Shima mengepalkan tangannya kuat-kuat, saat melihat Deril menghalangi langkahnya, di koridor rumah sakit besar di Surala.
Hari itu cuaca sedang panas-panasnya dan Shima baru saja mendapatkan hasil laboratorium pemeriksaan kesehatannya. Dia telah melakukan konoskopi seminggu yang lalu, dan baru hari ini dia bisa melihat hasil biopsi-nya di ruangan Dokter Regan.
Dia hendak menuju ruangan Dokter Regan, saat berpapasan dengan Deril. Suaminya itu bersikap kekanak-kanakan setelah lama tidak bertemu. Mereka memang sudah tidak lagi tinggal dalam satu rumah selama satu tahun. Namun, bukan berarti laki-laki itu berhenti mengganggu.
“Deril, jangan menghalangi jalan orang, minggir!” kata Shima dengan tegas, sikapnya berubah sedikit acuh. Dia begitu bukan secara instan tapi, karena terlalu lama menyimpan sakit hati yang teramat dalam.
Deril menatap Shima dari ujung kaki sampai ujung rambut sekilas, setelah itu dia memalingkan muka dan menyeringai, sangat meremehkan.
“Apa yang kamu lakukan di sini?” katanya.
“Bukan urusanmu!” sahut Shima seraya mendorong tubuh Deril dari hadapannya.
“Apa ayahmu masih belum mati?”
Shima mendongak untuk menatap wajah Deril yang cuek dan datar, seolah ucapannya barusan tidak menyakiti siapa pun. Dia mengatakan kematian Wisra Panjala – ayah Shima, seolah mengomentari rasa masakan di meja makan.
Naif.
Hati Shima masih terluka karena perbuatan Deril dua tahun yang lalu, dan sekarang luka yang masih basah itu kembali disayat dengan sembilu. Perih, tapi yang mengalir dari luka itu bukanlah darah, melainkan air mata dan hampir setiap malam selalu berderai di pipinya.
“Kenapa memangnya, apa kamu kecewa? Sayangnya Ayah masih hidup, kamu benar-benar gak tahu malu ngomong seperti itu!” ujar Shima kesal.
Dia heran melihat suaminya itu berdiri di hadapannya. Padahal, sesaat yang lalu dia melihat Deril berjalan, dengan menggandeng tangan Karina – wanita yang selama ini dimanjakan melebihi pasangannya sendiri.
Deril tidak malu lagi, menunjukkan kedekatannya dengan wanita yang bukan istrinya itu, di depan umum.
Berbeda dengan kelakuan mereka dua tahun yang lalu, jika Deril ingin bersama dengan Karina, masih sembunyi-sembunyi dari Shima. Namun, sekarang sepertinya mereka sudah lebih berani.
Sebenarnya, Shima sudah mengajukan surat cerai, dengan maksud memberikan kebebasan pada sang suami kalau mau menikah lagi. Biar tidak perlu lagi menutupi hubungan terlarang itu. Namun, Deril membakar suratnya.
“Kamu juga gak malu punya Ayah seperti Wisra!”
“Deril, sudah berapa kali aku bilang kalau kamu salah menilai Ayahku! Dia bukan orang seperti yang kamu tuduhkan itu, Ayahku orang yang bersih!”
“Percaya diri sekali kamu!”
Shima menyunggingkan senyum tipis, percuma menjelaskan kebenaran pada orang yang tidak membutuhkannya.
Dia berjalan melewati Deril, sambil berkata, “Kalau begitu, tandatangani surat cerainya, agar kamu bebas dari orang seperti aku dan ayahku!”
Shimawinara, seorang wanita berparas ayu yang biasa dipanggil Shima, pergi ke rumah sakit itu untuk mengambil hasil tes kesehatannya. Sementara, Deril datang untuk menemani Karina, memeriksakan anaknya.
Langkah Shima sudah dekat dengan ruangan Dokter Regan, di mana dia akan konsultasi tentang penyakitnya. Namun, dia melihat adegan mesra antara Deril dan Karina – adegan yang seharusnya tidak dilihatnya.
