NovelToon NovelToon

Kumpulan Cerita Pendek

Jangan Keluar Magrib.

Di sebuah desa terpencil di kaki gunung, ada sebuah aturan yang tak tertulis namun diyakini kuat oleh semua warganya: jangan pernah keluar rumah saat magrib. Desa itu, bernama Karangjati, menyimpan misteri yang selalu membuat orang penasaran, namun juga ketakutan. Anak-anak kecil dilarang bermain di luar ketika senja tiba, dan para orang tua selalu menutup jendela rapat-rapat begitu azan magrib berkumandang.

Rara, seorang gadis berusia delapan belas tahun, selalu penasaran tentang larangan ini. Sejak kecil, ibunya selalu mengingatkan hal yang sama, namun tanpa penjelasan yang memadai. Hanya ada satu jawaban yang selalu diberikan ketika Rara bertanya, “Karena berbahaya.”

Namun, rasa penasaran Rara memuncak setelah kepergian ayahnya yang tiba-tiba dua tahun yang lalu. Ayahnya, seorang petani yang dikenal pendiam dan pekerja keras, hilang begitu saja pada suatu malam magrib. Waktu itu, ayahnya bilang akan pergi ke ladang untuk memeriksa tanaman yang rusak karena banjir kecil. Tak ada yang menduga malam itu akan menjadi pertemuan terakhir Rara dengan ayahnya.

Rara duduk di tepi jendela kamarnya. Pemandangan senja di Karangjati memang memukau, tetapi ada nuansa kelam yang tak bisa diabaikan. Awan di langit sering kali menggantung rendah, dan angin yang bertiup pelan selalu terasa lebih dingin saat azan berkumandang. Dia merapatkan tangannya di jendela, memandang ke luar dengan penuh rasa ingin tahu.

“Kenapa sih, Ma, kita gak boleh keluar magrib?” tanya Rara, suatu sore.

Ibunya, seorang wanita paruh baya dengan wajah penuh kelelahan, meletakkan piring yang sedang ia lap ke meja dan menghela napas panjang. “Itu sudah tradisi di sini, Nak. Bahaya mengintai saat magrib. Kau sudah tahu kan cerita-cerita yang beredar?”

“Tapi kan itu cuma cerita rakyat, Ma. Tidak ada bukti nyata, hanya kisah yang selalu dituturkan turun-temurun. Aku ingin tahu yang sebenarnya.” Rara menatap ibunya, penuh harap.

“Sudah, jangan bertanya-tanya lagi soal itu. Magrib akan datang sebentar lagi. Cepat, tutup jendela dan bantu Mama menyiapkan makan malam.” Nada suara ibunya tegas, seperti ada sesuatu yang tak bisa ditentang.

Tapi malam itu, Rara merasa ada yang berbeda. Desakan dalam dirinya untuk mencari tahu semakin kuat. Mungkin karena rasa rindunya pada ayah yang tak pernah pulang. Atau mungkin karena setiap malam magrib, ia selalu merasa ada mata-mata yang mengawasi dari kegelapan di luar sana.

Ketika malam benar-benar tiba, Rara berdiri diam di samping jendela. Lampu-lampu rumah yang berpendar lemah di tengah gelap hanya membuat suasana makin mencekam. Suara serangga malam terdengar samar-samar di balik kaca, tetapi ada sesuatu yang aneh. Suara angin yang seharusnya mengalun lembut kini berputar-putar, seperti bisikan dari kejauhan.

Rara memutuskan untuk melawan larangan yang sudah lama menghantuinya.

Dia menunggu sampai ibunya tertidur di kamar, lalu mengenakan jaket tebal dan menyelinap keluar dari rumah. Udara di luar dingin dan menusuk tulang. Desa yang biasanya ramai oleh suara ayam berkokok, kini terasa sunyi. Hanya ada suara napasnya sendiri yang terdengar jelas di telinga.

Rara berjalan perlahan-lahan menuju ladang di pinggir desa, tempat terakhir kali ayahnya terlihat. Langkah-langkahnya semakin cepat, diiringi degup jantung yang semakin kencang. Meski perasaan takut menghantui, rasa penasaran lebih kuat dari segala ketakutannya. Dia harus tahu apa yang terjadi pada ayahnya.

Sesampainya di ladang, Rara melihat-lihat sekeliling. Tanaman jagung menjulang tinggi di bawah cahaya redup bulan sabit. Namun, tak ada yang aneh. Ladang itu terlihat seperti biasa, tenang dan sunyi. Tapi tiba-tiba, sebuah bayangan hitam melintas di depan matanya. Rara tersentak, hatinya berdegup kencang. Ia mendengar suara desahan pelan, seperti suara seseorang yang terengah-engah.

