NovelToon NovelToon

Kelahiran Dewa Penghancur

01: Sampah Tak Berguna

Zhi Hao kesal dan letih. Setiap hari, sejak fajar hingga senja, ia mengayunkan pedangnya ribuan kali di halaman belakang rumahnya yang luas, berharap akan ada kemajuan dalam kemampuannya. Namun, setiap kali, yang ia rasakan hanyalah lelah yang mendalam dan rasa frustrasi yang semakin menggunung. Tubuhnya berkeringat, otot-ototnya menegang, namun kemahirannya tetap di tempat yang sama.

Dalam keheningan malam, Zhi Hao duduk termenung di tepi kolam. Refleksi wajahnya di air kolam menunjukkan raut kekecewaan yang mendalam. "Menjadi putra pertama seharusnya membawa keberkahan, tapi aku? Hanya menjadi sumber kekecewaan," gumamnya pelan. Rasa malu menghantui setiap sudut pikirannya, terutama saat mengingat ejekan dan hinaan yang sering ia terima karena dianggap lemah.

Zhi Hao menghela nafas panjang, mencoba meredakan kekacauan dalam hatinya. "Apakah hidupku akan terus seperti ini? Terjebak dalam ketidakberdayaan tanpa ada harapan untuk berkembang?" tanyanya pada diri sendiri. Dia tahu, keluarganya, terutama ayahnya, mengharapkan lebih dari dirinya.

Dalam keputusasaannya, Zhi Hao menatap langit yang ditaburi bintang. "Apakah aku harus menyerah? Atau terus berusaha tanpa arah yang jelas?" Bisik hatinya mencari jawaban. Dia tahu, dia tidak ingin terus dihina atau diejek. Namun, apa daya jika segalanya tampaknya telah ditakdirkan?

Malam itu, Zhi Hao memutuskan, esok hari ia akan mencari guru lain, mendalami ilmu bela diri dari sudut yang berbeda.

Mungkin, di tempat lain, dengan cara lain, ia bisa menemukan jalan untuk membuktikan dirinya, tidak hanya kepada keluarganya, tapi terutama kepada dirinya sendiri.

*

Fajar baru saja menyingsing di ufuk timur, namun Zhi Hao telah terbangun dan mempersiapkan diri untuk menghadapi hari yang menantang.

Perlengkapan pedangnya tergantung di pinggang, mengkilap dalam sinar pagi yang lembut.

Meski dikenal sebagai Tuan Muda Klan Zhi dengan keahlian menggunakan pedang yang luar biasa, pandangan orang-orang sekitarnya terhadapnya tak lebih dari sekedar rasa iba. Mereka melihatnya, namun mata mereka kosong, seolah Zhi Hao adalah bayangan tanpa substansi.

Apa gunanya kemahiran dalam berpedang tanpa bisa menggunakan Energi. Bahkan dengan anak kecil berumur sepuluh tahun saja Zhi Hao kalah dalam pertarungan. Dimana salah satu menggunakan Energi sedang dia hanya Tenaga Fisik yang tak bisa menyerang dalam jarak jauh.

Zhi Hao menghela napas panjang, mengusap wajahnya yang belum sepenuhnya terlelap dari tidur malam. "Beginilah nasib Putra Sulung Klan Zhi. Begitu menyedihkan," gumamnya lirih, suaranya penuh dengan kekecewaan yang mendalam. Setiap kata yang terucap membawa beban kesedihan yang hanya bisa dirasakannya sendiri.

Tiba-tiba, langkah ringan terdengar mendekat dan sebuah suara menyapa, "Oh Kakak. Mau kemana pagi-pagi begini?"

Zhi Long, adiknya, muncul dengan senyum yang mengembang di wajahnya. Namun, dibalik senyum itu, Zhi Hao bisa membaca ketidakikhlasan. Ia tahu, semua kebaikan yang ditunjukkan Zhi Long hanya topeng yang menyembunyikan niat sebenarnya.

