namun Naya berusaha keras menyingkirkannya untuk sementara. Hari ini adalah tentang dirinya dan Arfan. Ini adalah momen yang seharusnya indah, dan Naya tidak ingin membiarkan masalah pekerjaan merusaknya.
Setelah selesai berdandan, Naya mendengar bunyi klakson dari luar jendela rumahnya. Ia melongok keluar dan melihat Arfan berdiri di samping mobil SUV yang mereka sewa untuk perjalanan ke pegunungan. Pria itu mengenakan kemeja putih bersih yang dipadukan dengan celana khaki, terlihat santai namun tetap tampan. Rambutnya yang hitam dipotong rapi, dan senyumnya yang lebar menyambutnya dari kejauhan.
“Siap, sayang?” teriak Arfan dari bawah.
Naya tersenyum lebar dan melambaikan tangan. “Siap!”
Ia mengambil tas kecilnya dan bergegas keluar. Begitu sampai di bawah, Arfan langsung memeluknya erat dan mengecup keningnya lembut. "Kamu cantik banget," bisiknya sambil menatap Naya dari ujung kepala hingga kaki.
Naya tersipu, meskipun mereka sudah lama bersama, pujian dari Arfan selalu membuatnya merasa istimewa. “Kamu juga tampan,” balasnya sambil mencubit lengan Arfan ringan.
Arfan membuka pintu mobil untuk Naya dan mereka pun meluncur menuju pegunungan. Perjalanan itu cukup panjang, namun suasana di dalam mobil terasa hangat dan menyenangkan. Mereka menghabiskan waktu dengan bercanda, membicarakan rencana pernikahan mereka, dan membayangkan masa depan bersama.
“Aku tahu hari ini berat buat kamu,” kata Arfan tiba-tiba, suaranya lebih serius. “Tapi aku percaya kamu bisa melewati semuanya. Kamu kuat, Naya.”
Naya menoleh dan menatap Arfan dengan perasaan terharu. “Terima kasih, Fan. Aku memang mengalami banyak tekanan belakangan ini, terutama dengan masalah hak cipta itu. Tapi aku akan berjuang untuk karyaku. Aku nggak bisa membiarkan orang lain mengambilnya begitu saja.”
Arfan mengangguk paham. “Aku selalu ada di sini untuk mendukungmu. Dan aku yakin, apa pun yang terjadi, kita akan melewatinya bersama.”
Naya merasakan kehangatan di hatinya mendengar kata-kata itu. Kehadiran Arfan adalah pengingat bahwa di tengah semua tekanan dan tantangan, ia tidak sendiri. Ada seseorang yang selalu siap mendukungnya tanpa syarat.
Setelah beberapa jam berkendara, mereka akhirnya tiba di lokasi pemotretan, sebuah pegunungan yang indah dengan pemandangan alam yang menakjubkan. Langit sore mulai memancarkan warna oranye keemasan, sementara angin sepoi-sepoi berhembus lembut di antara pepohonan. Fotografer mereka, Raka, sudah menunggu di lokasi, lengkap dengan peralatan kamera dan tim kecil yang siap membantu.
“Wah, kalian berdua terlihat luar biasa,” puji Raka begitu melihat Naya dan Arfan. “Cahaya matahari sore ini sempurna untuk pemotretan. Ayo kita mulai sebelum matahari tenggelam.”
Mereka mulai berpose di berbagai titik yang indah, dari padang rumput hijau yang luas hingga di pinggir tebing yang memperlihatkan pemandangan lembah di bawahnya. Arfan menggenggam tangan Naya dengan erat, dan setiap kali mereka saling menatap, senyum mereka tidak bisa disembunyikan. Fotografer sering kali meminta mereka untuk berpose lebih romantis, namun kenyataannya, mereka tak perlu diarahkan terlalu banyak. Cinta yang mereka rasakan begitu alami dan tulus, memancar melalui setiap gerakan dan tatapan.
Namun, di balik semua momen bahagia itu, di sudut kecil pikiran Naya, bayangan Dante Evander dan masalah yang dihadapi terus menghantui. Tapi untuk sekarang, ia mencoba mengesampingkannya, membiarkan dirinya tenggelam dalam momen berharga ini bersama Arfan.
