BRAK!!!
Illana membuka pintu ruang kerja Mark bersama emosi yang mengikutinya, wanita itu memegang sebuah map serta amplop cokelat besar, tanpa mengatakan sesuatu—ia segera melempar mapnya dengan kasar pada permukaan meja, membuat Mark mengalihkan perhatian dari laptopnya.
"Ada apa?" tanya Mark seraya menyambar map dari Illana.
"Lihatlah agar kau berhenti berpura-pura di depanku."
Mark mengernyit ketika menemukan selembar kertas pengajuan perceraian dari istrinya.
"Bercerai?"
Amplop cokelat besar menjadi benda kedua yang harus dilempar dengan kasar pada meja. Mark hanya mendengkus setelah melihat beberapa foto candid berisi gambar dirinya dengan Deborah, mantan kekasih pria itu.
Seharusnya hal ini cukup menegaskan sesuatu bahwa pernikahan mereka memang tidak baik-baik saja.
"Kau benar-benar menginginkan perceraian?" tanya Mark tanpa merasa bersalah, ekspresi serta gesture tubuhnya cukup santai. Ia beranjak menghampiri Illana, berniat menyentuhnya, tapi wanita itu mundur.
"Segera tandatangani kertas itu, aku ingin mengakhirinya lebih cepat. Pengkhianat harus menjauh dari kehidupanku, Mark!"
"Illana—"
"Kau bahkan telah berkencan dengannya kembali, di mana hati nuranimu, huh! Aku istrimu, tapi sepertinya sangat mudah bagimu bermain dengan siapa pun, termasuk denganku." Illana hampir tidak percaya bahwa Mark tega berselingkuh di belakangnya, tapi mengingat kembali jika Mark pernah memiliki sebuah hubungan yang cukup panjang dan hampir menikahi Deborah—sebelum wanita itu tiba-tiba menghilang.
Illana menyadari bahwa dirinya mungkin hanya pelarian, atau sejak awal Mark tidak bisa mencintainya dengan layak.
"Kau yakin ingin bercerai denganku?" Pertanyaan Mark membuat Illana menatapnya aneh.
"Lalu, apa yang harus aku lakukan, huh? Mempertahankan suamiku saat kau bahkan mencintai mantanmu? Aku masih waras, Mark. Kau takkan merugi meski kita berpisah, kau masih bisa melanjutkan hubunganmu dengannya seperti yang sudah kau lakukan."
"Kau mengintaiku?"
Illana berdecih, ia melipat tangan di dada seraya menatap remeh suaminya. "Meski aku tidak mengintaimu, kau harus ingat bahwa aku memiliki banyak teman dan koneksi yang cukup luas. Mereka semua baik, sehingga mudah mendapat foto seperti ini. Kau terkejut sekarang?"
Mark menelan ludah, sejenak ia menatap foto-foto pertemuannya dengan Deborah seminggu lalu, ia takkan menduga akan mendapat kejutan yang cukup membingungkan hari ini.
"Baiklah." Mark kembali bersuara. "Jika itu yang kau inginkan, Illana."
"Bajingan. Segera kembalikan kertas itu setelah kau mengisi tanda tangan, jangan sampai melewatkannya." Ia berjalan keluar dan membanting pintu seperti sebelumnya.
Emma, sekretaris Mark kembali terkejut saat Illana keluar dari ruang kerja atasannya. Emma sempat berdiri untuk menyapa Illana, tapi melihat ekspresi tak bersahabat milik Illana membuat Emma mengurungkan niat.
"Apa terjadi sebuah keributan besar di dalam ruangan itu, huh?" Emma memperhatikan hingga Illana menghilang setelah memasuki lift. "Sepertinya memang terjadi sesuatu dengan mereka. Haruskah aku menjadi detektif untuk hal ini? Pasti pegawai satu kantor akan membicarakannya."
