NovelToon NovelToon

Darknight In Jakarta

Episode 1

Suara hiruk-pikuk kota Jakarta bergema di siang hari yang terik. Mobil-mobil berderet di jalan, klakson-klakson saling sahut-menyahut, sementara orang-orang tergesa-gesa melintas di trotoar, menembus keramaian. Di balik gemuruh kota itu, berdiri megah sebuah sekolah modern dengan gerbang tinggi dan dinding kaca yang berkilauan di bawah matahari.

Aisyah melangkah memasuki gerbang sekolah, mengenakan seragam putih abu-abu yang rapi. Wajahnya memancarkan tekad yang kuat. Rambut hitamnya dikuncir sederhana, menambah kesan tenang di balik kesibukannya sebagai siswa berprestasi. "Ini hari biasa," pikirnya, "tapi kenapa rasanya ada yang berbeda?" Ada ketegangan di perutnya yang tak bisa ia jelaskan.

Aisyah menarik napas dalam-dalam saat melewati lorong sekolah, mencoba mengenyahkan perasaan aneh yang membayangi.

“Pagi, Ais!” seru salah satu temannya dari kejauhan, melambaikan tangan. Aisyah membalas senyuman kecil, tapi dalam hati, ia merasa seperti terjebak dalam ritme yang monoton.

“Aku tidak boleh terlalu memikirkan ini,” gumamnya dalam hati.

Di ruang kelas, Aisyah segera disambut oleh Delisha, sahabatnya yang selalu ceria. Wajah Delisha bersinar dengan senyuman lebarnya, seperti biasa, energinya seolah tak pernah habis. "Ais! Akhir pekan ini kita jadi kan ke mall?" tanyanya riang sambil menggoyang-goyangkan tangan Aisyah.

“Tentu saja. Aku sudah janji, kan?” Aisyah tersenyum, meski sedikit dipaksakan. Tatapan matanya sedikit melamun, tapi Delisha terlalu sibuk untuk memperhatikan.

Di sudut kelas, Gathan masuk dengan langkah malasnya, mengguncang rambut kusutnya yang seolah tidak pernah diurus. Dia tersenyum miring, menepuk meja Aisyah. “Hei, kalian udah nyusun rencana? Jangan lupa aku, ya!” ujarnya, lebih sebagai peringatan daripada permintaan.

Aisyah mendengus, menoleh ke Gathan. “Kamu yakin bakal bangun tepat waktu?”

Gathan tertawa kecil. “Kalau aku terlambat, kan kalian bisa belanja duluan.”

"Dia memang selalu begitu," pikir Aisyah, menahan senyuman. Meski tampak malas, Gathan selalu ada ketika mereka benar-benar membutuhkannya. Meski begitu, perasaan aneh di dadanya tak kunjung hilang.

Saat kelas mulai ramai, bel berbunyi, dan suasana seketika berubah menjadi lebih formal ketika Pak Ridwan, guru mereka, melangkah masuk dengan ekspresi serius. “Baik, kelas. Hari ini kita akan membahas topik yang mungkin sedikit di luar kebiasaan,” suaranya bergema di ruang yang mulai sunyi.

Aisyah duduk tegak, memperhatikan dengan seksama. Pak Ridwan memulai ceritanya tentang fenomena aneh yang terjadi di luar negeri. “Ada wabah misterius...,” ucapnya, suaranya melambat, “belum diketahui asalnya, tapi telah menyebar dengan cepat.”

Sejenak, seluruh kelas terdiam sebelum salah satu siswa di belakang tertawa kecil. “Ah, itu pasti cuma hoax, Pak. Media suka melebih-lebihkan,” katanya.

Beberapa siswa lainnya mulai ikut tertawa, menganggap itu tak lebih dari lelucon atau teori konspirasi. Namun, Aisyah tetap diam, matanya menyipit. "Apa benar hanya sekadar sensasi? Kenapa aku merasa... takut?" Ia merasakan ketidaknyamanan yang tumbuh di dalam dirinya, seakan-akan sesuatu yang besar dan gelap sedang mendekat, meskipun ia tak tahu apa itu.

Pak Ridwan melanjutkan, matanya tajam menatap kelas. “Mungkin kalian berpikir ini tidak penting. Tapi, kita tidak boleh meremehkan apa yang terjadi di dunia luar. Kita semua harus waspada.”

Aisyah menelan ludah, tatapannya beralih ke jendela, melihat langit yang cerah, kontras dengan kecemasan yang mulai tumbuh di dadanya. "Apakah aku satu-satunya yang merasa ini aneh?"

