...••••...
Suara tawa anak-anak yang bersahutan menyambut pagi Narecha Ayuningtyas begitu membuka matanya setelah terlelap dengan nyamannya.
Meregangkan badannya, Echa menilik sinar matahari yang menyembul malu-malu dari sebuah ventilasi yang ukurannya begitu kecil tapi cukup untuk menyalurkan udara agar keadaan kamar sempit berukuran dua petak itu tetap nyaman untuk ditempati.
Lalu suara-suara tawa itu berubah menjadi panggilan terhadap namanya membuat Echa beranjak dari kasur tipisnya guna menyambut paginya seperti biasa.
Mengambil ikat rambut yang tergelak diatas meja meja kecil samping kasurnya, Echa mengumpulkan rambut hitam legam panjangnya menjadi satu dan mengikatnya tinggi-tinggi. Ke kamar mandi sebentar untuk membasuh wajahnya dari jejak-jejak tidur yang tertinggal.
Begitu membuka pintu kayu penghalang rumah yang mulai usang, Echa mendapati sepuluh anak-anak yang mengerumuni rumah sempitnya dengan antusias di wajah yang begitu kentara membuat perasaan Echa menghangat begitu melihatnya.
"Ada apa hm, bukannya ibu udah bilang kalau hari ini sekolahnya libur." Echa mendudukkan dirinya diantara anak-anak membuat posisinya menjadi di kerumuni.
"Memang tidak ibu, kami hanya ingin ibu ikut kami ke bukit sana." Alex, seorang anak berusia delapan tahun yang berdiri di depan Echa berbicara dengan logat khasnya.
"Memangnya apa yang hendak kalian lihat kan pada ibu hm?"Echa menatap anak-anak satu persatu dengan dalam.
Echa harus menyimpan pemandangan-pemandangan yang lima tahun terakhir selalu menemaninya dalam hati juga pikirannya. Satu minggu ke depan Echa tidak akan melihat lagi keceriaan, candaan, juga kehangatan anak-anak yang tidak ada habisnya.
"Lebih baik ibu ikut kami saja, nanti lihat kejutan yang telah kami siapkan."
Echa berdiri, "Baik-baik, tunggu sebentar ibu ingin minum dulu,"
Setelah memastikan pintu rumah terkunci dengan rapat, Echa mengikuti langkah anak-anak yang membimbingnya menuju bukit yang berada tidak jauh dari belakang rumahnya.
Sebuah bukit yang sering kali menjadi tempat Echa menyendiri menikmati suasana yang menyajikan pemandangan yang begitu indahnya dikala pikirannya tengah berkecamuk.
Begitu sampai di kaki bukit, tiba-tiba saja anak-anak memasangkan sebuah mahkota yang terbuat dari tanaman rambat yang dihiasi dengan bunga-bunga yang cantik membuat senyum Echa semakin merekah.
"Kalian benar-benar menyiapkan kejutan yang tidak akan pernah ibu lupakan." Lagi-lagi Echa memandang anak-anak dengan penuh haru.
"Tentu ibu, kami harus memberikan kesan yang baik dalam perpisahan ini." Meta menggandeng tangan Echa agar meneruskan perjalanan.
"Kalian membuat ibu tidak ingin berpisah." Echa mengelus kepala Meta dengan lembut.
"Kami pun tidak mau ibu pulang, hanya saja ibu pasti memiliki kehidupan yang harus ibu jalani di kota sana." Perkataan Meta membuat Echa takjub pada gadis yang masih berusia delapan tahun itu.
"Meta, boleh ibu peluk?" suara Echa yang bergetar membuat Meta mengeratkan genggaman tangannya.
"Tentu dengan senang hati Meta akan lakukan, hanya saja ibu tidak boleh menangis hari ini, banyak kejutan yang telah kami siapkan untuk ibu." Meta tersenyum dengan lebar seraya menatap wajah Echa yang kini menangis terharu.