Zhi Hao menoleh, matanya menatap dalam ke arah adiknya, mencoba menembus topeng yang dipakai Zhi Long. Dengan suara yang lebih mantap, ia berkata, "Adik, kamu akan menjadi pewaris nantinya. Jaga Klan." Kata-katanya bukan hanya sebuah pesan, tapi juga sebuah peringatan dan harapan bahwa Zhi Long akan mengemban amanah tersebut dengan lebih layak.

Dengan langkah yang berat, Zhi Hao melanjutkan perjalanannya, meninggalkan Zhi Long yang masih berdiri di sana dengan senyum yang perlahan memudar.

Angin pagi yang sejuk meniupkan daun-daun kering di jalanan, mengiringi langkah Zhi Hao yang semakin menjauh, seolah-olah mengerti beban yang dipikulnya.

“Tetua Mo. Pastikan dia tidak kembali!”

Seorang Tetua tiba-tiba muncul, ia adalah pelindung Zhi Long. “Baik Tuan Muda.” Tetua Mo kembali menghilang layaknya asap.

**

“Tuan Muda Zhi Hao dengan langkah tegap meninggalkan kediaman Klan Zhi yang megah. Di punggungnya, ia menggendong tas kulit yang berisi pakaian dan pedang warisan dari Nyonya,” lapor seseorang.

Di balik tirai jendela, Patriark Zhi memperhatikan sosok putra terakhirnya yang kini menjauh, berusaha keras menyembunyikan kegundahan hatinya. Dengan perasaan berat, ia memerintahkan pengawal pribadi untuk melindungi Zhi Hao dari kejauhan tanpa diketahui olehnya.

"Pergilah dan pastikan dia selamat," perintah Patriark Zhi dengan suara yang tegas namun terdengar penuh kekhawatiran. Pengawal mengangguk seraya membungkuk, kemudian segera bergerak cepat dan efisien, mengikuti jejak Tuan Muda dari kejauhan.

Setelah Pengawal pergi, Patriark Zhi kembali ke dalam kesendirian kamar kerjanya. Dia berdiri di tepi jendela, menatap langit yang mulai gelap hendak Hujan, berbicara pada dirinya sendiri, "Maafkan aku, Wei. Aku telah berjanji akan menjaga putramu, tapi aku tak bisa melakukannya.”

***

Di jantung Kota Linggau, Klan Zhi mengepakkan sayap kekuasaannya sebagai klan yang tak terkalahkan, hanya tersaingi oleh satu Klan lagi di puncak hierarki.

Teknik Pedang Petir yang mematikan, simbol kebanggaan Klan Zhi, merupakan gabungan sempurna antara kecepatan halilintar dan keganasan badai.

Namun, sayangnya, Putra sulung Klan Zhi dikenal sebagai 'Sampah.' Sebuah gelar yang memilukan dan menyakitkan, yang jika tidak ada, mungkin saja Klan Zhi sudah lama menduduki tahta tertinggi.

Namanya Zhi Hao, dan reputasi sebagai 'Sampah' itu menyertainya bak bayang-bayang kelam.

Saat itu di tengah hiruk-pikuk pasar Kota Linggau.

Beng!

Sebuah tendangan brutal mendarat di punggung Zhi Hao. Gemuruh kejutan menggema di antara keramaian.

Dengan tekad yang membara, Zhi Hao bangkit. Matanya menyalak api ketika ia menyodorkan tatapan tajam pada pelaku. "Mengapa kau menendangku?" amuknya seraya menggenggam erat gagang pedang Peninggalan Ibunya.

"Menendang 'Sampah' perlu alasan?" balas si penendang sinis, diapit oleh dua penjaga yang siap menghunus pedang.

Geram, Zhi Hao mengertakkan gigi, membakar rasa malu dan marah yang bergolak dalam dadanya. Dengan pakaian yang tersiram debu dan harga diri yang terluka, Zhi Hao tahu, hari itu bukan hanya tentang bertahan, tapi tentang memulihkan kehormatan yang telah terinjak. Namun, ia bisa apa tanpa kekuatan?

"Dia bukan apa-apa. Sampah yang tak layak bahkan untuk disentuh!" Xiao Bei menertawakan Zhi Hao yang terhina, keangkuhannya menyebar seolah wabah.