***
Illana menangis seraya mengemudikan mobil, tapi ia memang telah menghabiskan banyak air mata sejak menerima paket berisi foto antara Mark dan Deborah. Ia tidak peduli terhadap pengirim paket tersebut, Illana harus bersyukur karena mengetahuinya sejak awal.
Ia bahkan baru kembali dari perjalanan bisnisnya ke Jepang, lalu mendapat kejutan yang menyakitkan seperti ini, menguras tenaga serta pikiran Illana, mengalihkannya dari banyak pekerjaan lain.
"Apakah aku tidak lebih baik dari wanita itu sehingga Mark sulit berhenti memikirkannya, huh? Untuk apa Deborah kembali muncul saat Mark telah menikahi orang lain, ia sudah terlambat, seharusnya kembali dua tahun lalu."
Illana terpaksa menepikan mobilnya dan berhenti saat merasa jika ia tidak sanggup berkendara lebih jauh, wanita itu melipat tangan pada permukaan kemudi sebelum menenggelamkan wajahnya di sana, ia menangis semakin kencang, menikmati patah hatinya sendiri.
"Katakan padaku apa yang kurang, sehingga aku akan mengoreksi dan memperbaikinya, Mark. Mengapa berkhianat? Aku sangat membenci pengkhianat meski mencintaimu sebanyak yang aku bisa, mengapa memperlakukanku seperti pecundang, huh?"
Ia kembali ke penthouse mewahnya dengan perasaan kosong, ekspresi Illana menjadi datar saat memasuki unit apartemen mewah yang menjadi hadiah besarnya untuk Mark setelah pernikahan mereka.
Memang cukup lucu, Illana memiliki lebih banyak effort untuk hubungan mereka, ia berusaha membuat Mark nyaman bersamanya dan menjalani pernikahan tanpa keraguan, sebab mendapatkan pria itu bukanlah sesuatu yang mudah.
"Apakah aku tidak secantik itu?"
Illana berdiri di depan sebuah cermin setinggi dirinya, ia melihat keseluruhan pantulan di sana, mengamati seraya bertanya—apakah aku belum cukup sebanyak ini?
"Katakan, Mark. Menurutmu, aku tidak lebih baik dari mantan kekasihmu yang telah menghilang bertahun-tahun itu? Siapa dia hingga muncul dan mengacaukan pernikahan ini, huh?"
Illana ingin tahu, siapa pelaku sebenarnya, siapa yang paling bersalah saat ini. Bukankah Illana mendapatkan Mark dengan seluruh kesungguhan sekaligus mempertaruhkan masa depannya, tapi setelah dua tahun pernikahan, badai besar bernama Deborah mengguncang hubungan yang selalu Illana jaga sepanjang waktu.
"Aku telah membantumu mengakuisisi kembali 'Royal Canon', apa kau tidak mengerti cara berterimakasih dengan benar, Mark?"
Illana menyusuri ruang utama penthouse dan berhenti di depan sebuah pigura besar yang menempel di dinding, foto sepasang pengantin bersama senyum menawan mengembang sempurna memperlihatkan kebahagiaan besar.
Illana terdiam beberapa saat, ia terpaku menatap foto pernikahannya. Semua orang menjadi saksi pernikahan mewah itu terjadi, keluarga besar Illana serta orang-orang yang selalu mengucilkannya.
"Aku tidak mengerti mengapa nasib seburuk ini mendatangiku." Ia semakin miris menanggapi situasi menyebalkan yang harus dihadapinya, membayangkan banyak musuh menertawai Illana membuat wanita itu sangat geram.
"Aku selalu menjadikan Mark sebagai pelindung di depan orang-orang jahat haus kekuasaan itu, dan setelah perceraian terjadi, pasti banyak pihak kembali menyerangku. Mengapa situasinya menjadi sangat dilematis?"
Kedua tangan Illana menarik paksa pigura besar tersebut hingga terlepas dan jatuh ke lantai, ia bersikap datar saat kaca yang melapisi bagian depan foto pecah berantakan. Hati Illana terlalu sakit sehingga mudah baginya melakukan hal ini.
