Sudah tiga tahun aku menikah dengan Dion. Tiga tahun penuh dengan janji-janji manis yang tak pernah benar-benar terwujud. Pernikahan kami, seperti kata orang, adalah pertemuan dua jiwa yang bersatu dalam cinta. Namun, di balik janji-janji manis itu, ada satu kenyataan pahit yang selama ini menggerogoti kehidupanku—aku bukan hanya menikah dengan Dion, tetapi juga dengan seluruh keluarganya.
Saat awal kami menikah, aku membayangkan kehidupan rumah tangga yang indah. Aku membayangkan kebebasan, ruang untuk tumbuh bersama sebagai pasangan, dan tentu saja, rumah kami sendiri yang damai. Namun, semua itu berubah setelah aku menyadari bahwa keluarganya, terutama ibunya, adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan kami. Rumah ini, meskipun dibangun dengan jerih payah Dion, selalu terasa seperti milik mertuaku, bukan kami.
"Kenapa pintu depan terkunci?" tanya ibu mertuaku suatu hari saat dia datang berkunjung tanpa pemberitahuan, lagi. Aku baru saja selesai mengepel lantai ketika dia masuk dengan langkah tergesa. Nafasnya terengah, seolah rumah kami adalah bagian dari wilayah pribadinya yang bisa diakses kapan saja.
“Oh, saya tidak tahu Ibu akan datang,” jawabku sopan. Aku memaksakan senyum meski hatiku perih. Sebenarnya, aku tahu dia akan datang—dia selalu datang. Setiap hari, tanpa permisi, tanpa rasa segan. Dia punya kunci rumah kami. Suamiku memberikannya tanpa pernah berdiskusi denganku terlebih dahulu.
Ibunya masuk ke dapur tanpa basa-basi. "Ada apa ini, hanya satu jenis lauk? Kalau kamu tahu, besok adik iparmu mau datang, siapkan yang lebih banyak. Orang dari kampung tidak makan makanan seadanya seperti ini."
Aku hanya bisa mengangguk. Berusaha keras untuk tidak menunjukkan ekspresi apapun. Dalam hatiku, aku merasa kecil. Setiap tindakanku, setiap masakanku, setiap keputusan yang kuambil di rumah ini selalu dianggap salah di matanya. Tidak pernah ada pujian, hanya kritik yang tak berkesudahan.
Sering kali, Dion tidak berada di rumah ketika ibunya datang dan membuatku merasa seperti seorang tamu di rumahku sendiri. Aku mencoba membicarakan ini dengannya, berharap ada pengertian. Tapi apa yang kudapat? Sebuah tatapan tajam, dingin, seolah dia berkata, “Biarkan saja. Dia ibuku.”
Kadang aku berpikir, apakah ini kehidupan yang kucita-citakan? Pernikahan seharusnya menjadi tempat berlindung, rumah yang hangat. Tapi aku merasa seperti hidup di bawah kendali orang lain. Setiap hari, aku harus siap dengan kunjungan tak terduga, barang-barang yang diambil tanpa izin, dan masakan yang tak pernah cukup baik.
Hari itu, ibu mertuaku mengambil beras dan beberapa barang dari dapur. “Ini buat rumah adik iparmu. Mereka sedang butuh.” Tanpa pamit, dia keluar membawa sepeda listrik kami yang jarang dipakai.
Aku hanya bisa menatap punggungnya yang menjauh. Tidak ada yang bisa kulakukan selain diam. Protes hanya akan membuat Dion semakin dingin padaku. Aku tahu betul reaksinya, karena aku sudah pernah mencoba berbicara tentang hal ini. Jawabannya selalu sama, “Dia ibuku. Apa yang kau harapkan dariku?”
Aku mulai merasa lelah. Bukan hanya fisik, tapi juga mental. Setiap kali aku melihat ibu mertuaku keluar dari rumah kami dengan barang-barang yang seharusnya menjadi milikku dan Dion, aku merasakan sebuah bagian dari diriku ikut terbawa. Kehidupan ini tidak adil, pikirku. Aku bekerja keras, aku berusaha sebaik mungkin menjadi istri yang baik, tapi apa balasannya?
