Namaku Kaelan, dan jika kau mengenalku di dunia yang lama, kau mungkin akan menyebutku gila. Tapi aku lebih suka menyebutnya… berbeda. Dunia ini, dengan segala rutinitasnya yang hambar, tidak pernah cukup memuaskan bagiku. Aku tidak pernah merasa seperti orang kebanyakan. Bagiku, kehidupan yang biasa-biasa saja bersekolah, belajar, pulang adalah penjara. Sebuah jebakan yang merenggut segala potensi yang bisa aku capai.
Aku selalu haus akan sesuatu yang lebih. Aku ingin lebih dari sekadar hidup tenang dan aman. Aku ingin petualangan yang tak terlupakan, sesuatu yang bisa membuat darahku berdesir pertarungan yang brutal, pertempuran yang penuh risiko, bahkan kematian sekalipun tidak membuatku gentar. Mungkin karena itu aku menyebut diriku lebih dari sekadar manusia biasa. Aku menginginkan hal-hal yang membuat kebanyakan orang takut: bahaya, pertarungan hidup-mati, dan, sejujurnya, darah.
Sekolah hanyalah panggung sandiwara bagiku. Di sanalah aku mempelajari bagaimana berpura-pura, bagaimana berbaur di tengah massa tanpa mencolok. Aku bisa tersenyum, bercanda dengan teman sekelas, bahkan memainkan peran sebagai siswa yang biasa. Tapi di balik senyum itu, pikiranku sibuk merencanakan skenario-skenario aneh: bagaimana rasanya berada di tengah pertarungan sengit, pedang di tangan, musuh di depan, dan darah berceceran di bawah kakiku? Bagaimana rasanya mengendalikan kekuatan yang mematikan?
Aku pernah berpikir, mungkin aku ini monster. Namun, kebenarannya adalah, aku hanya tidak puas dengan dunia ini. Semua terasa terlalu mudah, terlalu membosankan. Aku tahu aku bisa lebih, lebih dari semua orang yang hanya mengejar kehidupan aman dan nyaman. Aku menginginkan dunia yang bisa memberiku sesuatu yang menantang, yang menguji batas-batas kewarasanku. Petualangan epik, pertempuran tanpa henti, dan darah yang terus mengalir.
Hari itu, saat petir menghantam, adalah momen yang selama ini aku tunggu-tunggu.
Hujan mengguyur jalanan kota, dan aku berjalan sendirian di bawahnya, merasakan setiap tetes yang jatuh ke kulitku seperti sambutan dari langit. Lalu, aku melihat kilatan cahaya dari kejauhan, menyambar dengan kekuatan yang tidak biasa. Petir yang menyala bagaikan sebuah pintu menuju sesuatu yang lebih dari dunia ini sesuatu yang akhirnya bisa memuaskan hasrat gilaku akan hal-hal yang baru.
Kilatan itu datang mendekat, semakin terang, semakin liar. Aku merentangkan tangan, membiarkan petir itu datang padaku, merasakannya seolah mengundangku menuju sesuatu yang lebih besar dari kehidupanku yang kosong. Dan dalam sekejap, dunia di sekitarku meledak dalam cahaya.
Ketika aku terbangun, dunia yang kutinggalkan sudah hilang.
Aku berdiri di tengah reruntuhan, tempat yang tampak kuno dan terlupakan. Batu-batu besar tertutup lumut, dan udara di sini terasa jauh lebih dingin dan tebal. Suara bisikan dari angin menambah suasana yang menakutkan, tapi bagiku ini sempurna. Tubuhku terasa berbeda lebih kuat, lebih cepat, lebih… berbahaya. Aku menyentuh kulitku, yang kini penuh dengan tanda-tanda misterius yang berdenyut seiring dengan darah di nadiku. Dan saat aku memandang tanganku, sebuah kilatan petir kecil muncul, menyambar-nyambar di ujung jariku.
Aku tertawa pelan. Ini, ini yang aku cari selama ini.
