“Nana!”
“Tata!“
”Syasya!“
Natasya menghentikan langkahnya yang hendak menaiki anak tangga menuju kelasnya di lantai tiga. Dia sudah hapal betul dengan panggilan-panggilan yang tertuju padanya. Dia memutar tubuhnya pelan, tersenyum sambil bersandar pada tangga.
Tiga laki-laki tampan tengah tersenyum kearah Natasya. Ada kilatan tak suka saat mata mereka bertemu. Dengan cepat mereka berlari kearah Natasya, saling berebut untuk berada di posisi pertama. Huh, mereka seperti anak kecil, pikir Natasya.
Antonio Conte Gabiee, anak seorang pengacara terkenal yang selalu dipercaya memegang kasus-kasus besar. Memang dasarnya dia anak pengacara, jadi tak aneh rasanya kalau omongannya itu kayak pengacara. But, Anton itu pengacara versi gesreknya. Dan jangan lupakan fakta, bahwa cowok yang satu ini punya tingkat keusilan yang tinggi. Ingat! Cowok dengan panggilan Anton itu punya panggilan khusus untuk Natasya, yaitu Nana. Panggilan sayang sih katanya, ingat sebagai teman, katanya.
Nah, kalau lelaki yang memanggil Natasya dengan panggilan Tata itu adalah Delfano Juan Carlos, si cowok playboy yang punya mantan dimana-mana. Maklum lah, wajah Delfano itu di atas rata-rata, tak ayal para kaum hawa mengejar-ngejarnya dan berebut untuk mendapatkan hatinya.
Dan yang terkahir adalah Sebastian Gunawan. Cowok yang kayaknya anti sama yang namanya cewek, kecuali Natasya. Cowok itu anti banget sama cewek karena menurutnya cewek tuh 'ribet' dan dia gak suka sesuatu yang ribet. Tapi, itu pengecualian untuk Natasya. Dia rela dibuat ribet oleh perempuan itu, asal hanya oleh Syasya, panggilan khusus Sebastian untuk Natasya.
“Na,”
”Ta,”
“Sya,”
Natasya sedikit memundurkan tubuhnya saat mereka terus berebut posisi di hadapannya. Dia menggaruk rambut belakangnya yang tiba-tiba terasa gatal—tapi dia gak kutuan ya!— Dia bingung, harus bagaimana lagi untuk menghentikan perdebatan konyol ketiga anak manusia ini.
“Udah... Udah... Jangan ribut deh, masih pagi.” ketus Natasya sambil mengibaskan tangannya di depan mereka, sedikit meringis pelan.
“Mereka duluan, Ta.”
“Apaan? Lo tuh yang sok ganjen, pengen segala sapa Nana duluan! Buat apa coba? Dasar caper lo!”
“Heh! Lo gak ngaca tuh? Lo juga gitu bg!”
Aduh... Gatal di kepala Natasya semakin menjadi melihat mereka yang malah semakin bertengkar. “Aduh... Udah deh. Kemarin kan gue udah kasih jadwal, siapa yang duluan nyapa gue.” tukas Natasya. “Sekarang hari apa?” tanya Natasya pada ketiganya.
“Rabu,”
“Yaudah, berarti itu giliran siapa?”
“Gue duluan dong, Ta.” ucap Sebastian dengan senyum kemenangan di wajahnya, menatap dua sahabatnya—Delfano dan Antonio yang menatapnya geram.
Sebastian berdiri di hadapan Natasya yang mulai menunjukkan senyumnya yang manis membuat siapa saja langsung terkena diabet melihat senyum itu. “Selamat pagi, Sya semoga hari ini lebih baik dari kemarin, ya.” ucap singkat Sebastian dengan senyuman dibuat-buat yang malah ingin membuat Natasya tertawa terbahak-bahak menatap wajah lelaki itu yang kelewat lucu.
Just info aja, Sebastian tuh tipe-tipe cowok sok cool gitu. Sering sekali menampilkan raut wajah datarnya yang terkadang membuat orang-orang berbisik dengan kepribadiannya. Padahal aslinya Sebastian itu sedikit asik loh. Ya, meskipun sedikit.
“Pagi juga, Tian. Semoga hari lo juga lebih baik dari kemarin, ya.” balas Natasya yang hanya mendapat anggukan dari Sebastian. Dia tak kuasa menahan tawanya, sungguh.
Merasa jengah dengan semua ini. Baik Antonio maupun Delfano langsung menarik kerah seragam Sebastian, membuat si empunya mundur dan mendengus. “Gantian bego, serakah lo!” tukas Delfano.
“Good morning, babe. Gimana? Malem tidurnya enak kan?” tanya Delfano sambil menaikkan sebelah alisnya, menatap menggoda Natasya yang membuat perempuan itu langsung memukul pelan wajah Delfano yang kelewat genit.
