Bruk!
“Pergilah dan menjadi bangkai di dalam sana!”
Seorang gadis dengan gaun lusuh didorong paksa hingga terjatuh dari dokar. Tersungkur, wajahnya terjerembab ke dalam daun kering yang berserak.
Sebelum dokar tersebut melaju, gelak tawa sesumbar terdengar puas. Seorang wanita tua dengan rambut uban yang dicepol menyeringai senang, menatap remeh pada gadis itu.
Suara pecut terdengar. Tapal kuda beradu dengan tanah, melesat ke dalam rimbunnya hutan yang berkabut. Meninggalkan gadis itu sendirian tanpa rasa kasihan.
Kedua tangan gadis itu mengepal, meremat kuat dedaunan kering hingga menjadi serbuk patah-patah. Kepalanya di angkat, bulu matanya yang lentik sedikit dipenuhi debu.
“Setidaknya aku tidak perlu tinggal di rumah itu lagi. Tidak perlu mendengar teriakannya, tidak akan lagi dipukul dan dimarahi. Ya, setidaknya mungkin kehidupan di sini lebih baik.” Gadis itu bermonolog, memilih berpikir se-positif mungkin dengan kejadian yang menimpanya.
Walau sebetulnya ia tahu bahwa saat ini gerbang neraka terbuka lebar untuknya. Kematian bisa saja sudah menunggunya di depan sana.
Beranjak, tubuhnya perlahan berdiri. Membersihkan sisa-sisa dedaunan yang menempel pada rambut dan gaunnya. Menatap lurus ke depan, pada gerbang dari kastil tua yang menjulang tinggi.
Tenggorokannya susah payah menelan ludah. Angin dingin yang berhembus membuat wajahnya kebas, membekukan kedua kakinya yang gemetar, merinding di sekujur tubuhnya sempurna menghapus pikiran positif yang berusaha dipertahankan dalam kepala.
Bagaimana tidak? Saat ini dirinya akan tinggal di dalam kastil tua tersebut. Bersama pria buruk rupa dan psikopat. Dan di malam ini, dirinya resmi menyandang status sebagai istri dari pria itu.
“Aku tidak mau mati.” Bibirnya ia gigit kuat-kuat dalam gumaman pilunya.
“... Meski kehidupanku amat buruk, kehidupanku membosankan karena dirundung luka dan kesialan yang tak berujung, aku tetap takut mati. Aku tidak mau mati dengan cara seperti ini,” sambungnya sambil meringis.
Gadis itu menatap jerih bangunan kastil tua yang tampak merintih di depannya, angin dingin yang berhembus menerbangkan dedaunan kering melewati gerbang setinggi kurang lebih 10 meter. Suara deriknya seperti nyanyian yang dilantunkan malaikat maut. Seolah kematian akan segera menjemputnya.
Tubuhnya sudah diam berdiri selama kurang lebih satu jam di depan gerbang kastil tersebut. Sekarang sudah seperti patung yang membatu tanpa merasakan apa-apa. Sudah terlambat untuk mundur, dan terlalu takut untuk maju.
Dia tidak tahu harus bagaimana setelah mendadak dinikahkan oleh ibu tirinya dengan pria yang konon katanya sengaja menikah dengan sembarang gadis hanya untuk dijadikan tumbal. Pernikahan terjadi secara singkat, melalui perantara dan ritual dari jarak jauh, sesuai dengan kesepakatan masing-masing.
Dan siapa yang tahu nasibnya malam ini bagaimana?
Mengusap wajahnya yang kebas, gadis itu meyakinkan dirinya untuk tetap masuk ke dalam, memasrahkan apa yang akan terjadi nantinya dengan hati yang lapang. Toh, di setiap malam dirinya selalu merintih dalam do'a agar segera mati.
Namun ia tidak menyangka jika Tuhan mengabulkan do'anya dengan cara seperti ini.
Gerbang tua yang sudah berkarat terbuka sendiri saat kakinya mulai melangkah maju, asap hitam mendadak muncul, bergumul dihadapan si gadis. Menyerupai gumpalan awan kelabu di atas sana. Asap hitam tersebut sepertinya ingin memandu jalan gadis itu, memasuki kastil tua dengan pencahayaan remang-remang.
Jalanan yang dilewati gadis berusia 20 tahun tersebut hanya diterangi oleh obor yang dipasangi pada sisi-sisi dinding di sepanjang lorong. Sebelum sampai ke ruang utama, ia harus melewati lorong sempit menggunakan tangga yang licin dan dipenuhi lumut.
“Apa tidak ada listrik di sini?” Mulutnya mendesis pelan, memeluk tubuhnya sendiri yang merinding sambil diusap-usap.
Sampai akhirnya gadis tersebut tiba di ruang utama. Asap hitam yang bercampur dengan serbuk kerlap-kerlip ikut menerangi ruangan luas yang berdebu dan sudut-sudutnya dipenuhi oleh jaring laba-laba, bau apek amat menusuk hidung.