Bagaimana bisa Echa akan melupakan tempat ini. Sebuah kampung kecil yang berada di pedalaman Indonesia bagian timur, tempat dimana Echa melarikan diri dari kehidupannya di ibukota sana.
Tempat yang menerima kedatangan Echa dengan tangan terbuka tanpa pandangan menghakimi yang biasa dia dapatkan sebelumnya.
Lagi, Echa terperangah ketika tidak jauh didepannya, dibawa sebuah pohon besar terdapat wanita-wanita kampung yang menyambutnya dengan nyanyian dan tarian khas pulau ini.
Sungguh, Echa benar-benar terharu melihat orang-orang yang begitu senang akan kehadirannya. Hanya lima tahun tapi cukup membuat Echa merasa jika dirinya menjadi bagian dari mereka layaknya keluarga.
Merida, wanita yang paling dihormati dikampung ini mengulurkan kedua tangannya pada Echa untuk mengikuti tarian yang tengah dilakukan.
Echa dibawa ke tengah-tengah dan kerumunan orang-orang mengelilinginya dengan nyanyian yang terus bersenandung tiada hentinya.
Wajah-wajah penuh senyuman membuat Echa tidak bisa untuk ikut bersenandung dan menari bersama.
Di kampung ini Echa diperlakukan layaknya seorang putri. Tidak pernah sekalipun Echa kekurangan selama disini. Menjadi satu-satunya guru yang berada dikampung yang terletak di pedalaman membuat Echa mendapatkan pengalaman yang begitu berharga.
Meskipun Echa meninggalkan kehidupannya yang sebelumnya penuh dengan gelimangan harta, tidak membuat Echa menyesal melakukannya.
"Ayo kita makan dulu ibu," tarian dan nyanyian telah selesai.
Merida menuntun Echa untuk duduk diatas tikar yang terbuat dari bambu dengan diatasnya sudah tersedia banyak jenis makanan yang terlihat begitu nikmat.
"Bibi Merida, aku benar-benar ingin mengatakan rasa terima kasih ku yang begitu dalam dengan kejutan yang kalian lakukan."
Echa menggenggam tangan hangat Merida dengan senyuman diwajahnya.
Merida membalas genggaman Echa dengan satu tangan mengelus pundak wanita muda itu. Meremasnya perlahan untuk menyalurkan rasa suka cita yang dirasakan.
"Ibu, jangan berkata seperti. Seharusnya kami lah yang berkata terima kasih karena bersedia mengajarkan anak-anak disini dengan bekal bekal ilmu yang begitu berharganya untuk kami,
Kami tahu, sebelumnya pasti ibu sulit untuk beradaptasi dengan tempat yang jauh dari mana-mana ini. Tapi, ibu berhasil melakukannya. Bibi berharap ibu tetap bahagia dimana pun tempat ibu berada,
Dimasa depan nanti, jika ibu ingin datang kesini kami akan menyambut ibu dengan tangan yang terbuka." Ujar Merida dengan panjangnya membuat tangis Echa tergugu.
Sungguh, Echa semakin tidak rela meninggalkan kampung yang berhasil membuatnya merasakan arti keluarga. Tapi, sudah waktunya dia untuk pulang, Echa tidak bisa lagi menetap meskipun sekuat apapun keinginannya.
"Bibi,"
Echa dibawa kedalam pelukan hangat Merida membuat wanita itu menumpahkan tangisnya dengan membalas pelukan wanita dewasa itu tak kalah eratnya.
"Sudah-sudah, ini hari bahagia untukmu, jangan ada lagi tangis di wajah cantikmu ini." Merida melepaskan pelukannya dan menyeka air mata di pipi Echa dengan kedua tangannya yang sudah keriput.
Echa menganggukkan kepalanya, "Maaf bibi, Echa hanya terharu dengan semua yang telah kalian siapkan."
"Nah, bibi sudah beberapa kali bilang pada kau, jangan terlalu banyak mengatakan kata maaf apalagi jika kau tidak melakukan kesalahan."