Delfano itu tipe-tipe cowok buaya darat gitu, sering sekali tebar-tebar pesona ke setiap wanita. Tak ada orang yang tak kenal Delfano. Coba sebutkan saja, Fano si pemain futsal 06. Yakin, otomatis orang-orang langsung ngeh Fano mana yang dimaksud.
Delfano meraup wajahnya, menatap sebal perempuan di hadapannya. “Sakit, Ta...” ringis Delfano sambil mendengus, membuat Natasya kembali terkekeh.
Melakukan hal yang sama, Antonio menarik kerah seragam Delfano, membuat si empunya mendengus dan malah membuat Sebastian yang tengah menyender memperhatikan, tertawa tipis melihat itu semua.
“Sekarang giliran gue dong? Ya gak... Iya dong.” tukas Antonio. Baru saja kakinya melangkah hendak maju sedikit ke hadapan Natasya, mulutnya langsung menganga seketika mendengar suara yang memasuki telinganya yang membuat semua orang sibuk cepat-cepat masuk ke kelasnya.
“Sorry, Ton. Lo kayaknya kelamaan deh. Gue cabut dulu ya, soalnya jam pertama, jam nya Pak Danto. You know lah... Pak Danto gimana. Bye guys.” ucap Natasya sedikit meringis, tak enak dengan Antonio yang masih melongo tak percaya.
Setelah kepergian Natasya, baik Delfano maupun Sebastian langsung menepuk pelan penuh godaan pundak Antonio.
“Nasib, terima aja.”
“Zonk!!”
Antonio mendengus, segera melepas dengan kasar tangan kedua sahabatnya dari pundaknya, menatap tajam dua sahabatnya itu.
“Bacot!”
***
“Nat,”
Natasya hanya berdehem menjawab panggilan teman sebangkunya. Dia masih sibuk menyalin tulisan yang dia foto dari teman sebangkunya itu. Kinara—nama teman sebangkunya itu.
“Natasya,” panggil Kinara untuk kedua kalinya, membuat Natasya mau tak mau menolehkan kepalanya, mengendikkan dagunya bertanya dengan kening mengerut.
Bukannya menjawab, Kinara malah menunjuk ke arah lain menggunakan matanya. Natasya mengikuti kemana arah pandangan Kinara dan menemukan Delfano yang tengah mengintip sedikit lewat celah jendela kelasnya.
Kinara menangkup dagunya dengan sebelah tangan di atas meja, sedikit mencondongkan tubuhnya pada Natasya. “Fano lagi ngapain sih? Ngitip-ngintip segala.” ucap Kinara pelan dengan herannya. Pasalnya, dia sedari tadi memperhatikan Delfano yang terus saja mengintip lewat celah jendela kelasnya. Dan yang paling menegangkan adalah saat ini guru pelajaran di kelasnya itu terkenal dengan ke killeran nya. Takut-takut Delfano ketahuan dan akhirnya dapet door prize deh.
Natasya menggeleng kemudian kembali ke kegiatan awalnya. “Ya... Kayak gak tau aja Fano gimana, Nar. Ya, paling dia lagi cari mangsa lagi kali atau mungkin lagi pdkt sama mantannya di kelas ini.” jawab Natasya santai sambil melirik sekilas Kinara, dia terkekeh pelan.
Kinara mengerutkan keningnya kebingungan. Secara, mantannya Delfano itu hampir ¾ dari murid perempuan di kelasnya. Jadi, susah menafsirkan maksud dari Natasya, mantan mana yang dimaksud perempuan itu.
“DELFANO!”
Natasya dan Kinara langsung mendongak mendengar gertakan dari seseorang yang diyakini adalah Pak Danto. Jangankan mereka yang terkejut, hampir semua murid di kelasnya juga terkejut. Terkejut bukan asal terkejut, terkejut disini adalah saat melihat wajah Delfano yang tampan di depan wajah mereka secara langsung, lagi, lagi dan lagi. Mereka tak pernah bosan dengan wajah Delfano yang kelewat tampan itu.
Pak Danto berjalan dengan gagahnya ditambah wajah garangnya menghampiri Delfano yang hanya tersenyum lebar saja di tempatnya berdiri. “Ngapain kamu disini? Ini kan bukan kelas kamu.” tukas Pak Danto dengan ketusnya. Jadi, Pak Danto itu bukan hanya terkenal dengan ke-killeran nya saja, namun juga sikap ketusnya itu.
Delfano menggaruk kepalanya, tersenyum lebar menunjukkan deretan giginya. Beruntung saja, gigi Delfano tak ketinggalan cabai atau plak. “Enggak pak, lagi olahraga aja. Eh kebetulan lewat sini, jadi mampir dulu deh. Mau menyemangati seseorang.” jawab Delfano asal, membuat Pak Danto mengerutkan keningnya bingung.
“Menyemangati siapa kami?”