Setelah pigura besar, ia mengumpulkan pigura-pigura lain berukuran lebih kecil, lalu membuangnya ke tempat sampah.
"Mark pasti senang karena aku telah membantunya membersihkan semua sampah-sampah ini. Kau harus berterimakasih kepadaku, Mark Theodore. Kau tidak perlu memperkerjakan housekeeper untuk membersihkan semua ini, aku bisa melakukannya dengan senang hati."
Sesekali Illana berhenti hanya karena harus menangis lagi, ia tidak tahu kapan air matanya bisa benar-benar kering. Apakah Mark akan memihak kepadanya jika melihat Illana menangis?
"Tentu saja tidak. Dia bahkan berkhianat dari wanita yang telah membantu dan menemaninya saat masa sulit, meski aku menangis darah, Mark takkan berdiri di sampingku. Hatinya telah terikat oleh jalang bernama Deborah."
***
Illana sengaja terbaring di sofa ruang tamu seraya menunggu Mark pulang, ia berniat segera menagih dokumen pengajuan perceraiannya saat Mark datang, lalu pergi meninggalkan penthouse mereka.
Namun, hingga tengah malam, suaminya tetap belum muncul tanpa memberi kabar apa pun, sementara Illana tak berniat menghubungi pria itu meski muncul banyak pemikiran liar di kepalanya tentang kondisi Mark di luar sana.
"Sejak mendatangi pengadilan, menurutku semua ini telah selesai." Ia tetap terbaring di sofa dan kembali melanjutkan masa istirahatnya, Illana sudah lelah menangis sekaligus mengurus perceraiannya sendiri.
Pagi itu sekitar jam delapan, Mark muncul di penthouse, tapi ia datang bersama Deborah, seolah menegaskan bahwa hubungan mereka di belakang Illana memang nyata.
Mark membuka pintu dengan mudah karena mengetahui kode masuk penthouse, ia sempat terdiam melihat istrinya masih tertidur di sofa. Ini bukan kebiasaan Illana, meski tubuhnya sangat lelah, wanita itu takkan terbaring di sofa seperti sekarang.
"Dia mungkin menunggumu, Mark," ucap Deborah seraya menggandeng mesra lengan kekasihnya.
"Mungkin." Mark mendekat, ia sempat berdeham sebelum menyentuh bahu Illana, berusaha membuatnya terbangun menghadapi kenyataan pahit yang terjadi. "Illana, bangunlah. Aku sudah pulang."
Wanita berambut cokelat itu perlahan tersadar, ia membuka kelopak matanya, mengerjap menemukan sebuah tangan memegang map cokelat mengambang di dekat wajah Illana.
"Mark." Ia beranjak seraya menggucak mata. "Kau sudah—" Ia hampir tersenyum seperti yang selalu dilakukannya sepanjang hari ketika berinteraksi dengan Mark, tapi melihat Deborah begitu senang memeluk lengan Mark—cukup membuat Illana tersadar bahwa pernikahannya telah retak. "Kau sudah kembali, aku pikir kau telah melupakan rumahmu."
"Aku takkan lupa."
Ekspresi Illana sangat sayu, ia terus menatap tangan Deborah begitu nyaman mengunci lengan Mark, sementara pria itu masih berstatus sebagai suami Illana.
"Ah. Maaf." Deborah menyadari sesuatu, ia segera melepaskan Mark seraya tersenyum lebar. "Aku akan menunggu di luar." Ia berniat pergi, tapi Mark menahannya.
"Tidak, Deborah. Tetaplah di sini, kau harus menjadi saksi perpisahan antara diriku dan Illana." Mark berbicara tanpa berkedip ketika arah matanya menuju Illana, ia cukup yakin terhadap keputusan itu meski sempat ragu.
"Bajingan." Illana mengumpat lirih. "Aku sempat berpikir saat kau kembali untuk mengatakan bahwa takkan ada perceraian, dan kau ingin memperbaiki hubungan ini, atau merobek kertas itu di depan wajahku."
