"Katakan dengan lantang kalau kamu menyukainya, akui cintamu kepada orang yang kamu cintai" kalimat itulah yang selalu ada di pikiran Aldo, berputar-putar seperti rekaman yang rusak. Ia menatap kosong ke arah laptop yang terbuka di depannya, halaman skripsinya yang masih setengah jalan terpampang di layar, namun pikirannya sama sekali tidak berada di sana. Yang ada hanyalah bayangan Alia, seorang gadis yang selama ini hanya bisa ia pandangi dari kejauhan, gadis yang entah bagaimana caranya selalu membuat jantungnya berdebar lebih cepat setiap kali ia melewati lorong kampus atau melihatnya berbicara dengan penuh semangat di depan umum.
Alia bukanlah gadis biasa. Dia bukan hanya sekadar wajah cantik di kampus. Alia adalah ketua Badan Eksekutif Mahasiswa, pintar, penuh percaya diri, dan selalu menjadi pusat perhatian. Setiap kali dia melangkah ke dalam ruangan, semua mata tertuju padanya. bukan hanya karena penampilannya yang memukau, tetapi juga karena kharismanya yang kuat. Dia bisa berbicara tentang apa saja dengan semangat yang menular, entah itu mengenai kegiatan sosial kampus, politik, atau sekadar mengobrol santai di kafe bersama teman-temannya.
Bagi Aldo, Alia adalah definisi dari sesuatu yang tak terjangkau. Seorang bintang yang terlalu tinggi, terlalu jauh untuk disentuh. Dan meskipun begitu, ada sesuatu dalam dirinya yang tak bisa menahan perasaan yang tumbuh setiap kali dia melihat Alia. Perasaan yang perlahan tapi pasti merambat di dalam hatinya, menumbuhkan keinginan untuk lebih dari sekadar mengagumi dari jauh.
Namun, Aldo bukanlah tipe orang yang berani menyatakan perasaannya, apalagi kepada gadis seperti Alia. Ia lebih suka menyibukkan diri dengan skripsinya, tenggelam dalam buku-buku tebal dan data penelitian, mencoba melupakan betapa hatinya berdebar setiap kali ia melihat senyum Alia. Bagi Aldo, hidupnya yang tenang dan teratur jauh lebih mudah daripada harus menghadapi risiko penolakan atau rasa malu.
Tapi, hidup Aldo berubah total ketika teman-temannya, Rizky dan Doni, mencetuskan ide gila yaitu sebuah taruhan. “Bro, kamu harus akui kalau kamu naksir Alia!” kata Rizky dengan tawa kecil saat mereka sedang nongkrong di kantin kampus, di sela-sela waktu mengerjakan skripsi yang semakin menumpuk. "Udah lama banget, kan? Gak ada gunanya kamu cuma mandangin dia terus dari jauh. Coba deh, nyatain perasaan lo."
Aldo tertawa kering. “Ah, lu ngomong apa sih, Ky? Itu gak mungkin. Alia itu beda kelas, bro. Gak mungkin gue bisa deketin dia.”
“Kenapa gak mungkin?” Doni menimpali, penuh semangat seperti biasa. “Dia juga manusia biasa, bro. Jangan karena dia populer lo jadi minder. Coba lo keluar dari zona nyaman lo, Do. Selama ini lo terlalu main aman.”
“Main aman?” Aldo mengernyitkan dahi. “Maksud lo?”
Rizky menyikut Aldo. “Maksudnya, lo selalu memilih jalan yang paling gak berisiko. Gak pernah mau nyoba hal-hal baru yang bisa bikin lo gagal. Nah, coba kali ini lo ambil risiko. Kita taruhan. Dalam sebulan, lo harus bisa deketin Alia. Kalo enggak, lo yang traktir kita makan sepuasnya.”
Aldo terdiam. Ide itu terdengar konyol. Sangat konyol. Tapi di sisi lain, ia tak bisa membohongi dirinya sendiri bahwa ada sedikit dorongan di dalam hatinya yang ingin menerima tantangan itu. Bagaimanapun, sudah terlalu lama ia memendam perasaannya terhadap Alia tanpa ada perkembangan apapun. Mungkin, ini saatnya dia melakukan sesuatu. Walaupun taruhan ini terdengar gila, mungkin ini bisa jadi alasan untuk mendekati Alia. Meskipun awalnya hanya karena taruhan, siapa tahu perasaan itu akan berkembang menjadi sesuatu yang lebih nyata?