“Mantan,”
“Hah?”
“Jadi gini pak, menurut teori seorang Delfano—cowok ganteng banyak yang suka.” ucap Delfano, dia berucap dengan percaya dirinya. Dia berdehem pelan, “Kita tuh harus banget yang namanya menyemangati mantan, meskipun udah mantan tapi tetep harus disemangati. Masalahnya, mereka tuh udah pernah jadi bagian di cerita kehidupan kita. Jadi itu pak intinya.” jawab Delfano panjang lebar yang mendapat gelengan dari Pak Danto. Sedangkan semua isi kelas, terutama para ciwi-ciwi malah menjerit histeris.
“Memangnya siapa mantan kamu disini?”
“Mereka, mereka, mereka, mereka...”
Pak Danto kembali melongo melihat Delfano yang mulai menunjukkan satu persatu perempuan yang dia klaim sebagai mantannya itu. Sedangkan Natasya yang melihat itu malah tertawa, berbeda dengan Kinara yang ikut melongo.
“Gue bilang juga apa Nar, benarkan?” bisik Natasya dengan kekehan yang hanya mendapat anggukan pelan dari Kinara.
Pak Danto yang sudah mulai geram dengan sikap muridnya yang satu ini. “Sudah... Sudah... Mending sekarang kamu pergi, saya mau ngajar, ganggu aja.” ketus Pak Danto dan langsung menutup pintu kelas begitu saja yang otomatis membuat Delfano langsung mundur seketika.
Delfano menghela napas lega, dia memegang hidungnya. “Untung aja... Hidung mancung gue gak kenapa-napa. Kalau kenapa-napa gimana coba? Mau tanggung jawab tuh guru? Enggak kan.” gerutu pelan Delfano sambil mengusap-usap hidungnya.
Langkah kakinya ia langkahkan melintasi jendela, terus memperhatikan Natasya yang mulai serius memperhatikan setiap penjelasan Pak Danto. Seulas senyum tercetak di sudut bibirnya. “Cantik dan selalu cantik.” ucap Delfano pelan kemudian melangkahkan kakinya meninggalkan kelas Natasya.
Natasya keluar dari kelasnya, dia melangkahkan kaki menuju kantin. Banyak orang yang berlalu-lalang menuju tempat dimana perut mereka yang berdemo kelaparan minta diisi. Dia langsung berjalan kearah penjual siomay—tempat dimana belum terlalu penuh dengan siswa lainnya. Berbeda dengan jajanan lainnya yang sudah mulai di kerumuni para siswa.
“Mang, aku siomay yang komplit ya, satu aja.” ucap Natasya yang mendapat anggukan dari penjual siomay itu. Dia menunggu, melirik sekilas orang-orang yang berlalu-lalang. Hingga tiba-tiba pundaknya ditepuk seseorang.
Dengan senyuman, orang itu memutar tubuhnya sehingga berdiri di hadapan Natasya. “Lo sendirian aja, Na?” tanya Antonio, orang itu dia.
Natasya mengangguk. “Iya, gue tadi ke kelas lo tapi, kalian gak ada.” jawab Natasya.
Fyi, Antonio itu satu kelas dengan Sebastian, keduanya sama-sama mengambil jurusan IPS. Beda halnya dengan Delfano dan Natasya yang lebih memilih jurusan IPA. Sebenarnya sih niat awal Natasya sendiri mengambil jurusan IPS, namun karena dia punya potensi yang cukup besar, akhirnya dia direkomendasikan untuk masuk ke IPA. Dan berakhirlah seperti sekarang, Natasya satu jurusan dengan Delfano dan hanya beda kelas saja.
“Oh... Guee sama yang lain gak di kelas, Na. Tapi, di rooftop.” jawab Antonio yang membuat Natasya mencebik kesal.
“Ih sebal, gue gak di ajak. Jahat banget sih kalian. Terus sekarang Tian sama Fano mana? Kok gak bareng?” tanya Natasya sambil mencari keberadaan Delfano dan Sebastian.
Antonio menunjuk dengan jarinya asal. “Ada, biasalah. Fano lagi urusin cewek-ceweknya dan Tian lagi dapet ceramah dari Pak Zae karena ketahuan gak ikut pelajarannya.” jelas Antoni.
Natasya menerima sepiring siomay pesanannya yang telah selesai dibuat, membayarnya kemudian berjalan beriringan dengan Antonio menuju meja di pojok yang belum terisi siapapun. “Kok lo gak di cermahin juga? Kan kalian bareng?” tanya Natasya bingung sambil mulai memasukkan suapan siomay pertama ke mulutnya.
Antonio terkekeh, tersenyum menunjukkan deretan giginya. “Gue gitu loh... Punya banyak cara. Gak kayak Tian yang kaku banget. Jadi, gue bebas deh dari ceramah yang super panjang lebar itu.” jawab Antonio yang membuat Natasya terkekeh.