Karina mendorong kereta bayi dengan lembut, sementara Deril merangkul bahunya. Mereka saling menatap penuh arti dan berbincang tentang kesehatan si bayi, sambil melangkah pergi.
Dalam hati Shima bertekad hari itu juga harus berhasil mendapatkan tanda tangan Deril pada, surat cerai mereka. Dia, ingin segera memutuskan hubungan pernikahan dengan suaminya.
Semut pun akan menggigit kalau terus menerus diganggu bukan? Dia sudah muak diabaikan oleh Deril selama dua tahun dan melihat pemandangan yang menyakitkan tadi, perasaannya menjadi lebih sakit lagi.
Dahulu, Shima sangat mencintai Deril, tapi telah berubah benci. Sekarang dia tidak memiliki perasaan yang sama seperti dulu lagi. Perbedaan antara cinta dan benci itu ternyata tipis sekali.
Sebelum berbelok, Deril menatap ke belakang dengan tajam, sambil memasukkan dua tangan ke saku celana. Dia terlihat angkuh dan melirik ke satu arah sekilas, tidak jelas apakah dia melihat Shima atau tidak. Pada akhirnya pria itu memasuki ruang spesialis anak.
Shima dan semua keluarganya tahu bahwa,Karina adalah kakak ipar mereka. Suami Karina, Ganiarta, meninggal dunia dalam sebuah kejadian, dua tahun yang lalu. Saat itu Karina tengah hamil muda. Deril menjadi sangat perhatian padanya.
Terlebih lagi, menurut cerita orang, Deril dan Karina juga teman sekolah. Jadi, wajar sekali kalau sekarang mereka begitu akrab.
Anak yang bersama mereka, adalah benih Ganiarta yang lahir bertepatan dengan keguguran yang dialami Shima. Sekarang usianya bayi itu sudah hampir satu tahun. Kalau saja Shima tidak keguguran, maka sekarang dia sudah punya anak juga.
Saat melihat Karina dan bayinya, hati Shima seperti direnggut dari tempatnya secara paksa, sakit sekali rasanya. Seperti ada ribuan duri yang menghunjam di dadanya. Sementara dirinya berada di pinggir jurang yang menganga.
Sejak hidup terpisah dari Deril, Shima selalu berusaha untuk melupakan kejadian setahun yang lalu, dan memaafkan suaminya. Namun, hasilnya tetap saja nihil. Hatinya masih diselimuti rasa benci dan sedih.
Deril sudah bersalah! Laki-laki itu menuduh Ayah Shima yang sedang koma sembarangan. Lalu, berselingkuh dengan kakak iparnya. Deril juga tidak segera menolongnya, saat dia jatuh hingga menyebabkan keguguran.
Kesalahan Deril di mata Shima sangat besar dan sekarang nama Deril akan segara menjadi masa lalunya.
Meskipun melupakan masa lalu tidak semudah melupakan PR di sekolah, tapi dia sudah menghapus sedikit demi sedikit wajah Deril di dinding hatinya.
Semakin besar usaha seseorang melupakan masa lalunya, maka akan semakin tersiksa dan selama setahun ini dia sudah merasakannya.
Shima akhirnya bisa masuk ke ruangan Dokter Regan setelah perasaannya tenang. Pria itu teman sekolah Shima yang telah sukses meraih masa depannya dengan gemilang. Walaupun, Regan pernah menyatakan perasaan cinta pada Shima, tapi sekarang terasa biasa saja.
“Bagaimana hasil pemeriksaanku, Dokter?” kata Shima, begitu duduk di hadapan Regan.
“Shima, ini gak bagus sama sekali, dari hasil biopsi ini, kamu punya kanker usus stadium tiga, itu artinya kamu harus dirawat dan operasi!” jawab Regan, sambil menyodorkan sebuah map berwarna biru di atas meja.
“Shima! Kamu harus opname beberapa hari untuk observasi dan perawatan kesehatan, biar bisa sembuh!” katanya lagi.