Zhi Hao menahan amarah, mengunyah pil kepahitan, dan berjalan menjauh tanpa kata.

"Cih, sungguh memalukan! Katanya Klan terkuat? Tapi lihat, dia terima hinaan tanpa balas!" Xiao Bei menghina dengan nada sinis, menambah luka pada kebanggaan yang sudah terkoyak.

Zhi Hao menggertakkan gigi, coba menahan gejolak dalam dada.

"Kak Bei, bagaimana dia berani? Keluarganya saja telah membuangnya. Melawan Kak Bei, bukankah itu sama dengan menyerah pada kehinaan?" Xiao Lui menimpali, berdiri di samping, matanya menyorot tak percaya.

Di sekitar mereka, kerumunan mulai berkumpul, menyaksikan adegan memilukan ini. Namun, tak ada satupun yang peduli atau bergerak untuk membantu Zhi Hao, si "sampah tak berguna Klan Zhi". Privasi dan martabatnya, semuanya telah dirampas di depan publik yang acuh.

Bab 02: Ancaman Kematian

Zhi Hao tahu bahwa dia tetap disana, hanya akan ada hinaan padanya. Meskipun ia kesal dan dongkol setengah mati, itu tidak akan merubah apapun. "Kalau aku bertindak Impulsif, itu hanya akan membawaku pada kebinasaan. Siapa yang akan menolong, ayah? Klan? Itu sama sekali tidak mungkin." Dalam hatinya ia berpikir sembari mengambil langkah menjauh.

Zhi Hao mengeratkan rahangnya, mencoba menahan amarah yang membara di dada. Dengan setiap kata yang ditaburkan Xiao Bei, seperti asam yang mengikis hati dan harga dirinya. Dia tahu betul, setiap menit yang dilalui di tempat itu hanya akan menambah derita.

"Kamu tidak lebih dari sampah di kaki kami!" teriak Xiao Bei dengan suara penuh penghinaan. Suara itu membahana di telinga Zhi Hao, menusuk ke dalam jiwanya yang lelah.

Beng! Satu tendangan dilepaskan.

Mata Xiao Bei berbinar dengan kepuasan saat dia melihat Zhi Hao terhuyung-huyung dari tendangannya.

"Pergilah, sebelum aku membuatmu lebih hina lagi!" seru Xiao Bei, sambil mendorong Zhi Hao dengan kakinya.

Zhi Hao merasakan darah mengalir di sudut bibirnya, mengingatkannya pada kepedihan yang lebih dalam dari luka fisik. Hatinya hancur, namun dia tahu harus menjaga kepala tetap dingin. "Melawanmu sekarang tidak akan mengembalikan harga diriku. Aku harus punya kekuatan yang dapat mengungguli agar bisa balas dendam," bisik Zhi Hao pada diri sendiri.

"Lihat, itu Zhi Hao, si sampah Klan Zhi!" teriak seorang pemuda dari kerumunan, disusul tawa yang meledak dari beberapa orang lainnya.

“Mungkin saja dia anak pungut, sehingga tidak bisa mewarisi kekuatan Klan Zhi.” Seseorang berkata.

"Anak pungut yang malang, tidak tahu malu!" sambung yang lain dengan nada sinis.

Setiap kata yang dilemparkan kepadanya bagai serpihan kaca yang menggores hatinya yang sudah lama berdarah.

Zhi Hao menggenggam erat Pedangnya, matanya memerah namun dia bertekad tidak menangis di depan mereka.

Kaki-kakinya bergerak lebih cepat, meninggalkan suara cemooh yang semakin menjadi-jadi.

Sesampainya di luar kota, Zhi Hao menemukan sebuah pohon besar, rindang yang seakan menawarkan pelarian dari kejamnya dunia.

Dia duduk, punggungnya bersandar pada batang pohon yang kokoh. Tangannya yang gemetar menutupi wajahnya, mencoba menyembunyikan luka yang tak kasat mata. Angin sepoi-sepoi membawa kesunyian, kontras dengan hiruk-pikuk kebencian yang baru saja dilewatinya.

