Amelia: Mas kangen aku gak?
Amelia: Kalau kangen, bilang saja wkwkwk.
Amelia: Soalnya aku juga kangen sama mas, kapan kita keluar lagi berdua?
Amelia: Mas Evan!
Tangan Gladis bergetar ketika ia membaca pesan whatsapp yang berada di ponsel suaminya, Evan. Nafasnya memburu tak beraturan, jantungnya berdegup kencang, kilatan amarah, jelas terlihat dari raut wajah wanita cantik itu. Hatinya terasa sangat sakit, mendapati sebuah pesan dari seorang perempuan bernama Amelia di ponsel suaminya. Nama perempuan yang sangat tidak asing di telinganya.
"Amelia? Bukankah dia wanita yang di tolong oleh mas Evan, saat hendak di pukuli oleh suaminya? Apa maksud dia mengirimkan pesan seperti ini pada mas Evan? Bukankah dia tahu, kalau mas Evan sudah menikah dan memiliki seorang putri?" Gladis bermonolog sendirian, tangannya begitu erat menggenggam ponsel suaminya. Sementara sang suami, saat ini sedang berada di dalam kamar mandi untuk membersihkan dirinya, karena dia baru saja kembali dari tempat kerjanya.
Ingin sekali Gladis membalas pesan whatsapp yang di kirimkan oleh Amelia kepada suaminya itu. Namun, saat hendak ia mengetik, pintu kamar mandi terbuka, se'sosok laki-laki yang cukup tampan keluar dengan hanya mengenakan handuk kecil yang melilit pada bagian bawahnya saja.
Sontak, Gladis pun langsung meletakkan kembali ponsel itu di atas nakas, ia mencoba untuk tersenyum ketika melihat sang suami berjalan menuju ke arahnya. "Kamu sudah selesai, mas?" tanya Gladis sebisa mungkin ia bersikap seperti biasanya.
Evan tersenyum manis, ia pun lantas mengecup kening Gladis lembut. "Sudah, sayang. Rasanya sangat segar sekali setelah seharian bergelut dengan berbagai pekerjaan." Kata Evan lembut.
Pria berusia 30 tahun itu, memang selalu bersikap lembut dan sangat perhatian terhadap Gladis juga putri kecilnya yang saat ini sedang tertidur pulas.
"Yasudah, aku buatkan kamu kopi dulu ya, nanti setelah itu aku akan menyiapkan makan malam untukmu." Gladis masih tetap tersenyum di antara kegundahan hatinya. Ingin sekali ia bertanya tentang isi pesan whatsapp yang di kirimkan oleh Amelia tadi, namun sepertinya ini bukanlah waktu yang tepat. Gladis tidak ingin gegabah dalam mencari tahu tentang hubungan suami dengan Amelia, wanita yang telah di tolong oleh suaminya dua bulan yang lalu.
"Ya, sayang. Aku akan segera keluar setelah berpakaian." Lagi, Evan mendaratkan kecupan mesranya di kening sang istri, ia juga tidak pernah melepaskan senyumannya kepada sang istri yang telah menemaninya selama lebih dari lima tahun pernikahan.
Gladis hanya membalas dengan senyuman seperti biasanya, lalu setelah itu ia pun bergegas pergi meninggalkan Evan sendirian.
Evan mulai berjalan menuju lemari pakaian, namun langkah kakinya terhenti ketika ia mendengar ponselnya berbunyi 'ting' menandakan adanya pesan masuk.
Evan segera kembali, ia mengambil ponselnya yang tergeletak di atas nakas. Segera, Evan pun membuka isi pesan di aplikasi berwarna hijau itu. Ia sedikit mengernyitkan kening saat membaca pesan dari seorang wanita, yang tak lain adalah Amelia.
Amelia: Mas wa'ku cuma di baca doang. Nyebelin banget sih kamu.
Evan menghembuskan nafasnya kasar, ia menatap pintu kamarnya sedikit mengerutkan kening. "Apakah Gladis yang sudah membaca pesan dari Amelia? Tapi, dia terlihat biasa saja tadi?" ucap Evan sendirian. Jujur saja, hatinya mulai gelisah saat membayangkan sang istri membaca pesan yang di kirimkan Amelia kepada dirinya tadi.