Sudah sejak kemarin hasil biopsi itu berada di tangannya. Itu pun karena dia berhasil memaksa Shina melakukan pemeriksaan secara menyeluruh pada tubuhnya.
Awalnya Regan khawatir dan curiga dengan kesehatan Shima. Daya tahan tubuh gadis itu sangat jelek, beberapa kali sudah dia tiba-tiba pingsan di hadapannya.
Kebetulan saja Regan ada di dekatnya, saat mereka sedang berada di ruang ICU, untuk melihat Wisra yang masih dalam keadaan koma.
Shima tertegun menatap Regan dan map di atas meja, dia nyaris tak percaya. Dia tidak menyangka penyakit seperti itu bisa hinggap di tubuhnya.
Dahulu, dia pernah punya keinginan kuliah di jurusan kedokteran. Semangatnya sangat tinggi ingin menangani penyakit-penyakit mematikan seperti ini. Namun, sekarang dia yang ternyata merasakannya sendiri.
Ironis.
“Regan, apa ini hukuman untukku?!” katanya tanpa ekspresi. Tangannya di bawah meja tengah memilin ujung jilbabnya. Hatinya sedikit gelisah, tapi tidak menunjukkannya sama sekali.
Ayahnya koma karena karena peristiwa kebakaran di pabrik, sejak setahun yang lalu. Masa iya, dia harus di rawat juga di tempat yang sama.
Itu sepertinya sangat ... tidak mungkin. Biayanya akan sangat besar.
“Kamu ini bicara apa? Jangan seperti orang yang gak ngerti soal agama saja, Tuhan tidak akan menghukum mu dengan cara begitu!” kata Regan, seraya menatap Shima penuh harapan di wajahnya yang tampan.
Sementara Shima berwajah murung, kepalanya yang dibalut kerudung putih itu menggeleng beberapa kali dan matanya berair. Kulit putihnya memucat. Hidungnya yang kecil menghirup napas dalam-dalam, lalu bibir tipisnya tersenyum masam.
“Aku gak usah dirawat juga gak apa-apa, biar aku bisa ketemu anakku di surga!” katanya.
Bersambung.
Halo para pembaca yang Budiman! Ini karya terbaruku yang merupakan pengembangan dari salah satu cerpen yang pernah aku buat. Semoga kalian suka dengan ceritanya dan jangan lupa dukungannya ya? 😊🙏
Terima kasih telah membaca!
“Aku gak usah dirawat juga gak apa-apa, buar aku bisa ketemu anakku di surga!” katanya.
Sejak terjatuh di tangga setahun yang lalu, hingga terpaksa kehilangan bayinya, Shima tidak lagi merasakan semangat dalam menjalani hidupnya. Semangatnya seolah mati padahal dia masih muda.
Tanggapan dingin Shima membuat Regan memalingkan muka untuk menyembunyikan rasa prihatinnya. Temannya itu terlihat bagai raga tanpa nyawa. Jelas sekali dia enggan hidup, tapi mati pun belum waktunya.
Dahulu, Shima dikenal sebagai anak yang ramah dan ceria, pintar, cantik dan juga kaya. Banyak teman laki-laki di sekolah menyukainya. Namun, sekarang dia berubah drastis setelah empat tahun menjalani pernikahannya.
Regan hanya tahu Shima sudah menikah, tapi dia tidak tahu siapa orang yang menjadi suaminya itu. Selama beberapa tahun kabar yang dia dengar tentang Shima, selalu tidak jelas. Di mana keberadaannya, dan bagaimana kehidupannya seolah menjadi misteri.
Namun, terakhir kali dia mulai mengerti mengapa Shima melakukan pernikahan secara diam-diam. Itu karena dia menikah dengan seorang pria, yang tidak bisa sembarangan disebut namanya begitu saja.
Para bangsawan dan para orang kaya itu kebanyakan menyembunyikan pernikahan mereka. Bahkan, banyak yang merahasiakan istrinya di hadapan publik. Semua terkait dengan keamanan dan juga privasi.
