Di sebuah ruangan besar dengan jendela-jendela tinggi, sinar matahari sore masuk dengan lembut, menciptakan bayangan di lantai marmer putih. Alya duduk diam di kursi kayu tua, pandangannya tertuju pada buku catatannya. Tangan mungilnya bergerak cepat menulis sesuatu yang hanya dia sendiri yang bisa mengerti. Di luar, suara langkah kaki samar terdengar, tetapi Alya tetap tenang, seolah sudah terbiasa dengan keheningan yang terusik.
Sementara itu, di sisi lain ruangan, pintu terbuka dengan kasar. Alyss masuk dengan wajah ceria, tangannya menggenggam ponsel yang baru saja dia masukkan ke sakunya.
"Yah, kurasa kita akan ada urusan besar malam ini," ucap Alyss sambil tersenyum nakal. “Akira baru saja bilang dia punya rencana gila.”
Alya menghela napas pelan, meletakkan pena di atas buku catatannya. “Apa lagi kali ini?”
“Kamu tahu, urusan biasa—permainan dengan musuh lama. Mereka tidak akan tahu apa yang menimpa mereka!” Alyss tertawa kecil sambil berjalan ke arah jendela. "Dan aku akan berada di depan, bersama Akira. Kita akan menjadi tim yang hebat!"
Alya tidak bisa menahan senyum, meskipun ada sedikit rasa cemburu di dalam hati. Dia menyadari bagaimana Alyss selalu bersikap antusias ketika bersama Akira, dan itu membuatnya sedikit ragu tentang Asahi yang lebih suka bercanda daripada bertindak.
“Asahi juga ikut, kan?” tanya Alya dengan suara lembut, berusaha menyembunyikan perasaannya.
“Of course! Dia bahkan yang memaksa Akira untuk membawa kita semua. Si Asahi selalu punya ide-ide aneh,” jawab Alyss sambil menatap keluar jendela, seolah membayangkan aksi yang akan datang. “Tapi, kamu tahu, aku rasa kita berdua bisa menangani ini dengan baik. Kita memiliki kekuatan masing-masing.”
Alya menghela napas lega, walau samar, lalu bangkit dari kursinya. Dia tahu dia harus ikut, meskipun hatinya selalu cemas akan apa yang akan terjadi.
“Baiklah, aku ikut,” jawab Alya, pelan namun pasti.
Alyss tersenyum lebar. “Bagus! Ayo kita bersiap, sebelum ayah berubah pikiran dan membatalkan semuanya!”
Alya merasa sedikit nyaman dengan keputusan itu, tetapi saat Alyss melirik ke arah jendela dengan antusias, dia tidak bisa mengabaikan perasaan cemburu yang muncul saat membayangkan Akira dan Alyss bekerja sama tanpa dia. Mungkin ini hanya bagian dari tantangan yang harus dihadapi di jalan yang penuh bahaya dan intrik.
Mereka berdua beranjak dari ruangan itu, dengan bayang-bayang masa depan yang menunggu mereka—di mana cinta, bahaya, dan kekuatan akan saling bertarung di jalan-jalan kota.
---
Udara malam yang dingin dan angin kencang mengiringi langkah tim yang bergerak cepat di sekitar gedung tua yang sudah lama ditinggalkan. Kendaraan hitam terparkir tanpa tanda, menunjukkan bahwa operasi ini berjalan di bawah radar. Malam ini, tidak ada ruang untuk kesalahan.
Akira berada di depan, memimpin dengan tenang dan penuh perhitungan. "Posisi siap. Alya, kamu ambil sudut tinggi, pantau dari jauh," perintahnya melalui earpiece.
Di atas gedung, Alya sudah bersiap dengan sniper di tangannya, lensa bidiknya memantau setiap sudut. Tangannya tetap stabil, meskipun jantungnya berdetak lebih cepat. "Siap di posisi," jawab Alya singkat, matanya terus bergerak, mencari ancaman dari kejauhan.