Bayangkan: kekuatan petir yang bisa kumanipulasi sekehendak hati, kemampuan untuk menyembuhkan diriku sendiri dari luka apa pun. Dunia di sekitarku mungkin telah berubah, tetapi aku juga berubah—dan untuk pertama kalinya, aku merasa inilah dunia yang selalu aku inginkan. Sebuah dunia yang penuh tantangan, penuh misteri, dan yang paling penting, penuh dengan kesempatan untuk bertarung.
Aku menyadari di mana aku berada. Sebuah laboratorium, ditinggalkan bertahun-tahun lamanya. Ada jejak-jejak eksperimen yang pernah dilakukan di sini eksperimen terhadap tubuh manusia, yang hasilnya kini menjadi aku. Siapa pun yang menciptakan tubuh ini, mereka sudah mati, dilupakan oleh waktu. Tapi apa yang mereka tinggalkan, tubuhku yang sekarang, adalah senjata. Aku adalah senjata yang sempurna, diciptakan untuk sesuatu yang lebih besar dari kehidupan lamaku.
Langkah-langkah berat mendekat dari balik reruntuhan, dan aku berdiri tegap, bersiap menghadapi apa pun yang datang. Tidak ada rasa takut, hanya rasa antisipasi. Darahku mendidih, menunggu pertarungan pertama di dunia baruku.
Dari balik kegelapan muncul sosok tinggi berjubah, tatapannya dingin namun tajam. Dia berjalan mendekat dengan ketenangan yang menakutkan. “Akhirnya terbangun juga, ya?” katanya tanpa emosi, seolah-olah ini hanyalah rutinitas baginya.
“Aku tahu siapa dirimu, Kaelan. Kamu adalah hasil eksperimen terakhir dari tempat ini. Tubuhmu… kekuatanmu… itu semua adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar. Tapi sekarang, kamu bebas. Dan percayalah, dunia ini jauh lebih menarik daripada yang kamu bayangkan.”
Aku tidak merespons. Sebaliknya, aku memandangi petir di tanganku, kilatannya semakin besar, mengalir dengan liar. Ini adalah kekuatan yang aku impikan. Dan di dunia baru ini, aku akan menggunakannya untuk memenuhi hasrat terbesarku: petualangan tanpa batas, pertempuran yang tiada akhir, dan darah yang mengalir di setiap langkahku.
Sosok itu menyeringai tipis. “Aku bisa membantu menunjukkan jalannya, kalau kau mau. Tapi dunia ini, Kaelan, adalah tempat di mana hanya yang terkuat yang bertahan.”
Aku tersenyum tipis. “Itu persis seperti yang aku cari.”
Petualanganku baru saja di mulai.
Reruntuhan itu seperti panggung baru bagiku tempat di mana aku akhirnya merasa cocok dengan segala hasrat dan kegilaan yang selama ini mengendap di dalam diriku. Batu-batu besar yang runtuh, retakan-retakan yang seolah berbisik tentang cerita lama yang terlupakan, dan udara tebal yang menyelimuti setiap langkahku. Namun, aku bukan lagi orang yang sama. Kaelan yang lama sudah mati, dan di sini, di dunia yang baru ini, aku dilahirkan kembali dengan kekuatan yang mengalir dalam darahku.
Di hadapanku berdiri sosok berjubah, mata tajamnya menatapku dari balik bayangan. Dari dekat, aku bisa melihat lebih jelas: tinggi dan tegap, dengan jubah hitam panjang yang berdesir oleh angin, seolah-olah kain itu terbuat dari bayangan itu sendiri. Rambutnya keperakan, kontras dengan kulitnya yang pucat. Wajahnya kaku, seperti patung, dan matanya berwarna kuning tajam, seperti mata predator yang menatap mangsanya. Dia memandangku, tapi tak ada emosi di sana hanya rasa dingin yang menusuk.
“Aku yakin kau punya banyak pertanyaan, Kaelan,” katanya, suaranya rendah namun tajam, terdengar tenang, tapi penuh otoritas.
Aku hanya memandangnya, bibirku melengkungkan senyum tipis. “Lebih tertarik untuk tahu siapa kamu.”