"Mengapa aku harus melakukannya saat kau menjadi pihak pertama yang memulai semua ini, huh?"
Deborah terdiam, tapi tetap menikmati drama pernikahan di dekatnya seraya melipat tangan di dada.
"Aku melakukannya karena sangat terluka, tapi kau bahkan tak berniat membuatku merasa tenang." Ia menggeleng, sepasang matanya mulai berkaca. "Tidak sama sekali, dan kau membawanya kemari, menunjukan padaku, kau memamerkannya kepada seluruh dunia jika telah berhasil menyakitiku, Mark."
Pria itu tak menanggapi, ia meraih tangan Illana dan meletakan map cokelatnya di sana. "Aku sudah mengisi tandatangan seperti keinginanmu."
"Apa kau tidak memiliki rasa malu, huh?"
Mark masih terdiam.
"Aku tidak ingin mengungkit apa pun, karena aku sangat tulus mencintaimu, tapi kau membalas kebaikanku dengan cara seperti ini."
"Aku harus membayar seluruh kerugianmu, Illana?"
Wanita itu tak bersuara, ia beralih menyambar ponsel serta sling bag dari permukaan meja dan berniat pergi dari tempat ini.
"Kau akan segera pergi?" tanya Mark.
"Ya. Aku sudah muak melihat wajahmu."
"Tunggu sebentar. Satu hal lain harus diluruskan sebelum berakhir." Mark bergegas menyingkir menuju lantai dua, kamar mereka berada di area tersebut.
Mark kembali membawa map lain, dia menunjukan sesuatu di depan Illana.
"Bukankah penthouse ini resmi menjadi milikku sejak pernikahan kita? Kau telah memberikannya sebagai hadiah pernikahan untukku, kau bisa melihat tandatangan kepemilikan di sini."
"Lalu?"
"Segera berkemas dan jangan kembali ke rumah ini, Illana."
Wanita itu menatap Mark tanpa berkedip, Illana tak pernah berpikir bahwa Mark akan mengucapkan kalimat pengusiran seperti ini—meski sangat besar terjadi—mengingat pernikahan mereka berakhir, tapi tidak secepat ini.
Dada Illana bergemuruh, rasanya menjadi semakin sesak seperti ditekan dari segala sisi, siapa pun tak membiarkannya bernapas dengan bebas.
Ia tidak pernah mencintai siapa pun, tapi ketika Illana berhasil menemukan seseorang yang berhak mendapat seluruh perhatian sekaligus cinta sepanjang hidupnya, ia justru menerima kejutan paling jahat.
"Haruskah aku mengurusnya untukmu?" Mark mulai kehilangan kesabaran.
"Terserah."
"Baiklah, tunggu sebentar. Aku akan kembali membawa kopermu kemari."
Saat Mark kembali menyingkir menuju lantai dua, Deborah mencoba berinteraksi dengan Illana.
"Illana, meski terdengar konyol, tapi aku tetap harus meminta maaf kepadamu." Ia menyentuh bahu Illana, lalu berdiri di depannya. "Pasti kau sangat kecewa karena harus bercerai dengan Mark, tapi aku juga—"
"Kau mengajarinya melukai orang lain yang sudah membantunya berdiri. Apa itu hal baik?"
Deborah mengulum bibir, posisi wanita itu sangat salah, tapi ia berusaha membuat dirinya tak terlalu buruk di mata orang lain.
"Aku pergi saat itu karena harus melanjutkan pendidikanku. Aku tak bisa mengatakannya kepada Mark, sehingga menghilang begitu saja. Aku takut jika jujur, dia akan meninggalkanku."
"Tapi dia memang meninggalkanmu. Dia menikah denganku, lalu kau kembali dan merebutnya, huh? Kau tidak bisa memikirkan perasaan sesama wanita?" Emosi mendatangi Illana, ia menatap tajam Deborah seraya menggerakan tangan—menunjukan rasa frustasinya.
