Berkali kali gadis berusia 23 tahun itu menghela nafasnya gusar. Tampak kesal sebab dia di paksa oleh keluarga nya untuk ikut liburan bersama.
Bukan, bukan kesal pada keluarga nya. Melainkan kesal pada naresh, sang musuh bebuyutannya yang juga di ajak. Keluarga mereka berlibur bersama ke lombok.
Nara namanya, nara natasya pertiwi. Gadis berusia 23 tahun yang kini bekerja di salah satu perusahaan percetakan. Dengan tinggi 161 cm dan berat 47 kg. Bola matanya hitam dan rambut sepunggungnya berwarna dark brown.
“Senyum dong ra, senang kita di ajak liburan ke lombok” celetuk renata menggoda.
Renata adalah kakak satu satu nya nara, dia sudah berumah tangga dan memiliki putri. Perbedaan usia mereka terpaut lima tahun.
Nara mengambil air dengan sebelah tangannya dan mulai menegaknya hingga tandas. Sedari tadi tenggorokan nya kering mendengar ocehan kakak nya.
“Ya senang, tapi kenapa mereka harus ngajak keluarga naresh juga sih? Gak bisa cuma keluarga kita doang?!” gerutu nara tak habis pikir. Memijat pelipisnya seraya mengemudi.
Renata menahan senyumnya, sembari mengelus kepala sang putri yang tertidur. “emang kenapa sih? Perasaan dulu kamu sama dia berteman deh. Tapi kenapa sekarang kayak tom and jerry?” bingung renata.
Naresh tumbuh hampir satu angkatan dengannya. Dan dulu pria itu dan adiknya berteman baik, begitu pun dengannya.
Nara memutar bola matanya mendengar ucapan memuakkan sang kakak. “Itu dulu, sekarang nggak. Pokok nya, aku gak mau kalau harus liburan sama dia” kekeh nara bersungut sungut.
Renata terkekeh mendengarnya, pertengkaran antara nara dan naresh selalu menjadi hiburan yang di tunggunya.
Berbeda dengan renata yang kesenangan, nara justru merasa ingin memutar balik mobilnya sekarang. Sungguh dia tak sudi berlibur dengan pria itu. Kalau saja bukan karena nenek nya yang meminta, nara pasti tidak akan kesini sekarang.
“kak adam masih tugas kah? Jarang banget pulang kayak nya” nara mengalihkan pembicaraan.
Adam rayn armando, suami renata juga ayah risya. Merupakan seorang abdi negara, yang menikahi kakak nya empat tahun yang lalu.
“Yah, kamu tahu lah. Tugasnya berat, jarang dia pulang. Tapi kakak tak keberatan, toh dia mengabdi pada negara” jawab renata dengan bijaknya.
Nara mengangguk, bersamaan dengan mobilnya yang terparkir rapi di garasi tempat mereka akan menginap. Hotel dekat pantai lombok yang terkenal.
Nara dan renata sama sama keluar, renata mengendong putrinya yang tertidur dan segera menghampiri keluarga nya yang lain.
Saat itu lah nara di haruskan bertemu dengan naresh, yang merupakan musuh bebuyutannya. Setiap kali mereka bertemu atau bertatap muka, pasti nara melayangkan tatapan tajamnya.
Seperti sekarang saat seorang pelayanan hotel datang dan menyambut mereka, meski jarak yang cukup jauh tapi naresh bisa melihat tatapan tak bersahabat nara padanya.
Tiba lah saat pembagian kamar, mereka berdua berada di kamar yang berdampingan di lantai tiga. Dan itu membuat nara ingin mengamuk saja rasanya.
“Gak bisa bunda, gak bisa. Pokok nya nara gak mau di kamar itu, nara gantian sama kak renata deh ya?” nara menolak mentah mentah, memprotes pada bundanya.
Bunda clara yang mendengar ucapan sang putri menggeleng. “Gak bisa nara, kamarnya sudah disiap kan khusus untuk siapa siapa saja. Kami semua kamar nya untuk berdua, tinggal kalian berdua yang single kamarnya” tolak bunda clara..
Nara menggeleng keras kepalanya. “Enggak mau bun, gak bisa. Aku sekamar sama kak rena aja kan gak papa?” nara kekeh.
“Kak rena sudah sama risya, dan paul. Emangnya kenapa kalau kamarnya bersebelahan sama naresh? Dia gak akan gigit kamu kok” terang bunda clara. Ampun dengan tingkah sang anak bungsu.
Nara menghela napasnya kasar sebelum dia hembuskan kesal. “Oke fine, nara disana” ujarnya berlalu pergi. mengingat semua kamar hotel sudah di booking dan tak ada lagi yang tersisa.
Bunda clara tahu pasti anaknya itu ngambek, tapi biarlah. Mau bagaimana lagi? Ini permintaan ibunya sendiri.