Temaram dari lilin-lilin tersusun di beberapa sudut meja panjang yang penuh dengan buku berserak. Sesekali ia terperanjat kaget saat matanya tak sengaja bersitatap dengan beberapa pasang mata merah yang menunggui sudut ruangan.
“Selamat datang wanita ke 1999 milik Tuan Minos.” Suara menggema ini lebih-lebih lagi membuatnya kaget.
Entah siapa yang berbicara barusan, tapi suaranya nyaring dan memekik telinga. Dan jelas itu bukan milik pria penunggu kastil ini, karena dia tidak mungkin menyebut dirinya sendiri dengan seperti itu.
“Si-siapa?” Pandangan gadis itu berpendar, bertanya takut-takut, tali selempang tas yang menggantung di bahu sudah diremat kuat olehnya.
Matanya terus mengamati sekitar walau tidak terlihat dengan jelas bagaimana isi ruangan yang dipijakinya saat ini. Sadar kalau asap hitam yang menuntunnya sudah hilang entah kemana, atau karena berpadu dalam ruangan gelap hingga samar untuk dilihat jelas.
Tapi dia tahu bahwa saat ini dirinya menjadi pusat perhatian dari mata-mata merah yang masih setia berdiam di pojok ruangan yang gelap, sulit untuk dilihat seperti apa wujudnya. Ia hanya takut dirinya diterkam tiba-tiba.
“Majulah! Berdiri di depan tangga. Tepat di bawah sinar rembulan yang menyorot. Aku ingin melihat bagaimana rupamu dengan jelas,” titahnya dengan suara yang sama, masih belum menampakkan wujudnya.
Tanpa banyak bertanya, kakinya perlahan melangkah dan berhenti sesuai dengan perintah. Tangannya yang masih meremat tas selempang terasa sudah basah dan dingin, pun gugup dan gelisah membuat dadanya terasa sesak, mendadak lupa bagaimana caranya bernapas dengan benar.
Tubuhnya berdiri di depan jalur tangga yang meliuk, rembulan terang sinarnya menembus kaca besar di atas dinding sana, sempurna menyorot tubuhnya. Pendengarannya menajam saat menangkap suara sesuatu yang kian mendekat.
Datangnya dari ujung tangga, bergerak turun seperti akan mendekatinya. Jelas itu bukan suara derap langkah kaki seseorang, tapi suara—
Mengepak. Yap, suara sesuatu yang bergerak mendekat berubah menjadi suara kepakan sayap. Terbang ke arah gadis itu secara tiba-tiba, membuatnya terperanjat dan sedikit berteriak reflek.
“Halo, gadis manis!” sapa burung gagak yang sudah hinggap di pegangan tangga, kepalanya dimiringkan, tatapan matanya tidak menunjukkan rasa bersalah setelah membuat gadis itu kaget sampai jantungnya nyaris melompat keluar.
Gadis dengan surai panjang tersebut melotot. Menelan ludah. Berhenti bernapas seperkian detik. Matanya tidak berkedip saat mengamati burung gagak yang ternyata bisa bicara.
“Siapa namamu?” Gagak itu melontarkan pertanyaan. Kepalanya bergerak-gerak, mengamati gadis dihadapannya dengan teliti.
“Naina,” cicit gadis itu sambil merungkut, tidak nyaman ditatap seperti itu.
“Wajahmu lumayan manis. Meskipun pakaianmu jelek sekali, mirip seperti gelandangan yang tanpa pikir panjang mungkin akan langsung dibunuh oleh Tuan Minos.”
Ucapan gagak barusan berhasil membuat Naina tergugu dalam belenggu. Wajahnya pucat seketika, dalam pikiran sudah berpikiran macam-macam.
Melihat bahwa gadis itu benar-benar menelan ucapannya, sang gagak lantas tertawa geli. Sebelah sayapnya dipakai untuk menutup mulut. Suara tawanya mengambil perhatian gadis itu, sedikit mengalihkannya dari pikiran buruk.
“Apa aku benar-benar akan mati malam ini?” Naina menggigit bibirnya, suara degup jantungnya membumbung memenuhi telinga.
“Keputusan itu sepenuhnya ada di tangan Tuan Minos. Tapi aku akan membantumu untuk tetap bisa hidup, ya ... Setidaknya untuk malam ini. Sisanya, kau harus berjuang sendiri,” balas gagak itu.
Naina menelan ludah, kalut kian merayapi sekujur tubuh. Peluh dingin pun memenuhi wajahnya.
Gagak itu melanjutkan ucapan, “Tuan Minos tidak suka perempuan jelek. Tidak suka dengan kata ‘tidak’ atau perkataan yang merujuk pada penolakan. Benci warna merah. Dan jangan pernah nyalakan lampu manapun. Gunakan saja lilin sebagai penerangan.”
Naina tersentak di kalimat pertama. Ia mana tahu definisi perempuan cantik bagi Tuan Minos itu seperti apa. Jika memang dirinya tidak menarik di mata pria itu, mengapa surat undangan meluncur ke rumahnya hari itu?