Dia tertawa pelan, lalu menundukkan kepala sejenak. “Namaku Razen,” katanya. “Aku bukan musuhmu, tapi juga bukan teman. Aku lebih seperti penjaga penjaga gerbang dunia ini. Aku adalah satu dari mereka yang menyaksikan kegelapan yang sedang bangkit di tempat ini, dan kau, Kaelan, adalah bagian dari rencana yang lebih besar.”
Aku tidak bergerak, tapi aku memperhatikan setiap detail dari sosok ini. Wajahnya tampak tak mengenal usia, seolah waktu sendiri tidak bisa menyentuhnya. Di balik jubahnya, aku bisa melihat kilatan dari sesuatu yang tampak seperti perisai atau pelat logam, menandakan bahwa dia tidak hanya seorang pengamat, tetapi juga seorang pejuang.
“Kau menyebut dirimu penjaga. Tapi penjaga dari apa?” tanyaku, meski sebagian diriku sudah tahu bahwa jawabannya pasti menarik.
“Dunia ini bukan dunia biasa. Tempat ini, Kaelan, adalah titik pertemuan antara kekuatan cahaya dan kegelapan. Dulu, tempat ini dihuni oleh mereka yang mencoba mencari kebenaran tentang kekuatan itu, tapi semua berakhir dengan kehancuran. Sekarang, yang tersisa hanyalah bayangan makhluk-makhluk yang lahir dari kegelapan yang mendalam. Tugasku adalah memastikan bahwa hanya yang terkuat yang bertahan. Dan sekarang, kau ada di sini… terlahir dari petir dan darah.”
Aku mengangkat satu alis. “Jadi kau di sini untuk mengujiku? Apa yang terjadi jika aku gagal?”
Razen menggeleng pelan, senyum tipis muncul di wajahnya. “Jika kau gagal, kau akan menjadi seperti yang lainnya hilang di dalam bayang-bayang, menjadi makhluk yang tak lebih dari sekadar cangkang kosong, haus akan kekuatan tapi tanpa jiwa. Tapi jika kau berhasil… kekuatan yang kau miliki akan berkembang. Dan kau bisa menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar manusia.”
Aku bisa merasakan jantungku berdetak lebih cepat. Di balik ancaman kematian itu, ada janji sesuatu yang jauh lebih menarik. Kekuatanku akan berkembang, dan dunia ini penuh dengan tantangan yang menungguku. Inilah yang aku inginkan.
“Kau masih belum menjelaskan tujuanmu,” kataku, ingin tahu lebih banyak tentang pria misterius ini.
Razen mendesah, mengangkat pandangannya ke langit yang kelabu. “Tujuanku sederhana. Aku ada untuk memastikan keseimbangan. Dunia ini dunia yang kau bangunkan adalah tempat di mana kekuatan kegelapan dan cahaya selalu bertempur. Aku… hanyalah penyeimbang, seseorang yang memastikan bahwa tidak ada yang terlalu jauh melampaui yang lain.”
Dia menatapku kembali, tatapan tajamnya menusuk seolah bisa membaca isi pikiranku. “Dan kau, Kaelan, adalah bagian dari permainan ini. Kekuatan dalam dirimu bisa menjadi alat yang ampuh. Tapi bagaimana kau menggunakannya, itulah yang akan menentukan apakah kau menjadi bagian dari cahaya… atau jatuh ke dalam kegelapan.”
Aku menahan senyum. “Kegelapan terdengar lebih menarik.”
Razen tidak tersenyum, tapi matanya berbinar tajam. “Itulah yang dikatakan oleh banyak orang sebelum mereka lenyap.”
Dia berbalik, mulai berjalan lagi menuju hutan kelam yang membentang di depan kami. Jubahnya melambai tertiup angin, dan aku bisa mendengar suara ranting-ranting patah di bawah kakinya. “Jika kau ingin hidup di dunia ini, Kaelan, kau harus kuat. Hanya yang terkuat yang bisa bertahan di sini. Di dalam hutan itu,” dia menunjuk ke arah pohon-pohon yang tampak merayap seperti tangan-tangan raksasa, “ada makhluk yang akan menjadi ujian pertamamu. Bayangan yang lahir dari kegelapan, dan mereka akan memburu setiap kilatan cahaya yang kau pancarkan.”