“Lo serius nih?” Aldo menatap kedua temannya.
Rizky dan Doni mengangguk serempak. “Serius. Kita yakin lo bisa, bro. Lo cuma butuh dorongan aja.”
Aldo menghela napas panjang, mempertimbangkan berbagai skenario di kepalanya. “Gue gak yakin ini ide yang bagus, tapi…oke lah. Gue ikut taruhan kalian.”
Tawa meledak dari mulut Rizky dan Doni. Mereka saling bertukar pandang dengan tatapan penuh kemenangan. “Gue bilang juga apa! Aldo akhirnya mau ambil tantangan! Ini bakal seru.”
Malam itu, Aldo tidak bisa tidur. Dia memikirkan keputusan yang baru saja ia buat. Taruhan ini, meskipun terkesan remeh, adalah sesuatu yang bisa mengubah segalanya. Bukan hanya tentang perasaan kepada Alia, tapi juga tentang bagaimana dia menjalani hidupnya. Selama ini, Aldo memang selalu bermain aman, selalu menghindari segala bentuk risiko yang bisa membuatnya merasa malu atau gagal. Dia lebih memilih tenggelam dalam dunianya sendiri daripada dunia yang penuh dengan buku, penelitian, dan tugas-tugas kuliah yang rutin.
Tapi sekarang, ia dihadapkan pada sesuatu yang sama sekali di luar zona nyamannya. Mendekati Alia, gadis yang selama ini hanya bisa ia kagumi dari jauh, adalah langkah besar yang mungkin akan mengubah banyak hal. Rasa takut mulai menyelinap di hatinya, tapi di sisi lain, ada juga rasa penasaran dan antusiasme yang mulai tumbuh.
Keesokan harinya, Aldo berjalan menuju kampus dengan perasaan campur aduk. Setiap kali ia memikirkan Alia, ada rasa berdebar di dalam dadanya, tapi di sisi lain ada ketakutan yang begitu besar. Bagaimana kalau dia gagal? Bagaimana kalau Alia menolak atau malah mempermalukannya di depan umum? Pikiran-pikiran itu terus menghantuinya.
Namun, ketika ia sampai di kampus dan melihat Alia sedang duduk di bangku taman, berbicara dengan beberapa temannya, Aldo merasakan sesuatu yang berbeda. Kali ini, ada dorongan untuk tidak lagi hanya berdiri dari jauh dan mengamati. Untuk pertama kalinya, ia merasa harus melakukan sesuatu. Meski jantungnya berdebar kencang, Aldo menguatkan dirinya.
“Katakan dengan lantang kalau kamu menyukainya, akui cintamu kepada orang yang kamu cintai,” gumam Aldo pada dirinya sendiri, mencoba memberikan semangat.
Dia mengambil napas dalam-dalam, lalu melangkah mendekati Alia dan teman-temannya. Namun, sebelum dia bisa sampai, sesuatu yang tak terduga terjadi. Seorang cowok tinggi dengan rambut cepak tiba-tiba datang menghampiri Alia, berdiri tepat di depan Aldo.
“Alia!” seru cowok itu dengan suara penuh percaya diri. “Gue suka sama lo. Gue udah lama naksir, dan gue gak bisa lagi menyembunyikan perasaan ini.”
Aldo tertegun di tempat. Cowok itu berbicara dengan lantang, penuh keberanian, persis seperti yang seharusnya ia lakukan. Di depan matanya, cowok itu melakukan apa yang selama ini ia takutkan dengan mengungkapkan perasaan kepada Alia secara terbuka, tanpa rasa ragu atau takut. Dan Alia? Dia terlihat terkejut, tetapi kemudian tersenyum kecil, seolah menikmati momen tersebut.