Sore itu, setelah ibu mertuaku pergi, aku memutuskan untuk istirahat. Tubuhku lelah setelah seharian mengurus rumah. Aku tertidur di sofa, mencoba melupakan semua masalah. Saat bangun, perutku keroncongan. Aku menuju dapur, berharap ada sisa makanan untuk kumakan. Tapi ketika kulihat ke meja makan, piring yang tadi penuh dengan makanan sudah kosong.
“Habis,” gumamku, terkejut. “Ke mana makanannya?”
Setelah menelusuri rumah, aku menyadari bahwa ibu mertuaku telah membawanya pulang. Makanan yang aku masak dengan susah payah, untuk keluargaku, sekarang sudah di rumah adik ipar yang bahkan tidak pernah mengucapkan terima kasih. Aku merasa marah. Hatiku terasa panas, tapi aku menahannya. Ini sudah terlalu sering terjadi, dan aku tahu tidak ada gunanya marah-marah sendiri.
Malam itu, Dion pulang membawa bungkusan nasi goreng. Harapanku kembali tumbuh. Setidaknya, aku bisa makan malam bersama suamiku dengan tenang. Namun, saat aku hendak menyentuh bungkusan itu, Dion langsung menahanku.
“Itu untukku,” katanya singkat.
Aku menatapnya, tak percaya. “Aku belum makan, Dion. Kamu beli hanya untuk dirimu sendiri?”
Dion hanya mengangkat bahu. “Masak saja kalau lapar, atau beli sendiri.”
Itu adalah saat di mana aku merasa seperti pecahan kaca yang hancur. Suami yang seharusnya menjadi pelindungku, malah memperlakukanku seperti ini. Apa artinya pernikahan jika aku hanya dianggap pelayan? Seorang yang harus memenuhi semua kebutuhan keluarga, tanpa diberi perhatian sedikitpun?
Malam itu, aku menangis dalam diam. Aku memandang cincin kawin di jariku, simbol janji yang pernah diucapkan dengan tulus oleh Dion. Aku rela meninggalkan kotaku, orang tuaku, semuanya, demi membangun hidup bersamanya. Tapi apa yang kudapat? Aku seperti hidup dalam neraka kecil yang diciptakan oleh keluarganya, dan Dion hanya diam, membiarkanku terbakar perlahan-lahan.
Besok paginya, aku membuat keputusan besar. Sudah cukup. Aku tidak bisa terus hidup seperti ini. Aku harus memikirkan diriku sendiri. Selama ini, aku selalu memikirkan Dion, selalu mengutamakan kebutuhannya. Tapi sekarang, aku tahu bahwa satu-satunya cara untuk bertahan adalah dengan berdiri di atas kaki sendiri.
Aku menjual mas kawin yang selama ini kusimpan di dalam lemari. Dengan uangnya, aku membeli sebuah iPhone. Bukan untuk gaya-gayaan, tapi untuk masa depan. Aku tahu, jika aku ingin keluar dari bayang-bayang keluarganya, aku harus punya cara sendiri untuk bertahan hidup. TikTok, bisnis affiliate—aku melihatnya sebagai jalan keluar.
Aku mungkin belum tahu bagaimana masa depan akan berjalan, tapi satu hal yang pasti: aku tidak akan lagi tinggal diam dan menjadi korban. Ini waktuku untuk bangkit.
Sejak aku memutuskan untuk mengambil langkah sendiri, perasaan lega mulai menjalari diriku. Meskipun Dion tidak tahu bahwa aku menjual mas kawin kami untuk membeli iPhone baru, aku merasakan sebuah perubahan kecil yang memberiku harapan. Dengan ponsel itu, aku mulai belajar tentang dunia digital. Bisnis online dan TikTok affiliate kini menjadi fokusku. Tapi, di balik setiap kemajuan kecil yang kucapai, mertuaku tak pernah berhenti datang, seolah mengawasi setiap gerakan yang kulakukan.