“Ini minumnya, Ton.” ucap Mang Surman, salah satu penjual di kantin ini yang disenangi oleh murid-murid macam Anton ini. You know what i mean.
Antonio tersenyum, “Ok mang, makasih ya.” ucap Antonio sambil menyerahkan uangnya yang hanya dibalas anggukan serta acungan jempol dari Mang Surman.
“Nih minum,” ucap Antonio sambil menyodorkan salah satu jus jeruk pesanannya.
Natasya yang mengetahui itu tersenyum kemudian menyesap sedotannya. “Lo gak pesan makan? Katanya tadi pagi gak sarapan, gak laper apa?” tanya Natasya sambil mengerutkan keningnya, kembali memakan siomaynya.
“Pengen sih, ” Antonio mengedarkan pandangannya, bingung mau memesan apa. Dia kembali menatap Natasya, “Tapi, apa, ya? Malas banget sebenarnya,pada ngantri semua.”
Natasya menunjuk penjual siomay yang memang tak terlalu ramai, padahal siomay nya itu enak banget, cuma mungkin karena mulai bosan orang-orang mulai beralih jajanan. Dan sebenarnya, ini tuh kali keduanya Natasya menikmati siomay ini, alasannya satu, karena selalu ramai dan dia malas ngantri. “Yaudah, beli siomay aja. Gak ngantri ini.” ucap Natasya setelah mengunyah kol di mulutnya.
“Emang enak?” tanya Antonio penasaran, pasalnya dia belum pernah makan siomay disini. Alasannya sama seperti Natasya, ngantri dan dia malas kalau harus mengantri.
Bukannya menjawab, Natasya malah menyendokan siomay kemudian mengarahkannya ke mulut Antonio, membuat si empunya mau tak mau membuka mulutnya dan memakan makanan tersebut.
“Gimana? Enak kan?”
Antonio mengangguk, bibirnya tiba-tiba menarik seulas senyum saat ada sedikit getaran di hatinya atas perlakuan Natasya. Ah jantung, kenapa harus marathon seperti ini sih, pikirnya.
***
“Gue duluan ya, bye.” ucap Natasya sambil melambaikan tangannya didalam mobil Sebastian kepada Delfano dan Antonio yang tengah berdiri di samping motor masing-masing.
Hari ini, Antonio bawa motor, begitupun Delfano. Hanya Sebastian yang bawa mobil. Dan karena Natasya sedang tidak mood dengan cuaca yang cukup panas ini, akhirnya dia ikut dengan Sebastian di mobil lelaki itu. Biasanya sih, Natasya ikut dengan Antonio karena rumah mereka bersebelahan dan terkadang ikut juga dengan Delfano kalau tidak ada ciwi-ciwi yang tengah menjalin hubungan dengan lelaki itu.
“Yan, anterin dulu ke Gramedia ya. Mau beli sesuatu.” ucap Natasya sambil melirik Sebastian yang tengah terfokus menyetir.
“Oke. Emangnya sesuatu nya apa?” tanya Sebastian balik, melirik sekilas Natasya dan kembali fokus ke jalanan yang lumayan ramai karena sudah jam nya pulang sekolah dan kantor.
“Ada pokoknya. Lo gak papakan? Gak keberatan?” tanya Natasya memastikan.
Mobil Sebastian berhenti karena lampu merah, lelaki itu menatap Natasya yang juga menatapnya. “Apa pernah sekalipun gue merasa keberatan? Bahkan, tengah malem lo telpon gue dan minta di beliin martabak di depan komplek gue, gue pernah keberatan? Enggak kan? Padahal jarak komplek kita lumayan loh.” ucap Sebastian yang membuat Natasya tersenyum lebar.
“Makasih ya, lo tuh emang sahabat gue yang paling pengertian deh. Sayang deh jadinya,” ucap Natasya dengan manjanya sambil menyelipkan tangannya di lengan Sebastian, menyenderkan kepalanya ke pundak lelaki itu, mendongak sedikit menatap Sebastian yang tersenyum.
Aduh... Sya, jangan deket-deket dong, gue deg-degan nih.
***
Natasya berjalan kearah balkon kamarnya, berpegangan pada pagar pembatas kemudian mendongak menatap langit malam yang lumayan cerah. Hanya beberapa saat sebelum kemudian dia beranjak menuju sofa yang ada disini, duduk sambil mulai berkutat dengan laptopnya yang menampilkan akun media sosialnya.
—
Natasya0603
(Picture)
Like by @delfano and 7.546 other
Natasya0603 Jadi ceritanya tuh gini. Gue kan lagi makan di cafe sebelah sama temen gue, temen gue tuh cowok. Dan matanya tuh gak bisa diem, lirik sana sini. Kesel, gak? Kesel, dong! Lu jalan sama gue, malah merhatiin yang lain. Aneh banget... Sebel!
