"Siapa tuh cewek?" tanya Rafa pada William yang baru saja bertegur sapa dengan perempuan yang dimaksud oleh Rafa.
Mata Rafa belum berpaling dari perempuan yang telah berjalan menjauh sambil tertawa bersama temannya. Sosoknya begitu mencuri perhatian Rafa yang memang sudah lama mudah jatuh cinta pada setiap wanita cantik yang ditemuinya.
"Oohh... dia Alita. Lo naksir sama dia?" jawab William sambil menggoda Rafa.
William tentu tahu benar bagaimana Rafa. Hampir tiga tahun berteman dengan Rafa, bisa dibilang William menjadi saksi bagaimana Rafa berganti pacar dengan mudahnya.
"Masukin nomer hape dia." ucap Rafa tanpa basa-basi sambil menyodorkan ponselnya pada William.
"Are you serious, bro?" tanya William dengan tertawa. Tidak menyangka jika selera temannya itu sedikit berubah. Pasalnya, Alita bukanlah seperti pacar-pacar Rafa sebelumnya yang senang mengenakan pakaian seksi.
"Tinggal tulis aja susah banget sih lo." Rafa menggerutu.
"Terus Jihan gimana?" tanya William sambil meraih ponsel yang disodorkan oleh Rafa dan mulai mengetikkan deretan nomer disana.
"Gampang, udah waktunya juga gue sama dia udahan. Ini udah lebih dari tiga bulan."
Jawaban Rafa barusan sontak saja mendapat kekehan dari William. "Untuk yang ini, lo usaha sendiri. Gue enggak mau bantuin lagi kecuali soal kasih nomer ini. Dia beda, bro. Gue yakin lo bakal bertekuk lutut sama dia."
***
Ternyata peringatan dari William siang tadi benar adanya, Alita memang berbeda. Jika sebelumnya ia selalu mudah untuk mendekati gadis incarannya, namun kini Rafa dibuat tak berdaya. Pesan singkat yang Rafa kirimkan sejak sore tadi bahkan belum mendapat balasan. Gadis itu sepertinya hanya membacanya sekilas dan membuat dua centang itu berubah warna menjadi biru.
Masih berusaha untuk mencari tahu tentang gadis incarannya, Rafa sengaja membuka akun instagram William dan mencari akun Alita disana. Jika William mengenalnya bahkan hingga menyimpan nomer ponselnya, pastilah William mengenal baik Alita. Dan benar saja, ada akun Alita disana. Bahkan William pernah beberapa kali memposting foto kebersamaannya dengan Alita dan beberapa teman lainnya.
Melebarkan senyuman dibibirnya saat tangannya sibuk menscroll layar ponselnya, mata Rafa masih terpatri memandangi satu per satu foto Alita diakun sosial medianya. Alita nampaknya memang cukup aktif bersosial media, foto yang dibagikan juga membuat Rafa semakin memantapkan hatinya untuk menjadikan Alita sebagai kekasihnya.
Dengan rambut sebahunya, Alita benar-benar mencuri perhatian Rafa. Senyuman yang menghiasi wajah cantiknya siang tadi seolah menjadi magnet tersendiri. Tanpa Alita mengumbar lekuk tubuhnya, Rafa pun telah jatuh hati kepadanya.
Ting....
Sebuah notfikasi pesan masuk membuat senyuman dibibir Rafa semakin lebar. Alita membalas pesannya!
Saat jarinya akan mengetikkan pesan balasan, sebuah panggilan masuk justru membuatnya berdecak kesal. Bukan hanya panggilan telepon, melainkan panggilan video dari Jihan, kekasihnya.
"Apaan?" tanya Rafa yang kala itu bersikap malas-malasan dan sok sibuk dengan setumpuk buku yang ada di depannya.
Ia memang sedang mengerjakan tugas kuliahnya, namun tidak sesibuk itu juga. Ia hanya malas meladeni Jihan, karena bisa ia pastikan kekasihnya itu akan mengajaknya jalan-jalan pada weekend ini.
"Kamu jutek banget sih, sayang? Aku kan kangen." suara Jihan yang dibuat-buat itu membuat Rafa semakin malas.
Rafa menggaruk kepalanya, entah apa dulu yang membuatnya memacari Jihan. Padahal William telah jelas-jelas memberinya peringatan jika Jihan pasti hanya akan memanfaatkan uangnya saja.
"Gue lagi banyak tugas, udahan ya telponnya."