Echa meringis, jika Merida tidak memanggil ibu padanya berarti wanita tua itu tidak ingin perkataannya dibantah.
"Baik bibi."
Selanjutnya, acara makan-makan dimulai. Hampir semua warga kampung yang jumlahnya tidak mencapai seratus orang itu berkumpul di bukit untuk ikut merayakan perpisahan wanita muda itu.
Setelah acara makan selesai, kini giliran para warga-warga untuk bercerita dan anak-anak melakukan berbagai permainan khas yang membuat Echa ikut melakukannya.
Sungguh, momen-momen terakhir ini tidak akan pernah Echa lupakan seumur hidupnya. Sayang sekali Echa tidak bisa mengabdikannya dalam kamera dan ponsel yang dia bawa.
Kedua benda itu sudah tidak pernah Echa sentuh lagi setelah kehabisan dayanya. Tidak ada listrik di kampung ini.
Beberapa kali warga ada yang menawarkan agar Echa pergi ke luar pulau untuk mengisi daya ponsel dan kameranya tapi wanita itu menolaknya.
Hingga matahari mulai meninggalkan peraduannya, Echa menikmati detik-detik terakhirnya dengan perasaan yang luar biasa bahagia.
Echa harus siap meninggalkan kebahagiaan ini dengan tidak rela. Echa harus siap kembali pada kehidupannya yang penuh dengan penderitaan.
...••••...
...••••...
Setelah melewati perjalanan tiga jam di kapal, lima jam melewati daratan dengan sebuah mobil pick up, dan terakhir melewati penerbangan selama tiga jam akhirnya Echa kembali pada kota kelahirannya.
Tiba di bandara, Echa menenteng ransel besar yang berisikan barang-barangnya yang tidak cukup banyak dari waktu yang dihabiskannya selama lima tahun.
Kurun waktu lima tahun rupanya telah terjadi banyak perubahan yang signifikan. Rasanya Echa seperti baru menginjakkan kakinya di kota besar ini saking banyaknya yang berubah.
Seperti yang sudah direncanakan, bukan kembali ke rumah keluarganya, Echa memutuskan untuk tinggal di sebuah apartemen biasa, tidak mewah dan juga tidak terlalu kecil. Cukup untuk dirinya tinggal seorang.
Setelah setengah jam perjalanan menggunakan taksi, Echa sampai di depan bangunan apartemen yang akan dia tinggali.
"Terimakasih mbak." Echa menerima kunci kamarnya yang sebelumnya belum dia ambil.
Menaiki lantai dua puluh, Echa memasuki kamarnya yang terletak paling ujung lorong. Sengaja dia memilihnya karena menurutnya itu adalah letak yang paling strategis.
Begitu membuka pintu, hal yang pertama kali Echa lihat adalah kegelapan.
Masuk lebih dalam, Echa meletakkan ranselnya di atas sofa lalu berjalan untuk membuka tirai yang menutupi jendela besar membuat langit sore terlihat. Tidak sebagus pemandangan ditempat dulu, tapi setidaknya Echa masih bisa menikmati pemandangan dimana matahari terbenam.
Memasuki kamarnya, Echa kembali membuka tirai. Menilik seisi kamar, Echa menghembuskan nafasnya perlahan.
Sepi. Itulah yang dirasakan Echa.
Jika ditempat itu meskipun antar rumah warga berjauhan, tapi Echa tidak merasakan sepi seperti ini.
Mengambil ransel dari ruang tengah, Echa membongkar isinya untuk mengambil satu setel pakaian. Echa merasa tubuhnya harus segera dibersihkan karena lengket oleh keringat setelah belasan jam dalam perjalanan.
Juga setelahnya Echa berniat untuk belanja di minimarket yang berada di bawah apartemen.
Setelah rambutnya kering, Echa cepat-cepat keluar untuk melaksanakan niatnya.
Perutnya sudah meronta-ronta ingin diisi karena terakhir Echa makan ketika dalam perjalanan darat sebelum dirinya naik pesawat. Karena sepanjang perjalanan udaranya itu Echa habiskan dengan tidur hingga membuatnya melewatkan makan.