"Siapa di sana?" teriak Rara, suaranya sedikit bergetar.

Tak ada jawaban. Hanya ada suara gemerisik dedaunan yang seolah-olah dibelai angin, atau sesuatu yang lain.

Dengan langkah gemetar, Rara mendekati arah suara itu. Di tengah ladang, di antara tanaman jagung yang terinjak-injak, ia melihat sesuatu yang membuat darahnya membeku. Di tanah, ada bekas-bekas kaki besar yang tak mungkin dibuat oleh manusia biasa. Bekas itu menyerupai telapak kaki manusia, tetapi jauh lebih besar, dan di ujungnya ada cakar panjang yang menggores tanah.

Rara mulai mundur dengan perasaan cemas. Ketika hendak berbalik untuk lari, sebuah suara berat dan serak terdengar dari balik gelap.

“Kenapa kau keluar saat magrib?”

Rara membeku. Suara itu bukan milik manusia. Ia menoleh pelan ke arah sumber suara dan melihat sesosok bayangan hitam yang tinggi menjulang, dengan mata merah menyala menatapnya tajam. Tubuh sosok itu besar, dengan tangan dan cakar panjang yang menyerupai makhluk dalam cerita rakyat yang sering didengarnya.

"Ka-kau siapa?" Rara berusaha menahan suaranya agar tak bergetar, tapi usahanya sia-sia.

"Aku sudah lama mengawasi. Aku ada di sini, setiap magrib, seperti ayahmu," suara itu semakin mendekat, membuat jantung Rara hampir berhenti berdetak.

Rara mundur, terjatuh ke tanah. Kepanikan merayap ke seluruh tubuhnya. "Apa yang kau lakukan pada ayahku?" Suaranya nyaris tak terdengar, lebih seperti desahan ketakutan.

Sosok itu tersenyum dingin. "Ayahmu terlalu berani, seperti dirimu. Dia juga melanggar aturan. Sekarang, dia milik kami."

Rara merasakan napasnya semakin berat. "Tidak mungkin... Ayahku tidak akan... dia..."

Sosok itu mendekat lagi, kali ini hanya beberapa meter darinya. Udara di sekitarnya terasa semakin dingin. “Jangan khawatir. Sebentar lagi kau akan bergabung dengannya.”

Rara berusaha bangkit dan lari, tapi tubuhnya terasa lemas. Ketakutan menahannya untuk bergerak. Namun, suara ibunya tiba-tiba terngiang di kepalanya. Larangan untuk tidak keluar saat magrib bukanlah sekadar dongeng atau cerita rakyat. Itu adalah peringatan nyata.

Dalam keputusasaan, Rara menutup matanya dan berdoa, berharap apapun yang ada di hadapannya lenyap. Beberapa detik berlalu, dan keheningan menyelimuti. Namun, saat dia membuka matanya kembali, sosok itu masih berdiri di sana, dengan senyum mengerikan di wajahnya.

Tiba-tiba, terdengar suara azan dari kejauhan. Azan isya. Suara itu melantun lembut namun tegas, seolah memecah kegelapan yang menyelimuti desa. Rara melihat bagaimana sosok hitam itu mulai mundur perlahan, matanya yang merah menyala memudar. Suara beratnya menghilang seiring bayangannya yang lenyap di antara pepohonan.

Rara terjatuh ke tanah, tubuhnya gemetar. Dia menangis terisak-isak, antara lega dan ketakutan yang masih menyelimuti. Kakinya terasa berat, namun ia berhasil memaksa dirinya untuk bangkit dan berlari kembali ke rumah. Sesampainya di rumah, dia mendapati ibunya berdiri di depan pintu dengan wajah penuh kecemasan.

"Rara! Di mana saja kamu?!" seru ibunya sambil memeluk Rara erat-erat.

Rara menangis di pelukan ibunya, merasa aman untuk pertama kalinya setelah apa yang baru saja dialaminya. “Ma, aku... aku melihatnya... Ayah... dia...”

Ibunya menggeleng pelan, menahan air mata. "Aku tahu, Nak. Itulah sebabnya aku selalu memperingatkanmu. Jangan pernah keluar saat magrib."