"Iiiiihhhh, kok kamu gitu sih? Lagian besok kan weekend, tumbenan banget kamu nugas."
"Iya, besok mau ada acara sama mama." begitulah Rafa. Saking seringnya bersilat lidah, lidahnya itu seolah telah tahu jawaban apa yang harus diucapkan pada setiap situasi seperti ini.
"Mau kemana? Besok kan weekend, terus jalan sama akunya kapan? Aku kan kangen sama kamu, Yang. Hampir seminggu ini kita enggak ketemu, weekend lalu juga kamu alasan ada acara keluarga."
Rafa semakin kesal mendengarkan ocehan Jihan. Memasuki bulan ketiganya bersama Jihan, Rafa memang telah malas-malasan pada hubungan mereka. Jihan memang memanfaatkan, ya meskipun ia mendapat service dari Jihan yang luar biasa. Memang Rafa akui jika Jihan sangat pro untuk urusan ciuman dan memanjakannya. Namun justru itu membuat Rafa semakin yakin jika Jihan suka bermain dibelakangnya dengan pria yang lebih dewasa. Begitu yang William pernah katakan padanya.
"Ya emang ada acara keluarga kok. Emangnya mau jalan kemana sih?" Rafa masih mencoba menyabarkan dirinya menghadapi Jihan.
"Shoppinglah, aku mau beli tas di tempat biasa. Kata temenku besok disana lagi ada diskon dan ngeluarin produk terbaru."
Tuh kan, ujung-ujungnya juga urusan uang. Kangen selalu dijadikan kedok utamanya.
"Yaudah pergi aja sama temen lo itu, gue enggak bisa. Udah ya, gue tutup. Pusing gue banyak tugas." tanpa basa-basi lagi, Rafa benar-benar mematikan panggilan video itu. Ia yakin Jihan akan langsung membombardirnya dengan serangkaian pesan yang tak kunjung selesai. Oleh sebab itu, ia mematikan wifi yang tersambung diponselnya dan menekan nomer Alita untuk melakukan panggilan telepon.
Rafa harus bergerak cepat. Untuk segera mengakhiri hubungannya dengan Jihan, dan segera menjadikan Alita sebagai kekasihnya.
"Hai, sorry aku telepon kamu. Bisa... kita ngobrol by phone aja? Kalo mau ketemu sekarang atau besok juga boleh hehehe...."
Begitulah kalimat pembuka yang diucapkan oleh Rafa saat Alita mengangkat panggilan teleponnya. Namun sepertinya Alita tidak merasa terganggu, hingga akhirnya Rafa memilih untuk berbaring di kasur dan melakukan panggilan telepon itu hingga beberapa jam ke depan hingga paket teleponnya habis tak bersisa.
"Rafardhan Adhitama Widjaja." ucap Rafa dengan tangan terulur dan senyumnya yang lebar.
Siang ini, ia mengajak Alita untuk makan siang di luar. Padahal, ia mengatakan jika ada acara keluarga kepada Jihan. Tentu Rafa telah mempertimbangkan semuanya, terutama untuk tmpat ketemuannya dengan Alita. Rafa bahkan tidak keberatan saat Alita mengajukan sebuah kafe kecil di dekat rumah Alita.
"Alita. Alita Maheswari." jawab Alita dengan menjabat tangan Rafa dan membalas senyumannya.
Rafa lantas menarik kursi dihadapan Alita, lalu melambaikan tangannya pada pegawai kafe yang tak jauh dari tempat mereka duduk.
"Maaf, aku telat karena tadi aku harus mengantar saudara perempuanku ke rumah temannya."
"Kamu punya saudara perempuan?"
Rafa menganggukkan kepalanya. "Dia berkuliah di fakultas yang sama denganku, dua tahun lebih tua dariku." Alita menganggukkan kepalanya, William telah menceritakan hal itu padanya.
"Tempatnya lumayan, nyaman juga." sambung Rafa sambil melihat suasana ke sekeliling kafe.
"Iya, aku sering kesini untuk mengerjakan tugas."
"Sendirian?" tanya Rafa sambil menerima uluran buku menu dari pegawai kafe. Pertanyaan itu mendapat anggukkan dari Alita yang kemudian ditanggapi dengan cepat oleh Rafa.
"Lain kali telpon aja aku, pasti akan aku temani." sambung Rafa sambil mengerlingkan matanya ke arah Alita dan kemudian mulai memesan makanannya.