"Asahi, kita masuk dari kanan. Barbar, seperti biasa," lanjut Akira, suaranya tenang, tapi penuh otoritas.
"As always," jawab Asahi dengan senyum lebar yang penuh antusias. Dia selalu menikmati momen di mana dia bisa melepaskan diri sepenuhnya, tanpa batasan. Asahi bergerak cepat, senjatanya siap di tangan, gerakannya lebih liar namun tetap terarah.
Sementara itu, Alyss bergerak di belakang mereka, sedikit dilindungi oleh Akira yang selalu memposisikan dirinya di antara ancaman dan Alyss. "Jangan terlalu jauh, Alyss," ucapnya tanpa menoleh.
Alyss, meskipun ingin beraksi lebih, tetap memahami situasinya. Dia tahu, Akira ingin memastikan dirinya aman, meskipun itu sedikit mengekang kebebasannya. "Ya, ya, aku mengerti," jawab Alyss, meskipun rasa ingin tahunya jelas terlihat.
Di dalam gedung, suasana semakin tegang. Langkah kaki musuh semakin mendekat. Akira memberi sinyal dengan gerakan tangan, dan Asahi langsung menerjang ke depan tanpa ragu. Seorang musuh muncul di tikungan, tapi sebelum dia bisa bereaksi, Asahi sudah melompat ke arahnya dengan kecepatan yang sulit dipercaya. Dentuman suara senjata dan teriakan singkat memenuhi udara.
Alya, dari atas, tetap tenang dan fokus. Saat seorang musuh lain mencoba mendekati Akira dari belakang, jarinya bergerak cepat di pelatuk. "Target jatuh," lapornya setelah peluru mengenai sasarannya dengan tepat.
"Akurasi yang sempurna," komentar Akira sambil bergerak ke depan. Dia sudah terbiasa dengan kemampuan Alya yang bisa diandalkan dalam situasi apa pun. "Kita terus maju."
Asahi, yang sudah lebih jauh di depan, tertawa kecil. "Kalian lambat. Sudah dua yang jatuh di tanganku," ucapnya sambil memeriksa senjata di tangannya. Dia tidak pernah menahan diri, dan itu membuat Akira selalu mengawasinya dengan ekstra waspada.
"Tetap fokus, jangan biarkan mereka mengepung kita," tegas Akira sambil melirik ke arah Alyss yang mengikuti dengan lebih hati-hati. Dia bergerak dengan gesit, tapi tak bisa menutupi kecemasan di wajahnya. Akira memastikan jalur aman baginya, meskipun Alyss jelas ingin lebih terlibat.
Alya terus melacak pergerakan musuh dari atas, setiap ancaman potensial dilaporkannya dengan tepat waktu. "Ada dua lagi di koridor timur," katanya, memberi informasi yang vital bagi Akira dan Asahi.
"Tunggu mereka muncul," jawab Akira tenang. Saat dua musuh melintasi pintu yang terbuka, Akira dan Asahi menyerbu dengan kecepatan yang brutal. Asahi menghancurkan lawannya dengan brutalitas yang tak tertandingi, sementara Akira, dengan ketenangan dan presisi, menangani sisanya tanpa ampun.
Alya mengamati semua dari atas, menjaga mereka tetap di bawah kendali pengawasannya. Tembakan tepat sasaran terus datang ketika ada ancaman yang terlalu dekat.
"Clear," lapor Asahi setelah membersihkan area terakhir. "Mungkin mereka seharusnya membawa lebih banyak orang."
Akira tidak menanggapi dengan bercanda. "Alya, terus pantau. Alyss, tetap dekat."
Misi malam ini berjalan seperti yang direncanakan—cepat, brutal, dan tanpa kompromi. Tapi di balik setiap tembakan, setiap langkah, ada ketegangan yang belum meletup, seolah badai yang masih tertahan.