"Karena aku memang tidak pernah berniat berpisah darinya, aku masih sangat mencintai dan menginginkannya. Aku kembali untuk Mark, dan dia masih membuka diri untukku."
"Jadi, menurutmu aku telah bersalah, huh?"
"Tidak, Illana. Aku justru ingin berterimakasih karena kau telah menjaga dan merawat Mark di sini, kau mengurusnya dengan baik, sehingga dia baik-baik saja."
Illana tertawa hambar. "Wanita gila. Tentu saja aku harus mengurusnya karena dia adalah suamiku, kau bahkan tidak bisa menggunakan kalimatmu dengan benar, tapi kau mudah mencuri pria milik seseorang."
"Illana—"
"Berhenti menjelaskan dirimu kepadaku, semakin banyak mendengarnya membuatku sangat muak, Deborah."
Suara ketukan pantofel membuat kedua wanita itu terdiam, Deborah kembali pada posisi awal.
Illana menelan ludah ketika Mark mengangkat koper besarnya dan meletakan benda itu di dekat sang istri.
"Silakan. Aku telah mengurusnya untukmu, kau bisa pergi sekarang. Kau pasti merasa sangat lega, bukan?"
"Bajingan."
"Sesuai keinginanmu, setelah ini aku akan menghubungi orangtuamu untuk menjelaskan semuanya. Mengatakan bahwa kau menginginkan perceraian."
"SEMUA INI TAKKAN TERJADI JIKA KAU TAK BERKHIANAT DARIKU, MARK. KAU BELUM JUGA MENGAKUINYA, HUH!!!"
"Sst. Tahan dirimu, Illana. Aku tahu kau pasti sangat kelelahan, segeralah pulang dan beristirahat lebih banyak."
"Kau akan menyesali hari ini, Mark. Kau benar-benar membuangku meski telah membantumu berdiri saat sulit."
"Terima kasih."
Illana berjalan seraya menyeret kopernya keluar dari sana, ia sudah kalah dan hancur, ia menangis setelah pintu tertutup rapat.
"Aku takkan pernah melupakan hari ini, Mark. Takkan pernah."
***
Tenaga Illana telah terserap habis seperti tubuh seseorang yang dihisap oleh lumpur hidup pada hutan pedalaman, saat wanita itu berniat membuka pintu mobil untuk memasukan kopernya, tubuh Illana tiba-tiba lunglai dan berakhir terduduk di lantai basement—tepat di samping mobilnya.
Ia tak segera beranjak, tapi terdiam beberapa saat, lalu menangis kembali, seolah belum cukup—sikap Mark telah merampas kesenangan Illana.
Siapa pun perempuan itu, dia pasti akan sangat terluka jika tiba-tiba berpisah karena perempuan lain—saat kisah pernikahan mereka tak pernah mendapat masalah besar, jadi ini seperti pukulan yang cukup menyakitkan.
"Aku ingin berhenti, sangat ingin berhenti. Aku ingin melupakannya, ingatan seperti ini terlalu jahat jika dibiarkan terlalu lama." Illana masih terus menangis, untung saja suasana di basement sangat sepi manusia.
Dua mobil lain bermunculan, pengemudinya mengisi kekosongan ruang bersebrangan dengan mobil Illana, meski menyadari beberapa orang keluar dari dua mobil tersebut, Illana tak berniat beranjak, ia tetap menangis—sengaja memperlihatkan kesulitan hidupnya kepada siapa pun di tempat ini.
"Maaf, Nona. Apa yang terjadi denganmu sehingga seperti ini? Bisakah aku membantu?" Suara serak terdengar cukup menghipnotis, membuat Illana terdiam.
Ia memang mendengar banyak ketukan pantofel di sekitarnya, tapi belum menyadari jika seseorang berpaling untuk menghampiri wanita itu karena merasa kasihan.