Dia sekarang sudah resmi menjadi seorang dokter spesialis penyakit dalam, dan tahu tentang pernikahan dan, siapa suami Shima, tapi tidak mengatakan apa-apa.
“Shima, pikirkan lagi kesehatanmu, Pak Wisra masih membutuhkanmu! Bagaimana kalau sakit kamu tambah parah?” katanya, masih berusaha membujuk Shima.
“Apa yang akan terjadi kalau aku gak mau di rawat?” tanya Shima lagi sambil melihat-lihat hasil biopsi organ pencernaan di tangannya.
“Jangan bertanya begitu, kamu harus di rawat, gak ada pilihan lain! Kamu harus operasi dan aku akan mengatur jadwalnya untukmu,” kata Regan bersikeras, dia tidak ingin Shima mendapatkan masalah lebih besar. Dia belum pantas untuk meninggal dunia sekarang juga.
Mereka baru bertemu kembali setahun yang lalu, saat Shima mengalami keguguran dan dirawat selama beberapa di sana. Regan tidak mau kalau harus berpisah lagi karena kematian. Dia tidak akan membiarkan hal itu terjadi, mereka adalah teman. Selama masih bisa berusaha, maka Shima harus tetap hidup untuk waktu yang lebih lama.
“Aku bisa bertahan berapa lama kalau aku gak operasi?” Sima mengulang pertanyaannya.
“Paling cepat lima bulan, paling lama satu tahun! Jadi, rawat dirimu mulai besok di sini, agar aku bisa memantau kesehatanmu! Kalau kamu operasi dan kemoterapi, kamu bisa bertahan selama lima tahun lebih atau bisa benar-benar sembuh!”
“Dokter, kita ini manusia, bukan Tuhan! Apalagi kita punya agama, jadi kamu atau siapa pun itu, gak bisa memprediksi umur orang!”
“Aku tahu, ini hanya perkiraan saja berdasarkan penelitian sebelumnya, semuanya sangat ilmiah ... Shima, kita bisa lihat penyebarannya selama beberapa hari, makanya, kamu harus dirawat sekarang!”
Shima mengetuk-ngetuk meja dengan jarinya, sambil memikirkan hidupnya. Keluarganya sudah bangkrut, ayahnya koma dan ibunya sudah tiada, apalagi pernikahannya berada di ujung tanduk. Kalau dia setuju untuk bercerai beberapa waktu yang lalu, maka antara dirinya dan Deril sudah tidak punya hubungan apa pun lagi.
Tidak ada yang bisa dia pertahankan bukan? Jadi, untuk apa operasi, sepertinya akan lebih baik kalau mati.
Sejak kehadiran Karina, dia seperti kehilangan haknya sebagai istri. Shima merasa dikucilkan di keluarga Deril. Seolah-olah menantu keluarga itu hanya Karina seorang.
Bahkan, Deril mengizinkan wanita itu mengambil semua barang Shima. Sepatu, pakaian, perhiasan dan barang-barang lain, yang pernah diberikan Deril, menjadi milik Karina.
Jadi, bisa dibilang Shima sekarang hanyalah seorang gadis miskin yang terbuang dari komunitasnya. Dia harus berhemat dari sisa uang peninggalan ibunya. Ada juga uang hasil penjualan saham perusahaan Wisra. Namun, sekarang uangnya sudah hampir habis.
Deril bersalah atas semuanya, dia penyebabnya. Kalau bukan karena pilih kasih pada Karina, maka Shima masih mau bertahan menjadi istrinya.
Kebahagiaan, kekayaan dan kedudukannya sebagai menantu keluarga Deril, seolah hilang begitu saja. Pria itu juga yang menyebabkan Tuhan mengambil nyawa anaknya.
Kalau bukan karena Deril lebih memilih untuk menuruti permintaan Karina, mungkin anaknya sekarang masih hidup.
“Sepertinya itu gak perlu! Lagian aku gak akan tahan kalau harus kemoterapi!” kata Shima pada akhirnya, keputusan untuk mengakhiri hidup secara perlahan dan sadar, sudah diambilnya.