94 comments...
...
@KesangPutra Yah... Gue sih udah bisa tebak, ya siapa teman lo itu. wkwkw @Natasya0603 @delfano
@Koernis Yaelah @delfano kan emang gitu, matanya jelalatan, sana sini lirik... wkwkw
@pengharummobil Mobil anda bau? Bau, bau mantan? Ayo, tuntaskan dengan produk pengharum dari kami. Buy 3 Get 2... wkwkwk
@sebastian_ Lah, @Natasya0603 emang pada dasarnya cowok kan gitu. Gimana sih?
@delfano @sebastian wkwkwk... baru nih teman gue. setuju!
—
Natasya terkekeh melihat beberapa komentar di foto yang dipostingnya kemarin. Dia beralih dari akunya dan malah memilih membuka satu persatu akun sahabatnya.
—
delfano
(Picture)
Like by @jasmineo and 30.675 others...
delfano Udah meleleh belom?
—
Natasya mendengus, dia terkekeh setiap melihat postingan Delfano. Ya... Karena pada dasarnya Delfano itu playboy dengan banyak mantan dimana-mana, jadi tak heran lagi kalau followers lelaki itu banyak sekali dan saking banyaknya kadang suka kepikiran, kalau Delfano tuh sebenernya artis bukan sih?
Natasya kembali membuka setiap foto-foto yang diposting Delfano. Hampir semuanya mendapat like lebih dari 30 ribu dan paling rendah mungkin sekitar 20k. Keningnya langsung mengerut saat menemukan satu posting yang menunjukan wajahnya. Dia menajamkan matanya, memastikan bahwa itu memanglah dirinya.
—
delfano
(Picture)
Like by @maurynau and others...
delfano 😂
—
Natasya langsung membuka kolom komentar dan sekali lagi membuatnyakembali tercengang. Komentar-komentar nya itu loh... Wah! Membuat darah Natasya langsung naik seketika. Dia langsung membuka aplikasi Skype dan langsung membuat panggilan bersama Delfano.
Di sana, di layar laptopnya, bukan wajah Delfano yang terlihat. Melainkan lantai dengan kedap-kedip lampu yang diyakininya lampu disko, lampu club' lebih tepatnya. Namun beberapa saat kemudian dia mendapati wajah Delfano yang tersenyum kearahnya dan yang membuatnya heran dengan sahabatnya satu ini adalah pasti selalu ada ciwi-ciwi dengan pakaian kurang bahan menempel pada lelaki itu.
“Delete postingan lo yang ada foto gue, malas gue bacain hate comment nya! Bikin sakit hati.”
“Apa, Ta? Gak kedengaran.” teriak Delfano sambil mendekatkan ponselnya kearah telinganya.
Natasya mencebik, “Ih, sebel banget. Yaudah ah, bye!” ketus Natasya kemudian memutuskan panggilan secara sepihak. Dia kembali membuka postingan orang-orang yang diikutinya. Daripada lihatin hate comment, yang membuat kita langsung badmood seketika, lebih baik lihat yang lain!
***
Antonio keluar dari kamarnya dengan gitar di tangan kanannya dan juga sekaleng soda dingin yang baru saja diambilnya dari lemari es. Dia duduk di sofa kecil yang disediakan di sana, tersenyum lebar menatap seorang perempuan yang tengah memainkan laptop di seberang sana.
Natasya, perempuan itu Natasya. Tetangga sekaligus sahabat karibnya. Sahabat? Ah... Rasanya dia ingin mengganti kata tersebut dengan kata lain. Tapi apa?
Jadi, rumah Antonio dan Natasya itu bersebalahan. Kebetulan balkon kamar mereka pun sama sebelahan nya. Hampir setiap malam atau setiap hari lelaki itu menghampiri balkon kamar Natasya, melakukan apapun bersama perempuan itu untuk mengusir jenuh atau bahkan dengan embel-embel belajar bareng.
“Na,” panggil Antonio yang membuat Natasya mendongak kemudian tersenyum.
Tangan Natasya bergerak menyuruh Antonio datang ke balkonnya. Mengerti dengan maksud perempuan itu, Antonio langsung melingkarkan tas gitarnya kemudian mulai menuruni tangga kecil dan langsung memanjat kecil balkon kamar Natasya yang begitu mudah baginya.
“Ton... Sini! Duduk samping gue.” titah Natasya sambil menepuk celah kosong disampingnya. Antonio mengangguk, segera duduk di samping perempuan itu.
“Kita live yuk, lo yang main gitar, gue yang nyanyi. Oke?” ajak Natasya antusias dan hanya dibalas anggukan oleh Antonio. Antonio mulai mengeluarkan gitarnya, mengetik asal gitarnya, mencari nada yang pas.
“Mau lagu apa, Na?” tanya Antonio, dia mendongak menatap Natasya.