Dan perkataan gagak tadi tidak membuat Naina tenang, masih dihantui ketakutan. Dan ketika gagak tersebut melambung tinggi ke udara dengan sayapnya, Naina bergerak mengikuti.
Gagak menuntunnya naik ke lantai atas, Naina hanya fokus ke depan, tidak melirik kanan-kiri karena takut tertinggal jejak dan tersesat.
Naina menarik tangannya yang menyentuh pegangan tangga. Debu tebal menempel sempurna pada permukaan telapak tangannya. Ia langsung menerka dalam pikiran, sudah berapa puluh tahun kastil ini tidak pernah dibersihkan?
“Masuklah! Tuan Minos sudah menunggu.” Gagak tersebut hinggap pada gagang pintu, menurunkan tuasnya hingga pintu terbuka.
Dadanya kembang kempis, napasnya mendadak patah-patah. Kedua tangannya yang bertaut gelisah sudah basah dan dingin.
Saat kakinya sudah melangkah sepenuhnya masuk ke dalam ruangan, pintu tertutup rapat, suaranya membuat Naina terkesiap. Matanya langsung tertuju pada punggung milik seseorang yang tengah duduk di depan perapian.
Naina bingung harus berkata apa atau memulai percakapan dari mana, lidahnya yang kelu membuat mulutnya mendadak bisu. Dan tenggorokannya semakin tercekat ketika aroma busuk menyergap hidungnya, menusuk hingga napasnya tambah tersendat-sendat.
“Apa tidak ada kata-kata baik yang bisa kau katakan untuk menyapa suamimu ini?” Pria yang masih setia duduk membelakangi bersuara. Bass suaranya memecut ketakutan dalam diri Sora yang mendengarnya.
“Eh, i-tu ... Aku...” Naina gelagapan, matanya bergulir cepat, bibirnya yang memucat sudah ia gigit kuat-kuat.
Ketika pria dengan tudung yang menutup kepalanya tersebut berdiri dari tempatnya, Naina tersentak. Matanya mengamati setiap gerakan dari pria itu, dan pupilnya semakin membesar tatkala melihat tubuhnya yang sudah berdiri sempurna menjulang setinggi dua meter.
Naina tidak bisa bernapas. Kepala yang tertutup tudung itu sudah menengok padanya. Ia kehilangan kata-kata. Mata mereka bertemu, mata ungu terang yang cantik itu tidak cocok dengan rupa wajahnya yang mengerikan.
Tubuh Naina membatu di tempat. Melihat bahwa setengah wajah dari pria itu hanya tulang, setengahnya lagi penuh borok dan nanah yang melumuri pipinya yang bolong-bolong.
Jerit tertahan di dalam mulut Naina yang terkatup kuat. Seringaian yang ditunjukkan pria itu menampilkan seluruh taring yang berlumuran darah. Bau busuk menyengat semakin menyeruak dalam ruangan yang sempit dan lembab.
“Ekspresi macam apa itu? Kau tidak jauh berbeda dengan wanita-wanita sialan yang berakhir mati menyedihkan di kastil ini!” sentaknya yang berhasil membuat kedua bahu gadis itu terangkat kaget.
“Dan kau ... Kupastikan akan bernasib sama seperti mereka!” sambungnya penuh penekanan, berhasil menyebarkan kengerian yang menjalari tubuh Naina yang masih mematung.
***
Naina yang mendengar hal itu lantas bersujud dihadapan pria berwujud mengerikan tersebut, kepalanya menyentuh lantai. Kedua tangannya yang mengepal bergetar hebat, keringat dingin pun mulai memenuhi dahi.
“Ma-maafkan aku, Tuan! Aku tidak bermaksud seperti itu. Aku hanya bingung. Ya, bingung karena—” Naina tersendat, ritme ucapannya yang cepat mendadak berhenti.
Senyap menyisakan gemerutuk api di tungku.
Karena penasaran kenapa Tuan Minos tidak memberi respon apa-apa, Naina menaikan pandangannya sedikit. Mengintip apa yang terjadi.
Dan baru sedikit kepalanya terangkat, matanya membelalak. Seperti sedang kelolotan. Syok berat melihat jari-jari kaki Tuan Minos yang panjang dan lancip, tidak ada kuku, hanya tulang berbungkus kulit hitam kegosongan.
“Apa yang sedang kau lihat?” Tuan Minos tertawa hambar. Menyadari gadis di depannya saat ini begitu ketakutan.
Naina menggeleng cepat. “Tidak ada, Tuan.”
Tuan Minos membalikkan tubuhnya, menatap tungku perapian. Merapatkan bibir, lantas mengetatkan rahangnya hingga nanah keluar dari rongga-rongga pipinya yang berlubang.
“Tora! Masuklah!”
Tidak tahu siapa Tora yang dimaksudnya, tapi Naina yang berada tepat di depan pintu dengan reflek bergerak ke samping. Tahu akan ada seseorang yang masuk.