Evan kembali menghembuskan nafasnya kasar, lalu setelah itu ia mulai mengetik pesan untuk membalas pesan yang di kirim oleh Amelia. Setelah selesai membalas pesan itu, Evan pun langsung menghapusnya, kemudian ia meletakkan kembali ponsel itu di atas nakas. Lalu, dia pun kembali berjalan menuju lemari pakaian.
Evan meraih kaos berwarna putih dengan celana pendek bawah lutut. Ia segera memakai pakaiannya, kemudian pergi meninggalkan kamarnya. Sebelum itu, Evan meletakan handuknya terlebih dahulu pada tempatnya. Kemudian ia berjalan menghampiri istrinya yang tengah membuatkan kopi untuk dirinya.
Evan tersenyum, sejenak ia menghentikan langkah kakinya, mengamati tubuh langsing sang istri dari belakang. Meskipun istrinya sudah melahirkan putri pertamanya yang baru saja berusia 3 tahun, tetapi tubuh sang istri masih terlihat seperti gadis pada umumnya, bahkan tubuh Gladis terlihat lebih bagus dan enak di pandang. Mungkin itu karena Gladis memiliki tubuh yang langsing seperti model.
Evan kembali melangkahkan kedua kakinya, menghampiri sang istri dan memeluknya dari belakang. Gladis yang mendapat pelukan dadakan pun sedikit terkejut, kopi yang sedang ia aduk hampir saja tumpah.
"Mas, kamu ngagetin aku tahu gak, sih." Protes Gladis seraya mencubit gemas lengan milik suaminya. Gladis mengesampingkan dulu soal pesan yang ia baca tadi. Ia harus bersikap seperti tidak melihat apa-apa, sekalipun hatinya terasa sakit.
"Sudah selesai, sayang?" bukannya menjawab, Evan justru bertanya. Sesekali ia juga mengendus-endus leher mulus nan putih milik sang istri.
"Sudah, mas. Jadi, lepaskan pelukanmu atau kopi ini akan tumpah dan mengenai tanganku yang putih ini," kata Gladis dengan manja. Dia memang selalu bersikap manja seperti itu, toh tidak ada salahnya jika bermanja-manja dengan suami sendiri.
"Hmm... Baiklah, biar mas yang bawa ya," Evan melepaskan pelukannya, lalu memberikan kecupan mesra di kening Gladis. Wanita itu hanya tersenyum kecil. Dalam hati, tidak mungkin laki-laki yang selalu memperlakukannya dengan lembut dan penuh perhatian, bermain api di belakangnya. Namun, ketika ia mengingat pesan yang di kirimkan oleh Amelia tadi, membuat hati Gladis menjadi gelisah kembali.
"Sera masih tidur, sayang?" tanya Evan seraya berjalan dengan secangkir kopi di tangannya. Pasangan suami istri itu berjalan menuju ruang keluarga.
"Iya, mas. Mungkin sebentar lagi Sera bangun." Jawab Gladis lembut. Ia menghentikan langkah kakinya ketika ia dan juga Evan sudah tiba di ruang keluarga.
Keduanya duduk di atas sofa berwarna putih, saling berdampingan. Evan mulai meletakkan secangkir kopi nya di atas meja, lalu ia pun menatap Gladis dalam. "Sayang, apakah kamu membaca pesan yang di kirimkan oleh Amelia tadi?" tanya Evan dengan lembut dan tiba-tiba.
Gladis yang mendapat pertanyaan itu pun hanya menganggukkan kepalanya saja. Tadinya, dia tidak ingin membahas masalah ini sekarang, karena ia ingin mencari tahu lebih lanjut lagi tentang hubungan suaminya dengan wanita itu.
"Jangan salah paham, ya. Dia memang suka becanda seperti itu sama, mas. Dia sudah menganggap mas sebagai kakaknya sendiri. Jadi, jangan di pikirkan lagi mengenai pesan yang di kirim oleh Amelia tadi." Ucap Evan seraya membawa sang istri ke dalam pelukannya. Suaranya yang begitu lembut dan hangat, sepertinya ia tidak berbohong. Namun, hati Gladis masih saja merasa janggal dan sulit untuk bisa percaya dengan apa yang di ucapkan oleh suaminya tersebut.