Di bawah pohon itu, Zhi Hao menarik nafas dalam-dalam, berusaha mengusir bayang-bayang ejekan dan memulihkan sedikit kekuatan. Dia tahu, ini bukan akhir dari segalanya, tapi hanya sebuah ujian untuk kekuatan yang mungkin belum dia sadari.

Tiba-tiba, bayangan muncul dari ketinggian, turun dengan cepat dari pohon tempat Zhi Hao bersandar.

Zhi Hao, terluka oleh siksaan fisik dan perasaan akibat tendangan Xiao Bei dan cacian orang banyak, terkejut saat mendengar suara angin yang tajam melintas.

Swoosh!

Senjata mengarah cepat ke lehernya, hendak memutus nyawa yang dia anggap tidak lagi berharga. Namun, dalam sekejap, seberkas pedang menerjang dari arah lain, menangkis serangan mendadak itu dengan kuat.

Treng!

Pedang beradu, percikan bunga api menari di udara.

Zhi Hao cepat berguling, menghindar dari pusaran pertempuran yang membahayakan. Dia terperanjat menyadari ada yang ingin mengakhiri hidupnya.

"Larilah Tuan Muda!" teriak Wang dalam ketegangan. Suara itu menyadarkan Zhi Hao, yang mengenali sosok penolong itu dari kunjungan masa lalu pada Ayahnya.

Mengabaikan rasa sakit yang mendera tubuhnya, Zhi Hao memacu langkah, berlari terhuyung-huyung menyelamatkan diri atas nasihat Wang. Nalurinya berteriak, hidupnya bergantung pada setiap detak dan langkah yang ia ambil sekarang.

"Haha, kau pikir kau bisa menghentikanku?" ejek sosok berjubah hitam dengan suara yang dalam dan menyeramkan. Dia mengangkat tangannya dan dengan cepat menarik pedang miliknya.

Wang menghela napas, mempersiapkan diri untuk pertarungan yang mungkin akan panjanh. "Langkahi mayatku kalau memang ingin membunuh Tuan Muda Zhi. Siapa kamu sebenarnya?" tantangnya, suaranya tetap tenang.

Tawa dingin terdengar dari balik penutup kepala. "Haha. Kamu tidak perlu tahu siapa aku, tapi yang pasti aku tetap akan membunuhnya. Jika memang kamu ingin mati lebih dulu, aku kabulkan."

Dengan gerakan yang cepat dan kuat, sosok itu meluncurkan dirinya ke arah Wang, pedangnya berkelebat dengan kilatan yang mematikan. Wang, dengan refleks yang terasah, mengelak dan mengeluarkan pedangnya sendiri.

Dentingan pedang pun tak terhindarkan.

Teng!

Teng!

Teng!

Kembang api memecah kesana kemari disertai ledakan.

Beng!

Beng!

Bomb!

"Oh, ternyata itu kamu! Tak ku sangka. Apakah kamu datang atas perintah Tuan Muda kedua?" tanya Wang dengan nada suara yang penuh kecurigaan, matanya tidak berkedip menatap Tetua Mo.

Tetua Mo, dengan wajah yang dipenuhi kerut dan mata yang berkilauan tajam, tidak bisa lagi mengelak. "Benar, aku datang atas perintahnya. Tapi, apakah kamu pikir aku datang tanpa persiapan sama sekali, Wang?" jawabnya dengan suara yang serak namun penuh keyakinan.

Tetua Mo tersenyum sinis, "Aku sudah memerintahkan dua orang bawahanku untuk mengejarnya. Dia pasti mati!" katanya dengan yakin, seolah-olah sudah memenangkan pertarungan ini.

Tetua Wang, mengangkat alisnya, tidak terlihat gentar. "Untuk apa membunuhnya. Toh dia juga bukan pewaris meski anak Pertama!" sahutnya dengan nada menggoda, mencoba menemukan celah dalam pertahanan Tetua Mo.

Tanpa membuang waktu lagi.