“Apa maksudmu, Shima? Kamu mau membiarkan hidupmu digerogoti penyakit ini?”
Sima meraba perutnya dan tersenyum miris, kini cinta dan anaknya sudah pergi, dia sudah tidak punya apa-apa lagi. Satu-satunya orang yang dekat dengannya juga dalam keadaan vegetatif. Dia hampir tidak punya harapan lagi.
“Aku gak mau operasi! Jadi, kamu gak usah repot-repot mengatur jadwal untukku, oh ya, tolong, rahasiakan soal penyakitku ini pada siapa pun juga, oke?”
“Shima, apa kamu yakin? Sebaiknya bertahanlah demi orang yang kamu cintai!” Regan bertanya dengan wajah memelas. Dia kasihan pada Shima. Dia tahu bagaimana rasa sakitnya penyakit itu saat menyerang organ tubuh manusia.
Orang yang dia cintai? Deril sudah tidak mencintainya lagi.
“Atau apa karena uang? Kalau siao itu kamu gak usah khawatir aku bisa menanganinya untuk kamu!” kata Regan lagi.
“Bukan! Aku sudah nggak punya harapan untuk tetap bertahan, Regan! Ayahku gak bisa sembuh, lagi pula aku memang ingin mati! Regan, sekarang hidupku sudah seperti ini. Jadi, aku bisa berbuat sesuatu yang terbaik untuk diriku sendiri!”
“Bolehkah aku tahu sesuatu Shima?”
“Apa?”
“Ke mana suamimu?”
Tiba-tiba Regan ingin mengetahui kehidupan rumah tangga Shima, karena dia tidak pernah melihat suami temannya itu datang ke rumah sakit atau menemani istrinya. Dia merasa kasihan sebab ejak pertama kali sakit dan menjalani beberapa tes kesehatan, wanita itu selalu sendiri.
Seandainya Shima tetap tidak mau operasi, maka Regan akan menemaninya dan berbuat yang terbaik sebelum kematiannya.
“Jangan tanyakan soal dia! Suamiku bukan masalah yang harus kita bahas di sini, sekarang aku sudah bercerai darinya,” kata Shima sambil tersenyum tipis dan memainkan ujung jilbabnya.
Regan terperangah dan bertanya, “Apa-apaan kamu ini, kamu sungguh-sungguh mau bercerai dari Deril Pratama? Shima ... apakah kamu bahagia hidup dengan orang seperti dia?”
Shima terdiam sejenak sambil menatap Regan dengan tatapan penuh arti. Saat masih SMA, pria itu pernah menyukainya, bagaimana kalau sekarang?
Rasanya tidak mungkin kalau dia ...
“Maafkan aku, Dokter! Dulu aku bahagia, tapi ada perempuan lain yang sekarang mendampingi dia! Jadi, sekarang aku menyerah!”
Regan terdiam, menurut pengetahuannya, keluarga besar Deril adalah orang yang memiliki prinsip kesetiaan demi martabat keluarga. Namun, yang dikatakan Shima seperti membantah paradigma tersebut.
“Shima, aku bisa membantu meringankan bebanmu kalau kamu percaya padaku!”
Shima bisa saja menceritakan semuanya tentang pernikahannya dengan Deril pada Regan. Pria itu bisa dipercaya. Namun, kisah rumah tangganya biarlah dia saja yang menyimpannya.
Dahulu, saat Shima dan Deril menikah, mereka memang sengaja tidak mengumumkan pernikahannya, karena keinginan itu datang secara tiba-tiba.
Deril secara mendadak melamarnya pada Wisra, setelah kedua orang tuanya setuju, mereka pun langsung melangsungkan pernikahan di kantor urusan agama. Tidak ada pesta tidak ada pemberitahuan apa-apa.
Sementara yang menyaksikan pernikahan itu hanya orang terdekat mereka saja. Selesai menikah, Deril langsung membawa Shima ke luar negeri untuk mengurus perusahaannya.