Aku mengulurkan tanganku, dan petir mulai melesat di antara jari-jariku. Kekuatan itu, begitu mentah dan liar, berdesir dalam nadiku seperti binatang yang haus akan kebebasan. “Makhluk bayangan, ya?” Aku mendengus. “Ini bahkan lebih mudah daripada yang aku bayangkan.”
Razen berhenti, memutar kepalanya sejenak, matanya memperingatkan. “Jangan meremehkan mereka, Kaelan. Banyak yang telah datang sebelum dirimu, membawa kekuatan yang mereka pikir tak terkalahkan. Dan banyak dari mereka yang hilang tanpa jejak.”
Aku menatap lurus ke arah hutan yang gelap itu, senyum puas mengembang di wajahku. “Aku bukan mereka.”
Tanpa ragu, aku melangkah maju, meninggalkan Razen di belakang. Rasanya seperti darahku mulai berdesir lebih cepat, tubuhku merespons tantangan yang ada di depan. Hutan gelap itu penuh dengan bahaya, tapi justru di situlah letak kesenangannya. Petarungan pertama dalam kehidupan baruku menanti, dan aku tak sabar untuk melihat seberapa jauh aku bisa mendorong batas kekuatanku.
Razen berdiri diam di belakangku, suaranya terdengar samar di antara angin. “Ini hanya awal, Kaelan. Ingat, dunia ini bukan tentang kemenangan cepat. Ini tentang bertahan.”
Aku hanya tersenyum, melangkah lebih dalam menuju kegelapan, siap menghadapi segala yang akan datang.
Kaelan berlari dengan kecepatan luar biasa, hampir seperti petir itu sendiri menyatu dengan langkahnya. Hutan gelap di depannya seolah mengundang dengan bisikan kegelapan, tapi dia tidak merasakan ketakutan hanya antusiasme yang meledak-ledak di dalam dadanya. Dia tertawa terbahak-bahak, tawa yang menggema di antara pohon-pohon kelam yang menjulang di sekelilingnya.
“Razen! Aku akan mengalahkanmu suatu hari nanti!” teriaknya dengan suara keras, yang terdengar liar dan penuh kegilaan. “Hahaha!”
Langkah kakinya menghantam tanah berbatu, menciptakan dentuman yang kuat. Setiap loncatan terasa seperti ledakan kecil, dan kilatan petir kecil muncul di sekelilingnya, seolah-olah menari bersama kekuatan liar yang kini mengalir dalam tubuhnya. Daun-daun hitam di atas kepala bergetar setiap kali energi petirnya melesat.
Di depannya, hutan semakin gelap, bayang-bayangnya terasa hidup, bergerak dengan niat jahat. Udara semakin tebal, dingin, dan Kaelan bisa merasakan keberadaan makhluk-makhluk yang menunggu di dalam kegelapan. Mereka menatapnya, mengintainya, tapi dia tidak peduli. Dia haus akan pertempuran, siap menghancurkan apa pun yang berdiri di hadapannya.
Dari balik pepohonan, sesuatu bergerak cepat. Kaelan menghentikan langkahnya, jantungnya berdetak kencang bukan karena takut, tapi karena antisipasi yang mendalam. Seberkas bayangan melesat ke arahnya, cepat dan senyap, dengan mata merah menyala seperti bara api. Makhluk itu terbuat dari kegelapan murni, dengan cakar yang tajam dan tubuh yang tampak cair namun padat.
“Ah, yang pertama datang!” Kaelan tertawa lagi, memusatkan kilatan petir ke dalam genggaman tangannya. Dengan satu gerakan cepat, dia melemparkan petir tersebut ke arah makhluk itu, menciptakan ledakan cahaya di tengah kegelapan. Suara ledakan bergema, memecahkan kesunyian hutan, dan makhluk bayangan itu menjerit sejenak sebelum tubuhnya hancur dalam kilatan energi.
“Ini terlalu mudah!” Kaelan berteriak, wajahnya dipenuhi kepuasan.