"Teknik Pedang Petir - Kilat menyambar!" teriaknya dengan suara yang menggelegar. Kilat berwarna biru terang terbentuk di ujung pedangnya, menyambar cepat ke arah Wang, yang berdiri dengan tenang di seberangnya.

Slash!

Woosh!

Wang, yang tampaknya tidak terkejut, hanya mengangkat satu alisnya dan tersenyum sinis. "Oh, kamu menguasai Teknik Pedang Klan Zhi, sungguh tak disangka orang luar bisa menguasainya. Sepertinya Tuan Muda kedua sudah tidak peduli lagi dengan kedudukannya di Klan Zhi," ucapnya dengan nada mengejek. Dengan gerakan yang hampir tak terlihat, ia mengayunkan pedangnya, "Teknik Pedang Ilusi - Bayangan Pedang Ganda." Dua bayangan pedang yang serupa dengan pedang aslinya muncul di sampingnya dan melesat bersamaan menyerang Tetua Mo.

Swoosh!

Bomb!

Dua teknik pedang yang kuat itu bertabrakan di tengah area, menghasilkan ledakan yang dahsyat. Debu dan percikan api menyembur ke segala arah, dan suara ledakan itu bergema melintasi medan pertarungan. Keduanya terpental beberapa langkah ke belakang, namun segera menstabilkan diri, siap untuk serangan berikutnya, mata mereka saling bertaut menantang, menunggu siapa yang akan melakukan gerakan berikutnya dalam duel sengit ini.

*

Di tengah kegelapan yang menyelimuti Hutan dekat Kota Linggau, Zhi Hao terus berlari menjauhi kampung halamannya, Klan Zhi.

Hutan yang angker itu adalah satu-satunya tempat berlindung yang bisa dia harapkan untuk bersembunyi, bertahan hidup, dan memupuk rasa dendamnya. Keputusasaan dan ketakutannya tercampur baur menjadi satu saat dia menyadari tak ada tempat lain untuk pergi.

Seakan merasakan ancaman yang mendekat, langkahnya semakin cepat. Di kejauhan, dua sosok melompat lincah di antara rimbunnya pepohonan. “Lihatlah dia, berlari kocar-kacir tanpa arah!” terdengar suara ejekan dari salah satu pemburu, seraya tawa mereka memecah kesunyian hutan.

"Kita harus segera menyelesaikannya dan membantu Tetua Mo. Jangan biarkan dia bertarung sendirian melawan Tetua Wang yang kejam," seru yang lainnya sambil menghunus pedangnya dengan gerakan gesit.

Dengan desir angin yang menderu, salah satu dari mereka melompat tinggi, berputar elegan di udara sebelum mendarat dengan posisi siaga tepat di atas Zhi Hao.

Dunia tampak seolah berhenti berputar bagi Zhi Hao, nafasnya tercekat, dan rasa takut memuncak menguasai setiap inci tubuhnya saat nyawa dan nasibnya bergantung pada selembar nyawa yang kini terancam oleh kesombongan musuh.

Bab 03: Apakah aku sangat Spesial?

Dalam sekejap, Zhi Hao meliuk-liukkan tubuhnya, menghindari serangan yang datang. Ketika pedang lawan menebas ke arah kepalanya, ia dengan lincah berguling ke samping, menyelamatkan diri dari serangan maut itu. Dengan nafas yang tersengal, ia bergegas bangkit dan berlari menyusuri hutan lebat.

Namun, dalam pelariannya, kakinya tersandung akar kayu yang menjulur di tanah, seakan tali jebakan yang telah menantinya. Zhi Hao terjatuh dengan keras, mendengar tawa mengejek dari lawannya yang menyaksikan kejadian itu. "Hahaha, Kamu lucu juga, menangkap Jangkrik ya?" ejek lawannya dengan nada mengejek.

Rasa kesal membara dalam dada Zhi Hao. Dengan suara yang tercekat oleh amarah, ia membalas, "Jangkrik apa, dasar sialan!" umpatnya keras. Hatinya bergolak, rasa malu dan marah bercampur menjadi satu.

