Aku tersenyum menatap bangunan megah yang menjulang di depanku. Tempat baruku mencari nafkah untuk menghidupi anak semata wayang ku.
Aku melangkahkan kaki mantap menapaki satu persatu tangga menuju lobby. Dan mendekati meja resepsionis. "Permisi mbak, mau ketemu sama pak Rudi kepala HRD apa bisa?" tanyaku pada wanita cantik yang berpakaian formal sepertiku. Senyumnya yang manis dan ramah membuatku sedikit menghilangkan rasa gugupku.
"Apa sudah ada janji sebelumnya mbak?" tanyanya.
Aku mengangguk dengan memasang senyum tak kalah manis darinya. "Sudah mbak."
"Baik saya akan hubungi ruangannya terlebih dulu. Dengan mbak siapa?"
"Anna, Anna Adiwangsa."
Wanita cantik yang ku tahu namanya Susi dari name tag yang tertempel di dadanya langsung mengangkat gagang telepon untuk memberitahukan kedatanganku pada kepala HRD.
"Mbak, pak Rudi sudah menunggu di ruangannya. Mbak naik ke lantai 3 disana ruang HRD nya." katanya setelah menutup gagang telepon.
"Baik, terimakasih. Saya ke atas dulu." kataku sambil menganggukkan kepala sopan.
Aku memasuki lift khusus karyawan dan menekan tombol di angka 3. Kondisi sepi karena memang aku datang di jam 10. Pak Rudi yang memintaku untuk datang di jam kerja. Karena baru besok aku akan mulai bekerja. Hari ini aku harus mempelajari dulu tabiat dan kebiasaan Presdir baru yang akan menjadi atasanku.
Tak lama kemudian pintu lift terbuka aku segera keluar dan mencari ruangan kepala HRD. Tak menunggu waktu lama aku langsung bisa menemukannya. Di depan pintu bercat coklat aku menetralkan degup jantung ku. Lalu mengetuk pintu coklat tersebut.
Tok
Tok
Tok
"Masuk!" terdengar suara dari dalam ruangan. Aku langsung menekan handle pintu untuk membukanya.
"Anna Adiwangsa. Silahkan masuk!" sambut seorang pria yang menurutku masih muda. Aku pikir kepala HRD sudah berumur. Ternyata perkiraanku salah. Pria ini masih sangat muda ku perkirakan usianya belum ada 35 tahun.
Aku masuk dan langsung duduk di kursi di depan mejanya.
Sebelumnya aku mengulurkan tanganku untuk menjabat tangan pria tersebut.
"Maaf sedikit terlambat pak, motorku mogok jadi aku harus membawanya ke bengkel."
Bohongku. Padahal pagi tadi putriku sedikit rewel karena badannya hangat, mungkin kelelahan karena beberapa hari kemarin kami pindahan rumah.
Saat aku bekerja putriku di asuh oleh seorang baby sitter yang aku ambil langsung dari yayasan. Meskipun gajiku tidak besar tapi aku rela membayar mahal seorang yang berpengalaman untuk mengurus putri ku. Aku sudah tidak memiliki siapapun kecuali putriku. Karena kedua orang tuaku sudah meninggal sejak aku remaja. Setelah itu aku tinggal bersama nenek ku, namun setelah anakku berusia satu tahun nenek juga ikut menyusul kedua orang tuaku.
"Jadi kamu naik motor saat bekerja?" tanya nya dengan raut yang sulit di artikan.
Aku mengangguk perlahan. "Iya pak!" jawabku mantap.
"Bukannya gajimu lumayan besar ya saat bekerja di perusahaan cabang, kenapa tidak membeli mobil?" tanyanya lagi. Kali ini aku sedikit tidak suka dengan pertanyaannya yang ku anggap tidak penting.
"Maaf pak, saya rasa saya tidak perlu menjawab pertanyaan itu. Karena itu sudah masuk ranah pribadi." kataku tegas.
"Ah, ya, maaf jika pertanyaan ku membuatmu tidak nyaman."
"Tidak apa-apa pak."
"Kalau begitu saya antarkan langsung ke ruangan Presdir ya. Nanti asistennya yang akan memberitahukan semua pekerjaanmu sebagai sekertaris Presdir. Hari ini Presdir tidak masuk kerja karena ibunya sedang di rawat di rumah sakit. Jadi kamu hanya perlu bertemu dengan pak Leo asisten pribadinya." jelasnya saat kami sedang berdiri di depan lift. Aku hanya mengangguk dan tersenyum.