Delisha menyikutnya perlahan. “Ais, kamu kok serius banget? Itu cuma berita biasa, santai aja,” katanya sambil terkikik.

Tapi Aisyah tidak bisa menghilangkan firasat buruk itu. "Aku... tidak tahu, Del. Ini terasa aneh. Seperti... sesuatu akan terjadi," jawabnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri daripada untuk temannya.

Gathan, yang tadinya cuek, tiba-tiba menatap Aisyah lebih dalam dari biasanya. "Kamu mikirin apa?" tanyanya sambil mengernyitkan dahi. “Biasanya kamu nggak begini.”

Aisyah menggigit bibir bawahnya, merasakan detak jantungnya meningkat. "Mungkin cuma perasaanku," jawabnya, mencoba menenangkan diri, meskipun dalam hati ia tahu, ada yang tidak beres.

*******

Jasmine, gadis yang tenang dan artistik, duduk di meja kecil di kamarnya. Tangannya yang lentik lincah menggoreskan pensil di atas kertas, menciptakan dunia imajinasi penuh warna. Sketsa-sketsa bergelantungan di dinding, menghiasi ruangan yang dipenuhi cahaya matahari sore. Namun, meski ruangan itu hangat, ada kesunyian yang menyelimutinya. Jasmine menggigit bibirnya, matanya berkedip lambat seolah merenungkan sesuatu yang jauh di balik kertasnya. “Kenapa akhir-akhir ini aku merasa tidak nyaman?” pikirnya. Seperti ada sesuatu yang mendekat, tapi aku tak bisa melihatnya.

Di sisi lain, Abib berlatih keras di Dojo, gerakan pukulan dan tendangannya menghentak lantai kayu dengan presisi sempurna. Keringat membasahi dahinya, tapi matanya tetap fokus. Setiap pukulan terasa penuh amarah yang terpendam, meski wajahnya tenang.

“Abib, lebih cepat!” seru gurunya, suaranya menggema di ruangan yang kosong. Abib menggertakkan gigi, tangannya semakin cepat menghantam samsak, tapi pikirannya melayang.

"Apa ini perasaan aneh yang sama seperti yang kualami kemarin?" Dia melirik sekelilingnya dengan sudut mata, seolah ada sesuatu yang tak kasat mata mengawasi.

Sementara itu, Arka tenggelam dalam dunia digital. Duduk di depan komputer, dikelilingi berbagai perangkat elektronik, dia mengetik cepat, kode-kode berderet di layar monitor yang menyala. Jarinya bergerak seolah-olah tidak bisa berhenti, namun sesekali, ia berhenti, memasang wajah bingung. "Apa itu suara tadi?" pikirnya. Telinganya menangkap suara samar, seperti dengungan yang datang dari kejauhan, menghilang secepat datangnya. Arka memiringkan kepalanya, mendengarkan dengan saksama. "Mungkin cuma mesin pendingin ruangan…" Tapi firasat buruknya berkata lain, membuat bulu kuduknya meremang.

Waktu terus berjalan. Di kamarnya yang tenang, Jasmine masih fokus dengan gambarnya, tapi matanya sering melirik ke jendela. Suara ketukan samar terdengar dari luar, tapi ketika dia berdiri dan membuka tirai, tak ada apa pun di sana selain kegelapan yang semakin pekat. "Aneh, kenapa aku merasa seperti diawasi?" pikirnya, menelan ludah. Udara terasa lebih dingin dari biasanya, seolah-olah ada sesuatu yang mengintai di luar sana.

Di Dojo, Abib melompat dengan gerakan cepat, kakinya menghantam sasaran dengan keras. Namun di tengah latihan, dia berhenti tiba-tiba, tertegun. Pandangannya terpaku pada sudut ruangan yang gelap. “Ada apa, Abib?” tanya gurunya, keningnya berkerut melihat muridnya mendadak tegang. Abib menggeleng pelan, menarik napas panjang, tapi pikirannya berputar. "Ada yang tidak beres. Aku bisa merasakannya."

Arka, yang biasanya sibuk dengan dunia virtualnya, tiba-tiba tersentak ketika layar komputernya berkedip. Jaringan internetnya mati begitu saja. "Sial..." gumamnya. Dia menekan beberapa tombol, mencoba memperbaiki masalah. Namun, di tengah kesunyian malam, ada rasa gelisah yang mulai merayap di dadanya. "Kenapa semuanya terasa aneh malam ini?" pikirnya, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Mata Arka menatap kosong ke layar yang gelap, tapi pikirannya jauh, seolah ada sesuatu yang mengusik dari sudut-sudut gelap kamarnya.