"Aku—" Illana mengusap air mata di wajahnya, lalu menengadah, ia tercengang melihat kemunculan seseorang yang sudah hampir setahun mendekam di penjara. "Paman, Paman Lucas?"
"Kau—" Pria itu lebih terkejut, ia membantu Illana beranjak seraya memperhatikan kondisinya. "Apa yang terjadi denganmu, Illana? Di mana Mark?"
"Paman sudah keluar dari penjara?" Pikiran Illana tentang Mark segera teralihkan karena muncul pertanyaan lain di kepalanya.
Lucas mengangguk. "Ya, sebulan lalu, tapi aku baru muncul ke publik akhir-akhir ini. Jadi, di mana suamimu?" Ia mengerutkan kening ketika menemukan koper besar Illana. "Mengapa ada koper di sana? Kau membawanya pergi?"
Illana tidak menyahut, ia membuka pintu mobil dan berusaha mengangkat kopernya. Melihat Illana kesulitan membuat Lucas segera mengambil alih koper dan memasukannya pada bagasi mobil.
"Terima kasih," ucap Illana seraya tersenyum tipis, tentu tidak cukup untuk menghapus kesedihan di wajahnya.
"Kau akan pergi? Berlibur?"
Illana menggeleng. "Aku akan kembali ke apartemen lamaku."
"Mengapa? Apa yang terjadi? Aku sudah bertanya sejak awal, tapi kau selalu menghindar tanpa menjawab. Keponakanku menyakitimu, huh?"
Illana mencengkram pintu mobil, meski Paman Lucas telah melihat bagaimana ia menangis di tempat ini, tapi sulit untuk mulai terbuka kepada orang lain meski Lucas adalah adik bungsu Steve Griggori, ayah Mark.
"Kau akan mengetahui jawabannya jika berhasil menemui Mark, Paman. Aku harus pergi sekarang."
Lucas tak berniat memaksa, ia membiarkan Illana memasuki mobil, tapi wanita itu berhasil meninggalkan rasa penasaran yang besar di kepala Lucas.
***
Tidak bisa pergi ke 'Cinnamon' membuat Illana menghubungi sektretarisnya agar menunda seluruh jadwal pertemuan di kantor hari ini, ia tak mungkin menyuguhkan wajah sedih atau bersikap seolah sedang baik-baik saja, sebab yang terjadi bukanlah sakit biasa.
"Terima kasih banyak, Nora. Aku akan kembali besok, kau tak perlu mencemaskan kondisiku." Ia menarik napas, dadanya masih terasa sesak, dan banyak gumpalan tisu bertebaran di lantai. "Aku baik-baik saja."
Setelah merasa cukup, Illana mengakhiri panggilannya kepada Nora, ia terdiam untuk melamun.
Sebelum menikah dengan Mark, apartemen ini menjadi tempat tinggal Illana meski keluarganya memiliki rumah yang besar, sejak memulai pekerjaan pertamanya Illana telah mengumumkan bahwa ia harus mencoba hidup mandiri, dan hal itu sangat efektif mempertegas karakter 'independent women' pada diri Illana.
Fokusnya terganggu ketika mendengar suara bel dari pintu utama, ia mengerutkan kening karena merasa janggal.
"Siapa yang mencariku hingga ke tempat ini? Bukankah semua orang tahu jika aku tinggal bersama Mark?"
Rasa penasaran mengajaknya beranjak menemui siapa pun di luar pintu unit apartemennya, dan Illana hampir terkejut ketika menemukan tubuh tinggi atletis Paman Lucas berdiri di sana.
"Paman? Apa yang kau lakukan di sini?" Illana bahkan tak mengingat jika ia sempat mengatakan bahwa berpindah ke apartemen ini beberapa jam lalu kepada pria setinggi 180centi di depannya.
"Mencarimu."
"Mencariku?" Wanita itu semakin kebingungan. "Tapi, ada apa?"
"Bisakah mengizinkanku masuk sekarang, Illana?"