"Emm aku percaya sama kamu, mas. Kamu tidak mungkin mengkhianatiku bukan? Jadi, jangan bahas masalah ini lagi ya. Kalau perlu, kamu bilang sama Amelia, becandanya jangan berlebihan seperti itu. Itu sangat tidak baik. Apalagi dia becanda seperti itu sama suami orang, bukankah itu akan membuat istrinya sakit hati dan curiga?" Jelas Gladis seraya melepaskan pelukan sang suami, dan menatap sang suami dalam.
Evan hanya tersenyum sembari menganggukkan kepalanya, ntah apa yang ada di dalam pikiran laki-laki tampan itu saat ini, hanya dirinyalah yang tahu. "Kalau begitu aku mau masak dulu, mas. Nanti kalau Sera bangun, tolong jagain dia dulu, ya." Ucap Gladis sembari beranjak dari tempat duduknya. Lalu setelah itu, ia pun berjalan menuju dapur tanpa mau mendengar jawaban dari sang suami. "Mas, apakah kamu berkata jujur? Atau itu hanya untuk membuatku percaya sama kamu? Ntahlah, hatiku merasa sangat gelisah dan sulit untuk mempercayai ucapanmu," batin Gladis sambil mengepalkan satu tangannya dan mempercepat langkah kakinya menuju dapur.
Setelah kepergian Gladis, Evan nampak menghembuskan nafasnya panjang. Ia pun segera meraih secangkir kopi, lalu menikmatinya perlahan. Setelah itu, ia kembali meletakkan secangkir kopi itu, lalu beranjak dan pergi menuju kamarnya.
Ponsel yang ia letakkan di atas nakas berdering, menandakan adanya panggilan masuk dari seseorang. Dengan segera, Evan pun berjalan menuju nakas, lalu mengambil ponselnya. Dia kembali menghembuskan nafasnya panjang, ketika ia melihat nama Amelia sedang menghubunginya. "Kenapa dia keras kepala sekali, sih." Gumam Evan sebelum ia menggeser tombol berwarna hijau.
"Bukankah sudah ku katakan! Jangan menghubungiku dulu. Gladis sudah membaca pesanmu tadi. Aku tidak ingin dia mencurigai kita, sayang." Ucap Evan sambil melangkah dan menutup pintu kamarnya.
"Tapi aku sangat merindukanmu, mas. Aku tidak bisa diam dan menunggumu memberi kabar. Kamu tahu, aku sangat membutuhkanmu saat ini. Aku ingin kamu berada di sampingku, aku takut mas Rio datang kesini, mas." Amelia berkata dengan sendu. Wanita yang sebentar lagi akan menjanda itu, memang tidak pernah kehabisan akal untuk membuat Evan merasa kasihan kepada dirinya. Tidak perduli Evan sudah menikah dan memiliki seorang putri, wanita itu tetap mengejar Evan.
Dari awalnya kasihan, namun lama kelamaan tumbuh setitik perasaan, setitik demi setitik perasaan itu malah bertambah besar. Di tambah lagi, mereka berdua sering bertemu tanpa sepengetahuan Gladis, tentu saja waktu itu di gunakan dengan sebaik-baiknya oleh Amelia untuk membuat Evan semakin perduli dan mencintainya.
Cerita demi cerita menyedihkan, Amelia ungkapkan kepada Evan, dari yang dia di pukuli, di khianati, lalu dia yang hampir di jual oleh suaminya, semuanya ia ceritakan pada Evan. Air mata selalu mengiringi setiap kata yang terlontar dari mulutnya, membuat Evan merasa sangat kasihan juga menimbulkan benih cinta dalam diri laki-laki itu. Membuat Evan ingin melindungi wanita itu dari pria brengsek seperti Rio.
Setiap kali bertemu, Amelia akan mengenakan mini dress se atas lutut dengan belahan dada yang rendah. Sehingga menampakan dua gundukan besar miliknya. Bukan tanpa alasan Amelia memakai pakaian seperti itu, tetapi ia memang sengaja ingin menggoda Evan, agar laki-laki itu tergoda dengan tubuhnya yang seksi dan berisi. Dengan begitu, dia bisa melampiaskan hasratnya yang sudah lama terkubur dan belum mendapat pelampiasan sama sekali.