🌸🌸🌸🌸🌸
Saat ini aku dan pak Rudi sudah berada di dalam lift menuju lantai 21 dimana ruangan Presdir dan asistennya.
Lantai 21 hanya ada ruangan Presdir dan ruangan khusus untuk pertemuan-pertemuan penting saja. Tidak banyak orang yang bekerja di ruang ini.
Saat pintu lift terbuka aku mengikuti langkah kaki pak Rudi keluar dan berjalan menuju salah satu ruangan dengan pintu kaca dan mengetuknya.
Tok
Tok
"Masuk!" terdengar suara bariton dari dalam ruangan.
Pak Rudi langsung mendorong pintu kaca dengan tirai penutup di baliknya.
"Pak Leo aku mengantar sekertaris baru Tuan Dimas." kata pak Rudi. Mendengar nama Dimas tubuhku langsung menegang. Semoga Dimas yang di maksud bukanlah Dimas mantan suamiku.
Satu tahun menikah dengan Dimas setahuku Dimas seorang operator di perusahaan konstruksi. Mana mungkin jika saat ini menjadi Presdir. Lagipula orang tua Dimas hanya seorang PNS di salah satu instansi. Aku memukul kepalaku karena berpikir yang tidak-tidak.
Pria yang di panggil pak Leo langsung menatapku dari ujung rambut sampai ujung kaki, aku merasa risih di tatap seperti itu, tapi tidak berani protes. Hanya menundukkan kepalaku menatap keramik di bawah.
"Siapa namamu?" tanya pria itu.
Mendapatkan pertanyaan aku langsung mendongakkan kepala dan menatap pria itu. "Anna pak, Anna Adiwangsa." jawabku.
Pria itu mengangguk dan memerintahkan pak Rudi untuk keluar. Aku berterimakasih pada pak Rudi karena sudah mengantarkan ku.
Setelah pak Rudi pergi, pak Leo bangun dari tempat duduknya dan berjalan mendekati rak buku di belakang kursi kerjanya. Aku sejak tadi hanya berdiri karena tak berani duduk sebab pemilik ruangan tidak mempersilahkan aku untuk duduk.
"Anna ini adalah file yang harus kamu pelajari hari ini. Sebelum besok mulai bekerja, datangi meja helen di depan ruangan Presdir. Nanti dia akan mengajarimu. tanyakan juga pada Helen tentang hal yang di sukai dan tidak di sukai Presdir. Setelah makan siang jika pekerjaanmu sudah selesai kamu boleh pulang dan besok pagi sebelum jam 8 kamu sudah harus datang. Presdir sangat tidak suka jika anak buahnya datang setelah dia datang." kata Leo sambil menumpuk beberapa berkas di tanganku.
Aku mengangguk patuh dan keluar ruangan tersebut menuju meja sekertaris lama. Saat keluar ruangan pak Leo, wanita hamil yang duduk di depan ruangan Presdir tersenyum ramah. Aku pikir wanita itu adalah sekertaris yang akan aku gantikan.
"Mari saya bantu." katanya ramah saat aku mendekati mejanya. Ia langsung membantuku mengambil beberapa berkas di tanganku.
"Namaku Helen." kata wanita itu memperkenalkan diri.
"Aku Anna mbak, salam kenal." aku meletakkan sisa berkas di tanganku keatas meja dan duduk di kursi sebelah mbak Helen.
"Anna, coba kamu rubah kembali jadwal Tuan Dimas yang ada di catatan ini ke komputer. Setelah itu kirimkan perubahan jadwal ini ke email Tuan Dimas." perintah mbak Helen. Aku mengangguk paham dan langsung mengerjakan tugas yang mbak Helen berikan.
Sekitar pukul 1 siang aku sudah memahami apa yang aku pelajari dengan bantuan mbak Helen. Aku berpamitan pada mbak Helen untuk pulang sebelum besok mulai bekerja.
Saat sedang memakai tas karena akan pulang aku mendengar mbak Helen merintih.
"Akh!"
"Ada apa mbak?" tanyaku cemas.
"Perutku sakit An." Jawabnya dengan wajah meringis menahan sakit dan memegangi perutnya.
"Aduh, apa mbak mau melahirkan?" aku mencoba mengusap punggung mbak Helen.
"Nggak An, hpl nya masih sebulan lagi. sepertinya hanya kelelahan saja." jawabnya enteng karena saat ini ia kembali tersenyum.