Natasya terdiam, mengetukkan jemarinya di dagu kemudian tersenyum sambil menjentikkan jarinya. “Lagu ini aja, yang 'persahabatan jadi cinta' aja, lagu apa sih itu judulnya? Lupa lagi.”
Antonio terdiam mendengar kalimat yang baru disebutkan Natasya, seulas senyum terbit di bibirnya. Membuat Natasya mengerutkan keningnya bingung.
Natasya langsung memukul pelan pundak Antonio, membuat lelaki itu tersentak kaget. “Lo kenapa sih? Jangan bilang... Ada cinta lagi diantara persahabatan kita? Hayo ngaku...” tukas Natasya, berniat menggoda Antonio. Dia menggerak-gerakkan telunjuknya dengan senyum menggodanya.
Antonio gelagapan, dia bingung harus menjawab apa. Namun detik kemudian, Natasya tertawa menatap wajah bingung sekaligus panik milik Antonio. “Biasa aja dong mukanya, becanda kali. Gue juga yakin, mana mungkin sih ada 'cinta' diantara persahabatan kita. Ngaco, kan?” ucap Natasya sambil menatap wajah Antonio, masih dengan tawanya.
Lo gak tau aja Na, gimana jantung gue deg-degan cepat banget pas lo ngomong gitu tadi. Sumpah... Na. Kenapa sama jantung gue ini? Gak mungkin kan kalau gue jatuh cinta sama lo?
“Assalamualaikum...”
Antonio memasuki rumah dengan mengucap salam, dia berjalan kearah Emma—bunda Natasya yang kini tengah menata meja makan yang mana sudah terisi oleh banyak piring berisikan makanan, menu yang telah disiapkan Emma untuk sarapan pagi ini.
Emma tersenyum menyabut Antonio, dia mengusap pelan puncak kepala Antonio saat pemuda itu menyalaminya. “Waalaikumsalam. Ayo, sarapan. Pasti belum sarapan, kan?” tukas Emma, dia menggiring Antonio untuk duduk disamping suaminya, Bramantyo.
Antonio tersenyum, dia mengangguk. “Pagi, Yah.” sapa Antonio, dia pun menyalami Bramantyo dan duduk ditempatnya. Dia membalikkan piringnya, mulai mengisinya dengan nasi goreng udang buatan Emma yang jadi menu favoritnya jika sarapan disini.
“Nata, gimana disekolah? dia gak bikin ulah kan, Ton?” tanya Bramantyo sambil menyesap kopi hitam yang sudah disiapkan terlebih dahulu oleh istrinya.
Antonio menggeleng, “Enggak yah, tenang aja. Dia murid baik-baik, palingan—”
“Palingan kita, Yah yang selalu bikin ulah.”
Semua mata langsung tertuju ke sumber suara, dimana ada Delfano yang baru saja datang dengan senyuman menyebalkan. Delfano menyalami orang tua Natasya bergantian. Dia menyikut pelan Antonio, “Udah disini bae.” tukas Delfano, dia terkekeh.
“Awas, ya! Jangan ajak anak ayah yang aneh-aneh, apalagi sampai ikut-ikutan kenakalan kalian. Gak mau ayah kalau Nata sampai kayak gitu!” tukas Bramantyo, dia mengingatkan dua pemuda yang sangat dekat dengan putrinya itu. Piringnya sudah terisi oleh nasi juga lauk pauk karena Emma mengambilkan itu untuknya.
“Iya, jagain Natasya, ya. Dia itu perempuan. Jadi, kalian sebagai laki-laki punya tanggungjawab untuk jaga perempuan. Pokoknya, bunda percayain Natasya sama kalian. Dan, gak ada pengampunan kalau kalian rusak kepercayaan Bunda sama Ayah.” tambah Emma, dia sangat serius dengan ucapannya.
Tentu saja, Antonio dan Delfano mengangguk patuh. Sudah pasti mereka akan menjaga Natasya, mereka tak mungkin membuat Natasya mereka berada dalam masalah.
“Yaudah, Fan. Kamu juga ikut sarapan gih, biar bunda siapin.” titah Emma, hendak mengambil roti tawar yang menjadi sarapan Delfano biasanya.
Delfano mencegahnya, “Biar aku aja, bun. Gak usah bunda.” ucap Delfano, dia tersenyum pada Emma yang mengangguk. Delfano mengambil sehelai roti tawar dan mengoleskan selai cokelat, kemudian duduk disamping Bramantyo, berhadapan dengan Antonio.
Just info. Antonio dan Delfano itu berbeda. Perut Antonio bisa menerima makanan berat di pagi hari, lain halnya dengan Delfano yang pasti akan langsung merasa sakit di perutnya jika langsung ditimpa makanan berat. Mereka saja berbeda, tentu perbedaan itu juga berlaku untuk Sebastian. Sebastian lebih suka sarapan—
“Bun, Yah.”