Ketika semua tampak tenang setelah serangan cepat mereka, Akira berdiri di tengah ruangan gelap, matanya mengamati setiap sudut. Asahi sedang membersihkan senjatanya sambil tersenyum lebar, seolah kemenangan kecil ini adalah hiburan baginya.
"Jangan terlalu santai, ini belum selesai," ujar Akira dengan nada tegas, menghentikan Asahi yang sudah terlihat terlalu rileks. "Alya, ada pergerakan lain?"
Dari atap, Alya memantau area sekitar dengan scope sniper-nya. "Belum ada gerakan signifikan, tapi ada kendaraan mendekat dari arah barat. Sekitar satu kilometer. Sepertinya mereka membawa pasukan tambahan."
Akira mengepalkan tangannya, pertanda bahwa misi ini akan semakin rumit. “Asahi, kita akan hadapi mereka. Alyss, tetap di belakangku. Alya, tetap jaga jarak di atas.”
Asahi mengayunkan senjatanya dengan percaya diri. "Lebih banyak orang? Semakin menarik." Tanpa menunggu perintah lebih lanjut, dia bergerak ke depan, siap menghadapi gelombang musuh yang lebih besar.
"Alyss, jangan jauh-jauh," ujar Akira dengan nada tegas, melirik ke arah gadis ceria itu yang berdiri di belakang. Dia tahu, meskipun Alyss sering menunjukkan keceriaan dan antusiasme, ini bukan situasi yang aman baginya.
Alyss mengangguk, meskipun jelas dia ingin terlibat lebih banyak dalam pertarungan ini. Dia tahu Akira hanya ingin memastikan dirinya aman, tapi terkadang rasa terlindungi itu terasa sedikit mengekang.
Tiba-tiba, terdengar ledakan dari luar gedung. "Apa itu?" Akira berteriak, segera memasang mode waspada.
"Ada asap," jawab Alya dari atap. "Mereka melempar sesuatu, mungkin granat asap. Aku tidak bisa melihat jelas."
"Jangan terjebak dalam asap itu!" Akira memperingatkan. "Asahi, tetap fokus. Alyss, jaga jarak."
Asap mulai memenuhi ruangan, membuat segalanya kabur. Tiba-tiba, dari dalam asap, beberapa musuh muncul, menyerang dengan brutal. Asahi, yang sudah siap, langsung melompat ke arah mereka, menghantam salah satu musuh dengan kekuatan penuh. Dentuman suara senjatanya menggema, disertai tawa kecil penuh gairah dari Asahi.
"Berapa banyak pun mereka kirim, tidak masalah!" Asahi menyerang lagi dengan kekuatan tak terkendali, menghancurkan setiap musuh yang mendekat. Gaya bertarungnya yang barbar membuatnya tampak tak terhentikan di medan perang.
Sementara itu, Akira bergerak dengan ketenangan dan presisi. Dia tak ingin terlibat dalam kekacauan seperti Asahi, tapi setiap gerakannya penuh perhitungan. Dengan satu tembakan tepat, dia menjatuhkan musuh yang mendekati Alyss.
"Alya, beri kami panduan. Apa kau bisa melihat lebih jelas sekarang?" tanya Akira sambil melindungi Alyss di belakangnya.
Alya, dari atas, masih kesulitan melihat melalui asap. "Pandangan masih terhalang, tapi aku akan mencari sudut yang lebih baik."
"Ada yang mendekat dari belakang!" Alya tiba-tiba berteriak saat melihat beberapa musuh mencoba menyergap mereka dari arah berlawanan.
Akira langsung bereaksi. "Asahi, awas! Mereka mengepung kita dari dua sisi."
Asahi, tanpa rasa gentar, menyeringai. "Ayo datang semua! Aku belum puas!" Dengan gaya bertarung yang buas, dia menerjang musuh yang datang, mematahkan pertahanan mereka dengan kekuatan murni.
Alyss, yang berada di belakang Akira, menggenggam senjatanya erat-erat. Meski dilindungi, dia tidak bisa menahan rasa ingin untuk terlibat lebih dalam, tapi dia tahu Akira tidak akan membiarkannya.