"Aduh mbak, sebaiknya mbak pulang saja." kataku. Aku benar-benar tidak tega membiarkan mbak Helen bekerja dengan keadaan hamil besar seperti ini.
"Aku ada pertemuan dengan klien jam 2 nanti, nggak papa ini sudah biasa kok. Kamu pulang aja kalau mau pulang."
Aku menimbang apa yang harus aku lakukan. membiarkan mbak Helen lanjut bekerja atau menggantikannya.
"Apa ini pertemuan penting mbak?" tanyaku penasaran.
Mbak Helen menggeleng dan kembali duduk di kursinya.
"Hanya pertemuan biasa sebagai bentuk penghormatan klien kita karena kita sudah bersedia bekerja sama dengan perusahaannya."
"Emm, bagaimana kalau aku yang menggantikannya? Apa mbak keberatan?" aku menawarkan diri untuk menggantikannya. Ku rasa tak apa jika hari ini aku mulai bekerja.
"Tapi jadwal kerjamu baru besok An."
"Nggak papa mbak, hari ini aku juga free kok. Anakku ada yang urus. Jadi nggak masalah kalau aku mulai kerja hari ini." kataku dengan memasang senyum manis.
"Loh, kamu sudah punya anak? Ku pikir masih gadis." ucap mbak Helen dan tertawa sesudahnya.
"Aku janda mbak, anakku satu perempuan." jawabku. Aku memang tidak ingin menutupi statusku dari siapapun.
"Oh, maaf. Aku benar-benar tidak tau."
"Santai saja mbak."
"Kamu bercerai atau suamimu meninggal?"
"Cerai mbak, sudah 3 tahun."
"Masih berhubungan dengan mantan suamimu?"
Aku menggeleng dan tersenyum getir. Aku memang menutup diri setelah perceraian ku dengan Dimas. Aku tak ingin tau lagi tentang dirinya. Hatiku terlanjur sakit jika mengingat dirinya lebih mempercayai perkataan orang lain daripada aku istrinya.
"Kami bercerai dengan cara yang tidak baik mbak."
"Maaf jika pertanyaanku menyinggung perasaanmu An."
"Santai saja mbak, aku oke kok, Hehe."
Kami tertawa bersama dan mbak Helen akhirnya menyetujui jika aku lah yang pergi hari ini untuk makan siang bersama klien.
Aku mengendarai motorku menuju restoran tempat janji temu mbak Helen bersama klien itu.
Sesampainya di sana aku langsung mencari meja yang sudah di reservasi. Meja nomor 9 yang berada di samping jendela kaca besar yang mengarah ke kolam ikan.
Aku duduk menunggu klien bernama Seno dan sekretarisnya. Sambil menunggu aku mengeluarkan ponselku dari dalam tas untuk memberi tahukan ART ku jika aku tidak jadi pulang siang ini.
Saat sedang melihat video putriku yang sedang bermain bubble gun. Tiba-tiba aku mendengar seseorang menyapaku.
"Permisi nona Anna."
Aku menatap wanita cantik berpakaian formal berdiri di sebelahku dan pria gagah tampan yang berdiri di depan kami.
Aku berdiri dan langsung menjabat tangannya. Aku yakin jika ini adalah klien yang memiliki janji temu.
"Ya! Nona Grace, Tuan Seno. Silahkan duduk." aku mempersilahkan mereka untuk duduk.
"Maaf Nona, kami terlambat karena harus menghadiri rapat pemegang saham." kata Grace dengan suara lembut.
"Jangan sungkan Nona, Saya juga baru datang. Maaf saya harus menggantikan mbak Helen hari ini karena kandungannya sedikit bermasalah."
"Tidak masalah. Siapapun yang hadir itu sama saja bukan." kali ini pria bernama Seno yang menjawabnya.
Aku mengangguk dan tersenyum manis. Lalu Seno memanggil pelayan, kami memesan makanan dan kembali berbincang setelah pelayan pergi untuk menyiapkan pesanan kami.
"Jadi anda ini sekertaris baru Tuan Dimas?" tanya Seno. Ia melepaskan jas nya dan meletakkan di belakang kursi.
"Benar Tuan, aku akan mulai bekerja besok. Tapi karena kandungan mbak Helen bermasalah. Aku harus menggantikannya hari ini untuk bertemu anda."
Seno hanya mengangguk dan tersenyum. Jantungku berdegup karena Seno menatapku penuh arti. Membuatku merasa tidak nyaman, aku harus berkali-kali merapihkan rambutku dengan menyematkan kebelakang telinga karena takut ada yang salah dengan penampilanku.