Sejak malam itu, Rara tak pernah lagi meragukan larangan ibunya. Misteri tentang hilangnya ayahnya memang masih menyisakan luka, namun kini dia tahu satu hal: ada sesuatu yang mengintai di balik senja Karangjati, sesuatu yang tidak pernah boleh diabaikan.

Bayangan di Sudut Kamar.

Di sebuah rumah tua yang terletak di pinggiran kota, hiduplah seorang pemuda bernama Arka. Rumah itu dikenal angker oleh warga sekitar. Meskipun demikian, Arka merasa betah tinggal di sana. Ia baru saja kehilangan orang tuanya dan tidak memiliki tempat lain untuk berlindung. Namun, seiring berjalannya waktu, ia mulai merasakan keanehan yang tak terjelaskan di dalam rumah tersebut.

Suatu malam, ketika hujan deras mengguyur, Arka duduk di ruang tamu sambil membaca buku. Suasana tenang itu mendadak pecah oleh suara ketukan lembut yang datang dari sudut kamar tidurnya. Awalnya, ia mengira itu hanya suara angin yang menggerakkan jendela. Namun, semakin ia memperhatikan, semakin jelas suara itu terdengar seperti suara seseorang yang berbisik.

“Siapa di sana?” Arka bertanya, suaranya bergetar. Tidak ada jawaban. Ketukan itu semakin keras dan berirama, seakan-akan meminta perhatian. Dengan rasa penasaran dan sedikit ketakutan, Arka memutuskan untuk mendekati sudut kamar.

Saat ia membuka pintu kamar, bayangan gelap terlihat melintas cepat. Jantungnya berdegup kencang. “Hanya imajinasiku,” katanya pada diri sendiri. Namun, rasa takut tidak bisa diabaikan.

Ia menyalakan lampu kamar, dan ruangan itu seketika dipenuhi cahaya. Namun, tidak ada siapa pun di dalamnya. Arka berusaha menenangkan diri dan kembali ke ruang tamu. Namun, ketukan di sudut kamar terus mengganggu pikirannya. Dia tak bisa fokus pada bacaannya lagi.

Keesokan harinya, Arka memutuskan untuk mengunjungi teman dekatnya, Sinta. Ia bercerita tentang pengalaman aneh yang dialaminya. Sinta mendengarkan dengan seksama, meski raut wajahnya menunjukkan kekhawatiran.

“Arka, mungkin kamu butuh istirahat. Rumah itu… ada banyak cerita di sana. Dulu, banyak orang yang tinggal di sana dan pergi dengan cara yang tidak baik,” ujar Sinta pelan.

“Apa maksudmu?” tanya Arka, alisnya berkerut.

“Dengar, ada rumor tentang hantu yang menghantui rumah itu. Konon, mereka yang pernah tinggal di sana tidak pernah kembali,” Sinta menjelaskan.

Arka merasa dingin menyelusup ke seluruh tubuhnya. Namun, ia tidak percaya pada cerita-cerita semacam itu. “Itu hanya mitos,” jawabnya, berusaha mengabaikan rasa takut yang menyelimuti.

Malam itu, Arka kembali ke rumahnya. Dia mencoba untuk tidur, tetapi bayangan di sudut kamar kembali menghantuinya. Suara ketukan itu semakin keras, dan Arka merasa seolah ada yang mengawasinya. Dengan keberanian yang tersisa, ia memutuskan untuk berbicara kepada bayangan itu.

“Siapa kau? Kenapa kau menggangguku?” teriaknya, suaranya bergema di dalam kegelapan. Tak lama kemudian, suara lembut terjawab.

“Aku di sini, Arka. Aku tidak berniat mencelakakanmu. Aku hanya ingin membantumu,” suara itu terdengar seperti bisikan lembut.

“Bantuan? Dari siapa?” Arka merasa bingung dan ketakutan. “Siapa kamu sebenarnya?”

“Cobalah untuk melihatku. Aku terjebak di sini. Tolong,” suara itu memohon.

Dengan hati berdebar, Arka menyalakan lampu. Di sudut kamar, ia melihat sosok bayangan samar, berbentuk wanita dengan wajah yang samar-samar. Arka terperangah dan mundur beberapa langkah. “Apa… apa yang kau inginkan dariku?”

“Aku butuh pertolonganmu untuk keluar dari sini. Dulu, aku tinggal di rumah ini. Aku… tidak bisa pergi. Tolong bantu aku,” suara itu kembali terdengar.

Arka berusaha berpikir jernih. “Bagaimana caranya? Apa yang harus aku lakukan?”