Malam itu, Naya dan Arfan memutuskan untuk menginap di sebuah vila kecil di dekat pegunungan, tak jauh dari lokasi pemotretan mereka. Vila kayu itu sederhana namun nyaman, dengan perapian kecil yang membuat suasana hangat di tengah suhu malam yang dingin. Di luar, bintang-bintang bertaburan di langit gelap, menciptakan pemandangan yang memukau. Naya membayangkan hari esok, di mana mereka akan melakukan sesi pemotretan dengan gaun pengantin yang telah disiapkan dengan sempurna.
Di meja makan, Naya dan Arfan menikmati hidangan sederhana yang disiapkan oleh koki vila. Sup hangat mengepul di hadapan mereka, dan aroma rempah-rempah memenuhi udara. Naya merapatkan sweaternya, berusaha menahan dinginnya angin malam yang sesekali berhembus masuk dari celah-celah jendela.
“Enak banget, ya, suasananya,” kata Naya sambil tersenyum, menatap Arfan yang duduk di depannya. “Kapan lagi kita bisa menikmati malam seindah ini?”
Arfan tersenyum hangat, menyesap kopinya. “Iya, tenang banget. Jarang-jarang kita bisa lepas dari kesibukan seperti ini.”
Saat percakapan mereka mulai menghangat, ponsel Arfan tiba-tiba berdering. Suara nada panggilan yang memecah kesunyian malam membuat Naya mengerutkan kening sedikit. Arfan melirik layar ponselnya dan wajahnya sejenak berubah serius.
“Bentar ya, sayang,” katanya sambil berdiri. “Aku harus angkat telepon dari klien dulu. Penting.”
Naya mengangguk, meski dalam hatinya ia sedikit merasa terganggu. Ia sudah terbiasa dengan kesibukan pekerjaan Arfan, tapi tidak bisa dipungkiri bahwa momen-momen seperti ini adalah saat di mana ia berharap bisa menikmati waktu bersama tanpa gangguan. Meski begitu, Naya memutuskan untuk menahan perasaan itu. Toh, pemotretan besok lebih penting, dan ia tahu betapa pentingnya pekerjaan Arfan.
Arfan melangkah keluar ke balkon, meninggalkan Naya sendiri di meja makan. Suara pintu kaca geser terdengar lembut saat ia menutupnya. Naya mengambil sesendok sup dan mencoba mengalihkan perhatian dari rasa penasarannya. Namun, tak dapat dipungkiri bahwa ia sedikit merasa aneh; Arfan tidak biasanya menerima telepon di tengah waktu pribadi seperti ini, apalagi dengan nada serius seperti tadi.
Di luar balkon, Arfan menjawab telepon dengan suara rendah. Dari tempat duduknya, Naya samar-samar mendengar suaranya, tapi ia tidak berniat mencuri dengar. Hingga beberapa saat kemudian, sebuah nada suara yang berbeda terdengar dari Arfan.
“Sayang, maaf aku baru bisa jawab. Lagi sama Naya,” ujar Arfan dengan suara lembut dan mesra.
Naya langsung terdiam. Tubuhnya membeku, sendok yang ia pegang jatuh ke dalam mangkuk dengan suara kecil. Apa yang baru saja ia dengar?
Ia menegakkan tubuh, matanya menatap lurus ke arah balkon di mana Arfan masih berbicara. Jantungnya berdegup kencang, mendadak perutnya terasa mual. Apa maksud Arfan dengan ‘sayang’? Apakah ia tidak salah dengar?
Hatinya bergolak antara penasaran dan takut, tapi nalurinya membuatnya tetap mendengarkan. Suara Arfan kembali terdengar.
“Iya, aku tahu, maaf banget belum bisa nemuin kamu minggu ini,” suara Arfan terdengar jelas, meski ia masih berusaha menundukkan suaranya. “Tapi kamu kan tahu aku lagi sibuk persiapan ini… Nanti setelah pemotretan prewedding ini selesai, aku akan pastikan kita ketemu.”
Naya mencengkeram meja, berusaha mengendalikan perasaannya yang semakin berkecamuk. Setelah pemotretan prewedding ini selesai? Apa maksudnya? Siapa orang yang dia sebut ‘sayang’ di telepon itu? Sejak kapan Arfan berbicara dengan seseorang dengan nada seperti itu selain kepadanya?
“Jangan khawatir, aku juga sayang kamu… Iya, nanti aku kabarin lagi setelah ini.”
Perlahan, Naya berdiri. Tubuhnya gemetar, dan ia tidak bisa lagi menahan dorongan untuk mencari tahu. Dengan langkah pelan namun tegas, ia mendekati pintu balkon, berdiri di balik tirai tipis yang memisahkannya dari Arfan. Ia dapat melihat punggung pria itu dari jarak dekat, masih sibuk dengan percakapan yang jelas-jelas bukan sekadar urusan pekerjaan.