...🌸🌸🌸🌸🌸...
Hari bergulir.
Pagi ini aku sedang bersiap menuju ke kantor baruku. Untunglah hari ini suhu tubuh Yessa sudah normal. Jadi aku bisa tenang meninggalkan nya seharian.
"Wi, mbak berangkat dulu ya. Titip Yessa ya wi." Aku meninggalkan putriku yang masih tidur bersama pengasuhnya.
"Tenang aja mbak."
"Kalau ada apa-apa telepon aku."
"Sip mbak."
Aku keluar rumah dan menuju motorku yang sudah terparkir di halaman rumah. Aku yakin jika mang Didi yang sudah menyiapkannya.
Aku tinggal hanya dengan para pekerja ku saja.
Bik Mar sebagai art dan mang Didi suaminya sebagai petugas keamanan di rumah ini. sementara Dewi pengasuh Yessa. Mereka sudah ikut bersamaku sejak aku tinggal di kota lain setelah bercerai dengan Dimas. Dan saat aku kembali pindah ke kota ini pun mereka masih setia menemaniku.
Aku melajukan motorku menuju gedung perkantoran yang berjarak sekitar 15 menit dari rumahku. Sesampainya di pelataran gedung aku langsung memarkirkan motorku dan melihat jam di pergelangan tangan.
Jam 7 lebih 30 menit. Aku melangkahkan kaki menuju ke lobby dan langsung masuk ke dalam lift saat beberapa karyawan akan masuk. Sesampainya di meja aku langsung menghidupkan komputer ku lalu masuk ke dalam ruangan Tuan Dimas.
Kemarin mbak Helen mengatakan jika sebelum Tuan Dimas masuk ke dalam ruangan, aku harus memastikan ruangannya sudah dingin dan menghidupkan komputer. Aku juga menyemprotkan pengharum ruangan dan meletakkan gelas berisi air putih diatas meja.
Setelah beres aku keluar dan duduk di mejaku. Aku melihat jadwal Tuan Dimas seharian ini dan mencatatnya di ponselku lalu menyetel alarm agar tidak lupa.
Jantungku berdegup kencang karena ini hari pertamaku bekerja sebagai sekertaris. Dan yang lebih membuatku merasa seperti mimpi adalah, aku menjadi sekertaris sang Presdir.
Huuuft!
Aku kembali menghembuskan nafas pelan entah sudah yang keberapa aku melakukan itu. Lalu kembali melihat penampilanku dari kaca transparan di ruangan Tuan Dimas.
Saat sedang menyemprotkan parfum aku mendengar lift khusus direksi berdenting. Dan melihat Tuan Leo keluar bersama seorang pria dan saling bercengkrama. Aku tidak bisa melihat wajah pria yang sedang mengobrol dengan tuan Leo karena aku menundukkan wajahku, tapi aku yakin jika pria itu adalah tuan Dimas atasanku.
Tak lama kemudian langkah kaki mereka berhenti tepat di depan mejaku.
"Selamat pagi Tuan Dimas." aku menyapa atasanku dengan wajah menunduk. Sungguh aku tak sanggup menatap wajah atasanku. Aku merasa kecil sekali saat ini.
"Ini sekertaris anda yang baru Tuan. Yang akan menggantikan Helen." terdengar suara Tuan Leo menjelaskan.
"Angkat wajahmu!"
Deg!
Jantungku berdebar sangat kencang mendengar suara yang sangat familiar.
Tidak-tidak mungkin pemilik suara bariton itu adalah pria itu. Aku menepis pikiranku dan langsung mengangkat wajahku.
Deg!
Dimas!
Batinku berteriak ketika ku yakin netraku tak salah melihat, pria di hadapanku benar-benar Dimas. Pria yang sudah setengah mati aku lupakan, saat ini berada di depanku.
Matanya menatapku dengan tatapan yang entah. Kelopak mataku terasa panas, aku terus mengedip-kedipkan mataku agar cairan bening itu tidak keluar.
"Selamat pagi Tuan, perkenalkan saya Anna Adiwangsa sekertaris pribadi anda yang baru menggantikan mbak Helen." kataku memperkenalkan diri, aku mengulurkan tanganku kehadapannya. Aku harus bersikap profesional. Aku tidak menganggap Dimas sebagai mantan suamiku, melainkan atasanku. Aku harus membuat batasan ini mulai saat ini.