Nara yang hendak masuk ke kamarnya terkejut saat sebuah suara mengagetkan nya.
“Ribet lo!” celetuk naresh pada nara.
Nara menoleh sekilas, dia berdecak pelan dan membuka pintu kamarnya. Sebelum masuk tak lupa dia layangkan tatapan tajam, seolah mengancam pria itu. Dua jarinya menunjuk matanya dan kemudian di arahkan pada naresh.
Brak!
Pintu kamar di tutup keras membuat naresh berdecak. Pria itu masuk pula ke dalam kamarnya untuk segera beristirahat.
Karena mereka datang kesana pagi hari, kini saat siang hari mereka akan melaksanakan makan siang di restoran hotel mereka menginap.
Semuanya sudah ada di meja yang di reservasi kecuali dua orang yang berada di lantai berbeda. Ya, naresh dan nara. Dua anak muda itu masih belum juga turun, membuat yang lainnya bertanya tanya.
“Naresh sama nara kemana ya? Belum datang juga” tanya renata pada keluarganya.
Yesi selaku ibu dari naresh mengerdikan bahunya. “Kami pun tak tahu mereka kemana. Apa mungkin masih tidur ya?”
“Coba aku chat anakku” sahut clara cepat.
Dia menghubungi sang anak lewat sebuah chat, dan tak lama putrinya itu pun membalas pesannya. “Lagi di jalan katanya” ujar clara memberitahu.
Mereka pun mengangguk, menunggu sebentar lagi. Di sisi lain nara yang baru saja bangun tidur segera membersihkan dirinya begitu dapat pesan dari sang bunda.
Tak ingin membuat yang lain menunggu lama, nara cepat cepat keluar dari kamarnya. Menghentikan pintu lift yang hampir tertutup, namun sialnya naresh ada disana. Karena terlanjur lama dia pun terpaksa masuk ke dalam lift dan menjaga jarak dari pria itu sangat jauh. Naresh di sisi kanan dekat nomor lantai sedangkan nara di pojok kiri lift paling belakang.
Keduanya tak banyak bicara, saling terdiam karena memang mereka tak akrab. Tetapi, saat sebuah guncangan terjadi di lift itu baik naresh maupun nara sama sama memegang satu sama lain. Terlebih lagi saat lamu lift tiba tiba mati, sial! Mereka terjebak sekarang.
“aaa bunda! Ini kenapa?” nara berteriak ketakutan.
“Bunda gelap, nara takut!” nara panik bukan main, sampai berteriak minta tolong.
Naresh pun berinisiatif menyalakan senter ponselnya agar mereka dapat melihat satu sama lain. Dan hampir saja, cowok itu tertawa melihat wajah nara yang merah akibat menangis.
Nara segera melepaskan pegangannya, dia menjaga jarak kembali sambil mengusap ingusnya yang keluar.
“Lift nya macet” ujar naresh dengan santainya.
Nara tak peduli, gadis itu segera berteriak meminta tolong pada orang orang di luar.
“Tolong! Siapapun tolong!”
“Bunda! Ada hantu disini bunda, tolongin nara!” nara berteriak keras seraya memukul mukul pintu lift.
Naresh yang tengah menekan nekan tombok lift pun menoleh tajam, dia sangat tahu siapa yang di sebut hantu oleh gadis itu.
Dengan sengaja dia matikan senter ponselnya, dan nara pun berteriak ketakutan lagi. “aaa bunda, gelap! Bunda tolongin nara bunda”
Karena naresh tak kunjung menyalakan lagi flash ponselnya, nara pun dengan asal memukul mukul tubuh pria itu dalam gelap.
“Naresh! Hidupin lagi senternya! Lo gak lihat ini gelap hah!” pekik nara terus memukul mukul pria itu.
Tidak menghindar, justru naresh malah mendorong kepala nara sampai gadis itu tercengkak dan bengong.
“Sorry, gua bukan hantu” ujarnya.
Nara menghembuskan napasnya kesal, dengan kekuatan penuh dia mulai mencakar cakar tubuh naresh agar menghidupkan senter ponselnya.
Kali ini naresh akui kekuatan gadis itu memang kuat, Dia pun sedikit memundurkan tubuhnya dan menyalakan senter ponselnya.
Setelahnya mereka saling bertatapan tajam, tanpa minta maaf nara kembali menjaga jarak dari cowok itu.
“Lagian hp lo mana?” tanya naresh.
Nara mengerdikan bahunya, meraba raba pakaian yang di gunakannya dengan cuek. Dan dia menyesal dalam hati,ponselnya tertinggal di kamar.
“apa lo lihat liat? Mau gue colok mata lo?” ujar nara galak dengan mata memelotot pada naresh yang menatapnya tak kalem.