Sementara itu, Aldo hanya bisa berdiri terpaku, menyaksikan momen yang seharusnya menjadi miliknya direnggut oleh orang lain. Keberaniannya menguap, dan ia merasa seperti orang bodoh. Bagaimana mungkin dia bisa bersaing dengan cowok itu? Dengan segala keraguannya dan rasa tidak percaya diri, Aldo merasa seperti telah kalah bahkan sebelum pertarungan dimulai.
Dia pun berbalik dan berjalan menjauh, meninggalkan taman dengan perasaan hampa di dalam dadanya. Tapi jauh di dalam hati, Aldo tahu bahwa ini bukan akhir. Ini baru permulaan, dan taruhan itu belum selesai. Jika cowok itu bisa melakukannya, maka dia juga harus bisa. Ini bukan soal siapa yang lebih cepat menyatakan cinta, tetapi siapa yang benar-benar serius memperjuangkannya.
Dengan tekad baru yang mulai tumbuh di dalam dirinya, Aldo berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia tidak akan mundur. Taruhan ini bukan hanya soal membuktikan sesuatu kepada teman-temannya, tetapi juga kepada dirinya sendiri. Dan lebih dari itu, ini soal bagaimana ia akan menjalani hidupnya ke depan dengan lebih berani dan mengambil risiko, termasuk dalam urusan cinta.
Aldo terdiam di tempatnya, menggenggam erat buku catatannya dengan tatapan kosong mengarah ke dinding. Suara teman-temannya terdengar semakin jauh, meskipun mereka duduk tepat di depannya. Tawa keras Rio, cemoohan ringan dari Fajar, dan dorongan semangat tak jelas dari Tito menyelimuti ruangan kecil di sudut kafe kampus yang biasa mereka kunjungi. Namun, di dalam kepala Aldo, semuanya terasa samar.
“Ayo, Do, ini taruhan yang gampang! Kamu tinggal bilang suka ke Alia. Masa segampang itu aja nggak bisa?” Rio menepuk bahu Aldo sambil tertawa. Aldo hanya menoleh sekilas, mencoba tersenyum, meski wajahnya masih menyiratkan kebingungan.
“Aku nggak tahu, Rio,” gumam Aldo, suaranya nyaris tenggelam di tengah suara bising kafe.
“Apanya yang nggak tahu? Nih, dengerin ya,” Tito menyela dengan semangat, “Cewek mana sih yang nggak bakal terkesan kalau ada cowok mendekatinya dengan cara yang berani? Apalagi lo orangnya kan, diem-diem misterius gitu. Cewek suka yang kayak lo!” Tito tertawa, jelas bercanda, meski nadanya mengandung sedikit kebenaran.
Aldo menggeleng pelan. Baginya, mendekati Alia bukan hanya soal keberanian. Ini lebih dari sekadar menyatakan cinta kepada orang yang dia sukai. Alia adalah sosok yang berbeda. Dia tidak hanya cantik dan populer, tapi juga cerdas, ambisius, dan penuh tekad. Alia bukan tipe orang yang mudah dijangkau oleh siapapun, apalagi oleh seseorang seperti Aldo, mahasiswa yang lebih sering tenggelam dalam tumpukan buku dan skripsi ketimbang kehidupan sosial kampus.
“Kamu itu udah kenal sama Alia, Do. Kalian kan satu kelas pas mata kuliah kepemimpinan dulu,” kata Fajar, mencoba memecah kebekuan. “Masa dari situ aja kamu nggak bisa cari kesempatan buat ngomong?”
Aldo menghela napas panjang. Iya, memang mereka pernah satu kelas. Tapi itu bukan berarti dia dan Alia saling mengenal. Aldo selama ini hanya berinteraksi dengan Alia sebatas rekan dalam satu kelompok diskusi. Bahkan, dia hampir tidak pernah berbicara secara pribadi dengannya. Bagaimana mungkin ia tiba-tiba datang dan mengatakan bahwa ia menyukainya? Terlalu mendadak, terlalu aneh.
"Ini bukan cuma soal bilang suka atau nggak, Ja," jawab Aldo akhirnya. "Alia itu beda. Dia bukan tipe orang yang bisa didekati dengan cara-cara biasa. Aku bahkan nggak yakin dia tau aku siapa."