Dimas masih menatapku dan tak menyambut uluran tanganku. Aku mengalihkan atensiku pada asisten Leo. Mengerti kebingunganku, asisten Leo hanya mengangguk. Aku menurunkan tanganku perlahan yang tak mendapat sambutan.
"Mari Tuan, ada beberapa berkas yang harus anda tanda tangani." perkataan asisten Leo sukses membuat Dimas yang membeku menjadi sadar.
Ia berdehem dan mengangguk lalu masuk ke dalam ruangannya.
"Anna, berikan dokumen yang harus di tanda tangani Tuan Dimas, kemarin Helen sudah memberitahukan bukan?" kata assisten Leo.
Aku mengangguk paham dan mulai mengambil dokumen diatas meja dan akan membawanya ke ruangan Tuan Dimas.
Tok
Tok
"Masuk!"
"Permisi tuan, aku mengantarkan dokumen yang harus anda tanda tangani." kataku berusaha sekuat tenaga menghilangkan getaran di suaraku. Aku tidak ingin menunjukan kesedihanku di hadapan pria ini.
Dimas masih menatapku seperti tadi. Ia membuatku merasa risih, pertahananku hampir habis karena ditatap begitu dalam.
"Huuft!, letakkan disini." katanya setelah menghembuskan nafas.
Aku langsung meletakkan dokumen itu diatas meja dan melihatnya menandatangani semuanya.
"Apa agendaku hari ini?" tanyanya dengan nada dingin. Ia melepaskan jas nya dan menggantungnya di sudut dekat tempat duduknya.
Aku membuka catatan yang berada di buku agenda khusus untuk mencatat agenda Tuan Dimas. "Pukul 9 nanti anda ada rapat dengan para pemegang saham, setelah itu ada pertemuan dengan pemilik Apartemen Panorama di pukul 11 untuk membahas pembelian saham tuan Sudibyo. Pukul satu anda harus makan siang bersama dengan klien dari Singapura, sekalian pembahasan mengenai pembangunan apartemen di Singapura. Lalu pukul 4 Anda harus mengunjungi ayah Nona Lisa yang sedang dirawat di rumah sakit. Sudah tuan tidak ada lagi."
Jelasku panjang lebar. Setelah itu menutup buku agenda yang sengaja ku bawa. Aku melihat Dimas kembali menatapku tanpa berkedip.
Aku hampir jantungan karena tatapannya sangat tajam.
"Tu-tuan mendengar agenda yang aku katakan?" tanyaku dengan gugup. Karena pandangan pria itu sama sekali tidak teralihkan. Aku merasa geram ingin sekali menampar wajahnya. Dendamku kembali lagi setelah bertahun hilang.
"Kirimkan bingkisan untuk ayah Lisa, sepertinya aku tidak bisa mengunjunginya hari ini." ucapnya tanpa mengalihkan tatapannya.
"Baik tuan!" jawabku singkat, lalu mencatat perkataanya, karena takut lupa.
"Ada lagi Tuan?"
Ia menggeleng kan kepalanya pelan. "Hmm, pergilah." katanya dengan mengibaskan tangannya.
Aku mengangguk hormat dan keluar dari dalam ruangannya.
"Huuuft! Astaga, takdir macam apa ini." gumamku setelah keluar dari dalam ruangan Dimas.
Saat pukul setengah 9 alarm di ponselku berdering, aku langsung memastikan ruangan yang akan di gunakan meeting. Setelah semuanya siap dan satu persatu pemegang saham datang, aku mendatangi ruangan tuan Dimas untuk memberitahukannya jika rapat sudah siap.
Tok
Tok
Tok
"Masuk!"
"Tuan, rapat sudah siap di mulai." kataku lalu mengambilkan jas yang tergantung.
Tuan Dimas langsung berdiri dari kursinya. Dan aku memakaikan jas ke tubuhnya. Sebagai sekertaris pribadi, aku harus memastikan penampilan tuan Dimas paripurna sebelum bekerja.
Jantung ku berdegup kencang saat aku berdiri berhadapan dengannya, merapihkan dasi di lehernya. Namun aku berusaha bersikap biasa saja. Aku tau sejak tadi Dimas menatapku. Hembusan nafas segarnya menerpa wajahku.
"Sudah siap tuan, sebaiknya kita langsung ke ruang rapat." kataku, lalu menyingkir dari hadapannya. Setelah ia berjalan aku mengikutinya dari belakang dengan membawa berkas yang di perlukan.