Seiring malam semakin larut, suasana berubah drastis. Jasmine terbangun dari tidurnya, merasa ada sesuatu yang memanggilnya. Suara bisikan halus, hampir tidak terdengar, datang dari luar jendela. Dia mengintip ke luar, matanya menyipit berusaha menembus kegelapan. Tidak ada apa-apa, tapi bulu kuduknya berdiri. "Aku pasti cuma bermimpi…" Namun, ketika dia hendak kembali tidur, suara itu terdengar lagi, kali ini lebih jelas. Jantungnya berdebar kencang. "Apa itu benar-benar cuma imajinasiku?"

Di rumah Abib, kegelapan menyelimuti seketika saat listrik tiba-tiba padam. Dia baru saja tiba di rumah dari Dojo ketika semuanya menjadi gelap gulita. Jalanan di sekitar rumahnya yang biasanya riuh kini terasa sunyi, hampir mencekam. “Kok bisa mati lampu?” gumamnya, memicingkan mata ke arah jendela. Tidak ada cahaya dari rumah-rumah tetangga, hanya kegelapan pekat. "Ada yang aneh..." Abib merasakan keringat dingin mengalir di punggungnya.

Arka, masih di depan komputernya, menghela napas frustrasi. Jaringan internetnya tidak kunjung kembali. Dia memeriksa kabel-kabel dan router, semuanya baik-baik saja. "Ini nggak masuk akal," gerutunya, tapi saat dia mencoba memperbaiki, suara asing dari luar rumah menyentak perhatiannya. Suara samar, seperti langkah kaki di atas daun kering. Arka berhenti, napasnya tercekat. "Siapa di luar sana?"

Kota Jakarta, yang biasanya penuh hiruk-pikuk, perlahan tenggelam dalam keheningan yang aneh dan tidak nyaman. Tidak ada satu pun suara klakson atau teriakan orang. Hanya kesunyian yang meresap, semakin dalam, semakin pekat.

Episode 2

Di lapangan sekolah, bayangan Nizam dan Azzam tampak berkejaran, tubuh mereka bergerak lincah dalam kompetisi kecil yang sudah menjadi rutinitas. Kedua saudara kembar ini selalu berlomba, meski di balik persaingan itu, ikatan persaudaraan mereka sangat kuat. Keringat bercucuran di dahi mereka, napas mereka berat, tetapi senyum tak pernah lepas dari wajah mereka saat menantang satu sama lain.

"Kau pasti akan kalah kali ini, Zam," kata Nizam dengan suara menggoda, rambutnya yang basah oleh keringat ia sapu ke belakang.

Azzam hanya terkekeh pelan sambil menepuk bahu Nizam. "Mimpi terus, Nim. Aku selalu menang dalam hal ini."

Sementara itu, Nafisah, kakak perempuan mereka, melangkah melewati lapangan menuju kantin. Langkahnya tenang, tatapannya tajam, mencerminkan kepercayaan diri yang membuat banyak orang segan. Di kelas, dia dikenal karena kecerdasannya. Tapi yang membuatnya menonjol adalah kepekaannya terhadap isu-isu di luar yang jarang diperhatikan orang.

Di kantin, Nizam dan Azzam masih bercanda, membicarakan pertandingan basket minggu depan. Tangan mereka bergerak cepat meraih burger, sesekali saling dorong sambil tertawa.

"Kali ini aku yang jadi kapten," Nizam menyeringai, mengangkat alisnya pada Azzam.

"Ah, mimpi saja," Azzam balas sambil menelan makanannya.

Nafisah datang dan duduk di sebelah mereka, wajahnya serius. "Kalian nggak ngerasa ada yang aneh belakangan ini?" tanyanya, suaranya lebih pelan dari biasanya.

Nizam mengangkat bahu, sambil tetap fokus pada makanannya. "Kak, kamu terlalu banyak mikir. Ini cuma rutinitas sekolah. Biasa saja."

Azzam ikut tertawa kecil, "Iya, Kak. Kau baca terlalu banyak artikel konspirasi lagi?"

Nafisah menggelengkan kepala, wajahnya tetap serius. "Bukan cuma soal itu. Di beberapa negara, ada wabah misterius yang muncul tiba-tiba. Dan anehnya, media di sini nggak banyak ngomong soal itu. Aku rasa ada sesuatu yang mereka sembunyikan."