Tapi ternyata sosok yang dimaksud Tuan Minos barusan adalah burung gagak yang menyambut dan memandu Naina tadi. Dan gagak itu masuk menembus pintu yang tertutup begitu saja, membuat Naina yang melihatnya langsung melongo tidak percaya.
“Cari dan bawakan wanita selanjutnya! Aku tidak ingin gadis itu ada di sini. Aku benci tatapannya. Tatapan yang membuatku ingin mencabik-cabik wajahnya yang ketakutan itu!” teriak Tuan Minos tanpa mengalihkan pandangannya sama sekali.
Gagak itu melirik-lirik pada gadis yang masih tersungkur dalam sujud, lalu mengangguk patuh. “Baik, Tuan.”
Tahu akan diusir dan dipertemukan dengan ajalnya, Naina langsung beringsut. Berdiri menggunakan kedua kakinya yang gemetar. Wajahnya tidak lagi memiliki warna, dialiri buliran dingin sebesar biji jagung yang membasahi seluruh tubuhnya.
Naina menempelkan kedua tangan di depan wajah, memohon sebisanya. “Aku mohon, Tuan. Beri aku kesempatan untuk membuktikan bahwa aku layak untuk tinggal di sini. A-aku bisa melakukan semua pekerjaan rumah... Dan aku bisa memasak. Aku berjanji akan melakukan yang terbaik dan berusaha untuk tidak mengecewakan.”
Tuan Minos menyunggingkan senyum. Perlahan kepalanya menoleh, beradu tatap dengan manik hitam legam milik gadis itu yang sudah berkaca-kaca. “Sayangnya bukan untuk itu aku menjadikan para wanita sebagai istriku.”
Tenggorokannya yang kering dan tercekat berusaha menelan ludah, jantung di dalam sana semakin bertalu tak karuan saat Tuan Minos mulai berderap mendekat. Pria bertubuh jangkung dengan kepala yang terbungkus tudung tampak jauh lebih mengerikan ketika dipandang dari dekat, dan Naina spontan menundukkan kepala.
Tersisa tiga langkah sebelum Tuan Minos benar-benar menyentuh tubuh gadis di depannya.
“Angkat kepalamu. Tatap aku dengan benar.”
Patuh dengan perintah, Naina melakukannya tanpa banyak bertanya apalagi membantah. Sedikit mulai terbiasa menatap wajah hancur dari pria itu.
“Kau bilang bisa melakukan apa saja, bukan?”
Naina mengangguk patah-patah, agak ragu. Pikirannya melambung ke mana-mana, takut disuruh melakukan hal gila dan tak masuk akal.
“Kalau begitu pergilah malam ini juga ke lereng perbukitan di utara. Cari bunga mawar biru yang hanya muncul setiap kali bulan purnama bersinar. Aku tunggu sampai besok pagi, dapat tidak dapat kamu harus kembali ke sini.”
Tuan Minos melanjutkan ucapan seraya memiringkan kepala, tersenyum meremehkan, “Terkecuali memang kau sudah mati di sana.”
Si gagak menyambar ucapan, “Hati-hati, banyak dari wanita yang ditugaskan mencari mawar biru tapi tidak pernah kembali. Jikapun kembali, keadaan tubuh mereka tidak lagi utuh. Itupun mawar biru yang dipinta tak bisa mereka dapatkan.”
Lagi, Naina meneguk ludah dengan tatapan kosong. Pikirannya sudah menerawang jauh perjalanan macam apa yang akan dirinya lalui untuk bisa mendapatkan bunga mawar biru hanya dalam satu malam.
“Bagaimana? Jika tidak bisa, kau—”
“Bisa!” Naina menyela ucapan Tuan Minos secepat kilat. “Aku bisa, Tuan.” Kali ini intonasinya lebih rendah, stabil. Matanya menguarkan gurat gelisah, sedikit menyesali ucapannya.
Naina bagaikan berada di jembatan simalakama. Hendak maju salah, mundur sudah mentok. Pilihan yang diajukan tidak ada yang menguntungkan, pada akhirnya dirinya akan tetap mati malam ini di tangan pria itu ataupun nanti saat perjalanan mencari mawar biru.
Dan Naina berpikir lebih baik mati saat dalam perjalanan, karena setidaknya saat ajal menjemput nanti bukan wajah mengerikan dan tatapan kekejaman itu yang dilihatnya. Meski sebenarnya Naina tidak tahu dalam perjalanan nanti hal macam apa yang mengancam nyawanya.
“Baiklah. Aku akan melihat apakah kau bisa membuktikan ucapanmu dengan membawa mawar biru tersebut atau tidak. Tapi sebelumnya, biarkan aku...” Tuan Minos menjeda ucapan sembari melangkah maju, kian mengikis jarak yang tersisa antara dirinya dengan gadis itu.
Naina yang sudah mepet pada tembok, tidak bisa berkutik sama sekali. Seiring langkah Tuan Minos mendekat, kepalanya menanggah, menatap wajah bak monster yang menyeramkan itu dengan pupil yang semakin melebar.