Naya tidak bisa berpikir jernih. Pertanyaan-pertanyaan berdesakan di kepalanya, membanjiri dirinya dengan rasa marah, kecewa, dan bingung. Ia merasa pengkhianatan itu begitu nyata, meski ia belum mendengar secara pasti apa yang sebenarnya terjadi.
Arfan akhirnya menutup telepon dan berbalik, hampir tersentak ketika melihat Naya berdiri di dekat pintu. “Naya?” panggilnya, jelas terkejut. “Kamu sudah selesai makan?”
Naya tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Arfan, mencoba mencari jawaban di wajah pria yang selama ini ia percayai. Suasana yang tadinya hangat berubah dingin seketika, lebih dingin dari udara malam yang menyelimuti pegunungan di sekitar mereka.
“Siapa yang tadi telepon?” tanya Naya, suaranya terdengar datar, tapi di dalamnya penuh dengan tekanan emosi yang tak tertahankan.
Arfan tampak kaget sesaat, namun ia cepat menyembunyikannya. “Oh, itu… cuma klien lama. Kami sedang menyelesaikan beberapa proyek…”
“Kamu memanggilnya ‘sayang’,” potong Naya dengan tajam. “Siapa sebenarnya dia?”
Wajah Arfan berubah tegang. Ia tampak mencoba memikirkan sesuatu, tapi kata-katanya tertahan di bibir. “Naya, aku bisa jelaskan...”
“Jelaskan apa?” Naya menatapnya, air mata mulai menggenang di matanya, meskipun ia berusaha keras menahannya. “Jelaskan bahwa kamu punya pacar lain di belakangku? Bahwa di tengah kita merencanakan pernikahan, kamu masih berbicara dengan seseorang yang kamu panggil ‘sayang’?”
Arfan menghela napas berat, menyadari bahwa ia tak bisa mengelak lagi. “Naya, tolong dengarkan aku dulu. Aku... aku nggak pernah bermaksud menyakiti kamu. Hubungan ini... hubungan dengan dia... sudah ada sejak sebelum kita mulai serius. Aku nggak pernah tahu harus bagaimana menyelesaikannya.”
Naya terdiam. Ucapannya menghantamnya seperti ombak besar, membanjiri dirinya dengan rasa hancur. Semua kepercayaan yang ia bangun bersama Arfan selama tiga tahun seakan runtuh begitu saja.
“Aku nggak bisa percaya ini,” bisik Naya, suaranya hampir tidak keluar. "Kamu membiarkan ini terus berjalan, sementara kita mempersiapkan pernikahan? Apa artinya aku buat kamu?"
Arfan mendekatinya, tapi Naya mundur, mengangkat tangan untuk menahannya. “Jangan,” katanya tegas. “Jangan dekat-dekat aku sekarang.”
Naya merasakan dadanya sesak. Cinta, kepercayaan, harapan yang ia gantungkan pada pria ini selama ini hancur begitu saja di hadapannya. Tanpa berkata apa-apa lagi, Naya berbalik, masuk kembali ke dalam vila, meninggalkan Arfan yang terdiam di tempat.
Di dalam, Naya merosot di lantai, menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Ia tidak pernah membayangkan malam ini akan berakhir seperti ini—penuh rasa sakit dan pengkhianatan yang tak pernah ia duga.
Naya berjalan tanpa arah di sepanjang jalan setapak yang sepi di pegunungan. Udara dingin menyapu kulitnya, menusuk hingga ke tulang, namun ia hampir tidak merasakannya. Langkah kakinya terasa berat, seolah mengikuti kebingungan dan kekecewaan yang mendalam di dalam hatinya. Tubuhnya bergerak otomatis, seakan terpisah dari pikirannya yang kalut. Tanpa jaket atau tas, Naya hanya membawa dirinya sendiri, melangkah menjauh dari vila yang kini terasa seperti tempat penuh kebohongan.
Di kepalanya, percakapan dengan Arfan tadi berulang-ulang. Kata-kata itu menghantamnya lagi dan lagi, membuat luka yang sepertinya tak akan pernah sembuh. Dia punya pacar lain. Dia mengkhianatiku, dan aku… aku begitu bodoh karena percaya padanya.