Nizam akhirnya meletakkan sendoknya, menatap Nafisah, "Kak, kamu benar-benar serius soal ini?"

"Aku serius," Nafisah mengangguk, matanya menatap tajam. "Apa kalian nggak merasa ada yang berbeda? Listrik mati di beberapa tempat tanpa sebab. Jalanan lebih sepi. Sesuatu memang terasa aneh."

Azzam yang biasanya pendiam, akhirnya menimpali dengan wajah yang agak tegang. "Ibu juga bilang hal yang sama. Beberapa rumah di sekitar kita listriknya mati tiba-tiba. Ini bukan kebetulan."

Mereka saling berpandangan sejenak, seolah semua tawa dan candaan hilang begitu saja. Ada perasaan gelisah yang tiba-tiba merambat di antara mereka.

Malam tiba dengan sunyi yang aneh. Biasanya, suara kendaraan dan hiruk pikuk kota Jakarta tak pernah berhenti, tapi malam ini, Nafisah merasa seolah-olah kota itu meredup. Nafisah duduk di depan laptopnya, menelusuri berita-berita yang membuatnya semakin curiga. Tangannya bergerak cepat di atas keyboard, membuka laporan-laporan tentang ledakan misterius di kota sebelah.

“Apa yang sebenarnya terjadi?” pikir Nafisah dalam hati. Artikel yang baru saja dibacanya tiba-tiba hilang dari internet. Nafisah mengerutkan kening, merasakan jantungnya berdegup lebih cepat.

"Ditarik? Kenapa secepat itu?" gumamnya, rasa waswas mulai menjalari pikirannya. Nafisah menyandarkan punggungnya di kursi, menggigit bibir bawahnya sambil merenung.

Dia beranjak keluar dari kamarnya untuk memberi tahu saudara-saudaranya. Langkahnya pelan, penuh kehati-hatian. Namun saat sampai di ruang tamu, Nafisah melihat sesuatu yang membuat darahnya berdesir.

Jalanan di luar rumah tampak lebih gelap dari biasanya. Nafisah berjalan mendekati jendela, menatap ke luar. Tidak ada suara kendaraan, bahkan tidak ada hembusan angin. Semuanya hening. "Tidak biasanya sesepi ini," pikirnya, alisnya berkerut. Napasnya tertahan sejenak, jantungnya berdebar lebih kencang. Nafisah merasakan bulu kuduknya berdiri, ada sesuatu yang tidak beres.

Sementara itu, di kamarnya, Nizam yang sedang berbaring di tempat tidur, merasakan hal serupa. Dia melihat ke luar jendela dari balik tirai, dan berkata pada dirinya sendiri, "Kenapa semuanya terasa begitu... kosong?" Wajahnya tampak bingung, alisnya bertaut, namun ia tidak bisa mengabaikan perasaan gelisah yang semakin kuat.

Azzam, yang tengah menonton TV, juga mulai merasa aneh. Dia mengerutkan dahi ketika lampu di ruang tamu berkedip beberapa kali. "Ada apa ini?" pikirnya.

Malam yang biasanya hanya rutinitas biasa berubah menjadi sesuatu yang penuh ketidakpastian. Nafisah termenung di depan jendela, pandangannya menembus kegelapan.

“Ini baru permulaan,” bisiknya pada dirinya sendiri, penuh dengan firasat buruk.

****

Malam itu, angin malam yang dingin berhembus pelan di sepanjang jalan kota yang biasanya ramai. Lampu-lampu jalan yang suram memberikan kilauan redup, mempertegas keheningan yang tidak biasa. Biasanya, pusat kota penuh dengan keramaian, suara kendaraan berlalu lalang, dan tawa orang-orang yang berseliweran. Namun malam ini berbeda. Terasa ada sesuatu yang tidak beres, seolah kota itu perlahan-lahan ditinggalkan oleh penghuninya.

Queensha berjalan di depan dengan langkah cepat dan percaya diri, jaket denim birunya melambai terkena hembusan angin. Di belakangnya, Seno, dengan kaos oblong dan topi terbalik, masih mencoba mencairkan suasana. Sementara Masagena, yang selalu terlihat lebih pendiam, melangkah pelan di belakang mereka, matanya tajam mengamati setiap sudut jalan yang mereka lewati. Ada sesuatu yang tidak bisa dia abaikan, sesuatu yang tidak sesuai.

“Kalian sadar nggak sih? Kok sepi banget ya malam ini?” Masagena akhirnya angkat suara, nadanya datar namun sarat dengan ketidaknyamanan. Dia berhenti sejenak, memperhatikan sekeliling.