Fajar tertawa kecil, "Justru itu poinnya, Do. Biar dia kenal kamu lebih dekat! Kadang, lu nggak perlu langsung ngomong soal cinta. Yang penting mulai dengan komunikasi, biar dia tau kalo lu ada."
Tito, yang sedari tadi tampak menikmati situasi ini, mendekatkan wajahnya ke arah Aldo. "Dengerin nih, Do," katanya dengan suara lebih rendah, "kalau kamu nggak ambil kesempatan ini sekarang, kapan lagi? Kita semua tahu kalau Alia itu cewek paling keren di kampus ini, kan? Kalau kamu bisa mendekatinya, itu artinya kamu udah berhasil menembus batas yang orang lain nggak bisa."
Aldo mengalihkan pandangannya ke luar jendela kafe. Di luar sana, mahasiswa-mahasiswi lain sibuk berlalu lalang, beberapa di antaranya tampak terburu-buru menuju kelas, sementara yang lain duduk-duduk di bangku taman, menikmati udara segar sambil bercengkerama. Di tengah-tengah hiruk-pikuk kehidupan kampus yang tampak tenang, Aldo merasa dirinya semakin tenggelam dalam kebimbangan.
"Lu nggak bakal tau gimana reaksi Alia kalo lu nggak coba, Do," Rio menambahkan sambil menyeruput minuman dinginnya. "Taruhan ini cuma dorongan buat lu. Tapi, intinya tetep sama: lu suka Alia, kan? Jadi, kenapa nggak langsung coba aja?"
Sekali lagi, Aldo menggeleng pelan. "Masalahnya nggak sesederhana itu," ujarnya pelan. "Kalian nggak ngerti. Ini bukan soal taruhan atau sekedar tantangan. Aku... aku bener-bener suka Alia, tapi aku nggak yakin cara ini adalah cara yang tepat buat ngedeketin dia."
Semua temannya terdiam sejenak. Keheningan yang tiba-tiba menandai momen penting, seakan-akan mereka baru saja menyadari kedalaman perasaan Aldo. Selama ini, mungkin mereka menganggap bahwa taruhan ini hanyalah permainan semata, bagian dari kegilaan masa kuliah yang biasa mereka lakukan. Namun, bagi Aldo, perasaannya pada Alia bukanlah sesuatu yang bisa dijadikan permainan atau bahan taruhan.
"Kalau begitu, kenapa nggak coba dengan caramu sendiri?" Fajar berkata dengan nada yang lebih lembut, mencoba menawarkan solusi. "Kamu bisa mulai pelan-pelan, nggak usah tergesa-gesa. Taruhan ini cuma motivasi, tapi cara kamu ngedeketin Alia sepenuhnya ada di tangan kamu."
Aldo memandang Fajar, merenungkan kata-katanya. Mungkin Fajar ada benarnya. Taruhan ini, meski terasa konyol, bisa menjadi alasan baginya untuk setidaknya mencoba mendekati Alia, meskipun dengan cara yang lebih jujur dan tulus. Tapi, apakah itu cukup? Apakah dia mampu?
"Aku nggak mau kalau Alia akhirnya tau tentang taruhan ini," kata Aldo, mengerutkan alisnya. "Kalau dia tau, semuanya bakal berantakan. Aku nggak mau dia mikir kalau aku cuma main-main."
"Kita nggak akan bilang siapa-siapa, Do," Rio menegaskan, "Taruhan ini di antara kita aja. Yang penting, kamu berhasil mendekati dia. Kalau udah dapet, terserah kamu mau gimana lanjutannya."
Aldo merasa semakin terjebak. Di satu sisi, dia tahu bahwa perasaannya pada Alia nyata. Ini bukan sekadar permainan atau sensasi sesaat. Dia benar-benar menyukai Alia, tapi mendekatinya dengan cara ini seolah menodai ketulusan itu. Di sisi lain, teman-temannya tidak akan berhenti menekannya kecuali dia menerima tantangan ini.