“Temukan barang yang kutinggalkan. Itu adalah satu-satunya cara aku bisa bebas,” jawabnya, suaranya semakin lemah.

Setelah beberapa hari, Arka memutuskan untuk mencari barang yang dimaksud. Ia mulai menjelajahi setiap sudut rumah, mencoba mencari tahu lebih banyak tentang sejarah rumah itu. Di dalam lemari tua, Arka menemukan sebuah kotak kayu kecil berdebu. Dengan penasaran, ia membukanya dan menemukan sebuah kalung perak yang cantik, dengan liontin berbentuk hati.

“Ini dia,” bisiknya. “Apakah ini barangmu?”

Begitu kalung itu berada di tangannya, bayangan wanita itu muncul kembali, kali ini lebih jelas. “Ya, itu milikku. Sekarang, kau harus membakarnya,” ujarnya.

“Kenapa aku harus membakarnya?” Arka bingung.

“Itu adalah satu-satunya cara untuk mengakhiri kutukan ini. Hanya dengan cara itu aku bisa pergi,” jawabnya, matanya memancarkan harapan.

Malam itu, Arka menyalakan api unggun di halaman belakang rumahnya. Dengan rasa ragu, ia meletakkan kalung di atas api. Bayangan wanita itu berdiri di sampingnya, tatapannya penuh harap.

“Bersiaplah,” ia berbisik, “aku berterima kasih padamu.”

Api membakar kalung itu, mengeluarkan aroma aneh yang menyengat. Tiba-tiba, suara teriakan lembut terdengar dari dalam api, lalu bayangan wanita itu mulai menghilang.

“Arka! Terima kasih! Akhirnya, aku bisa pergi!” serunya dengan suara penuh rasa syukur sebelum lenyap sepenuhnya.

Arka terperangah melihat semua itu. Rasa lega dan ketakutan bercampur aduk. Setelah peristiwa itu, rumah tua itu terasa lebih tenang. Ia tidak lagi mendengar suara ketukan, dan bayangan di sudut kamar pun menghilang.

Setelah peristiwa tersebut, Arka kembali ke kehidupan sehari-harinya. Meskipun ia masih merasa trauma dengan apa yang terjadi, ia merasa lebih kuat. Rumah tua itu kini tidak lagi terasa menakutkan baginya.

Suatu malam, Arka mendapat telepon dari Sinta. “Arka, apa kabar? Aku mendengar bahwa kamu sudah tenang sekarang,” tanya Sinta.

“Ya, aku baik-baik saja. Rumah itu terasa lebih hidup sekarang,” jawab Arka.

“Aku senang mendengarnya. Apa kamu ingin bertemu dan bercerita lebih lanjut?” Sinta menawarkan.

“Baiklah. Aku rindu cerita-cerita kita,” Arka menyetujui dengan semangat.

Setelah beberapa menit mengobrol, Arka merasakan ketenangan yang menyelimuti. Dia tidak lagi merasa sendirian. Hanya satu hal yang tersisa di pikirannya: apakah dia benar-benar bebas dari bayangan yang menghantuinya, atau apakah ada lebih banyak cerita yang belum terungkap?

Setelah mengakhiri percakapan, Arka mengamati ruangan yang kini tenang. Ia tahu bahwa meski bayangan itu telah pergi, ingatan akan pengalaman itu akan selalu tersimpan di dalam hatinya. Namun, ia merasa siap untuk melanjutkan hidupnya.

Hari-hari berikutnya, Arka berusaha membuka lembaran baru. Dia mulai menata kembali hidupnya dan merencanakan masa depan. Suatu hari, ketika dia membersihkan ruang tamu, ia menemukan sebuah buku tua yang tertinggal di rak.

Saat membukanya, ia menemukan catatan yang ditulis oleh pemilik sebelumnya. Setiap halaman berisi kisah-kisah menakutkan tentang rumah tersebut. Arka membaca dengan seksama dan terkejut saat menemukan cerita tentang seorang wanita yang hilang di rumah itu—wanita yang ternyata adalah sosok bayangan yang ditemuinya.

“Ini tidak mungkin,” Arka bergumam, darahnya berdesir.

Kini, dia mulai meragukan ketenangan yang dia rasakan. Apakah dia benar-benar telah membebaskan jiwa wanita itu, atau justru mengundang lebih banyak bayangan untuk datang? Arka merasa jantungnya berdebar, menyadari bahwa mungkin, ini baru permulaan.