Queensha menoleh dengan cemberut. "Mungkin cuma kebetulan. Lagi pula, siapa juga yang mau jalan-jalan malam-malam begini, kan?" Dia tertawa kecil, berusaha menyembunyikan perasaan aneh yang mulai merayap di dalam dirinya. Namun, gerak tangannya yang mulai gelisah tidak luput dari pandangan Seno.

Seno tertawa, seperti biasa. “Atau mungkin mereka takut ketemu kita? Hantu-hantu jalanan!” candanya, mencoba menghidupkan suasana. Tapi, tidak seperti biasanya, tawa yang keluar darinya terasa hambar, seperti dia memaksakan diri untuk bersikap ceria. Dia menggaruk kepala, meski tidak gatal, tanda bahwa dia juga merasa canggung dengan situasi ini.

Masagena mengerutkan dahi, "Kalian nggak merasa aneh? Toko-toko tutup lebih awal, dan... ada bau itu." Ia mengendus udara dengan cermat, keningnya berkerut dalam. "Kalian nggak cium sesuatu?"

Queensha berhenti mendadak, mengerutkan hidung. "Bau busuk...?" gumamnya, menengadah sedikit, mencoba mengenali aroma tak sedap yang tiba-tiba terasa di udara. “Ini... bukan cuma bau got, kan?”

“Zombie kali, baru bangun dari kubur!” Seno tertawa lagi, kali ini lebih pelan. Tapi matanya, biasanya cerah dan bersinar, kini menampakkan kecemasan samar. Ia juga mencium bau aneh itu. "Nggak, ini bukan zombie. Tapi apa ya?" pikir Seno dalam hati.

Mereka terus melangkah, tapi suasana semakin tegang. Di kejauhan, sebuah toko yang biasanya buka 24 jam, kini gelap gulita. Jendela-jendela toko ditutup rapat seolah-olah kota sedang menghadapi sesuatu yang besar. Queensha merasa ada yang menekan dadanya semakin kuat, tetapi ia tidak ingin menunjukkan kekhawatirannya. Matanya memandang jauh ke depan, meskipun pikirannya melayang ke berbagai skenario buruk.

"Eh, kalian denger nggak?" tiba-tiba Masagena menahan napas, mendengar sesuatu yang samar. Ia berhenti, dan dengan cepat, Queensha dan Seno ikut berhenti. Di kejauhan, terdengar suara gemuruh rendah, seperti bumi bergetar. Semakin lama, suara itu semakin jelas, membuat dada mereka berdebar cepat.

“Itu... bukan suara kereta, kan?” Seno berbicara lirih, tidak ada tanda canda di suaranya kali ini. Napasnya memburu, dan ia merapatkan jaketnya lebih erat, meskipun udara tidak begitu dingin.

Queensha mencoba tetap tenang, tapi dia bisa merasakan detak jantungnya memacu dengan cepat. "Apa ini? Kenapa rasanya seperti... kita diawasi?" pikirnya. “Ayo, kita pulang. Cepat.” suaranya terdengar lebih mendesak daripada yang dia maksudkan. Dia melangkah maju dengan tergesa, tetapi matanya terus menoleh ke arah suara gemuruh itu.

Gemuruh semakin keras, semakin mendekat. Masagena, yang paling tenang di antara mereka, merasakan desiran dingin di punggungnya. “Cepat!” serunya, kali ini nadanya penuh ketakutan yang tak biasa.

Tanpa banyak bicara lagi, ketiganya mulai berlari, napas mereka terengah-engah, kaki mereka menghantam aspal jalanan yang dingin dengan kecepatan yang semakin meningkat. Di belakang mereka, suara gemuruh itu terus mengejar, menggema di udara malam yang kosong.

Seno, yang biasanya paling ceria, kini pucat, keringat dingin mengalir di pelipisnya. "Ini nggak mungkin. Apa yang sebenarnya terjadi?" pikirnya. Queensha di depannya terus mempercepat langkah, tubuhnya menegang, "Aku harus bawa mereka keluar dari sini. Harus." pikirnya, napasnya memburu.

Masagena, di belakang mereka, tiba-tiba berhenti dan menoleh ke belakang. Matanya membesar, mulutnya terbuka, "Tunggu! Itu... apa?" suaranya tercekat, wajahnya diliputi kengerian.