Ya, semenjak suaminya berkhianat beberapa bulan yang lalu, Amelia memang sudah tidak pernah lagi di sentuh oleh suaminya. Jadi wajar saja bukan, jika dia butuh pelampiasan seksnya? Dan pertemuan dirinya dengan Evan dua bulan yang lalu, adalah sebuah anugerah bagi Amelia. Ya meskipun laki-laki ini sudah memiliki seorang istri, namun Amelia sama sekali tidak perduli.
Lagi, Evan menghembuskan nafasnya, ia lantas duduk di sisi ranjang, menatap langit-langit kamarnya. "Nanti mas akan datang kesana. Jadi, untuk sekarang, sebelum mas beri kabar, kamu jangan mengirimkan mas pesan, ya. Mas takut Gladis akan mengetahuinya. Mengerti ya." Ucap Evan lembut. Tentu saja laki-laki ini tidak ingin istrinya mengetahui hubungannya dengan Amelia. Dia masih sangat mencintai istrinya. Namun, dia juga mencintai Amelia yang menurut Evan sangat menyedihkan.
"Emm baiklah, aku tunggu ya, mas. Pokoknya besok kamu harus datang kesini. Nanti aku kasih kamu service memuaskan deh." Goda Amelia dengan suaranya yang manja dan mendesah, membuat Evan merasa sedikit terangsang. Amelia memang selalu berbicara seperti itu, ia sudah tidak tahan ingin di sentuh oleh Evan. Namun, sampai saat ini pun Evan masih belum menyentuhnya.
"Jangan menggoda mas, mas tidak mau melakukan itu. Atau mas akan merasa sangat bersalah sama istri mas." Kata Evan dengan nada bicaranya yang mulai berat. Selama tiga minggu berhubungan dengan Amelia, dia memang belum pernah melakukan hal di luar batasnya, sekalipun Amelia selalu menggodanya dengan pakaian minim, tetapi Evan masih bisa mengendalikan dirinya.
"Hmmm, yakin tidak mau? Enak loh mas servicenya aku. Aku yakin, kamu pasti akan ketagihan nanti. Kita coba yuk, nanti." Amelia terus menggoda Evan dengan ucapannya yang vulgar, bahkan kadang wanita itu mendesah, membuat Evan kembali terangsang.
"Cukup Amelia. Jangan bicara seperti itu lagi... "
"Kenapa, mas? Mas terangsang ya? Aaah aku ingin melakukannya gimana dong? Nanti aku kirimkan gambar telanjang aku ya, kamu lihat aku baik-baik, kamu pasti akan sangat-sangat menginginkanku." Ucap Amelia memotong ucapan Evan yang belum selesai. Sungguh, wanita ini benar-benar tidak kehabisan akal untuk mendapatkan apa yang dia inginkan dari Evan.
"Jangan becanda, Amelia. Mas..."
"Aku serius loh, mas. Kenapa mas bilang becanda? Mas tahu, selama beberapa bulan ini, tubuhku tidak pernah di sentuh lagi oleh Rio. Ah lagian kalau pun Rio ingin menyentuh tubuhku, aku sudah tidak sudi lagi. Jangankan menyentuhku, bertemu dengan dia saja, aku tidak mau, kecuali saat kita di pengadilan nanti." Jelas Amelia yang kembali memotong ucapan Evan.
"Mas, besok kita nginap di hotel, yuk. Kamu kasih alasan ke istrimu, apa gitu, biar kita puas berduaan." Kata Amelia lagi dengan nada bicaranya yang terdengar memohon. Wanita ini benar-benar tidak tahu malu, dia ingin mendapatkan sentuhan dari suami orang. Padahal, dia adalah korban pengkhianatan suaminya, seharusnya dia tahu bagaimana rasanya di khianati oleh pasangannya sendiri. Itu pasti akan terasa sangat menyakitkan.