Namun, sebelum dia bisa menikmati kemenangannya lebih lama, dua makhluk lagi muncul dari kegelapan, kali ini lebih besar, lebih ganas. Tubuh mereka bergerak tanpa bentuk yang pasti, seolah-olah bayangan itu sendiri berubah menjadi monster hidup. Mereka menyerang bersamaan, mencoba mengepung Kaelan dengan kecepatan yang menakutkan.
Kaelan hanya tersenyum lebar. “Makin banyak, makin seru!”
Dia melompat tinggi ke udara, menghindari serangan pertama dengan kelincahan yang tidak manusiawi. Sambil melayang di udara, petir berkumpul di sekeliling tubuhnya, membentuk medan energi yang berdesis keras. Dengan satu gerakan menghantamkan tangannya ke bawah, dia mengirimkan gelombang petir yang meledak ke tanah, menghantam dua makhluk itu sekaligus. Tanah bergetar dan cahaya terang menyelimuti hutan untuk beberapa detik, membuat bayangan-bayangan di sekitar mereka menghilang sementara.
Namun makhluk-makhluk itu tidak langsung hancur seperti yang pertama. Tubuh mereka meregenerasi dengan cepat, bayangan mereka berkumpul kembali seolah-olah petir Kaelan hanya memperlambat mereka.
“Oh? Kalian tidak mudah, ya?” Kaelan mencibir, merasakan adrenalinnya naik lebih tinggi. “Bagus. Aku butuh lebih!”
Dia melesat ke depan, langsung menuju salah satu makhluk yang masih dalam proses regenerasi. Dengan satu pukulan penuh petir, dia menghantam tubuhnya, membuat bayangan itu terpecah kembali. Tapi kali ini, sebelum makhluk itu bisa pulih, Kaelan menghujani dengan serangan bertubi-tubi, setiap pukulannya disertai dengan kilatan petir yang membakar udara. Tubuh makhluk itu meledak berkali-kali, akhirnya menguap ke dalam kegelapan.
Satu lagi.
Kaelan berbalik, siap menghadapi makhluk terakhir, tetapi kali ini dia tidak hanya menunggu. Makhluk bayangan itu meledak menjadi puluhan cabang bayangan yang lebih kecil, semuanya menyerang dari berbagai arah sekaligus, berusaha mengepung dan menjebaknya. Kaelan tersenyum puas, matanya bersinar dengan kebrutalan yang memancar dari dalam dirinya.
“Lebih baik begini!”
Dengan satu gerakan tajam, dia memusatkan semua energi petirnya ke dalam satu ledakan besar. Tubuhnya bersinar terang, seolah-olah menjadi pusat badai petir. Kilat menyambar ke segala arah, menghancurkan bayangan-bayangan kecil itu dalam sekejap, menyapu bersih area di sekitarnya dengan kekuatan yang menggetarkan tanah.
Setelah ledakan itu mereda, Kaelan berdiri di tengah lingkaran tanah yang hangus, napasnya berat tapi wajahnya penuh dengan kepuasan. Hutan yang gelap kini sepi, tak ada lagi makhluk yang muncul untuk menantangnya.
Dia mendongak, menatap langit yang kini tertutup oleh awan tebal, kilatan petir kecil masih berlari di ujung jarinya. “Kalian pikir itu sudah cukup?” Kaelan berteriak ke dalam kegelapan, berharap ada sesuatu yang lebih kuat datang menantangnya. “Aku belum selesai! Bawa lebih banyak lagi!”
Namun, tidak ada suara yang menjawab. Hanya keheningan yang kembali mendominasi hutan.
Kaelan tertawa lagi, tawa penuh kebrutalan dan kegembiraan. Dia merentangkan tangannya, membiarkan kekuatan petirnya mereda sejenak, lalu memandang sekeliling dengan puas. “Ini baru awal, Razen,” bisiknya, suaranya terdengar jahat di tengah hutan yang sunyi. “Aku akan menguasai semuanya, termasuk kau.”
Dan dengan itu, Kaelan melangkah lebih dalam ke dalam hutan, siap untuk tantangan berikutnya. Pertarungan berikutnya. Dan dia tahu, ini baru permulaan dari sesuatu yang lebih besar sesuatu yang akan memuaskan dahaga tak terpadamkan di dalam dirinya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!