Naresh memutar matanya dan memilih menekan nekan tombol lantai hotel. Dan benar saja, tak lama lift kembali berjalan dan berhenti di lantai satu.
Saat pintu terbuka, terlihat banyak orang beserta beberapa petugas yang baru menghampiri mereka.
“kalian baik baik saja nak? Gak papa kan tadi?” tanya bunda clara menghampiri.
Nara lebih dulu keluar dan menemui keluarganya, gadis itu menggeleng pelan dan menjawab. “Gak papa bun” ujarnya seolah tak terjadi apa apa. Padahal dadanya masih dag dig dug ser trauma.
“Huh! Denger lift macet tadi kami langsung kesini. Takut kalian kenapa napa, untung kalian selamat” ujar oma sani, nenek nara.
Berbeda dengan naresh yang keluar dan menghampiri petugas, dia menjelaskan detail kejadian barusan. Untuk menjadi perhatian dan mencegah terjadi lagi masalah tersebut dikemudian hari.
Setelahnya mereka bersama menuju meja yang sudah di tunggu oleh beberapa orang, salah satunya renata, risya dan paul, adik naresh.
“Kalian gak papa?” tanya renata. Dia tak bisa meninggalkan meja makan karena harus menyuapi sang putri.
Nara menggeleng, duduk di samping wanita itu juga di samping paul. Karena makanan nya sudah di pesan tadi, jadi datang nya tak begitu lama. Karena disini dekat pantai, menu yang mereka pesan kebanyakan seafood.
Seperti kepiting alaska yang di olah dengan berbagai rempah dan di sesuaikan masakannya dengan lidah orang indonesia.
“Gimana tadi kalian bisa terjebak disana?” tanya papa erwin.
“tidak banyak, lift tiba tiba berhenti dan lampunya pun padam” jelas naresh menjawab pertanyaan sang ayah.
“Syukurlah kalian tak papa” timpal mama yesi.
Naresh menganggukinya. Mereka mulai melahap makanannya, pun renata yang menyuapi sang putri yang baru berusia dua tahun.
“Habis ini kita kemana? Mau langsung ke destinasi aja?” tanya oma sani.
meski usia wanita itu sebenar lagi berkepala tujuh, tetapi kekuatan nya tak bisa di ragukan. nenek nara itu dahulu nya adalah pendaki, jadi jangan heran jika stamina nya masih kuat.
Mereka semua mengangguk bersamaan. “Boleh boleh aja” timpal papa erwin.
“lo pernah ke air terjun disini kan resh? Yang kata lo sejuk banget di lombok” tanya renata pada naresh.
Pria itu mendongak sekilas, sebelum akhirnya mengangguk.
“Kita kesana aja gimana?” tawar renata lagi.
Pria itu menggeleng. “Kalau hari ini gak bisa, perjalanan nya jauh ada apalagi dari pantai” ucap nya.
Renata membalas dengan membulatkan mulutnya, kembali menyuapi sang putri. Berbeda dengan nara yang fokus mencoba semua lauk.
“Dulu kalian berteman sangat dekat kan? Sayang nya gak jodoh” celetuk oma sani.
Renata dan naresh mendongak bersamaan, sebelum akhirnya pria itu kembali melanjutkan makannya.
“Haha, iya oma. Naresh juga sekarang udah punya calon, yah nak?” sahut bunda clara. Naresh hanya mengangguk pelan.
“Punya calon tah? Kirain belum. Niatnya oma mau jodohin kamu sama nara” lanjut oma sani dengan senyum menggoda.
Nara yang tengah anteng pun sontak tersedak makanannya, terbatuk batuk mendengar ucapan mustahil omanya.
Ohok ohok!
Ayah guntur mengambil air dan segera menyodorkan nya pada sang putri. “Hati hati makan nya sayang” pesan sang ayah.
Lega meminum air, nara pun menatap omanya dengan kesal. “Oma jangan jodoh jodohin nara ya, apalagi sama dia. Nara gak mau!” tolak nara jujur. Blak blakkan sampai orang tuanya merasa tak enak.
“gue juga gak mau kali” balas naresh menatap tajam nara. Keduanya saling bertatapan sengit, seolah terpancar cahaya hitam dan putih dari mata mereka yang saling beradu.
Oma sani yang melihat itu terkekeh pelan. “astaga kalian ini. Jangan terlalu benci, nanti jadi cinta loh” ujarnya menggoda.
Bukannya tersipu dengan ucapan sang oma, nara malah berekspresi mual dan hendak muntah. Gadis itu langsung tak memiliki mood makannya.
Mereka semua terkekeh, yah kecuali dua orang yang di maksud tadi. Sebenarnya, naresh tak tahu apa yang membuat nara begitu membencinya. Tapi seiring berjalannya waktu, dia pun malah ikut kesal dengan gadis itu. Jadi lah hubungan keduanya tak akur sama sekali.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!