Saat tangan milik pria itu terulur ke depan, Naina langsung memejamkan mata. Aroma tidak sedap terus mengepul seiring tubuh Tuan Minos bergerak, membuat Naina harus menahan napas beberapa detik. Perutnya pun mulai mual.
“Sssh!” Naina meringis, matanya lebih kuat dipejamkan saat merasakan kulit kepalanya terasa ditarik. Yakin rambutnya dicabut oleh pria itu.
“Dapat.” Tuan Minos tersenyum penuh maksud, kaki panjangnya bergerak mundur. Memberi ruang bagi udara untuk menepis aroma yang menguar dari tubuhnya.
Ketika matanya sudah terbuka kembali, Naina melihat bola bersinar mengambang di telapak tangan pria tersebut. Sinarnya sedikit memberi penerangan, menghempas remang dalam ruangan pengap ini. Makin jelas menunjukkan rupa pria itu yang menyeramkan.
“Ini adalah bola sihirku.” Tuan Minos meniup pelan, menghembuskan napas tipis pada bola itu, membuatnya berputar. Lalu beberapa helai rambut milik Naina dimasukan ke dalam sana.
Tersedot, memanjang, perlahan menggumpal dan menyatu sempurna hingga tak terlihat lagi helai rambut panjang yang mengelilingi bola bersinar itu.
“Seluruh jejak perjalananmu akan terekam dan aku bisa melihatnya dari bola ini,” papar Tuan Minos memberitahu.
Sedang Naina masih memasang wajah bingung, mencoba mencermati apa yang barusan dilihatnya. Sihir? Ia tidak pernah tahu kalau sihir benar-benar ada di dunia ini. Atau mungkin sihir yang dimaksud ada sangkut pautnya dengan perjanjian iblis yang dilakukan Tuan Minos?
Naina tidak tahu, ia hanya menerka-nerka dan menyambungkan cerita mulut ke mulut yang didengarnya dari orang-orang tentang pria itu.
“Jadi kau tidak akan pernah bisa kabur. Aku bisa menarikmu yang sudah berlari sejauh ratusan atau ribuan kilometer, dan bahkan jika kau berhasil bersembunyi di belahan bumi lain pun aku masih tetap bisa menemukanmu. Ingat? Kita sudah terhubung. Dan sebelum nyawa terlepas dari ragamu, kau tidak akan bisa pergi ke mana-mana.”
Tuan Minos tersenyum lebar, lidah panjangnya yang bercabang bagai ular keluar melewati celah di giginya yang berlumuran darah.
Naina menatap jerih dalam ekspresi datarnya, hatinya menjerit-jerit. Ia mengira iblis itu adalah Tuan Minos sendiri. Sebab dilihat dari segi manapun, pria itu jauh dari ciri-ciri manusia normal.
“Tora! Antarkan dia sampai ke gerbang depan. Berikan dia arahan dan beberapa bekal untuk di perjalanan nanti,” titahnya pada sang gagak yang menyimak di pojok ruangan sejak tadi.
“Baik, Tuanku!” Gagak langsung mengepak sayap, terbang melintasi pintu yang tertutup. Badannya sekilas nampak transparan.
“Ikuti dia!” Pandangan Tuan Minos menyorot Naina yang masih kaku di tempat.
Tanpa babibu, Naina membalikkan tubuhnya dan langsung melesat keluar ruangan. Tubuhnya yang masih diselimuti kengerian berpacu dengan waktu, melintasi ruangan-ruangan gelap yang hanya diterangi secercah cahaya dari rembulan melalui celah-celah langit kastil yang berlubang.
Sambil menonton kejadian dari bola sihir yang masih mengambang di telapak tangan, Tuan Minos menghempas tubuhnya pada kursi tua di depan perapian. Bibirnya berkali-kali menyungging, menyaksikan gerak-gerik dari gadis berambut panjang yang acap kali nyaris tersungkur karena terserimpet gaunnya sendiri.
“Aku akui dia begitu gigih. Tapi aku berani bertaruh demi sang purnama yang terus merekah indah, aku yakin gadis itu tidak beda jauh dengan para wanita-wanita sebelumnya,” gumam Tuan Minos, manik ungu terangnya masih setia mengamati pergerakan Naina yang sudah keluar dari gerbang kastil.
Suara gagak menyambar dari luar, perlahan menerobos masuk ke dalam ruangan. Hinggap di atas bahu Tuan Minos, ikut menonton kejadian yang tergambar dalam bola sihir.
“Tapi dari semua wanita yang pernah datang ke sini, hanya dia yang paling muda. Setidaknya untuk saat ini, itu yang membedakannya dari yang lain.” Gagak berseru memberitahu.
Tuan Minos mengangguk setuju. “Ya, kau benar, Tora. Apa sekarang aku terlihat putus asa? Aku seperti sudah menjamah para perempuan di segala umur.” Tawaan tipis muncul di sudut bibirnya yang robek.