"Tidak bisa, Amelia. Mas tidak mungkin menginap di hotel bersamamu. Selama ini, mas tidak pernah tidur di luar, sekalipun mas harus lembur kerja, mas tetap akan pulang ke rumah. Jadi, lebih baik kita hanya bertemu saja, tidak perlu sampai menginap di hotel, ok." Ucap Evan membuat Amelia merasa sedikit kecewa.
"Kalau begitu mas tutup dulu telponnya, ya. Kamu istirahatlah, jangan lupa untuk makan dan jaga kesehatanmu, mengerti." Sambung Evan lagi dengan nada bicaranya yang masih sama, lembut.
"Mas, jangan di tutup dulu, ih. Aku masih kangen tahu." Rengek Amelia dengan manja. "Gimana kalau kita video call aja. Aku.... "
"Tidak Amelia. Lebih baik aku tutup dulu telponnya. Sampai bertemu besok." Telak Evan dengan tegas. Setelah itu, Evan pun langsung memutuskan sambungannya tanpa menunggu jawaban dari Amelia.
Evan menghembuskan nafasnya kasar, sesuatu di bawah sana sudah berdiri sejak Amelia berkata vulgar tadi. Dia butuh pelampiasan untuk menenangkan belalainya yang panjang nan besar itu. "Amelia.... Kamu benar-benar sudah membangunkan milikku. Aaarghhh, aku harus menenangkannya sekarang juga." Batin Evan seraya beranjak dari sisi ranjang itu. Ia berniat untuk meletakkan kembali ponselnya di atas nakas. Namun, urung ketika ia mendapat sebuah pesan yang di kirimkan oleh Amelia. Bukan hanya pesan saja, tetapi Amelia mengirimkan sebuah photo dirinya yang hanya mengenakan bra dengan celana dalamnya saja.
"Oh sial! Dia benar-benar mengirimkan photonya. Meskipun bukan photo telanjang, tapi ini sudah membuatku semakin sesak." Gumam Evan sembari memperhatikan photo Amelia dengan lekat.
Badannya putih mulus, dua gundukan yang cukup besar terhalang oleh bra berwarna merah, juga kain segita yang menutupi area sensitif Amelia, membuat Evan benar-benar menegang sempurna.
"Amelia.... Kamu benar-benar.... "
"Mas, kamu sedang apa? Kenapa kamu menatap ponselmu seperti itu?" Suara seorang wanita yang begitu Evan kenal, terdengar di telinganya. Jantung Evan serasa mau lepas dari tubuhnya, tangannya bergetar, menggenggam ponsel yang kini masih menampilkan photo tubuh seksi Amelia.
Tidak mendapat jawaban dari sang suami, Gladis pun lantas berjalan menghampiri sang suami, ia begitu penasaran dengan apa yang di lihat oleh suaminya, sehingga membuat sang suami diam dengan penuh ketegangan.
Gladis juga melirik ke arah bawah suaminya, ia terkejut ketika ia melihat sesuatu menyembul dari balik celana suaminya itu. Pikiran Gladis mulai buruk, ia sangat yakin, jika sang suami sedang melihat sesuatu yang mampu membangkitkan pusakanya.
Rasa sakit, tiba-tiba saja menjalar di hati Gladis, jantungnya berdegup cepat, nafasnya memburu tak beraturan. Langkah kaki Gladis semakin cepat, ingin segera melihat apa yang ada di dalam ponsel suaminya itu.
"Mas! Kamu sedang melihat apa sih? Kenapa kamu tegang begitu?" tanya Gladis saat dirinya sudah berdiri tepat di hadapan Evan, suaminya. Ingin mengetahui apa sebenarnya yang ada di dalam ponsel suaminya, sehingga membuat senjata suaminya itu nampak berdiri tegak seperti tiang listrik di jalanan.
Hati Gladis sangat gelisah, perasaannya kacau, dadanya terasa sesak, aliran darahnya berdesir hebat, saat ia membayangkan hal yang menjijikkan tengah di lihat oleh suaminya tersebut. Ekor matanya menatap lekat ponsel sang suami yang saat ini sudah tidak lagi menyala seperti tadi. Gladis merasa kecewa, karena belum sempat ia melihat apa yang ada di dalam ponsel suaminya, tetapi ponsel itu sudah mati. Lebih tepatnya di matikan oleh suaminya. Tidak ingin Gladis melihat photo Amelia yang hanya mengenakan kacamata serta kain segita yang menutupi bagian sensitifnya saja.