Di tengah kekalutan itu, tiba-tiba sosok lain muncul di sampingnya. Orang itu mengusung pedang yang berkilauan, siap untuk menyerang. Dengan refleks yang cepat, Zhi Hao mencabut pedangnya yang terselip di pinggang, matanya yang tajam menatap tajam ke arah lawan baru yang tidak diduga itu.

Treng!

Benturan keras membuat Pedang di tangan Zhi Hao terpental. Jelas saja, tanpa energi dan hanya mengandalkan Fisik semata tidak mungkin bisa menghadang tebasan lawan.

Napas Zhi Hao tersengal, matanya menatap dua sosok yang berdiri dengan angkuh di hadapannya. Pedangnya yang terpental jauh meninggalkannya tanpa senjata, membuat darahnya membeku di urat nadi. Pria-pria di depannya, yang sepertinya bergembira dengan situasi ini, saling berpandangan seakan merencanakan suatu permainan jahat.

“Sekarang kamu tidak bisa lagi lari. Bukan?”

"Mana mungkin dia bisa lari, lihatlah kakinya gemetar," ujar salah satu dari mereka sambil menunjuk ke arah kaki Zhi Hao yang memang sedikit bergetar.

"Mana mungkin di hadapan kematian tidak gemetar! Hahaha. Kamu ataukah aku yang menyelesaikan ini?" sahut yang lain, tertawa keras seolah mereka berada dalam pesta dan bukan di ambang pembunuhan.

Mereka berdua kemudian terkekeh, merasa memiliki kendali penuh atas hidup dan mati Zhi Hao. "Bagaimana kalau kita melakukan Permainan Gunting batu kertas dulu!" usul salah satu dari mereka, seolah peristiwa ini hanyalah permainan anak-anak dan bukan pertarungan mematikan.

Zhi Hao menelan ludah, mencoba mencari celah atau kesempatan, walau hatinya merasa ini adalah akhir dari segalanya. Di balik ketakutan, ada amarah yang mulai membara dalam dada, menolak untuk mati di tangan penjahat.

Tangan Wei bergerak cepat membentuk simbol batu, sementara kawanannya, dengan ekspresi tertekan, memperlihatkan kertas.

Tawa Wei pecah di udara, menggema kesenangan kemenangan. "Gunting kertas batu!" serunya lagi, menyulut percikan semangat kompetitif.

"Ulang sekali lagi. Kamu curang!" sergah kawannya, matanya menyipit curiga, bibir mengerucut tidak puas.

Wei mengernyitkan dahi, kesal, "Kalah ya kalah, akui saja. Apa susahnya sih?" tangan Wei terlipat di dada, tatapan tajamnya menembus.

"Jangan begitu dong, aku tadi tidak siap." ucap kawannya, nada suaranya mencoba menenangkan, namun tubuhnya tegang, siap untuk ronde berikutnya.

Sementara itu, di dekat mereka, Zhi Hao mengamati kedua orang bodoh yang beradu argumen. Sudut bibirnya tersungging, sebuah kesempatan terbentuk di benaknya. Ini adalah kesempatannya, memanfaatkan pertengkaran dua orang itu untuk keuntungan dirinya sendiri. Matanya mengunci pada pedang yang tergeletak tak jauh dari mereka, pedang yang sarat akan kenangan Ibunya.

Dengan gerakan yang hampir tidak terdengar, Zhi Hao merangkak mendekati pedang itu. Setiap senti pergerakannya hati-hati, menghindari kerikil yang bisa mengkhianati keberadaannya. Akhirnya, jemarinya menyentuh gagang pedang, dan dengan cepat ia menggenggamnya erat.

Beng!

Tiba-tiba, sebuah tendangan dari belakang menyungkurkannya ke tanah, pedang terlepas dari genggamannya.

Wei, yang telah memperhatikan gerak-gerik Zhi Hao, berdiri dengan napas berat, matanya membara menatap Zhi Hao yang terkapar. "Kamu pikir bisa mengambil keuntungan dari perselisihan kami, dasar Sampah tak berguna?" suara Wei menggertak, penuh ancaman.