"Eh, bisa dimasak di sini?" Echa bergumam ketika melihat seorang gadis yang tengah memasak mie instan.
Echa yang penasaran memilih untuk mengikuti cara gadis itu makan. Echa mengambil mie instan cup, sosis pedas siap makan, juga dua telur matang.
Setelah mienya matang, Echa duduk di kursi yang telah disediakan. Bergabung bersama gadis yang sebelumnya dia perhatian.
"Kamu orang baru ya?" pertanyaan itu terdengar ketika Echa tengah mengupas telurnya.
"Kamu tanya sama aku?" Echa menunjuk dirinya karena takut salah mengartikan.
Gadis itu mengangguk, "Iya, lagian selain kita engga ada siapapun lagi."
Iya juga, Echa baru menyadari jika hanya ada mereka berdua.
"Iya, ini hari pertama aku disini."
"Pantes aja wajahnya asing, setiap hari aku keluyuran di area apartemen dan baru pertama kali lihat kamu." Sepertinya gadis disamping Echa itu adalah orang yang senang mengajak orang berbicara.
Beda sekali dengan Echa yang terkesan menutup jika ditempat baru atau ketika berada diantara orang-orang yang tidak dia kenal.
Echa hanya tersenyum sebagai tanggapan. Perutnya yang sudah lapar membuatnya fokus pada makanannya. Sedangkan gadis itu juga melanjutkan makanannya yang masih tersisa sedikit lagi.
Setelah semua makanan yang dibelinya masuk kedalam perut, Echa belum berniat untuk kembali ke atas. Echa menikmati minuman kaleng bersoda yang mendadak dia beli ketika melihat gadis disampingnya begitu menikmati minuman serupa.
Rupanya benar, rasanya begitu enak. Sepertinya itu adalah jenis minuman baru karena beberapa tahun yang lalu Echa tidak melihatnya.
"Boleh tahu kamu tinggal dilantai mana?"
"Dua puluh, aku tinggal di kamar enam sembilan tiga." Jawab Echa seraya menatap si gadis yang juga tengah memperhatikannya.
"Loh, kita tetanggaan dong. Aku kamar enam sembilan dua." Gadis itu berubah jadi bersemangat ketika mengetahui jika kamar disampingnya telah terisi setelah sekian lama.
"Kebetulan yang sangat bagus."
"Eh ngomong-ngomong kita belum kenalan." Gadis itu mengulurkan tangannya yang tentu saja langsung Echa sambut dengan senang hati.
"Nama aku Narecha, usia dua puluh lima tahun."
Gadis itu terlihat terperangah mendengar kalimat yang keluar dari mulut Echa.
"Yang bener aja, aku kira umur kakak masih belasan sama kaya aku," ujar gadis itu masih dengan kaget yang mendominasi.
Melihat penampilan Echa tidak ada sama sekali hal yang menunjukkan jika wanita itu sudah berusia dua puluh lima tahun.
Echa lagi-lagi tersenyum melihat wajah gadis disampingnya yang dari tadi menunjukkan berbagai ekspresi yang berbeda. Mengingatkannya pada Meta di sana. Ah, Echa merindukan gadis kecil itu jadinya.
"Padahal wajah aku udah keliatan tua loh." Echa tidak pernah berbesar kepala ketika mendengar perkataan orang-orang yang mengatakan jika wajahnya tidak sesuai dengan wajah dan penampilannya.
"Ngga kak, percaya sama aku, wajah kak Narecha itu baby face banget."
"Ada-ada saja kamu ini, kamu belum kasih tau aku nama kamu loh,"
"Eh iya, saking kagetnya aku sampai lupa. Kenalin, nama aku Melania Kaneishia usia aku delapan belas bulan besok." Gadis yang bernama Melania itu menjabat tangan Echa kembali.
"Nama kamu bagus, salam kenal Melania."
"Kak Narecha bisa panggil aku Lania biar ngga kepanjangan."