Gagak itu menggelengkan kepala. “Tidak, Tuan. Menurut para buku yang diwariskan secara turun temurun pada seluruh generasi di muka bumi ini, untuk membuat cinta tumbuh bukan karena umur.”
Hembusan napas gusar dikeluarkan Tuan Minos, bingkai matanya membungkus sendu. “Bukan hanya tentang umur yang menjadi pokok permasalahan yang sedang aku alami. Memangnya ada perempuan yang mau menerima lelaki buruk rupa sepertiku ini?” Mengeluh, suram di wajahnya menonjolkan tatapan hampa.
Dan sang gagak melanjutkan ucapan, “Juga cinta bisa hadir tanpa alasan. Untuk jatuh cinta, dicintai dan mencintai bagi sebagian orang tak butuh alasan apapun. Mereka cinta karena mereka ingin. Dan rupa bukan menjadi alasan utama bagi seseorang yang sudah jatuh cinta. Bahkan atas dasar cinta, seseorang bisa menerima apapun kekurangan seseorang yang dicintainya.”
Tuan Minos terdiam cukup lama. Hilang kefokusan karena pikirannya terbagi pada yang lain, hingga bola sihir di tangannya perlahan hilang seiring dengan sinarnya yang meredup, sempurna meninggalkan temaram dalam ruangan.
Mulut lebar yang penuh dengan borok dan nanah tersebut perlahan menggumamkan sesuatu, “Sudah sejauh dan selama ini. Apa aku masih boleh berharap pada harapan semu?”
***
“Tidak mungkin!” Tuan Minos berteriak, tubuhnya beringsut dari kursi.
Pria itu menyangkal apa yang baru saja ditampilkan oleh bola sihir di tangannya. Selama hampir satu jam memandangi tanpa jemu, menunggu kejadian berulang yang tak pernah meleset dari dugaan, tapi untuk pertama kalinya tebakan Tuan Minos meleset total.
Seharusnya Naina yang sudah masuk dan menyusuri hutan yang dinamai ‘hutan kematian’ sudah diganggu oleh penunggu jahil dan binatang buas yang siap menyergap kapan saja. Tapi justru Naina malah dipandu oleh boneka jerami bernyawa yang sering ditaruh di perkebunan.
“Mana bisa dia dibantu oleh si bodoh itu?! Bukankah selama ini wanita yang kukirimkan ke sana tidak pernah dipedulikan oleh apapun dan siapapun?” Tuan Minos geleng-geleng kepala, tidak mengerti.
Sang gagak yang masih setia hinggap di bahu Tuan Minos pun ikut menatap bingung. Tapi sesaat ia merasa diberi petunjuk dan jawaban.
“Tuan, bukankah kau menunggu hal ini terjadi sejak ribuan tahun lalu? Siapa tahu memang gadis itu adalah orang yang kau cari selama ini?”
Tapi Tuan Minos segera membantah melalui gelengan tegas. “Aku tidak tahu harus merespon bagaimana. Tapi hal baru ini tidak bisa aku terima dengan mudah. Aku merasa ada sesuatu yang terjadi dibalik semua ini.”
“Kita lihat sisi positifnya saja dulu, Tuan. Sisanya kita pasrahkan. Toh, jika memang kali ini gagal lagi, masih banyak wanita di muka bumi ini yang akan datang dan diseleksi olehmu, Tuan.” Gagak berupaya untuk menenangkan Tuan Minos yang masih syok.
“Tidak!” Tuan Minos membantah kembali, tubuhnya yang mendadak lesu langsung ia jatuhkan pada kursi. Bersandar dengan kepala yang menengadah.
“Aku akan benar-benar menyerah setelah ini,” sambung Tuan Minos, mata indahnya yang berkelip terpejam sejenak. Hembusan napas berat keluar dari mulutnya yang terus mengeluarkan darah bercampur nanah, merembes hingga mengenai leher dan pakaiannya.
“Tuan?” Tora, gagak yang pandai bicara itu terlihat sedih. Tidak ingin Tuannya berkata demikian.
“Aku hanya perlu pasrah menerima takdirku yang seperti ini. Menimbun impian yang sampai kapanpun tidak akan pernah terwujud. Berhenti merenda harapan yang tak kunjung usai.” Tampaknya Tuan Minos benar-benar putus asa.
Tora mengepak-ngepak, tidak terbang, hanya loncat-loncat di atas bahu Minos. Mencoba menarik perhatian Tuannya, ingin memberitahu sesuatu.
“Tuan, buka matamu cepat!”
“Lihat apa yang dilakukan gadis itu!”
Menarik punggung dari sandaran kursi, Tuan Minos duduk dengan benar. Mengangkat tangan kirinya yang mengambangkan bola sihir, terang sinarnya membuat luka-luka di wajah pria itu tampak mengkilat.
“Belum ada satu jam dia pergi, dan sekarang dia sudah hampir sampai di lereng perbukitan? Ini benar-benar tidak masuk akal! Lihat, dia bahkan mengajak para binatang berbicara. Sebenarnya siapa gadis ini?” Kedua alis Tuan Minos menyatu, menggerung pelan.