Zhi Hao tak bisa berkata apa-apa lagi.

Hutan itu gelap dan pekat, hanya disoroti oleh sinar matahari yang malu-malu. Tawa mereka berdua menggema, memecah kesunyian yang menegangkan.

Tiba-tiba, dua serigala besar muncul dari balik semak, matanya yang merah memancarkan kilatan menakutkan, bulu-bulunya yang gelap seolah menyerap cahaya rembulan.

Keduanya terkejut, namun segera menyiapkan diri. "Wei, kamu jaga bocah itu, aku akan menghabisi dua Serigala ini dulu!" seru satu di antara mereka, suaranya tegas tanpa keraguan. Dia tidak menunggu jawaban dari Wei, segera melompat ke depan dengan pedang terhunus.

Serigala-serigala itu menggeram, taring mereka terlihat jelas, siap untuk menerkam. Namun, dengan gerakan yang cepat dan lincah, ia mengayunkan pedangnya.

Slash! Suara besi bertemu daging mengisi udara yang mana itu juga langsung membungkam untuk selamanya.

Slash! Ayunan kedua pedangnya pun tak kalah cepatnya, menghantam serigala kedua yang mencoba menyerang dari samping.

Dua serigala itu roboh ke tanah, darah mengalir membasahi daun-daun kering di bawah mereka.

"Wei, dimana bocah itu?" suara Dong bergema di antara pepohonan yang meranggas.

Wei, yang masih dalam keadaan syok, langsung tersadar dari lamunannya. Matanya membulat, dan bibirnya bergetar. "Aku tidak tahu, sialan. Kemana hilangnya?" kata Wei dengan nada suara yang tinggi, mencerminkan rasa panik dan ketakutannya.

"Bagaimana bisa kamu tidak tahu, padahal dari tadi aku sudah bilang, jaga bocah itu," Dong berteriak, frustasi meluap-luap karena kecerobohan Wei.

Wei menundukkan kepalanya, merasa bersalah yang tak terhingga. "Tidak ada gunanya bertengkar sekarang, kita harus mencarinya. Aku tahu aku salah!" ujarnya dengan nada yang lebih tenang namun masih terguncang.

Keduanya kemudian bergegas, meninggalkan area tersebut untuk mencari Zhi Hao, berharap masih ada kesempatan untuk menemukannya sebelum terlambat. Dong dengan langkah besar dan cepat, sementara Wei mengikuti di belakang dengan rasa bersalah yang membebani langkahnya.

***

Mata Zhi Hao terbuka lebar, napasnya tercekat saat menyadari dia kini berada di daerah yang asing. Rasa takjub dan kebingungan bercampur menjadi satu. "Apa yang terjadi?" tanyanya dalam hati, mencoba merangkai kejadian yang baru saja berlalu.

Beberapa detik yang lalu dia hanya menggeser sedikit posisi duduknya, namun kini dia berada di tempat yang sama sekali berbeda.

Di tengah kebingungan itu, suasana hutan yang sepi tiba-tiba pecah oleh suara geraman yang dalam dan menyeramkan.

Zhi Hao berdiri tegak, matanya membulat ketakutan saat melihat sosok besar harimau hitam yang tampak dari balik semak-semak. Bulu hitamnya yang mengkilap terlihat jelas meskipun hanya disinari oleh cahaya remang-remang yang menembus celah daun.

Hewan itu mengeluarkan suara menggeram yang membuat darah Zhi Hao seakan membeku.

Detak jantungnya berpacu, keringat dingin mulai membasahi punggungnya. "Harus ada cara untuk keluar dari sini," batin Zhi Hao, sambil perlahan mencari ranting kayu atau batu yang bisa digunakan untuk membela diri.

Matanya tidak berani lepas dari sosok harimau yang kini mulai melangkah maju dengan mata yang terfokus padanya.

“Situasi ini tak jauh beda dari sebelumnya. Keluar dari mulut Buaya malah masuk ke mulut Harimau. Apakah aku memang sespesial ini hingga disukai oleh keburukan?” Zhi Hao bergumam dalam gejolak batinnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!