"Oke Lania, kamu juga bisa panggil aku Echa."
"Oke kak Echa."
"Mau kembali keatas sekarang?" Echa merasa jika tubuhnya sudah harus diistirahatkan.
"Sebenarnya aku masih mau disini, tapi karena ngga ada orang ayo kita keatas." Lania berdiri membuat Echa juga ikut berdiri dan keduanya keluar dari minimarket.
Disepanjang jalan, keduanya banyak berbicara. Sepertinya dihari pertamanya kembali Echa sudah mendapatkan teman meskipun umur keduanya berbeda cukup jauh.
Ketika berbicara dengan Lania, Echa merasa dirinya melihat kembali sosok teman-teman kecilnya. Energi Lania sungguh tidak ada habisnya.
Bahkan Echa merasa energi dirinya disedot habis oleh gadis disampingnya ini.
Begitu tiba dilantai kamar keduanya berada, Lania berhenti didepan pintu kamarnya membuat langkah Echa sama terhenti.
"Kak Echa, kita bisa jadi teman kan?" Lania menatap Echa dengan lamat-lamat dan penuh dengan harapan.
Echa sengaja terlihat berpikir-pikir membuat Lania harap-harap cemas dibuatnya. Satu tahun tinggal di apartemen ini tidak ada seorang pun yang mau diajak berteman olehnya.
Setiap harinya Lania selalu berkeliling untuk mengusir bosan guna mencari orang yang bisa dia ajak kerja sama untuk menjalin hubungan sebagai teman. Tapi nyatanya sampai saat ini tidak kunjung dia dapatkan.
Kebanyakan penghuni apartemen adalah orang-orang yang senang berdiam diri di kamar dan keluar jika akan bekerja atau bermain. Tidak ada yang seperti Lania.
Dan kini Lania menemukan Echa yang dari awal menerima perkataannya membuatnya tidak ingin kehilangan kesempatan mengajak wanita itu berteman. Echa adalah orang yang asik.
Segala perkataan Lania tidak ada yang disanggah sedikitpun. Malah, Echa mendengarkan perkataanya dengan khidmat membuat Lania senang karena akhirnya ada seseorang yang mengerti dirinya.
"Iya-iya, kita bisa berteman," ujar Echa membuat senyum Lania terbit dengan lebarnya.
Setelah berpamitan dengan beberapa patah kata, Echa masuk kedalam kamarnya dan langsung menghempaskan tubuhnya diatas ranjang.
Tangannya terulur untuk mengambil ponsel yang sebelumnya sedang dia isi daya.
Mengetuk-ngetuk tangannya diatas perut ketika Echa menunggu ponsel hidup sepenuhnya.
Echa lupa, jika dia belum membeli paket internet membuatnya memilih untuk menyimpan kembali ponselnya diatas nakas kemudian memejamkan matanya.
Meskipun tidak baik jika setelah makan langsung tidur, tapi karena tubuhnya sudah begitu lelah Echa tidak bisa lagi menahannya hingga akhirnya dia terlelap.
......••••......
...••••...
"Angkat kakinya." Echa menyentuh kaki Lania yang menatap lantai agar gadis itu angkat keatas sofa karena saat ini dirinya tengah menyapu.
Lania menuruti perkataan Echa untuk mengangkat kedua kakinya. Pandangannya tidak terlepas sedikitpun dari setiap pergerakan yang tengah dilakukan sang pemilik apartemen.
Pagi ini, Lania sudah bertandang ke kamar Echa hanya karena wanita itu sudah menjanjikan agar mengajari pelajaran matematika yang sulit untuk dicerna oleh kepala Lania.
Echa sedikit menyesal karena setuju dengan permintaan Lania tanpa memberikan syarat. Harusnya Echa mengatakan jam dan waktunya agar gadis itu tidak datang sepagi ini dimana dia masih melakukan rutinitas paginya yang sudah seminggu ini dia lakukan.