Sapaan itu keluar dari mulut Sebastian yang baru saja datang. Sebastian berjalan menghampiri Emma dan Bramantyo yang tengah menikmati sarapan mereka, begitupun Antonio dan Delfano. Menyalami orang tua Natasya bergantian kemudian duduk di tempat kosong.
“Mau sarapan di sini juga?” tanya Emma dengan senyum menggoda, yang langsung mendapatkan senyuman tipis dari Sebastian.
Emma mengangguk mengerti, dia berjalan kearah dapur kemudian kembali lagi dengan mangkuk berisi oatmeal—sarapan Sebastian. Emma meletakkannya dihadapan Sebastian yang langsung dilahap lelaki itu yang sebelumnya sudah berterima kasih.
Bramantyo sudah selesai dengan sarapannya, dia meneguk setengah air putih di gelasnya, mengelap mulutnya dengan tisu yang telah tersedia. “Bun, panggilin Natasya. Ayah mau berangkat.” titah Bram yang langsung diangguki Emma. Emma berjalan meninggalkan meja makan menuju kamar anaknya yang berada di lantai dua.
Baik Antonio, Delfano maupun Sebastian saling pandang, mengerutkan keningnya.
Delfano melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. “Tumben Yah, masih pagi loh.” tukas Delfano dengan kebingungan yang menghinggapinya, dia menatap bingung Bramantyo.
Bramantyo menyesap kopinya, kemudian meletakkan kembali ditempat semula. “Iya, ayah ada meeting penting. Jadi harus agak pagi deh berangkatnya.” jawab Bramantyo santai yang diangguki mereka, cukup menjawab keheranan mereka.
“Ayah kok pagi banget sih?” tanya Natasya yang tengah menuruni anak tangga bersama Emma. Sontak, semua mata tertuju padanya.
Bramantyo menghampiri Natasya, “Ayah ada meeting, jadi harus agak pagi deh.”
“Oh... Udah sarapan tapi?”
“Udahlah, orang bunda udah nyiapin.” kali ini bukan Bramantyo yang menjawab, melainkan Emma yang sedari tadi menatap suami dan putrinya.
Natasya menoleh, terkekeh.
Bramantyo melirik jam di pergelangan tangannya, “Yaudah ah, ayah berangkat ya. Kamu sekolah yang bener.” tukas Bramantyo sambil mengusap pelan rambut Natasya yang langsung mendapat anggukan patuh oleh perempuan itu.
“Siap Bos!”
Bramantyo berjalan diikuti Emma di sampingnya yang membawa tas kerjanya. Sedangkan Natasya dan ketiga sahabatnya hanya menatap kepergian dua orang paruh baya itu setelah sebelumnya mereka menyalami Bramantyo.
Natasya duduk di tempat ayahnya tadi, menatap satu persatu sahabatnya kemudian mencebik. “Bisa abis sembako gue.” cetusnya yang membuat ketiga sahabatnya otomatis menatap kearahnya. Dia menyampirkan tasnya di kursi.
“Yaelah, pelit banget sih.”
“Satu doang juga,”
“Gak seberapa ini.”
Natasya terkekeh, dia mencoba mengambil roti dan juga selai seperti biasanya, namun Antonio lebih dulu mengambil dan memberikan itu semua kepadanya. Dia mulai mengoles roti tersebut dengan selai. “Ya emang gak seberapa, tapi lo semua pikir deh. Pagi, siang, sore, kalian makan di rumah gue? Idih... Najis banget.” dengus Natasya sambil kembali terkekeh.
Delfano menelan roti di mulutnya. “Awas lo ya, jangan nebeng gue lagi.” ancam Delfano sambil menunjuk Natasya dengan tangannya yang sedang memegang roti.
“Gue ogah beliin lo martabat depan komplek gue,” timpal Sebastian.
Natasya mencebik, mengunyah dengan kasar roti tanpa pinggiran itu. Dia menatap tajam satu persatu sahabatnya, kemudian berhenti pada Antonio yang hanya diam menikmati sarapannya.
“Lo apa!?”
Antonio gelagapan, dia mendongak dengan wajah terkejutnya. “Apa? Orang gue lagi anteng, disalahin. Aneh.” cebik Antonio, dia mengendikan bahunya dan kembali menikmati sarapannya.
Natasya terkekeh, menatap satu persatu sahabatnya yang tengah menikmati sarapan sambil menekuk wajahnya. “Yaelah... Becanda kali, serius amat sih.” ucap Natasya sambil kembali tertawa, kini tawanya lebih terdengar jelas, bukan kekehan lagi.
Hening.
Kunyahan di mulut Natasya semakin pelan, dia menatap kikuk satu persatu sahabatnya yang tak memberikan respon apapun. “Ya maaf.” cicit Natasya, dia menunduk merasa bersalah.