Tora mengerjap-ngerjap, semburat sinar biru layaknya sebuah hologram terpancar dari kedua matanya. Menampilkan data-data yang ia peroleh tentang gadis itu.
“Dilihat dari informasi yang kudapatkan, dia hanyalah gadis biasa, Tuan,” terang Tora, menggulir data transparan dari sinar yang terpancar dari matanya.
“Gadis biasa seperti apa?” Tuan Minos bertanya tanpa melirik pada data-data informasi yang ditunjukkan oleh gagak tersebut, sibuk mengamati gelagat Naina dari bola sihir agar tidak terlewat sedikitpun.
“Dia gadis biasa yang hidup dalam keluarga sederhana. Dia ikut bersama ibu tirinya setelah ayah kandungnya meninggal dunia saat dia berumur sepuluh tahun. Tujuh tahun hidup bersama ibu tirinya dan dua saudara tirinya, Naina diperlakukan tidak baik. Layaknya seorang pelayan, dia melakukan seluruh pekerjaan rumah tangga tanpa dibayar sepeser pun.”
Informasi yang diberikannya didukung oleh rekaman kehidupan sehari-hari Naina, Tora mendapatkannya ketika ia diam-diam menyelinap untuk mengintip. Terpampang jelas bagaimana Naina diperlakukan oleh mereka, dengan keji dan tidak manusiawi.
Tuan Minos melirik sekilas, menonton karena penasaran. “Pantas dia langsung menawarkan diri untuk menjadi tukang bersih-bersih dan memasak di sini.”
“Em, siapa nama gadis itu?” Tuan Minos mendadak lupa, matanya tertutup sesaat untuk mengingat-ngingat.
“Naina, Tuan. Nama lengkapnya Naina Laima.”
Kepala Tuan Minos angguk-angguk. Kembali fokus mengamati perjalanan Naina dibalik bola sihir.
Lenggang sesaat. Hanya ada suara dari bola sihir yang mempertontonkan kejadian, meningkahi suara gemerutuk api yang setia membakar kayu bertumpuk di dalam tungku.
“Aku merasa kasihan pada gadis itu,” celetuk Tora tanpa sadar, kepalanya sedikit banyak menyimpan ingatan-ingatan tentang wanita yang pernah menjadi istri Tuan Minos, dan entah mengapa ia sedikit terbawa suasana dengan kehidupan Naina.
“Apa yang perlu dikasihani?” Tuan Minos mendesis, merasa bahwa dirinya-lah yang patut dikasihani di sini.
Atas takdir memuakkan yang menimpanya, mengapa gagak itu malah bersimpati pada orang lain?
Tora langsung tertawa kikuk. Sayapnya mengusap kepala rikuh, tahu bahwa perihal ‘kasihan’ dan ‘mengasihani’ adalah persoalan paling sensitif dalam kehidupan Tuannya tersebut.
“Bagaimana, ya...” Tora sedang menyusun kalimat yang pas dalam kepala. “Bukan apa-apa. Tapi aku hanya kasihan gadis itu tidak pernah tahu dunia luar. Dia bagaikan katak dalam tempurung. Selama hidup, dia hanya berkutat pada pekerjaan rumah. Dia tidak dibiarkan tahu dunia luar itu seperti apa.”
“Dibiarkan terkurung dan tersiksa sendirian. Bahkan dia tidak pernah tahu bahwa di zaman ini sihir mulai diakui keberadaannya. Pemikiran gadis itu terlalu kolot. Hanya berkiblat pada buku-buku kuno yang tak berlaku lagi di zaman ini,” tambah Tora menjabarkan.
Tuan Minos lantas menarik kedua sudut bibirnya untuk tertawa sumbang, merasa apa yang dijalani gadis itu tidak sebanding dengan apa yang sudah dilaluinya selama ini.
“Tuan, bukan bermaksud aku ingin membandingkan. Tapi—”
“Diam!” Kedua mata Tuan Minos menyipit, tangan kirinya ia dekatkan pada wajah. Melihat bola sihir dari dekat. Ia baru menyadari bahwa Naina sudah sampai di lereng perbukitan.
Senyap. Pandangan mereka hanya tertuju pada gerak-gerik gadis itu. Dan Tuan Minos semakin tidak percaya pada apa yang dilihatnya.
“Ini gila! Benar-benar gila!” Sebelah tangannya yang menganggur meremat dada, merasakan dentuman yang luar biasa dari salam sana.
“Dia berhasil mendapatkan mawar biru itu, Tuan.” Tora memperjelas apa yang dilihat. “... Dia perempuan kedua yang bisa membawakan mawar cantik itu untukmu.”
“Belum!” bantah Tuan Minos penuh penekanan, “Jika mawar itu belum sampai di tanganku, dia belum bisa dikatakan berhasil. Bisa saja di perjalanan pulang nanti dia mendapatkan celaka yang mengakibatkan mawar itu hilang atau nyawanya sendiri yang hilang.”