Mau sekalian bulan madu, katanya. Sebelum pergi, Deril ingin agar wanita yang dia cintai sudah terikat dengan janji suci. Ya, mereka sama-sama saling mencintai.
Sepasang pengantin baru itu pergi selama dua bulan. Begitu kembali, Deril kembali sibuk dengan pekerjaan. Sampai sekarang mereka tidak pernah membicarakan tentang pesta pernikahan.
Selain itu, hal yang mengerikan terjadi, tepat setahun setelah kepulangan Deril. Martha, ibunya Shima, meninggal dunia karena penyakit dan usianya yang telah lanjut.
Setahun kemudian perusahaan keluarga Wisra terbakar hingga hancur. Kejadian demi kejadian dialami Shima secara beruntun hingga yang terakhir keluarganya dinyatakan bangkrut.
Kekayaannya yang tersisa memang banyak, tapi lambat laun habis juga digunakan untuk biaya pengobatan ayahnya. Wisra mengalami syok berat hingga depresi dan sering jatuh pingsan. Oleh karena itu, dia mengalami pendarahan otak dan koma sampai sekarang.
“Maafkan aku, Regan! Kamu sudah punya banyak tugas menyembuhkan orang setiap hari, aku gak layak menambah beban kamu lagi!” kata Shima, sambil memasukkan hasil biopsi ke dalam tasnya.
“Aku gak akan maksa kamu buat cerita, aku hanya mau kamu bahagia, Shima!”
“Aku gak akan maksa kamu buat cerita, aku hanya mau kamu bahagia, Shima!”
Shima yang mendengar ucapan Regan itu tersenyum, dia senang ada orang yang menginginkan dirinya bahagia.
Selama empat tahun menjalani pernikahan, Deril dan Shima hidup dengan bahagia. Deril penuh cinta kasih kepada Shima, kesetiaan dan hubungan mereka adalah sebuah anugerah bagi kedua belah pihak.
Shima tidak begitu merasa berat untuk mengurus ayahnya, disela-sela kebangkrutan keluarganya. Namun, semua berubah sejak suami Karina meninggal dan wanita itu hadir di antara mereka.
Deril menjadi berubah, dia lebih sering mengurusi Karina yang masih hamil muda dan seperti membenci Shima. Pria itu juga enggan ikut serta dalam merawat ayah mertuanya.
Regan tertegun cukup lama dan memberikan waktu bagi Shima untuk menarik napas dalam-dalam.
Akhirnya Shima kembali berkata, “Regan, kamu tahu, apalagi yang paling menyedihkan dariku?”
Shima menyusut hidungnya dengan punggung tangannya. Air matanya seolah tidak pernah habis meski hampir setiap malam dia menangis.
Regan diam menyimak ucapan Shima dengan hati-hati seolah dia seorang polisi. Profesinya seolah-olah berubah kali ini.
Namun, dia masih memakai jas putih khas seorang dokter dan ada stetoskop, yang tergantung di lehernya. Rambutnya ikal disisir dengan rapi, melengkapi penampilannya yang menunjukkan bahwa, dirinya seorang profesional sejati.
“Suamiku gak mencintaiku lagi, dia lebih memilih menyelamatkan perempuan lain dari pada aku, waktu aku terjatuh sampai kehilangan bayiku!”
Regan mencoba menghibur dan berprasangka baik, dengan berkata, “Mungkin itu hanya kebetulan saja! Shima, kamu luar biasa bisa bertahan selama ini bersamanya!”
Regan sempat heran, bagaimana Shima bisa menikah dengan seorang pewaris keluarga terkaya di Surala yang kekayaannya mencapai ratusan triliun. Deril sangat terkenal. Apa pun bisa dimiliki dengan kekayaannya itu.
Namun, bukan berati seseorang bisa berbuat seenaknya hanya karena dia kaya.
Tiba-tiba Shima menjadi bersemangat untuk bercerita tentang pengalamannya.