...🌸🌸🌸🌸🌸...
POV Dimas.
Bagaimana bisa wanita yang selama ini ku cari, malah berada di hadapanku. Aku hampir putus asa mencarinya, dan saat ini dia menjadi sekertaris pribadiku.
Aku berusaha mencari keberadaanya selama 3 tahun ini. Tapi takdir sepertinya berpihak padaku. Karena saat ini wanita yang selalu memenuhi pikiranku berada di depanku.
Aku benar-benar tidak tau jika Anna yang menggantikan Helen. Aku ingin berteriak karena bahagia bisa bertemu kembali dengan Anna.
3 tahun berpisah dengannya sama sekali tak melunturkan perasaan cintaku padanya. Malah semakin bertambah setelah melihatnya semakin cantik dan cekatan.
Aku akan menahan diriku untuk tidak mengusiknya beberapa saat. Karena aku sadar kesalahanku sangat fatal, sebagai seorang suami tidak mempercayai istri adalah hal yang sangat menyakitkan baginya.
"Leo, kirimkan CV milik Anna ke ruangan ku sekarang." aku menghubungi asistenku untuk mengetahui latar belakangnya.
Aku penasaran tinggal dimana dia selama ini dan apakah dia sudah menikah lagi. Hatiku tiba-tiba sesak mengingat hal itu, semoga saja Anna masih sendiri.
Mataku menerawang mengingat kejadian beberapa tahun lalu.
Lisa datang ke kantorku dan mengatakan jika Anna mendorong kursi roda mama hingga mama jatuh dari tangga. Aku panik dan langsung mendatangi rumah sakit dimana Lisa membawa mamah.
Flashback on.
"Apa yang kau lakukan dengan mamaku Anna?" aku membentak Anna yang sedang menangis di depan IGD.
"Mas, aku."
"Aku melihat Anna mendorong kursi roda mama Dim, aku langsung membawa mama ke rumah sakit lalu pergi menemui mu." sela Lisa saat Anna akan mengatakan sesuatu.
Netraku langsung menatap tajam Anna. Anna menggelengkan kepalanya dengan air mata berderai.
"Itu nggak bener mas. Lisa bohong. Aku,-"
"Cukup Anna, selama ini aku tau kamu membenci mama, tindakanmu kali ini benar-benar keterlaluan. Mulai hari ini kau bukan lagi istriku. Aku ceraikan kau Anna Adiwangsa, aku haramkan tubuhku untuk kau sentuh. Sekarang pergi dari sini, dan jangan pernah muncul di hadapanku lagi."
Setelah mengatakan perkataan laknat itu, aku meninggalkan Lisa dan Anna menuju ranjang mama. Aku mendengar tangisan Anna yang sangat menyayat hati. Tapi aku tidak perduli, rasa benciku terhadapnya mendominasi hati, hingga membuatku tega terhadap wanita yang bergelar istri.
Aku mendengar ia memaki Lisa, semakin membuatku muak padanya. Aku kembali menemui nya dan langsung menyeretnya keluar dari dalam rumah sakit.
"Jangan pernah menyalahkan orang lain atas tindakan menjijikanmu itu Anna. Sekarang pulanglah dan kemasi pakaianmu, mulai saat itu kamu tidak berhak berada di dalam rumah itu." kataku setelah itu menghempaskan tubuh Anna diatas lantai. Anna menangis tersedu namun aku benar-benar tidak perduli.
Sejak saat itu aku tidak pernah lagi melihatnya. Setelah mama pulang dari rumah sakit, suster yang menjaga mama mengatakan yang sebenarnya bahwa mama jatuh dari tangga karena kelalaiannya. Suster meninggalkan mama di tepi tangga untuk mengambil susu dan lupa mengunci roda.
Saat mama akan jatuh, Anna berlari akan menarik kursi roda mama tapi sudah terlambat, saat bersamaan Lissa datang dan melihat seolah Anna yang mendorong mama.
mendengar penjelasan mama, membuatku sangat menyesal karena telah menyalahkan Anna tanpa mendengar pembelaannya.
Sejak saat itu aku meminta anak buahku mencari keberadaan Anna namun belum juga membuahkan hasil. Tapi Allah maha baik, ia mengirimkan Anna langsung kepadaku tanpa aku susah-susah mencarinya.
Meskipun saat ini ia seolah tak mengenalku, tapi aku sungguh lega melihatnya baik-baik saja dan semakin cantik.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!