Dia menatap jendela kamar, berpikir tentang apa yang mungkin akan datang selanjutnya. Ketika cahaya bulan menyinari ruang tamu, Arka tidak bisa mengabaikan perasaan bahwa bayangan itu mungkin masih ada di suatu tempat, menunggu untuk diceritakan.

Rumah Tanpa Jendela

Malam itu, gerimis tak henti-hentinya membasahi tanah. Udara lembap dan dingin merambat masuk ke setiap celah pakaian. Langit seolah-olah menahan tangis yang ingin tumpah. Rara memandang ke arah jalan setapak yang terjal di hadapannya. Jalan itu satu-satunya akses menuju desa kecil yang sudah lama terasing. Namanya Dusun Mawar, sebuah tempat yang begitu sunyi hingga jarang ada orang luar yang datang.

Rara tidak punya pilihan lain. Ia harus menyelesaikan tugas kuliahnya, penelitian tentang masyarakat terpencil. Beberapa temannya sudah mendengar rumor tentang rumah aneh di desa ini. Rumah tanpa jendela, yang konon katanya dihuni oleh seorang wanita tua yang jarang terlihat. Namun, Rara tidak percaya hal-hal mistis. Ia hanya menganggap rumor itu bumbu dari ketakutan masyarakat terhadap sesuatu yang asing.

Setibanya di dusun, Rara disambut oleh pemandangan rumah-rumah kayu yang sederhana, nyaris rapuh dimakan waktu. Tidak ada tanda-tanda kehidupan yang ramai, hanya beberapa warga yang sesekali melintas di jalan utama desa dengan wajah penuh curiga. Namun, ada satu rumah yang menarik perhatiannya. Rumah itu berbeda—besar, kokoh, tapi tak memiliki satu pun jendela.

“Ini pasti rumah yang mereka bicarakan,” bisik Rara kepada dirinya sendiri.

Ia berdiri di depan pintu kayu besar yang terlihat tua dan usang. Rara ragu sejenak sebelum mengetuknya. Suara ketukan itu seolah-olah terperangkap dalam keheningan malam, tidak ada yang merespons.

Setelah menunggu beberapa saat, pintu akhirnya terbuka sedikit. Seorang wanita tua dengan wajah yang tertutup bayangan lampu minyak berdiri di ambang pintu.

“Siapa kamu?” suaranya berat dan serak, membuat bulu kuduk Rara meremang.

“Saya Rara, dari universitas. Saya sedang melakukan penelitian tentang masyarakat di desa ini,” jawab Rara mencoba terdengar ramah.

Wanita itu tidak menjawab. Matanya hanya menatap lurus ke arah Rara, tajam, seolah menembus jiwanya. Lalu tanpa kata, ia membuka pintu lebih lebar, mengisyaratkan Rara untuk masuk.

Rara melangkah ragu-ragu ke dalam rumah. Rumah itu besar, namun atmosfernya terasa sempit dan sesak, mungkin karena tidak ada jendela yang memberi sirkulasi udara. Dinding-dinding kayu yang tebal dan gelap menambah kesan terkurung.

“Kenapa rumah ini tak punya jendela, Bu?” tanya Rara spontan.

Wanita tua itu menghentikan langkahnya. Ia berbalik, dan tatapannya kini lebih tajam dari sebelumnya.

“Tidak ada yang perlu dilihat dari luar,” jawabnya datar. Lalu ia melanjutkan langkahnya, berjalan ke sudut ruangan yang lebih gelap.

Rara tidak puas dengan jawaban itu, tapi ia memilih untuk tidak memperpanjang topik. Ada sesuatu yang aneh di rumah ini, tapi ia belum bisa memahaminya. Suara detak jam dinding terdengar berirama, namun ada sesuatu yang lain—suara bisikan samar yang seolah-olah berasal dari dinding itu sendiri. Rara mencoba mengabaikannya.

“Boleh saya mulai wawancaranya?” tanya Rara, berharap bisa segera menyelesaikan tugasnya dan pergi dari rumah itu.

Wanita tua itu tidak menjawab langsung. Ia hanya menatap Rara dengan tatapan kosong, lalu duduk di kursi kayu tua di tengah ruangan.

“Kamu bisa bertanya,” katanya singkat.

Rara membuka buku catatan dan menyiapkan pena. Ia mulai bertanya tentang kehidupan di desa, tentang kebiasaan masyarakat, tetapi setiap kali wanita itu menjawab, jawabannya selalu singkat dan tidak mendalam. Rara merasa frustrasi. Mungkin rumor tentang wanita ini benar, pikirnya. Wanita ini mungkin menyembunyikan sesuatu.