"Kak Echa bentar aku mau ambil makanan dulu dibawah." Sebelumnya Lania sudah mengatakan jika dirinya akan memesan makanan online sebagai bentuk terimakasih karena Echa telah bersedia untuk mengajarinya.
Echa tidak menolak tentu saja, keuangannya yang semakin menipis membuat Echa harus benar-benar berhemat sebelum mendapatkan pekerjaan.
Meskipun Echa berasal dari keluarga berada, tapi tidak membuat dirinya bangga. Malah, Echa tidak ingin lagi menengadahkan tangannya untuk menerima uang dari mereka.
Selama ini Echa tidak pernah berharap lebih pada orang-orang yang berstatus sebagai keluarganya.
Lamunan Echa akan keluarganya buyar begitu pintu terbuka memunculkan Lania yang datang dengan dua paper bag ditangannya.
Lania meletakkan paper bag itu diatas meja. "Ayo kak, kita makan dulu, bersih-bersihnya di pending nanti lagi."
"Cuci dulu tangannya sebelum makan." Melihat Lania yang akan mencomot makanan membuat Echa cepat-cepat menegurnya.
Paling tidak bisa Echa melihat orang yang makan dengan kondisi tangan yang belum dibersihkan apalagi orang itu telah menyentuh benda-benda kotor.
Keduanya kembali pada meja setelah mencuci tangan dan mulai mengeluarkan makanannya satu persatu dari dalam paper bag.
"Kak Echa gimana tawaran aku, apakah kakak mau?" setelah selesai makan, Lania bertanya lagi akan hal yang sudah tiga hari ini dia katakan pada Echa.
Sedangkan Echa tidak langsung menjawab. Dalam otaknya kini berpikir lagi. Apakah dengan menerima tawaran Lania untuk menjadi guru di sebuah sekolah anak-anak dengan berkebutuhan khusus akan sanggup untuk dilakukannya.
Sekolah berkebutuhan khusus itu adalah sekolah swasta milik mendiang kakek Lania yang kini diteruskan pada ibu Lania.
Sebenarnya ada ketertarikan dari Echa untuk menerima tawaran itu. Tapi, mengajar anak berkebutuhan khusus itu pastinya jauh berbeda. Dan Echa tidak memiliki pengalaman sedikitpun.
"Masih kakak pikirkan." Untuk saat ini jawaban itu yang bisa Echa katakan. Selagi dirinya mencoba untuk mencari sekolah yang membutuhkan tenaga kerjanya.
Dan kalaupun tidak ada kemungkinan Echa akan menerima tawaran itu.
"Oke, kalau kakak setuju nanti aku bilang sama mama."
Tiga jam mengajari Lania pelajaran matematika akhirnya usai sudah. Gadis itu telah kembali ke apartemennya meninggalkan Echa yang terdiam sendirian di kamarnya.
Tidak berniat untuk melanjutkan acara bersih-bersihnya. Toh keadaaan tempat tinggalnya itu tidak kotor. Hanya sisa-sisa debu di sudut-sudut saja yang belum Echa bersihkan.
Membuka ponselnya, Echa baru membeli paket internet hari ini dikarenakan baru sempat. Atau mungkin karena Echa memang enggan untuk memeriksa ponselnya.
Benar saja. Begitu dirinya mengaktifkan data seluler, ribuan notifikasi muncul. Bayangkan saja, selama lima tahun ponsel Echa tidak diperiksa sedikitpun. Dan kini ketika di aktifkan, berbagai notifikasi yang muncul berdatangan dengan silih berganti membuat Echa menyimpan ponselnya sejenak sampai getaran itu berhenti.
Selang lima belas menit kemudian, ponsel Echa berhenti bergetar membuatnya mengambil kembali benda itu. Saking banyaknya yang harus Echa periksa, membuatnya bingung harus membuka yang mana terlebih dahulu.
Aplikasi pesan lah yang pertama kali Echa buka. Ada banyak pesan-pesan dari teman-temannya terutama dari dua orang wanita yang berteman dengannya semenjak bangku sekolah dasar.