Naya menendang kerikil di jalan setapak, frustrasi. Matanya menatap kosong ke depan, tidak peduli ke mana ia melangkah. Pikirannya dipenuhi dengan perasaan terluka, marah, dan tak berdaya. Malam ini, seharusnya menjadi momen indah dalam perjalanan menuju pernikahannya, namun berubah menjadi mimpi buruk yang tidak pernah ia bayangkan.
Tanpa sadar, langkah Naya membawanya semakin jauh dari vila, melewati hutan kecil yang berbatasan dengan jalan utama. Hanya suara gemerisik daun yang tertiup angin dan langkah sepatunya yang terdengar di tengah keheningan malam. Semakin ia berjalan, semakin ia merasa tenggelam dalam kesunyian yang memekakkan telinga.
Saat Naya mendekati sebuah tikungan kecil di jalan setapak yang gelap, ia tiba-tiba merasakan sesuatu yang keras menabraknya dari samping. Tubuhnya terpental sedikit, membuatnya terhuyung ke belakang.
“Ah!” seru Naya, hampir terjatuh ke tanah.
Orang yang menabraknya juga terdorong ke belakang, dan sebelum Naya sempat menegakkan tubuhnya, suara berat yang familier terdengar.
“Lihat dong, jalan!” suara itu bernada marah, namun dengan dinginnya yang khas.
Naya mendongak, dan jantungnya langsung berdetak kencang bukan karena kaget, melainkan karena ia mengenali suara itu dengan baik. Dante Evander berdiri di hadapannya, dengan ekspresi masam di wajahnya yang tajam. Pria itu memandang Naya dengan mata yang menyipit, jelas tidak menyangka bertemu dengannya di tempat seperti ini, apalagi dalam kondisi seperti ini.
“Dante?” Naya tertegun sejenak, tak percaya dengan apa yang ia lihat.
"Naya?" Dante juga tampak bingung. Ia mengerutkan kening, mengamati Naya dari atas sampai bawah, sebelum tatapan sinisnya kembali muncul. "Kenapa kamu berkeliaran di sini sendirian malam-malam begini? Mencari masalah lagi?"
Naya langsung merasa dadanya sesak. Belum hilang amarah yang ia rasakan terhadap Arfan, kini ia harus menghadapi Dante, orang yang selalu membuat emosinya naik setiap kali mereka bertemu. Nada sinisnya hanya menambah panas suasana.
“Apa urusanmu kalau aku jalan sendirian?” jawab Naya dengan tajam. “Kamu pikir semua hal di dunia ini harus sesuai dengan aturanmu?”
Dante mendengus, tidak terkesan. “Lalu kenapa kamu ada di sini? Lari dari masalah lain yang kamu buat? Aku sudah cukup banyak berurusan denganmu di kantor hari ini, Naya.”
Naya mendelik. Pertemuan dengan Dante di Evander Designs tadi masih membekas, membuat darahnya kembali mendidih. "Aku nggak lari dari masalah. Setidaknya aku nggak berpura-pura mengendalikan segalanya, termasuk hidup orang lain," balasnya sarkastis.
Dante memandang Naya dengan tajam, tapi ada sesuatu di matanya yang berubah sejenak—sesuatu yang hampir seperti kekhawatiran, meskipun dengan cepat ia kembali mengenakan topeng arogannya.
“Aku serius, Naya. Di sini berbahaya kalau kamu sendirian di malam begini, apalagi tanpa apa-apa. Mana jaketmu? Kamu bisa kedinginan sampai pingsan.”
Naya tersentak, merasa tersinggung oleh peringatan yang terdengar seperti perintah. “Kamu pikir aku nggak tahu itu?” katanya ketus. “Tapi sekali lagi, ini bukan urusanmu.”
Dante mendesah pelan, sepertinya mulai kehilangan kesabaran. “Terserah kamu. Tapi jangan salahkan aku kalau nanti kamu benar-benar tersesat atau lebih parah, kedinginan dan sakit.”
"Kenapa kamu di sini?" Naya akhirnya bertanya, setelah beberapa detik saling diam yang penuh ketegangan. "Apa kamu juga ‘jalan-jalan’ seperti aku?"
Dante mengangkat alis. “Aku punya proyek pribadi di sekitar sini, kalau itu yang kamu tanyakan. Sekarang giliran aku bertanya: kenapa kamu benar-benar di sini? Jangan bilang ini ada hubungannya dengan pria itu.”
Naya mengerutkan kening. “Pria itu? Siapa maksudmu?”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!