Ledakan besar lainnya mengguncang gedung. "Apa itu?!" Akira berteriak lagi.
"Ada yang meledakkan dinding di sisi selatan!" Alya melaporkan dari atas.
Asap dan debu memenuhi ruangan, membuat semua orang kesulitan untuk melihat. Musuh mulai masuk dari celah yang terbuka. Akira tahu situasinya mulai tidak terkendali.
"Siap bertarung jarak dekat," perintah Akira sambil bersiap menghadapi musuh yang mulai masuk lebih agresif. "Asahi, jaga sisi kanan. Alyss, jangan mendekat."
Asahi melompat ke depan, seperti binatang buas yang menemukan mangsanya. Gaya bertarungnya yang brutal membuat musuh kehilangan keseimbangan. Namun, Akira tetap menjaga taktik dan efisiensi, setiap langkah dan tembakannya terarah dengan sempurna.
Pertarungan semakin kacau. Meskipun Alya terus memberikan panduan dari atas, musuh semakin banyak dan lebih terorganisir. Akira tahu mereka tidak bisa terus bertahan seperti ini.
"Kita harus keluar dari sini, sekarang!" Akira memutuskan. "Alya, cari jalan keluar dari atas. Kita akan segera menyusul."
Alya mulai bergerak cepat di atap, mencari jalur pelarian. Asahi, di tengah pertarungan, tak menunjukkan tanda-tanda lelah, namun Akira tahu batasan waktu mereka semakin tipis. Mereka tidak bisa bertarung selamanya di sini.
---
Suara tembakan dan dentuman ledakan masih menggema di sekitar mereka, ketika Akira dan Alyss dengan cepat berlari menuju titik pertemuan yang sudah ditentukan. "Alya, apa kau sudah melihat jalur pelarian?" Akira berbicara cepat melalui earpiece, napasnya berat setelah serangkaian pertempuran tadi.
Alya sudah berada di atap, mengintai jalan keluar dari gedung yang mulai runtuh. “Ada satu jalur keluar di sisi utara, tapi ada banyak puing-puing di sana. Kita harus hati-hati. Aku akan turun dan bertemu kalian.”
"Baik, kita menuju ke sana sekarang," jawab Akira. Dia melirik ke arah Alyss yang tampak sedikit kelelahan tapi masih berusaha mempertahankan kecepatan. "Alyss, jangan tertinggal."
“Aku baik-baik saja,” jawab Alyss dengan senyum kecil yang menunjukkan ketangguhannya. Meski dilindungi, dia ingin menunjukkan bahwa dia bisa mengatasi situasi ini.
Tak lama kemudian, mereka bertemu dengan Alya di titik pelarian. Alya sudah menunggu dengan sniper-nya tersandang di punggung, wajahnya tetap tenang meski situasinya semakin kritis. "Jalur ini bisa membawa kita keluar dari gedung, tapi kita harus cepat. Struktur gedung ini mulai tidak stabil," jelasnya singkat.
“Di mana Asahi?” tanya Alyss dengan nada khawatir.
Akira melirik ke belakang. “Dia ada di belakang tadi, seharusnya dia segera menyusul. Tapi…” Sebelum Akira bisa menyelesaikan kalimatnya, terdengar suara keras dari arah tempat Asahi bertarung.
Bangunan yang sudah rapuh itu runtuh, menutup akses antara mereka dan Asahi. Reruntuhan yang besar dan debu tebal menghalangi pandangan, menyisakan keheningan singkat yang menegangkan.
"ASAHI!" Alyss berteriak, mencoba mendekati reruntuhan, namun Akira dengan cepat menariknya kembali.
"Jangan mendekat! Itu terlalu berbahaya!" Akira memperingatkan sambil melihat ke arah reruntuhan dengan ekspresi serius.