Episode 3

Jakarta yang biasanya hidup dengan deru kendaraan dan gemerlap lampu, malam itu terasa seperti kota yang ditinggalkan. Angin menderu kencang, membuat pepohonan di sepanjang jalan bergoyang liar, dan jendela-jendela bergetar seperti akan pecah. Di seluruh kota, listrik berkedip-kedip, mengirimkan rasa cemas ke setiap sudut. Langit yang seharusnya diterangi oleh lampu-lampu kota kini tampak seperti tirai hitam tanpa bintang, menyembunyikan rahasia kelam di baliknya.

Di kamarnya yang berantakan dengan buku-buku pelajaran berserakan, Aisyah merasa ada yang tidak beres. Cahaya lampu yang terus berkedip-kedip memantul di dinding kamarnya, menciptakan bayangan-bayangan aneh. Dia berdiri dari kursi belajarnya, tubuhnya tegang, lalu melangkah ke jendela. Tangannya yang berkeringat menggenggam erat tirai saat dia mengintip keluar.

“Kenapa jalanan kosong begini?” pikirnya, dada berdebar tak keruan. Jalan yang biasanya ramai kendaraan kini tampak sunyi, hanya diterangi lampu jalan yang berkedip seakan akan mati. Di kejauhan, dia mendengar suara gemuruh aneh, dan jantungnya semakin berdegup kencang.

Dia meraih ponsel dan mencoba menelepon Delisha, namun sinyal hilang. “Apa yang terjadi dengan malam ini?” gumamnya, rasa takut mulai menjalari pikirannya.

Delisha duduk di tempat tidurnya, lututnya ditekuk dekat ke dada, memeluk bantal sambil menggigit bibir. Poster-poster warna-warni di dinding kamar yang biasanya menghiburnya kini terasa tidak relevan, seolah-olah mereka hanya hiasan dari dunia yang jauh berbeda. Layar ponselnya redup di tangan, menunjukkan pesan panggilan yang gagal.

“Kenapa nggak bisa terhubung?” Delisha bertanya pada dirinya sendiri, mencoba mengusir rasa cemas yang mulai menjalari seluruh tubuhnya. Suara gemuruh samar terdengar dari luar, membuatnya menoleh tajam ke jendela. Matanya melebar, detak jantungnya berderap lebih kencang.

"Apa itu?!" pikirnya panik. Tangan kanannya tanpa sadar meremas selimut, mencoba menenangkan dirinya. Tapi, seberapa keras pun dia memeluk selimut itu, rasa dingin di udara terasa menyusup ke dalam hatinya.

Sementara itu, Gathan yang biasanya tenang dan santai berdiri di depan jendelanya. Tubuh tegapnya terlihat tegang, dan otot-otot di rahangnya mengencang saat dia mendengar suara gemuruh yang makin keras.

"Ini bukan suara biasa," bisiknya, menatap jauh ke dalam kegelapan di luar. Tangannya menggesek kaca jendela, meninggalkan jejak panas dari kulitnya yang terasa dingin.

“Ada apa di luar sana?” gumamnya dalam hati, cemas namun berusaha menutupi ketakutannya. Namun, ada sesuatu di dalam dirinya yang menolak untuk memercayai bahwa ini hanya gangguan kecil.

Di ruangannya yang dipenuhi lukisan-lukisan indah, Jasmine berdiri terpaku di tengah. Setiap kuas dan cat yang biasanya memberinya ketenangan, kini terasa seperti benda asing. Matanya tertuju pada jendela di sudut, tubuhnya menegang mendengar suara gemuruh dari kejauhan. Cahaya dari lampu yang berkedip membentuk bayangan-bayangan seram pada lukisannya, membuat suasana semakin mencekam.

“Apa yang sebenarnya terjadi?” pikir Jasmine, perutnya terasa kecut.

Dia menggigit bibirnya, langkahnya perlahan mendekati jendela. Jari-jarinya yang gemetar menyentuh kaca.

“Kenapa malam ini terasa seperti akhir dunia?” pertanyaan itu terus bergema di pikirannya.

Di dojo yang biasanya tenang, Abib berdiri di tengah, tangannya terkepal di sisi tubuhnya. Keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya. Gemuruh dari luar semakin keras, mengusik konsentrasinya. Matanya menyipit, mencoba mencari asal suara, tapi hanya ada kegelapan yang mencekam.

“Terlalu sunyi. Terlalu aneh,” pikirnya. Dia merasa seluruh tubuhnya bersiaga, seperti menunggu sesuatu yang besar dan menakutkan datang.

“Aku harus keluar dan mencari tahu,” ucap Abib pada dirinya sendiri, berusaha menenangkan degup jantung yang semakin kencang.