Saat Rara hendak menanyakan hal lain, tiba-tiba lampu minyak di ruangan itu bergetar, seolah angin kencang menerobos masuk, meski tak ada jendela yang terbuka.

“Kenapa rumah ini tidak punya jendela?” tanya Rara lagi, kali ini dengan nada lebih menekan. Ia merasakan dorongan aneh untuk mengetahui alasan sebenarnya.

Wanita tua itu menatapnya tajam. "Karena apa yang di luar, tidak boleh masuk ke sini."

Jawaban itu membuat bulu kuduk Rara berdiri. Suara wanita tua itu begitu dingin dan penuh peringatan. Namun sebelum ia sempat bertanya lebih lanjut, terdengar bunyi dentingan kecil dari lantai di bawah mereka. Bunyi itu berulang, semakin keras dan semakin dekat. Rara memandang ke sekeliling, mencari sumber suara, tetapi wanita tua itu hanya diam, seolah tak terganggu oleh suara tersebut.

“Ada apa di bawah rumah ini?” Rara bertanya dengan suara bergetar.

Wanita tua itu tersenyum tipis, tetapi senyum itu tidak memberikan ketenangan. "Mereka. Mereka yang ingin keluar."

Rara menelan ludah. Ia merasa darahnya mendidih. “Siapa… siapa mereka?”

Wanita tua itu berdiri perlahan. "Sudah saatnya kamu pergi."

Tetapi Rara terlalu penasaran untuk mundur. Ia menatap lantai di bawah kakinya, dan suara itu—bunyi dentingan seperti sesuatu yang merangkak—terdengar semakin keras.

“Saya harus tahu. Apa yang ada di bawah rumah ini?” Rara mendesak.

Tanpa peringatan, wanita tua itu meraih tangan Rara dengan cengkraman yang kuat. Matanya berubah, dari kosong menjadi penuh teror.

“Mereka yang terperangkap di sini. Jiwa-jiwa yang tak pernah bisa keluar. Karena rumah ini… adalah penjara bagi mereka.”

Tiba-tiba, bunyi dentingan itu berubah menjadi suara gedoran keras dari bawah lantai kayu. Sesuatu, atau seseorang, sedang mencoba keluar dari dalam tanah di bawah rumah ini. Rara terperanjat mundur, melepaskan tangannya dari cengkraman wanita tua itu.

“Pergi dari sini sebelum terlambat!” seru wanita tua itu dengan suara yang kini berubah menjadi penuh kepanikan.

Namun Rara tidak bisa bergerak. Ketakutannya telah melumpuhkannya. Ia hanya bisa berdiri di sana, menatap lantai di bawahnya yang terus bergetar. Sesuatu sedang mendekat.

Tiba-tiba, lantai kayu itu retak. Sebuah tangan pucat, penuh luka, menjulur keluar dari celah tersebut. Tangan itu menggeliat seperti ular, berusaha mencari sesuatu untuk digenggam. Lalu sebuah kepala muncul—wajah hampa tanpa mata, dengan mulut yang terus menganga, mengeluarkan suara erangan pelan.

Rara terjatuh ke belakang, jantungnya berdegup kencang. Ia tidak bisa berpikir jernih. Semua kejadian ini terasa seperti mimpi buruk yang nyata.

Wanita tua itu menangis. "Aku tidak bisa menghentikan mereka... Aku sudah mencoba bertahun-tahun, tapi rumah ini... rumah ini milik mereka sekarang."

Rara berusaha berdiri, tetapi tubuhnya terasa lemas. Tangannya meraba-raba lantai, mencari penyangga. Sementara itu, makhluk-makhluk itu terus merangkak keluar dari bawah rumah, satu demi satu, dengan wajah yang sama kosong dan mengerikan. Rumah tanpa jendela ini ternyata adalah penjara bagi roh-roh yang terperangkap, entah oleh kutukan atau dosa masa lalu.

Akhirnya, dengan sisa tenaga yang ada, Rara berhasil bangkit dan berlari keluar. Wanita tua itu hanya berdiri di ambang pintu, menatapnya pergi dengan tatapan putus asa. Di belakangnya, suara-suara makhluk yang terperangkap di dalam rumah semakin nyaring, seolah-olah mereka semua berteriak meminta kebebasan.

Rara terus berlari, meninggalkan dusun yang terasa semakin asing dan jauh. Di benaknya, rumah tanpa jendela itu tetap membayang, dengan segala misteri yang belum terjawab.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!