Setiap pagi, aku bangun dengan semangat untuk membuat konten baru. Aku belajar teknik transisi sederhana, menata barang-barang promosi di keranjang kuning dengan harapan ada yang tertarik membeli. Namun, sebelum semangatku bisa benar-benar bangkit, ada ketukan keras di pintu.
"Kirana! Kamu ada di rumah?" Suara mertua memekakkan telingaku seperti biasanya.
Aku menarik napas panjang, berusaha tetap tenang. "Iya, Bu. Saya di sini."
Begitu pintu kubuka, ibu mertuaku langsung masuk tanpa permisi. Seolah rumah ini memang miliknya, bukan milikku. "Mana Dion?" tanyanya, sambil melihat sekeliling rumah.
"Dion masih di kantor, Bu."
"Hmmm... Ya sudah, aku cuma mau ambil TV itu. Anak bungsu pamanmu butuh hiburan di rumah. Kasihan, di rumah dia tidak ada TV, sedangkan TV di sini ada dua. Tidak masalah kan?"
Aku terpaku. TV di ruang tamu adalah satu-satunya hiburan yang kumiliki ketika Dion sibuk di kantor. "Bu, TV itu—"
Sebelum aku bisa menyelesaikan kalimatku, dia sudah memotong. "Dion pasti setuju. Ini hanya sementara. Nanti kalau sudah punya uang lebih, ibu belikan TV yang lebih besar untuk kalian."
Aku tahu janji-janji semacam itu hanya kosong belaka. Sejak awal pernikahan, ibu mertuaku selalu membuat janji manis tanpa pernah ditepati. Namun, seperti biasa, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya bisa melihatnya memanggil tukang untuk mengangkut TV dari ruang tamu kami.
Setelah itu, rumah menjadi semakin sunyi. Tanpa TV, tanpa suara apapun selain detak jarum jam yang terdengar semakin nyaring. Aku terjebak dalam keheningan, dan sekali lagi, aku merasa kehilangan kendali atas rumahku sendiri.
Beberapa hari kemudian, kejadian serupa terulang. Kali ini, ibu mertuaku datang tanpa memperingatkan, seperti biasa, dan kali ini dia membawa berita. “Adik iparmu yang baru melahirkan butuh beras. Aku tahu di rumah ini ada banyak stok beras. Pinjam dulu, ya?”
Aku baru saja selesai memasak ketika dia berbicara, dan entah bagaimana, kali ini hatiku tidak bisa lagi menerima semua ini dengan diam. "Bu, ini beras untuk keluarga kami sendiri. Kalau terus diambil, nanti kami yang kekurangan."
"Ah, kamu ini berlebihan sekali. Kamu kan hanya berdua dengan Dion. Stok sebanyak ini cukup untuk tiga bulan. Adik iparmu butuh sekarang. Kamu bisa beli lagi kapan-kapan," jawabnya enteng, sambil memasukkan karung beras ke dalam mobilnya.
Tanganku bergetar, menahan amarah yang rasanya siap meledak kapan saja. Tapi lagi-lagi, aku menelan protesku. Seperti biasa, tidak ada gunanya berbicara. Aku tahu, Dion akan membela ibunya dan mungkin akan menganggapku terlalu berlebihan. Tapi di balik semua ini, ada sebuah rasa tidak adil yang semakin besar menggerogoti hatiku.
Keesokan harinya, aku duduk di meja makan sambil merenung. TV sudah tidak ada, beras juga diambil, dan sepeda listrik yang kumiliki untuk keperluan pribadi juga sudah dipinjam oleh paman Dion, entah kapan akan dikembalikan. Semua ini membuatku merasa seolah aku hanyalah pelengkap dalam keluarga ini, tanpa hak apapun.