“Waktu pesta keluarga Deril, aku dan Karina mengobrol hal yang gak penting, dia tiba-tiba mendorongku sampai aku jatuh! Waktu aku terbaring di lantai, perempuan itu mengeluh perutnya sakit dan bilang kalau dia mau melahirkan!”
Shima diam sejenak untuk mengusap air matanya yang terus jatuh. Dia ingat betul saat kejadian itu, Deril sedang berjalan tak jauh dari dirinya.
“Dan Deril menyelamatkannya lebih dulu, dari pada aku! Padahal aku juga berdarah dan akhirnya aku keguguran! Secara mental aku belum siap kehilangan anakku secepat itu!”
“Shima ... aku juga sedih mendengar hal itu ....”
“Memang aku masih bisa hamil lagi, tapi dia anak pertamaku dan aku telah merindukan kehadirannya selama dua tahun ....”
Shima terjatuh dengan baju pesta yang ribet, hingga langsung oleng meski Karina Hany menyenggolnya sedikit saja. Dia kesulitan bergerak untuk menahan kakinya agar tidak terpelanting.
Hatinya patah disebabkan oleh suaminya sendiri.
Shima berhasil sembuh setelah keguguran, di saat yang sama dia langsung mengajukan niatnya untuk bercerai. Shima merasa gagal dan tidak ada gunanya lagi berumah tangga dengan Deril. Lagi pula dia tidak berhasil melahirkan bayinya dalam bentuk yang sempurna.
Dia merasa mampu hidup sendiri tanpa Deril lagi, sejak pria itu sibuk dengan Karina, Shima selalu menjaga ayahnya seorang diri tanpa Deril di sisinya.
Namun, di luar dugaan setelah Shima mengirim surat cerainya. Deril begitu marah dan tidak terima diceraikan oleh istrinya. Shima langsung pergi meninggalkan rumah begitu saja. Sudah setahun ini mereka tidak tinggal bersama lagi.
Deril tidak pernah menandatangani surat cerai yang diberikan oleh Shima dan mengadakan perang dingin sebagai ungkapan kekecewaannya.
Shima kembali ke apartemen lama yang pernah dihadiahkan ayahnya kepadanya, waktu merayakan ulang tahun yang ke 17 tahun. Dia seperti perempuan yang hidup sebatang kara. Walaupun, punya seorang ayah, tapi tidak bisa melakukan apa-apa di rumah sakit.
“Kamu tahu mereka berselingkuh dan kamu gak marah sama dia?” Regan bertanya dengan heran.
“Aku sudah protes berulang kali dan menanyakan tentang hubungan mereka, tapi, Deril seperti tuli, dia diam saja, artinya dugaanku benar, kan? Mereka punya hubungan lain, selain adik dan kakak ipar?”
“Dia gak layak jadi suami kamu, Shima! Hanya karena memiliki segalanya, bukan berarti seseorang bisa melakukan apa pun pada istrinya, seandainya aku bisa membelamu, maka aku akan membalaskan dendammu padanya!” kata Regan dalam hatinya.
“Regan! Jangan pikir akan berbuat sesuatu atas namaku, ya? Dia sudah punya pilihan sekarang dan perempuan itu sudah punya anak, kasihan anaknya kalau gak punya bapak! Lagian, aku sudah mau mati ..., jadi gak ada gunanya balas dendam lagi.”
Regan tersenyum miris, Shima bisa menebak isi hatinya.
Shima bertekad akan mengisi hari-harinya dengan kebaikan sebelum kematiannya datang.
“Regan, kita gak boleh sia-siakan hidup hanya untuk balas dendam pada orang! Itu gak sepadan dengan risikonya! Biar Allah saja yang mengambil bagian karma,” kata Shima sambil berdiri dari duduknya.
Melihat sikap Shima yang keras kepala, Regan hanya bisa menuliskan beberapa resep obat yang bisa membantu mengatasi rasa sakitnya.
“Kamu harus tetap menjaga dirimu dengan baik, Shima!” katanya.