Arka memandang tak percaya ke layar komputernya yang mati mendadak. Tangannya gemetar saat mencoba menekan tombol daya berulang kali, namun sia-sia. "Apa-apaan ini?" geramnya pelan, frustrasi.

Dia melirik ke luar jendela, merasakan hawa dingin merayap dari celah kaca yang sedikit terbuka. Angin malam berhembus masuk, membawa perasaan tidak nyaman yang membuat bulu kuduknya berdiri. Suara gemuruh yang kini terdengar jelas membuatnya waspada. "Ini tidak mungkin suara biasa..." pikirnya.

Di kamarnya, Nafisah duduk di depan laptop yang tiba-tiba berhenti menayangkan berita. Tangannya yang kecil memegang erat pinggiran meja, dan detak jantungnya semakin cepat saat listrik kembali berkedip-kedip.

“Ada yang salah... ada yang tidak wajar,” pikirnya, menatap gelap di luar. Nafisah menahan napas, rasa cemas semakin menghantui saat angin malam yang dingin menerobos melalui celah pintu, membuat kulitnya merinding.

Nizam dan Azzam, yang biasanya riang, kini diam di kamar mereka. Mereka berdua merasakan ketegangan yang tidak biasa, sementara angin malam berdesir di luar, membuat tirai kamar mereka berkibar. Mereka saling bertukar pandang, bingung dengan apa yang terjadi.

Queensha duduk di kamar dengan mata yang masih menatap kosong ke arah jendela. Suara gemuruh yang mereka dengar di luar saat perjalanan pulang masih terasa menggema di telinganya. Dia meremas kedua tangannya, mencoba mengendalikan rasa takut yang mulai menguasai dirinya. “Apa suara itu? Kenapa semakin mendekat?” pikirnya dalam diam, napasnya tersengal.

Seno, di rumahnya, biasanya selalu ceria, kini terdiam di sofa. "Ini pasti mimpi buruk," gumamnya pelan, berusaha menertawakan ketakutannya sendiri. Namun, tubuhnya gemetar, dan tangan kanannya terus menggenggam erat sandaran kursi.

Masagena di rumahnya, berdiri di depan pintu, merasakan instingnya memperingatkan bahaya. "Apakah ini pertanda sesuatu yang lebih besar?" pikirnya sambil menatap tajam ke kegelapan di luar.

Pada tengah malam, suara gemuruh semakin keras, mengguncang seluruh kota. Angin yang tadinya hanya berhembus kencang, kini berputar liar seperti badai kecil. Kedua belas remaja di rumah masing-masing merasakan sesuatu yang sama, gemuruh itu bukan suara mesin, melainkan sesuatu yang lebih besar, lebih menakutkan. Seluruh Jakarta terasa seolah-olah sedang bersiap untuk sesuatu yang tidak diketahui.

Aisyah menggenggam gagang jendela lebih erat, matanya melebar saat suara itu semakin mendekat. "Apa itu?!"

Delisha menutupi telinganya dengan kedua tangan, gemetaran di tempat tidur. "Tolong, hentikan suara itu..."

Gathan mengepalkan tangan, menatap dengan mata penuh ketegangan ke arah jalan. Jasmine menyentuh kaca jendela, merasa gemuruh itu mengguncang seluruh kota. Abib bergerak cepat, mengambil langkah keluar dojo, siap menghadapi apa pun yang datang.

******

Malam yang sunyi dan mencekam tiba-tiba dipecahkan oleh suara gemuruh rendah yang terdengar dari kejauhan, seperti guntur yang menggulung di bawah tanah. Suara itu semakin lama semakin keras, seperti sesuatu yang mendekat dengan cepat. Para remaja di berbagai sudut kota Jakarta terbangun dari tidur mereka. Kebingungan dan waspada, mereka merasa ada yang tidak beres.

Aisyah, yang sejak beberapa hari terakhir sudah merasakan kecemasan yang tak terjelaskan, langsung bangkit dari tempat tidurnya. Tangannya bergetar saat meraih ponselnya. "Delisha harus tahu tentang ini," pikirnya panik. Dia menekan nomor Delisha dengan cepat. Setelah beberapa kali percobaan, akhirnya panggilan tersambung.

“Aisyah?” Suara Delisha terdengar serak di seberang, jelas belum sepenuhnya sadar dari tidurnya. “Kenapa kamu nelpon jam segini?”

Aisyah menatap ke jendela, napasnya terputus-putus. “Delisha... kamu dengar suara itu?”