Siang itu, Dion pulang lebih awal dari biasanya. Aku pikir mungkin kali ini dia akan membawa kabar baik, atau setidaknya akan memberikan perhatian setelah melihat perubahan di rumah. Namun, harapanku kembali pupus ketika dia hanya mengeluh tentang masalah di kantornya tanpa peduli pada apa yang terjadi di rumah.
"Dion," aku memberanikan diri untuk memulai pembicaraan setelah makan malam. "Kita harus bicara."
Dia meletakkan ponselnya dan menatapku dengan tatapan datar. "Bicara tentang apa lagi?"
"Aku merasa keluargamu terlalu sering datang dan mengambil barang-barang di rumah ini. TV, beras, bahkan sepeda listrik. Semua diambil tanpa bertanya. Aku juga tinggal di sini, Dion. Aku juga butuh barang-barang itu."
Dion mendesah panjang. "Kirana, aku sudah pernah bilang, ini hanya sementara. Mereka butuh bantuan, dan kita harus berbaik hati."
"Tapi bagaimana dengan kita?" suaraku bergetar. "Kita juga butuh, Dion. Rumah ini milik kita, tapi aku merasa seperti tidak punya kendali apapun. Setiap kali mereka datang, selalu ada saja yang diambil."
Matanya menatapku tajam, ekspresi wajahnya berubah dingin. "Biarkan saja. Mereka keluargaku. Kau tidak perlu mempermasalahkan hal-hal kecil seperti ini."
Hal kecil. Setiap hari aku menyaksikan barang-barang di rumah ini diambil sedikit demi sedikit, dan dia menyebutnya hal kecil?
Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. "Ini bukan hanya tentang barang, Dion. Ini tentang bagaimana aku diperlakukan. Aku merasa tidak dihargai sebagai istri, sebagai bagian dari keluarga ini."
"Aku sudah bilang, mereka keluargaku. Mereka punya hak untuk meminta bantuan kapan saja. Kalau kamu tidak bisa menerimanya, itu masalahmu," balasnya dengan dingin, sebelum kembali tenggelam dalam ponselnya.
Kata-katanya terasa seperti pisau yang menusuk langsung ke jantungku. Aku hanya bisa menatap punggungnya yang kini kembali sibuk dengan dunia luar. Bagiku, itu adalah momen terakhir. Sebuah kesadaran menyadarkanku tidak ada yang akan berubah kecuali aku sendiri yang mengambil tindakan.
Kehidupan yang selama ini kujalani seolah berada di bawah bayang-bayang keluarganya, tanpa ruang bagi diriku sendiri. Aku terjebak dalam rutinitas yang selalu sama, tanpa adanya kesempatan untuk membuat keputusan yang seharusnya adalah hakku sebagai istri. Aku tahu, jika terus seperti ini, aku akan kehilangan diriku sepenuhnya.
Hari itu, aku berjanji pada diriku sendiri bahwa aku akan berusaha lebih keras untuk mendapatkan kebebasan. TikTok, konten digital, dan bisnis affiliate menjadi harapan terakhirku. Aku akan membangun sesuatu dari bawah, meski harus kulakukan sendirian.
Aku tidak bisa lagi terus-menerus hidup dalam bayangan keluarga suamiku. Sudah saatnya aku keluar dari gelap itu dan mencari cahaya untuk diriku sendiri.
Malam itu, suasana rumah terasa lebih dingin dari biasanya. Setelah perbincangan singkat dengan Dion tentang keluarganya dan segala barang - barang yang mereka ambil dari rumah, hatiku masih tersisa perih. Aku merasa diabaikan, tidak dianggap. Sementara itu, Dion tampak seolah-olah masalah ini tidak pernah ada. Aku duduk di ruang tamu, melihat ruang yang dulu terasa nyaman, kini mulai kosong perlahan.
"Dion, kita perlu bicara lagi," aku memulai percakapan, dengan hati-hati memilih kata.
Dion yang sedang asyik dengan ponselnya, mendesah panjang. "Kirana, aku lelah. Setiap kali pulang kerja, kamu selalu mengeluh tentang hal yang sama."