Ada ribuan pesan masuk dan panggilan dari dua orang itu. Menanyakan kabar dan juga kemana dirinya menghilang hingga ancaman-ancaman yang mengatakan jika keduanya sudah mem-blacklist Echa dari pertemanan mereka membuatnya tersenyum.
Ah, Echa begitu merindukan kedua temannya.
Meskipun sudah berada di kota yang sama, Echa belum memiliki keberanian untuk menemui keduanya. Sudah bisa dipastikan apa yang akan terjadi padanya jika dia muncul dengan tiba-tiba dihadapan kedua orang yang memiliki watak sama kerasnya itu.
Baru saja Echa akan menggulir pesannya ke bawah, panggilan video dari kedua temannya langsung berbunyi membuat Echa kelabakan.
Echa belum berniat untuk menjawab panggilan itu. Biarlah, nanti dia yang akan mendatangi mereka langsung.
Hari ini Echa masih ingin hari santainya berlangsung hingga malam tanpa gangguan.
Bukan Echa menganggap kedua temannya sebagai gangguan, karena sudah bisa dipastikan jika keberadaannya saat ini telah diketahui kedua orang itu, sudah bisa dipastikan jika kesehariannya tidak akan lagi setenang ini.
"Pram? Dia ngirim pesan ke nomor ini? Apa ngga salah?" Echa berbicara sendiri ketika mendapati satu pesan dari orang yang tidak pernah sekalipun dia bayangkan akan mengirimkan pesan padanya.
Hanya pesan yang berisikan nama lengkapnya yang pria itu kirimkan tiga tahun yang lalu.
Sungguh aneh.
Beralih pada sosial medianya, Echa mendapati berbagai postingan dari teman-temannya. Ada yang membagikan foto pernikahannya, keluarga kecilnya, atau juga ada temannya yang menjadi seorang influencer.
Sungguh banyak perubahan yang begitu besar terjadi.
Dan pesan dari pria itu kembali muncul dengan pesan yang kini berisikan, Echa? Hei, pesan apa-apaan itu.
Sama, Echa juga belum berniat untuk menjawab pesan itu. Dia hanya membacanya saja sebelum keluar kembali dari aplikasi pesan itu.
Echa mengirim pesan pada seorang kenalan yang dulu pernah berbicara padanya jika dirinya membutuhkan pekerjaan sebagai guru dengan senang hati dia akan memasukkan Echa ke yayasan sekolah milik keluarganya.
Echa berharap jika orang itu masih mengingatnya. Dan selang beberapa menit pesannya dijawab dengan langsung yang mengatakan jika keduanya harus bertemu untuk berbincang.
Tanpa buang waktu Echa langsung menyanggupinya. Kebetulan hari ini orang itu tengah berada di kota ini membuat Echa bersyukur jika dirinya tepat waktu.
Sore nanti keduanya janjian untuk bertemu di sebuah cafe yang letaknya tidak begitu jauh dari apartemen tempat Echa tinggal.
Setelah bersiap dengan pakaiannya, Echa mematut kembali penampilannya didepan cermin. Dia takut ada yang salah dipakai olehnya.
Dan dirasa sudah siap, Echa keluar dari apartemen bertepatan dengan Lania yang akan mengetuk pintu membuat keduanya bertatapan.
"Kak Echa mau kemana?" Lania melihat penampilan Echa yang berbeda dari biasanya. Terlihat rapi dan berkali lipat lebih cantik karena sepertinya wanita itu memoles wajahnya dengan riasan meskipun tidak terlalu kentara.
"Oh? Kakak mau ketemu sama teman," Lania menganggukkan kepalanya begitu mendengarnya.
"Oke deh, have fun kak." Lania menyingkir dari depan pintu dan mempersilahkan untuk Echa keluar.
Echa masuk kedalam taksi untuk menuju cafe tempat keduanya akan bertemu. Echa berharap pertemuan ini akan membuahkan hasil sesuai dengan harapannya.
...••••...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!