Alita tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Semburat rona merah muncul dikedua pipinya setelah kerlingan mata dari Rafa. Mencoba mengalihkan fokus dirinya agar tidak semakin terperosok dalam godaan Rafa, Alita mulai menyesap minuman hangat yang ia pesan tadi.
"Minum cokelat itu... bisa meningkatkan sistem imun, daya ingat, kesehatan jantung, menenangkan diri dan... bisa mengontrol berat badan." ucap Rafa sok tahu.
Alita menauktkan kedua alisnya, lalu memandangi segelas cokelat hangat dihadapannya. "Benarkah? Aku enggak tahu ternyata ada banyak manfaat dari segelas cokelat hangat ini."
Rafa mengangguk dengan mantap. "Mamaku yang mengatakannya. Mama sangat suka minum cokelat hangat, mungkin jika kalian bertemu maka kalian akan bisa duduk santai sambil minum cokelat hangat dan membicarakan banyak hal."
"Hahahahaha... begitu ya?"
Sebenarnya, Alita merasa canggung. Dipertemuan pertama mereka ini, Rafa justru telah berani mengungkapkan jika ia akan bertemu dengan mamanya. Alita bahkan tidak berpikir jika obrolan Rafa akan sejauh ini.
"William memberitahumu tentangku?"selidik Rafa.
Rafa hanya berjaga-jaga jika saja William memberitahu Alita tentang dirinya. Ini adalah kali pertama Rafa mencoba mendekati teman William. Bisa saja kan William memperingatkan Alita soal kebiasaan Rafa yang bergonta-ganti pacar? Atau mungkin soal status Rafa yang sekarang masih berpacaran dengan Jihan.
Rafa menghela nafas lega saat Alita menggelengkan kepalanya. William mengambil langkah yang benar dengan tidak mencampuri urusan percintaannya.
"William hanya bilang kalian berteman sejak awal masuk kuliah."
"Ahh, iya. Kami berteman sangat dekat, saling mengenal kebusukan masing-masing luar dan dalam." jawab Rafa sambil terkekeh.
"Laki-laki biasanya seperti itu. Mereka tidak pernah merasa jaim dengan temannya."
"Jadi... apa kau memiliki kekasih, Alita?" tanya Rafa tanpa basa-basi yang membuat Alita mengurungkan niatnya untuk memotong cake favoritnya.
"Jika aku mengatakan aku memiliki kekasih, bagaimana?" jawab Alita sambil menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi.
"Aku enggak percaya." tatapan Rafa begitu tajam mengarah kepada Alita, diiringi sebuah senyuman yang selalu menjadi daya tarik Rafa.
***
Menjadi anak bungsu di keluarga, membuat Rafa mendapat banyak perhatian dari banyak pihak. Namun sejak abangnya memutuskan untuk pergi kuliah ke luar negeri, Rafa menjadi mengemban tugas untuk menjaga saudara perempuan satu-satunya, Eowyn.
Tugas itu diembannya sudah cukup lama, bahkan sejak ia masih SMA. Namun karena kini abangnya tidak ada, makanya ia lah yang bertanggung jawab sepenuhnya. Abangnya begitu takut jika Eowyn akan benar-benar jatuh ke tangan temannya dan dirusak. Ancaman itu benar-benar membuat Rafa dan abangnya berusaha sekuat tenaga agar teman abangnya itu tidak memiliki kesempatan untuk mendekati Eowyn.
"Lama bener sih, Fa! Gue kan udah bilang jam 5 jemput gue lagi." Eowyn menggerutu saat Rafa baru saja memarkirkan motornya di halaman rumah sahabatnya, Zahra.
"Ini kan juga masih disekitaran jam 5, baru juga lebih dua puluh menit." jawab Rafa dengan santai sambil melirik pada jam tangannya.
"Ngejawab mulu!" Eowyn memukul lengan Rafa sebelum akhirnya menerima uluran helm dari Rafa. Namun Rafa telah mengarahkan tangannya ke pipi kakaknya, berniat untuk mencubitnya.
"Udaaahhhh... kalian ini berantem aja mulu. Pantes aja tante Salma suka ngomel." Zahra mencoba melerai kakak adik yang hampir bertengkar itu.
"Temen lo nih kak, nyolot mulu bawaannya." jawab Rafa sambil menunjuk ke wajah Eowyn.