"Aku tidak mengeluh, Dion. Aku hanya—" Aku berusaha menahan emosi. "Aku hanya ingin kita, sebagai suami-istri, membuat keputusan bersama tentang rumah ini, tentang apa yang kita punya."
Dia menatapku sekilas dengan tatapan bosan. "Apa lagi? Ini tentang barang-barang yang ibu ambil lagi?"
Aku mengangguk, mencoba menjaga nada suaraku tetap tenang. "Iya, Dion. Rumah ini milik kita berdua. Tapi aku merasa kita tidak punya kendali atas apa yang terjadi di dalamnya. Ibumu sering datang, mengambil barang-barang, dan aku tidak pernah diajak bicara dulu."
Dion mendengus dan kembali menatap ponselnya. "Kirana, itu hanya barang. Apa sih pentingnya? Mereka keluargaku. Mereka membutuhkan sesuatu, jadi aku bantu. Itu wajar kan?"
"Wajar?" aku mulai tak bisa menahan amarahku. "Ini sudah terlalu sering, Dion. TV kita diambil, beras diambil, sepeda listrik juga hilang. Ini bukan cuma sekali-dua kali. Aku juga tinggal di sini. Apa aku tidak punya hak untuk mengatakan sesuatu?"
"Jangan lebay, Kirana," dia menegur dengan suara lebih keras dari biasanya. "Ibuku hanya meminjam, bukan mencuri. Mereka keluargaku. Apa kamu tidak bisa sedikit pengertian?"
Aku terdiam sejenak, berusaha mengatur napasku. "Tapi, Dion... Aku ini istrimu. Kenapa kau selalu membela ibumu setiap kali aku mencoba bicara soal ini?"
"Kirana," Dion memotong, suaranya penuh kesal. "Kamu harus ingat, ibuku membesarkanku. Dia sudah banyak berkorban. Kalau dia ingin sesuatu, wajar kalau aku memenuhinya."
"Tapi ini rumah kita! Ini kehidupan kita! Aku merasa tidak dihargai, Dion. Bagaimana kamu bisa berpikir itu wajar?"
Dia mendengus lagi, kali ini lebih keras. "Kirana, kamu selalu berpikir pendek. Kamu merasa terancam karena ibu datang dan meminjam barang-barang? Itu tidak masuk akal."
Aku menatapnya, berusaha mencari kilasan empati di matanya, tapi hanya ada kekosongan. "Dion, aku tidak meminta banyak. Aku hanya ingin kita bisa hidup sebagai pasangan yang punya batas dengan keluarga masing-masing. Aku ingin ruang di mana kita bisa membuat keputusan tanpa selalu diintervensi."
Dia menatapku dengan mata tajam, lalu berkata, "Kamu tidak mengerti, Kirana. Kamu selalu membuat hal kecil jadi besar. Aku bekerja setiap hari untuk memenuhi kebutuhan kita, sementara kamu hanya tinggal di rumah. Ibu hanya minta bantuan sedikit, kenapa kamu selalu mempermasalahkan hal ini?"
Mataku membulat karena terkejut. "Apa maksudmu dengan 'hanya tinggal di rumah'? Aku mengurus rumah ini, Dion. Aku yang menjaga agar semua berjalan lancar. Kamu tidak tahu bagaimana rasanya harus menghadapi keluargamu setiap hari yang terus datang dan mengambil barang-barang tanpa izin."
"Dan kamu tidak tahu bagaimana rasanya harus terus-menerus mendengar keluhanmu setiap hari," balas Dion dengan tegas.
Aku menghela napas panjang. Rasanya seperti berbicara ke dinding. "Dion, aku hanya ingin rumah ini menjadi tempat yang nyaman untuk kita berdua, bukan tempat di mana keluargamu bisa datang dan pergi sesuka hati."
Dia menatapku lama, seolah sedang mencoba memutuskan apakah akan merespon atau tidak. Akhirnya, dengan nada dingin, dia berkata, "Kalau kamu tidak bisa mengerti, mungkin kamu yang harus introspeksi. Ini keluargaku, Kirana. Ibu akan selalu jadi prioritas. Dan jika kamu merasa tidak nyaman dengan itu, aku tidak tahu harus berkata apa."