"Kok di matiin sih mas? Aku pengen lihat, apa yang ada di dalam ponsel kamu! Apakah kamu sedang melihat hal menjijikkan?" tanya Gladis nampak mengintimidasi suaminya yang sedari tadi bungkam dengan perasaan yang gelisah.
Evan nampak menghembuskan nafasnya kasar, ia juga berusaha untuk mengontrol dirinya, dan mencoba untuk tetap tenang, meskipun sejujurnya ia merasakan kegelisahan ketika melihat tatapan mata sang istri yang seolah-olah sedang menginterogasi dirinya.
"Emm mas tidak mematikan ponsel mas, sayang. Tapi, baterainya memang sudah habis." Kilah Evan dengan nada bicaranya yang lembut seperti biasanya. Ia juga memperlihatkan seulas senyuman manis di wajahnya, guna menutupi kegugupannya.
Gladis nampak mengernyitkan keningnya, ia tidak percaya dengan apa yang di ucapkan oleh Evan barusan. Matanya terus menatap dalam kedua bola suaminya, ingin memastikan apakah yang di ucapkan oleh Evan itu benar atau tidak.
"Mas cas dulu ponselnya, ya." Evan mengelus lembut puncak kepala Gladis, lalu mengecup keningnya lembut. Sejenak, ia menatap Gladis dengan lekat, lalu setelah itu ia pun pergi membawa kakinya.
"Mas... " Panggil Gladis membuat Evan langsung menghentikan langkah kakinya, lalu menoleh dan menatap Gladis dengan penuh tanda tanya.
"Kamu mau kemana?" tanya Gladis, lalu berjalan menghampiri suaminya.
"Bukankah mas sudah bilang, kalau mas ingin mengecas hape, mas. Kenapa kamu malah bertanya?" Nada bicara Evan masih lembut seperti sebelumnya. Di tatap nya wanita yang sudah lima tahun lebih hidup bersamanya itu dengan penuh kasih sayang. Sementara Gladis, ia nampak terdiam dengan tatapan mata yang masih tertuju pada pria tampan itu.
"Ada apa, sayang? Kenapa kamu menatap mas seperti itu?" tanya Evan masih dengan nada bicaranya yang lembut. Tangannya terulur, mengelus lembut wajah cantik sang istri. Senyumannya terus terukir menghiasi wajahnya yang tampan itu.
"Harusnya aku yang bertanya sama kamu, mas. Ada apa dengan kamu? Kenapa kamu mendadak pikun seperti ini?" Gladis berbalik nanya dengan nada bicaranya yang rendah. Ia pendam dulu rasa sakit yang masih ia rasakan, ketika ia mendapati sebuah kebohongan dari gerak gerik bola mata sang suami tadi.
"Mas, casan handphone kamu di sana! Kenapa kamu malah berjalan menuju pintu kamar? Apakah kamu.... " Ucapan Gladis terpotong di tengah-tengah saat suara sang suami terdengar di telinganya.
"Ah, maafkan mas, sayang. Mungkin karena mas kecapean, makannya mas jadi pelupa begini." Evan menggaruk tengkuk lehernya yang tidak gatal, sesekali ia juga tersenyum kamu, sambil merutuki kebodohan dirinya sendiri dalam hati kecilnya.
"Sudahlah, aku mau lanjutkan masak dulu." Gladis tidak ingin menanggapi ucapan suaminya. Ia pun langsung berlalu pergi meninggalkan suaminya yang kini hanya dapat menghembuskan nafasnya lega. Berpikir, jika Gladis sudah tidak lagi mencurigai dirinya. Namun, sayangnya pikiran Evan salah, karena pada kenyataannya Gladis tetap mencurigai dirinya dan Gladis juga akan mencari tahu tentang hubungannya dengan Amelia.
Setelah kepergian Gladis, Evan pun langsung menyalakan kembali ponselnya. Ia segera membuka aplikasi whatsapp, lalu membuka pesan yang di kirimkan oleh Amelia tadi. Tanpa menunggu lama, Evan pun langsung menghapus pesan itu beserta photo Amelia yang menggoda.