"Heh!" Eowyn membentak Rafa. "Ntar kalo mobil gue udah keluar dari bengkel juga enggak akan gue minta anter jemput lo."
"Baguslah, jadi enggak ganggu waktu gue buat pacaran."
"Pacaran mulu kerjaan lo!" Eowyn dengan sengaja menoyor helm yang telah dikenakan Rafa.
"Kak Zahra jadi saksi ya, nih barusan udah berapa kali dia nganiaya gue."
"Hahahahaha... lo mah pacar banyak, ditoyor gitu doang lemah. Udah buruan sana balik, ntar dicariin om Adit sama tante Salma loh."
"Iyaaaa... bye, kakak cantik. Terima kasih ya udah sabar sama demit dibelakang gue hehehehe...."
"Sialan!" Eowyn kembali melayangkan pukulannya pada bahu Rafa. "Buruan jalan, Zahra enggak akan mempan sama rayuan lo."
Rafa mendengus kesal pada kakaknya sambil menyalakan mesin motornya. Begitulah interaksi yang sering terjadi antara dirinya dan juga Eowyn, sepertinya bisa dihitung jari kapan keduanya bisa akur.
"Gue balik dulu ya, Zah. Sampai ketemu besok Senin." Eowyn melambaikan tangannya pada Zahra saat motor adiknya mulai meninggalkan halaman rumah Zahra.
"Sayang, kenapa sih enggak bisa mampir ke mall sebentar? Aku butuh banget beli baju buat acara besok pagi." Jihan merajuk saat Rafa enggan mengantarkannya ke mall untuk membeli baju. Bukan hanya malas karena harus membayar belanjaan Jihan, tapi Rafa memang ingin segera mengakhiri hubungannya.
Terlebih kedekatannya dengan Alita sudah cukup signifikan. Hampir tiap malam keduanya selalu berbincang melalui sambungan telepon selama berjam-jam. Rafa tentu telah terbiasa melakukannya, namun dengan Alita rasanya berbeda. Alita bagai memiliki daya tarik tersendiri bagi Rafa.
"Enggak bisa, mobilnya harus ada di rumah sebelum jam tiga. Ini mobil abang, bukan mobil gue. Emang mau ke mall gue anterin naik motor?" Rafa tetap berkonsentrasi dengan lalu lintas di depannya.
"Enggaklah, panas!" Jihan mencebikkan bibirnya. "Hampir empat bulan kita pacaran, bisa dihitung jari kita perginya berapa kali. Itu pun pas awal-awal pacaran."
"Terus mau kamu gimana?"
"Ya kamu luangin waktulah buat aku. Masa aku punya pacar tapi kemana-mana sendirian?"
"Temen kamu kan banyak, pergi aja sama mereka. Gue kan udah bilang gue sering sibuknya."
"Tapi kamu selalu mentingin keluarga kamu terus. Dikit-dikit mau jemput kakak kamu, mau anter mamalah, ada acara keluargalah. Harusnya kan-"
"Kalo lo emang enggak bisa terima, yaudah enggak usah dilanjutin." Dan pertengkaran itu akhirnya terjadi juga.
Rafa sengaja menepikan mobilnya, instingnya mencium celah jika ini adalah saat yang tepat baginya untuk mengakhiri hubungannya dengan Jihan. Apalagi gadis itu telah berani menyinggung keluarga tercintanya.
"Gue kalo disuruh milih antara elo sama keluarga gue ya tetep aja gue milih keluarga gue tanpa perlu gue mikir." nadanya sengaja dibuat meninggi, Rafa berharap Jihan akan segera mundur dan menyerah.
"Y-ya... kenapa ngomongnya jadi elo-gue sih?" Jihan berucap dengan hati-hati. Sungguh dia merasa menyesal telah memancing amarah Rafa hanya karena keinginannya berbelanja.
"Udahlah, kita putus aja. Gue enggak bisa nerusin hubungan ini lagi karena elo enggak nerima keberadaan keluarga gue." Rafa telah memutuskan, baginya lebih cepat itu lebih baik. Terlebih, ia tak bisa lagi membagi fokusnya pada dua orang wanita. Sekarang prioritasnya hanya ingin berpusat oada Alita.
"Sayang... a-aku minta maaf. Bukannya aku enggak terima sama keberadaan keluarga kamu, tapi... aku cuma ngomong aja kalo aku enggak suka selalu kamu nomer duain."
"Itu sama aja, Jihan. Keluar! Rumah lo enggak jauh lagi dari sini kan? Gue anter sampai sini aja."