Jantungku terasa seperti dicengkeram. Kata-katanya menghujamku lebih dalam daripada yang pernah kubayangkan. "Prioritas?" tanyaku, suaraku bergetar. "Jadi aku tidak pernah jadi prioritasmu?"
Dion mengangkat bahu, tampak acuh tak acuh. "Aku tidak bilang begitu. Tapi ibuku... dia membesarkan aku. Kamu tidak bisa berharap aku mengabaikannya begitu saja hanya karena kamu merasa tidak nyaman."
Aku merasakan panas di pipiku. "Ini bukan soal mengabaikan, Dion. Ini soal menghormati batasan. Batasan antara keluarga kita dengan keluarga besarmu. Kita harus bisa berdiri sendiri tanpa selalu bergantung pada mereka."
Dia menggelengkan kepala. "Kamu tidak akan pernah mengerti. Kamu hanya memikirkan dirimu sendiri."
Aku terdiam sejenak, merasa seperti ditampar oleh kata-katanya. Apakah aku benar-benar egois? Apakah aku terlalu menuntut? Tapi di dalam hatiku, aku tahu yang kuminta hanyalah sedikit ruang untuk diriku sendiri, sedikit penghargaan sebagai istri.
"Kalau begitu, Dion, suaraku melembut, tapi penuh tekad, apa artinya pernikahan ini kalau aku harus selalu hidup di bawah bayang-bayang keluargamu?"
Dion bangkit dari kursinya, menghela napas panjang. "Aku lelah mendengar ini, Kirana. Setiap hari kamu mengeluh. Aku bekerja keras, aku memberikan semuanya untukmu, tapi kamu masih saja merasa tidak cukup."
"Ini bukan tentang materi, Dion. Ini tentang bagaimana aku merasa tidak dihargai di rumah ini. Tentang bagaimana aku merasa kau selalu lebih memilih ibumu daripada aku."
Dia menatapku dengan mata yang tajam, lalu berkata dengan nada rendah tapi penuh tekanan, "Kalau kamu tidak bisa menerima itu, mungkin kamu harus berpikir ulang tentang pernikahan kita."
Kata-katanya menggema di kepalaku. Aku tidak percaya dia benar-benar mengatakannya. Hanya karena aku ingin dihargai dan diberi ruang sebagai istri, dia malah mengancam pernikahan kami.
"Jadi, kamu akan memilih ibumu daripada aku?" tanyaku lirih.
Dia terdiam sejenak, lalu berkata dengan dingin, "Aku tidak bilang begitu. Tapi kalau kamu terus-menerus membuat masalah ini jadi besar, mungkin kita memang perlu mempertimbangkannya."
Hatiku terasa remuk. "Dion, aku mencintaimu. Aku hanya ingin kita punya kehidupan yang normal, tanpa selalu diintervensi oleh keluargamu."
Dia tidak menjawab. Hanya berbalik dan berjalan pergi ke kamarnya, meninggalkanku sendirian di ruang tamu yang semakin sunyi.
Aku duduk di sana, menatap ruang kosong di sekelilingku. Perasaan kecewa dan kesepian semakin menggerogoti diriku. Di satu sisi, aku mencintai Dion, suamiku, dan aku ingin pernikahan kami berhasil. Tapi di sisi lain, bagaimana mungkin aku bisa terus hidup dalam bayang-bayang keluarganya?
Aku menyeka air mata yang mulai mengalir di pipiku. Mungkin inilah saatnya aku benar-benar mulai memikirkan diriku sendiri, bukan hanya pernikahan yang terasa semakin jauh dari harapan.
Dan di saat itulah, aku tahu. Sesuatu harus berubah. Tapi pertanyaannya, apakah Dion siap untuk perubahan itu? Atau aku yang harus memilih jalan lain?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!