Hening, lagi.
Satu detik...
Dua detik...
Tiga detik...
Hahahaha...
Natasya mendongak, menatap kaget ketiga sahabatnya yang tengah tertawa terbahak. Dia menatap aneh, kesal dan jengah dengan tawa mereka yang tak kunjung berhenti. Dia meletakkan dengan kasar rotinya yang tinggal beberapa gigitan, melipat tangan di depan dada sambil menunggu mereka menghentikan tawanya.
Delfano mencoba mengatur napasnya, dia menatap geli sendiri Natasya yang hanya menatap datar dirinya. “Kita juga bercanda kali, Ta. Masa iya beneran. Tipu.” ucap Delfano yang kemudian dilanjutkan dengan tawanya yang belum berhenti sepenuhnya.
Natasya memutar bola matanya jengah, dia menatap Antonio yang masih terkikik, menatap Sebastian yang kini hanya menampilkan segaris senyum di bibirnya dan kini menatap Delfano yang bahkan masih tertawa meskipun tengah ditahannya.
“GARING!” dengus Natasya kemudian segera bergegas, menarik kasar tasnya dan menyampirkan begitu saja di pundaknya kemudian melangkah meninggalkan mereka yang kini mulai kelimpungan karena mode ngambek Natasya yang sudah menyala.
Antonio segera menyuapkan dengan cepat nasi goreng yang tinggal beberapa suap lagi. Sedikit mendengus dalam hati karena biasanya, di suapan terakhir tuh makanan akan berkali-kali lebih nikmat. Tapi karena Natasya, kenikmatan itu tak bisa seutuhnya dia rasakan. Dia segera menyusul langkah Delfano dan Sebastian yang juga tengah mengejar langkah Natasya.
***
Bruk!
Natasya keluar sambil membanting dengan kasar pintu mobil Delfano, dia segera berjalan cepat meninggalkan Delfano yang masih tersentak kaget di dalam mobil.
Delfano mengelus dadanya, beristigfar saat mendengar suara bantingan pintu yang cukup keras sampai-sampai memekikkan telinganya. “Astaghfirullah... Untung aja gue gak punya penyakit jantung, kalau punya? Tinggal nama aja.” ucap Delfano sambil mengelus dadanya. Dia segera menyambar tas yang di letakkan di jok belakang, kemudian bergegas keluar dari mobilnya yang sudah terparkir cantik di parkiran sekolah.
“Marah beneran dia?” tanya Antonio yang baru saja berdiri di samping kanan Delfano, lelaki itu juga baru saja memarkirkan mobilnya. Sebastian yang baru saja turun dari motornya pun segera menghampiri mereka.
Delfano mengendikan bahunya. “Mungkin. Tadi aja, pintu mobil gue dibanting. Untung aja, si robet gak papa.” jelas Delfano sambil mengusap Robet—nama mobilnya.
Antonio mengeratkan tas yang disampirkan di bahu kirinya, “Yaudah lah, paling juga gak lama. Yuk masuk!” ajak Antonio yang langsung diangguki mereka. Mereka berjalan beriringan menyusuri koridor sekolah, menjadi pusat perhatian karena tingkat ketampanan mereka yang di atas rata-rata.
***
Natasya terus mencoret-coret kertas kosong dihadapannya. Jam pertama sudah berlangsung sejak 15 menit yang lalu, tapi karena guru pelajaran yang tak kunjung datang, kebosanan menghinggapinya. Dimana suasana hatinya yang tak menentu, ditambah suasana kelas yang ricuh karena hal tak penting membuatnya bosan sekaligus kesal seketika.
“Berisik banget sih,” dengus Natasya sambil melirik bangku belakang, dimana beberapa siswa dan siswi yang terus saja berceloteh tak penting.
Kebetulan hari ini posisi duduk Natasya berada dekat jendela, otomatis dia bisa menolehkan kepalanya hanya untuk melihat keadaan diluar sana yang kebetulan langsung menghadap ke lapangan basket out door. Dan pas, saat dia menoleh tatapannya langsung bertabrakan dengan Antonio yang tengah berdecak pinggang sambil tersenyum lebar kearahnya.
Kebetulan saat ini, kelas Antonio dan Sebastian tengah melaksanan pelajaran olahraga.
Bukannya membalas senyuman Antonio, Natasya malah mencebikkan bibirnya, menatap kesal Antonio yang kini memberikan hati yang dibentuk jemarinya—Finger Heart.
Natasya menahan senyumnya, dia menggeleng seolah menolak hati yang diberikan Antonio kepadanya. Dia malah bergidik ngeri, seolah hati yang diberikan Antonio itu memberikan efek negatif baginya. Sedangkan Antonio di sana malah tersenyum hangat, dia senang melihat wajah Natasya yang bergidik itu.
Cantik.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!