"Rafa, lo kok tega sih!" kini Jihan yang meninggikan nada bicaranya.
"Gue enggak akan begini kalo lo enggak nyinggung-nyinggung keluarga gue." Rafa langsung melepas seatbelt yang masih Jihan kenakan, lalu mencondongkan badannya untuk membuka pintu disamping Jihan. "Keluar! Kita udah enggak ada hubungan lagi mulai hari ini." ucap Rafa dengan tegas.
Jihan yang merasa kesal hanya dapat menggertakkan giginya. Setelah mengambil tas dan ponselnya, Jihan pun bersiap turun dari mobil yang dikendarai oleh Rafa sambil mengultimatum mantan kekasihnya itu.
"Lihat aja nanti, kamu pasti akan menyesal dan bakal minta balikan.lagi sama gue!" ucap Jihan dengan nada menggebu-gebu sebelum akhirnya turun dari mobil dan menutup pintu mobil mewah itu dengan kencang.
"Duuhhh... sialan! Mobil abang gue ini, beg*!" gerutu Rafa sebelum kembali menginjak pedal gasnya.
Sudah berulang kali Rafa merasakan bagaimana itu putus cinta, namun hanya hitungan jari dirinya merasa menyesal telah memutuskannya. Itupun tidak berlangsung lama, karena setelahnya Rafa pasti telah mendapat incaran baru untuk dijadikan kekasihnya.
Seperti sekarang, ia bahkan telah mempersiapkan Alita sebagai pengganti Jihan bahkan sebelum ia mengakhiri hubungannya. Tak ada sama sekali penyesalan dalam dirinya karena berakhirnya hubungannya dengan Jihan. Rafa justru merasa bersyukur karena akhirnya dapat terlepas dari Jihan yang terus mencoba memanfaatkannya.
Dering ponsel mengalihkan perhatian Rafa yang saat itu sedang asik bernyanyi sambil menyetir, merayakan berakhirnya hubungannya dengan Jihan. Senyuman itu langsung mengembang seiring diliriknya sebuah nama yang tertera pada layar ponselnya. Alita menelponnya.
Menepikan kembali mobilnya, Rafa hanya ingin fokus mendengarkan dan menikmati suara merdu dari Alita. Ia juga penasaran sebab tidak biasanya Alita menelponnya siang begini.
"Halo, Lit." sapa Rafa saat mengangkat panggilan telepon dari Alita.
"Kamu lagi sibuk?" pertanyaan Alita ini sontak menerbitkan kembali sebuah senyuman dibibir Rafa.
"Enggak, aku baru aja selesai kuliah. Ada apa? Tumben siang-siang telpon?"
"Hmmm... waktu itu, kamu bilang aku harus telpon kamu kan kalo aku butuh teman? Aku lagi di kafe deket rumah sekarang, kafe tempat kita ketemu waktu itu. Kamu masih ingat?"
"Tentulah, kenapa?" Rafa menjawab dengan mantap. Tentu saja Rafa masih ingat, bahkan jalan menuju rumah Alita pun ia sudah hafal meskipun baru sekali mengantarnya saat pulang dari kafe kala itu.
"Kalo... kamu enggak ada acara, bisa enggak datang ke kafe? Kayaknya... aku butuh temen ngobrol."
Senyuman dibibir Rafa semakin melebar saat suara malu-malu Alita tertangkap oleh gendang telinganya. Duh, ingin rasanya ia memeluk Alita karena ternyata gadis itu karena begitu menggemaskan. Tidak seseram yang William katakan padanya.
"Oke, tunggu disana ya. Aku akan segera kesana."
Rafa langsung menginjak kembali pedal gasnya saat panggilan telepon dari Alita berakhir. Kembali menyalakan musik yang tadi volumenya ia kecilkan, sekarang ia bagai orang kerasukan yang bernyanyi begitu kencang didalam mobilnya.
Seperti tak ada kejadian putus hubungan beberapa waktu yang lalu, kini hati Rafa benar-benar sedang berbunga-bunga. Putusnya hubungan dirinya dengan Jihan bahkan seperti tidak terjadi, Rafa bahkan sepertinya sudah lupa dengan kejadian beberapa saat yang lalu saat ia mengusir Jihan untuk keluar dari mobilnya.
Sekarang, fokusnya hanya akan tertuju pada Alita. Gadis berambut sebahu yang sedang ia puja.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!