Alya mengarahkan pandangannya ke reruntuhan, mencoba mencari tanda-tanda kehidupan dari Asahi. "Kita harus mencari cara lain untuk menembus reruntuhan ini, atau kita akan kehilangan dia," ucapnya tegas.
"Dia tidak akan kalah hanya karena reruntuhan," gumam Akira dengan nada percaya diri, meskipun ada sedikit kekhawatiran di matanya. "Asahi itu kuat. Tapi kita tidak bisa bertahan di sini terlalu lama. Gedung ini bisa runtuh kapan saja."
Alyss menggigit bibirnya, jelas cemas. "Kita harus menolongnya. Tidak mungkin kita meninggalkan dia di sini!"
Alya menempatkan tangan di bahu Alyss, memberikan sentuhan yang menenangkan. "Aku tahu kamu khawatir, tapi kita harus berpikir rasional. Kita tidak bisa membantu Asahi jika kita terjebak di sini."
Akira menoleh ke kedua gadis itu. "Kita harus cepat mengambil keputusan. Kalau kita tetap di sini terlalu lama, kita semua bisa terjebak."
Ketika mereka masih dalam kebingungan untuk memutuskan langkah berikutnya, terdengar suara dari reruntuhan. Suara berat, tapi penuh keberanian.
"Hahahaha! Kalian pikir aku sudah selesai?!"
Asahi, dengan gaya barbar khasnya, mulai muncul dari balik reruntuhan. Meski terhalang oleh puing-puing besar, dia tampak tidak terluka. Wajahnya tertutup debu dan darah, tapi semangatnya tak tergoyahkan.
“Aku hanya sedikit tertimpa bebatuan, tapi ini tidak akan menghentikanku. Kalian terlalu cepat khawatir!” serunya, tertawa keras seolah pertempuran ini hanya permainan baginya.
Alyss menghela napas lega, meski hatinya masih berdegup kencang. "Asahi, kau membuat kami khawatir!"
"Aku baik-baik saja," jawab Asahi, mencoba mengangkat beberapa puing yang menghalangi jalannya. Tapi jelas bahwa puing-puing itu terlalu besar untuk dipindahkan dengan mudah.
Akira mengamati situasi dengan cermat. "Kita tidak bisa membiarkan dia keluar sendirian. Tapi jalur ini sudah tertutup."
Alya mengangguk. "Kita harus menemukan jalan lain atau berusaha membuka celah ini, tapi kita harus melakukannya dengan cepat."
"Jangan khawatirkan aku!" teriak Asahi sambil memukul puing-puing di depannya dengan kekuatan besar, meski hasilnya masih belum terlihat jelas. "Kalian pergi dulu, aku akan menyusul."
"Tidak mungkin kami meninggalkanmu!" Alyss membalas dengan tegas, jelas tidak ingin kehilangan rekannya.
Namun Akira tetap tenang. "Alyss, Alya benar. Kita harus tetap rasional. Jika kita mencoba membuka puing-puing ini tanpa rencana, kita semua bisa terjebak."
Asahi, dengan suara lantang, menambahkan, “Percaya padaku. Aku akan keluar. Kalian keluar dulu, aku akan menemukan jalan lain dan bertemu kalian di luar.”
Akira menatapnya sejenak, memahami situasi. Meskipun khawatir, dia tahu Asahi mampu bertahan. "Baik. Tapi kita akan menunggu di luar. Jangan membuat kami menunggu terlalu lama."
Dengan berat hati, Alyss mengangguk, menerima keputusan itu. "Baik. Tapi kau harus segera menyusul."
Asahi tertawa lagi. "Kalian pikir aku akan tertinggal? Cepat keluar dari sini sebelum bangunan ini benar-benar runtuh."
Dengan keputusan diambil, Akira, Alya, dan Alyss bergerak menuju jalur pelarian. Mereka berlari melalui lorong sempit yang masih bisa dilewati, meninggalkan Asahi yang berjuang di balik reruntuhan. Meski cemas, mereka tahu tidak ada pilihan lain.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!