Ada jeda beberapa detik sebelum Delisha menjawab, kali ini dengan nada yang lebih serius. “Iya... Aku dengar. Awalnya kupikir itu cuma angin, tapi sekarang... semakin keras.”

Delisha, yang biasanya ceria dan selalu menghadapi segalanya dengan santai, kali ini tidak bisa menyembunyikan kegelisahannya. Dia merapatkan selimut ke tubuhnya, matanya menatap gelisah ke arah pintu kamar. Suara gemuruh yang tadinya samar kini seakan membayangi, membuat suasana di sekitarnya semakin mencekam.

"Menurutmu itu apa?" tanya Delisha, kali ini suaranya terdengar lebih pelan. Di dalam hatinya, dia sudah tahu ada sesuatu yang salah.

Tiba-tiba, tanpa peringatan, sambungan telepon terputus. "Delisha?" Aisyah menatap layar ponselnya yang kini hanya menampilkan tulisan "No Signal". "Tidak mungkin..." pikirnya, rasa panik mulai merayap di benaknya.

Seakan tidak cukup menakutkan, listrik di rumah Aisyah tiba-tiba padam. Semua lampu, komputer, dan peralatan elektronik lainnya berhenti bekerja seketika, meninggalkan rumahnya dalam kegelapan total. Hanya suara gemuruh yang terus berlanjut, semakin menekan.

Aisyah perlahan berjalan menuju jendela, membuka tirai dengan tangan yang bergetar. Di luar, jalanan yang biasanya penuh dengan cahaya kendaraan dan lampu jalanan, kini hanya menyisakan kegelapan pekat. Udara malam yang dingin menyelusup masuk dari celah jendela, membawa serta suara angin yang mendesir. Namun, kali ini, angin itu terasa aneh, seperti membawa firasat buruk.

“Kenapa semua ini terjadi?” pikir Aisyah, matanya menatap lurus ke jalan kosong yang diselimuti bayangan. Bayangan-bayangan samar terlihat bergerak di kejauhan. Apakah itu orang-orang? Atau hanya imajinasinya yang dipermainkan oleh ketakutan? Dia tidak bisa memastikan.

Di sisi lain kota, Delisha mencoba menenangkan dirinya, tapi jantungnya terus berpacu. Dia mencoba menyalakan lampu meja, tetapi sakelar tidak berfungsi. “Kenapa mati lampu sekarang?” gumamnya, rasa cemas semakin menghantui pikirannya. Saat dia hendak berjalan ke luar kamar untuk memeriksa, lantai kamar bergetar pelan. Seakan ada sesuatu yang besar dan berat sedang mendekat dari bawah tanah.

"Ini bukan gempa... apa yang sedang terjadi? Apa aku sedang bermimpi?"

Di rumahnya, Aisyah mendengar suara keras dari luar, dentuman yang membuat kaca jendelanya bergetar. Suara itu tidak terdengar seperti apa pun yang pernah dia dengar sebelumnya. Panik, dia melompat mundur dari jendela, kakinya nyaris tersandung kursi di belakangnya.

Dengan napas terengah, Aisyah melangkah cepat ke sudut kamar, punggungnya bersandar pada dinding yang dingin. "Apa yang terjadi di luar sana?" pikirnya, rasa takut menjalari tubuhnya. Ia ingin berlari keluar dan melihat, tapi seluruh tubuhnya menolak bergerak. Rasa takut membekukan tubuhnya. Suara dentuman itu terasa semakin dekat, dan gemuruh di kejauhan semakin jelas terdengar.

Sementara itu, di rumah Delisha, angin tiba-tiba berhembus kencang dari luar jendela yang sedikit terbuka, membuat tirai-tirainya berkibar liar. “Apa-apaan ini?” Delisha tertegun, perasaan tidak nyaman menjalar di tubuhnya. Dia mendekat ke jendela dan memperhatikan sekitar, namun yang terlihat hanya kegelapan dan jalan kosong. Seketika, suara gemuruh menggelegar lebih keras, membuat dinding kamar bergetar. Delisha tersentak, "Aisyah... di mana kamu?"

Suasana kota Jakarta yang biasanya hidup kini terasa seperti kuburan sunyi, dan perasaan ketakutan itu terus merayap, semakin nyata, semakin menekan. Bahaya apa yang sedang mendekat? Dan lebih penting lagi, apakah mereka siap menghadapinya?

Suara gemuruh yang mendekat menandai ancaman yang tidak terelakkan, membawa kengerian yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!