“Dan juga, kenapa para hewan bodoh dan aneh itu yang menemani? Kemana perginya hewan buas yang selalu tak tahan dengan aroma manusia? Aku kira aku akan melihat pemandangan kulit yang tercabik-cabik malam ini,” dumel Tuan Minos yang masih belum menyangka pemandangan macam itu yang ia tonton malam ini.
Tora memilih diam. Tidak mau memancing-mancing, biar saja Tuannya itu menafsirkan apapun sesuka hati. Biar saja Tuannya tersebut menyangkal jawaban-jawaban yang sudah jelas membawa petunjuk.
***
“Bagaimana caranya aku berterima kasih pada kalian?” Naina mengusap peluh, menatap satu per satu para binatang-binatang rombongan yang mengantar dirinya untuk sampai ke bukit.
Kuda putih bersayap, kelinci putih sebesar kangguru, kura-kura bercangkang putih besar, dan burung kakak tua putih dengan jambulnya yang menawan. Jangan lupakan boneka jerami yang berjalan melompat-lompat paling pertama menemani Naina.
“Itu sudah tugas kami.” Kuda putih bersayap yang menjawab, mendapat anggukan dari binatang lain.
“Kami sudah menunggumu sejak lama. Kami merindukanmu. Dan kami selalu menatap bulan purnama biru, menunggu kedatanganmu kembali. Dan tepat di malam ini, akhirnya kami bisa melihatmu lagi, meski dalam wujud yang berbeda.” Kali ini sang kakak tua putih yang bicara.
Sedang Naina hanya melongo, ekspresinya kebingungan. Tidak tahu apa yang sedang dibicarakan mereka, dipikirkan berapa kalipun otaknya tidak bekerja.
“Menunggu kedatanganku kembali? Wujud yang berbeda? Apa maksud dari semua itu?”
***
Diantar pulang oleh kuda putih bersayap, Naina tidak perlu lagi berjalan jauh dan berakhir ngos-ngosan. Tentunya dia berhasil kembali sebelum matahari terbit, bahkan saat ini langit masih menggulita, masih jauh menjumpai pagi.
Dan di sepanjang perjalanan, Naina bergulat dengan pikirannya sendiri. Teringat dengan perkataan si gagak yang menakut-nakuti bahwa para wanita sebelumnya tidak ada yang berhasil pulang dalam selamat dan keadaan utuh, bahkan tidak bisa membawa bunga mawar biru yang diminta.
Tapi kenapa dirinya begitu mudah? Peta yang diberikan untuk petunjuk jalan, dan beberapa senjata dan serbuk ajaib yang diberikan gagak untuk berjaga-jaga di perjalanan tidak terpakai sama sekali.
“Tidak ada kalimat yang bisa kukatakan selain ucapan selamat karena telah berhasil kembali dan membawa mawar itu.” Tuan Minos menerima mawar tersebut dan sudah memasukkannya ke dalam vas bunga yang tertutup tanpa membiarkan ada udara yang masuk.
Naina berdiri dengan perasaan sedikit lebih tenang. Tapi masih merinding setiap kali matanya menatap wajah mengerikan Tuan Minos, dan juga ia merindukan udara segar di luar sana. Bau busuk yang membuat perutnya terkuras di dalam sana benar-benar menusuk.
“Tapi ini saja masih tidak cukup membuktikan apakah kamu bisa tetap tinggal di sini atau tidak,” ujar Tuan Minos kemudian.
Ketenangan Naina tidak berlangsung lama. Rasa takut kembali menyergap tubuh dan pikirannya, mulai menerka apa lagi yang akan diminta pria itu.
Karena sulit mengontrol ketakutannya, Naina langsung menundukkan kepala. Meremat gaun lusuhnya kuat-kuat. Memohon sebelum pria itu memberikan ancaman. “Jangan bunuh aku, Tuan. Aku rela melakukan apa saja agar kau mengizinkanku untuk tetap tinggal di sini.”
“Kalau begitu lepas pakaianmu di sini. Di depanku!”
Saat perintah itu terlontar dan menelisik ke dalam telinga, Naina langsung melotot. Kaget bukan main. Dengan cepat kepalanya pun terangkat, menatap pria di depannya untuk meminta penjelasan.
“Maaf, Tuan?” Naina masih belum mencerna dengan baik perintah yang ia terima barusan.
“Kenapa? Bukankah kita ini suami istri?” Tuan Minos menarik muka masam, tidak suka dengan ekspresi yang dibuat gadis itu.
Ditambah Naina masih bergeming di tempat. Belum memberi respon apa-apa selain menunjukkan wajah polos yang mengundang degupan amarah dalam diri Tuan Minos. Merasa harga dirinya direndahkan oleh gadis tersebut.
“... Karena baik hati, aku beri kau pilihan lain. Berlari dari kastil ini tanpa kaki atau kau akhiri nyawamu sendiri dengan tangan di pedangku?” Tangan Tuan Minos meraba-raba meja di belakangnya, menarik benda panjang yang lancip, mengkilap terkena cahaya dari kobaran api.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!