Evan menghembuskan nafasnya, ia menatap pada bagian bawahnya yang sudah sedikit menunduk, tidak seperti tadi lagi. Evan tersenyum kecut, lalu setelah itu, ia pun berbalik dan berjalan menuju kamar mandi. Meskipun benda pusakanya sudah sedikit menunduk, namun Evan harus tetap mengelusnya agar benda pusaka itu bisa kembali tidur seperti semula. Andai saja ini tengah malam, sudah pasti dia akan mengajak Gladis untuk bercocok tanam.
***
"Papa, cudah puyang?" Sera yang baru saja bangun tidur, langsung berhambur memeluk tubuh papanya. Gadis kecil yang berusia tiga tahun itu, memang masih belum bisa mengucapkan hurup, R, L, dan S. Jadi, dia masih menggunakan hurup C sebagai pengganti hurup S. Sementara hurup R dan L, ia gantikan dengan hurup Y.
Evan pun membalas pelukan sang putri, sesekali dia akan mencium pipi putrinya penuh kasih sayang. Evan memang sangat menyayangi putrinya, apa pun yang di inginkan oleh putrinya, pasti akan Evan belikan. Walau kadang itu harganya yang cukup mahal, namun selagi Evan masih ada uang, itu tidak masalah sama sekali.
"Princess papa baru bangun, nyenyak banget ya bobonya, sayang." Ucap Evan sambil mengukir senyuman di wajahnya. Menatap putrinya dengan penuh cinta.
Sera mengangguk, gadis kecil itu pun langsung turun dari pangkuannya papanya, lalu duduk di samping sang papa. "Papa, Ceya ingin peygi jayan-jayan. Ingin beyi eckym mixcue yang banyak cekayi." Celoteh gadis kecil tiga tahun itu sambil tersenyum memperlihatkan deretan giginya yang putih bersih. Wajahnya yang tembem seperti bakpau, matanya yang sipit, hidungnya yang mancung, serta bibirnya yang kecil, membuat gadis kecil itu terlihat sangat menggemaskan. Di tambah lagi dengan mulutnya yang bawel, sudah pasti akan membuat orang gemas melihatnya, begitu pun juga dengan Evan.
"Baiklah, sayang. Papa akan ajak Sera jalan-jalan kalau papa libur kerja nanti. Papa akan belikan Sera ice cream mixue yang banyak sesuai dengan permintaan Sera, princessnya papa." Ucap Evan seraya mencubit gemas hidung mancung milik putri kecilnya. Tak lupa ia juga mendaratkan kecupan penuh kasih sayang di pipi bakpau Sera.
Pemandangan ini membuat siapa pun akan merasa sangat bahagia. Evan adalah sosok seorang ayah yang begitu menyayangi putrinya, juga sosok seorang suami yang sangat mencintai istrinya. Gladis yang berdiri tidak jauh dari tempat Evan dengan putrinya duduk pun tersenyum sendu. Mungkin, jika dia belum membaca pesan yang di kirimkan oleh Amelia tadi, Gladis akan merasa sangat bahagia seperti biasanya. Tetapi kali ini, perasaan bahagia itu menghilang di gantikan dengan perasaan kecewa juga rasa sakit pada hatinya.
"Mama... Yapey.... " Sera menyeru ketika ia melihat Gladis berjalan menghampirinya. Senyuman di wajah Gladis seketika mengembang sempurna, menatap putri kecilnya yang begitu di sayanginya.
"Cuci mukanya dulu ya, sayang. Nanti kita makan, ok." Ucap Gladis sembari mengusap puncak kepala Sera dengan lembut.
Gadis kecil itu nampak mengangguk, ia pun langsung turun dari pangkuan papanya, lalu menghampiri sang mama. "Mama macak apa? Ceya mau makan ayam goyeng, ya." Ungkap gadis kecil itu dengan antusias, membuat Gladis merasa gemas.
"Ya, sayang. Ayo kita cuci mukanya dulu." Gladis menjawab, seraya menuntun Sera menuju wastafel yang berada di dalam kamar mandi luar. Sementara Evan, nampak mengulas senyuman seraya menatap kepergian istri dan juga putri kecilnya tersebut.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!