Setelah Lucas masuk, ia segera duduk di sofa ruang tamu, sementara Illana tetap berdiri di dekat pintu seraya melipat tangan di dada.
"Aku sudah melihatnya, Illana. Mungkin sekaligus menyimpulkan masalah yang terjadi antara kau dan Mark."
Mendengar hal itu mengubah ekspresi Illana, ia kembali sayu.
"Aku terkejut ketika mengetahui bahwa Deborah berada di sana, bukankah hubungan mereka sudah berakhir cukup lama?" Ia mendengkus seraya mengingat kembali momen aneh pagi ini. "Sialnya Mark menegaskan bahwa kalian bercerai hari ini, lelucon macam apa yang aku dengar. Meski sangat ingin meninju wajahnya, tapi aku terus menahan diri demi berinteraksi dengan keponakan yang sudah lama tidak bertemu."
"Mark benar, Paman. Kami memang telah bercerai, dia sudah mengisi tanda tangan pada dokumen perceraian yang aku berikan. Kami berhenti melanjutkan hubungan sakral itu."
Tiba-tiba Lucas beranjak, ekspresinya berubah, ia terkejut karena masih ragu terhadap informasi tersebut.
"Kalian benar-benar bercerai, huh? Kau menyerah pada pernikahanmu karena Deborah?" Pertanyaan Lucas justru terkesan mengejek Illana, membuat wanita itu dua langkah mendekat bersama bola matanya yang membulat akibat kesal.
"Aku melakukannya karena keponakanmu tidak berniat memperjuangkannya, Paman! Berhenti menghakimi jika kau tidak mengetahui apa pun." Ia memutar arah, berdiri membelakangi Lucas. "Tidak masalah jika sekarang aku sangat terluka, atau bahkan hancur. Setidaknya aku telah menyelamatkan diriku lebih cepat dari bencana ini."
Lucas mendengkus, ia menyadari kesalahannya karena terlalu menekan hubungan orang lain.
"Maaf, Illana. Aku hanya terpancing emosi mengetahui kekonyolan ini, tapi lucu menyadari bahwa beberapa orang di keluargaku adalah pengkhianat. Steve mengkhianati adik kandungnya sendiri sehingga aku harus masuk penjara, lalu keponakanku juga mengkhianati pernikahannya. Aku membenci semua ini."
"Apa maksudnya?" Illana tertarik pada topik pertama. "Apa maksud dari mantan ayah mertuaku telah mengkhianati adiknya?"
"Saat kau mendengar hal ini, tolong jangan mengatakannya kepada siapa pun karena orang kepercayaanku masih terus menyelidikinya." Ia menyentuh bahu Illana seraya menatapnya tanpa berkedip. "Alasanku baru muncul setelah sebulan keluar dari penjara adalah karena sengaja bersembunyi, teman baikku membayar denda serta uang sogokan cukup besar agar aku bisa terbebas setelah dia menemukan kejanggalan pada kasus yang menimpaku, dan seseorang sejak awal telah mensabotase semuanya, Illana. Kakak kandungku cukup jahat sampai menggiring adiknya ke dalam penjara."
"Paman yakin bahwa dia adalah pelakunya?"
Lucas mengangguk tanpa keraguan. "Aku lebih mempercayai seseorang yang sudah membelaku saat masa sulit seperti ini ketimbang anggota keluarga yang tidak peduli terhadapku."
"Aku bersedih mendengar fakta seburuk ini."
"Dengarkan ini, Illana. Mark membuang sebuah berlian, tapi mendapatkan kembali sesuatu yang kurang berharga. Aku yakin dia akan menyesali setiap keputusannya di masa depan."
Bola mata Illana kembali berkaca setelah mendengar kalimat pujian seperti itu. "Tidak, entah bagaimana, atau memang aku yang bersalah, tapi Mark mungkin tidak melihatku sebagai seseorang yang sangat berharga, karena jika dia merasa istrinya begitu berarti, dia takkan pernah melakukan hal sejahat ini, Paman Lucas."
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!