Kalau memang Shima berpikir bahwa, bercerai dari Deril adalah solusi yang terbaik, maka siapa pun tidak bisa melarangnya.
“Terima kasih, Regan!”
Regan tidak bisa berkata-kata lagi, hingga Sima pergi dari ruangannya dengan perasaan yang hampa.
Sampai di luar rumah sakit, Shima menatap langit yang terlihat mendung. Begitu cepatnya cuaca berubah, satu jam yang lalu udara masih cukup panas. Tapi sekarang hawa dingin bermunculan di sekitarnya. Angin bertiup di sisinya seolah menyapa, dengan berkata, “Selamat datang pada dunia kematian yang sebenarnya.”
Shima merapatkan jaket dan berdiri di sisi jalan untuk mencari taxi. Dia harus segera pulang sebelum hujan. Dia berpakaian seperti itu di hari yang panas, mengabaikan tatapan heran semua orang.
Biarkan saja, toh mereka tidak tahu apa yang disembunyikan Shima di balik pakaiannya. Tubuhnya yang mulai kurus dan kulitnya yang pucat. Selain itu dia lebih gampang terserang flu. Daya tahan tubuhnya terus menurun dari waktu ke waktu.
Dia mengeluarkan telepon dan mencari nomor Deril. Setahun yang lalu, nomor pria itu telah diblokir. Namun, sekarang dia terpaksa membuka blokirnya agar bisa mengirim pesan padanya.
Nama Deril pada kontaknya belum diganti. Dia hampir lupa kapan mereka saling bertelepon untuk terakhir kali.
Deril seorang pria berharga triliunan, tapi dia tidak bisa membantu Shima sama sekali. Nyawa adalah urusan Tuhan, tapi mereka hanyalah manusia biasa yang jauh dari kesempurnaan.
“Deril, kapan kamu ada waktu untuk menandatangani surat cerai?”
Begitu pesan terkirim, detik itu juga Deril langsung membacanya. Tak lama kemudian dia mengetik.
“Apa hanya untuk ini kamu mengirim pesan?”
Saat membaca pesan itu, Shima sempat berpikir kalau Deril masih seperti yang dulu. Pria itu langsung membalas pesannya di mana pun dan kapan pun dia berada. Deril memiliki nomor pribadi yang tidak bisa dihubungi oleh sembarang orang.
“Kalau kamu sibuk, aku akan mengirimkan suratnya besok ke kantor.”
Shima tidak mungkin mengantarkan surat cerai dan bertemu suami di rumah keluarga Deril. Dia sudah diusir dan pasti di rumah itu. Sekian itu ada keluarga Karina juga di sana. Jadi, dia tidak akan menambah masalah dengan mereka.
Setelah pesan Shima tidak mendapatkan jawaban lagi, meski sudah terbaca oleh si penerima.
Di tempat lain, Deril meremas ponselnya kuat-kuat seraya, menahan geram pada Shima. Dia sudah mendiamkan wanita itu selama satu tahun penuh dengan harapan bisa membuatnya tunduk.
Namun, ternyata perempuan itu tetap bersikeras untuk bercerai. Dia selalu membutuhkan uang untuk biaya perawatan ayahnya, tapi gengsi untuk menjadi istrinya hanya karena ada Karina di sisinya. Di bagian mana yang salah?
“Beraninya dia—“
Suara Deril terdengar parau dan terputus, karena ada suara lain di belakangnya.
“Deril, anak kita sudah selesai diperiksa!”
Suara Karina terdengar lembut dan gelisah pada saat menggendong anaknya dari bangsal periksa. Dia melihat wajah Deril yang berubah masam setelah melihat layar ponselnya.
Deril menoleh ke arah ponsel dan anak dalam gendongan Karina, secara bergantian. Bayi itu terlihat lemas. Ada suara tangis lirih dari mulutnya. Matanya sayu menatap bingung pada dokter dan ibunya.
Mereka memberi nama bayi itu Freya. Nama yang pernah menjadi pilihan Shima untuk anaknya.
Silahkan diberi komentar, apa kalian suka ceritanya?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!