"Baiklah," Aldo akhirnya berkata, meski suaranya terdengar berat. "Aku bakal coba. Tapi bukan untuk taruhan ini. Aku bakal coba karena aku benar-benar mau kenal Alia."
Senyum lebar muncul di wajah Tito, Rio, dan Fajar. Mereka tampak senang mendengar Aldo akhirnya menyerah pada tantangan ini, meski Aldo sendiri masih merasa ragu.
"Jadi, rencananya apa?" Rio bertanya, tampak tak sabar untuk mengetahui strategi Aldo.
Aldo terdiam sejenak, memikirkan jawabannya. "Aku belum tahu," katanya jujur. "Tapi aku akan mulai dengan bicara. Aku akan cari kesempatan buat ngobrol sama dia, dan kita lihat apa yang terjadi."
Teman-temannya tampak setuju dengan jawaban tersebut. "Itu baru Aldo!" kata Tito sambil menepuk punggungnya. "Cinta nggak perlu dipikir terlalu ribet, Do. Yang penting kamu berani ambil langkah pertama."
Aldo hanya tersenyum samar. Meski begitu, di dalam hatinya, dia tahu bahwa langkah pertama ini akan jauh lebih sulit daripada yang dibayangkan oleh teman-temannya. Bagaimana bisa dia mendekati gadis paling populer di kampus ini? Apa yang akan dia katakan? Apakah Alia akan melihatnya hanya sebagai mahasiswa biasa yang ingin mendekatinya karena taruhan bodoh ini?
Namun, di tengah segala kebimbangan itu, Aldo tahu bahwa ini adalah kesempatan yang tak boleh dia lewatkan. Mungkin, dengan usaha dan kejujuran, dia bisa mendekati Alia dan menunjukkan siapa dirinya yang sebenarnya. Tanpa taruhan, tanpa permainan. Hanya Aldo, dan perasaan yang ingin dia ungkapkan.
Meski sudah memutuskan untuk mencoba, Aldo masih dihantui keraguan saat meninggalkan kafe bersama teman-temannya. Pikiran tentang bagaimana memulai percakapan dengan Alia berputar-putar di kepalanya. Ini bukan sekadar tentang taruhan; lebih dari itu, ini tentang membuktikan pada dirinya sendiri bahwa dia bisa jujur dengan perasaannya. Namun, satu pertanyaan besar tetap menggantung: bagaimana jika Alia tidak tertarik padanya sama sekali?
Keesokan harinya, Aldo memutuskan untuk tidak menunda lagi. Dia ingin mencari momen yang tepat untuk bicara dengan Alia. Hari itu, ada acara di kampus tentang sebuah seminar yang dihadiri banyak mahasiswa, termasuk Aldo dan teman-temannya. Aldo tahu Alia pasti akan hadir karena dia adalah panitia acara. Di sinilah kesempatan itu mungkin akan datang.
Aldo tiba di aula kampus, tempat seminar diadakan. Aula sudah mulai ramai, dipenuhi oleh mahasiswa-mahasiswa yang siap mengikuti acara. Dari jauh, Aldo melihat Alia yang tampak sibuk mengurus persiapan. Dia mengenakan blus putih dengan setelan celana hitam, rambut panjangnya terikat rapi, dan senyumnya yang hangat terpancar saat berbicara dengan panitia lainnya.
Saat melihat Alia, perut Aldo terasa mual. Bukan karena takut, tapi karena gugup. Dia mencoba menarik napas panjang untuk menenangkan diri. Ini bukan hal yang mudah baginya ketika berbicara dengan orang yang selama ini hanya dia lihat dari kejauhan, apalagi ketika orang itu adalah Alia.
Teman-temannya yang juga hadir untuk seminar, berdiri tak jauh dari Aldo, mengawasinya dengan penuh harapan. Mereka memberi isyarat, menyuruh Aldo untuk segera maju. Aldo hanya bisa mengangguk pelan, meski langkah kakinya terasa berat. Dia tahu dia harus melakukannya, tapi bagaimana caranya memulai percakapan?
Sementara Aldo sibuk memikirkan langkah berikutnya, Alia tiba-tiba mendekat, berjalan melewati beberapa orang sambil membawa berkas-berkas seminar. Ini adalah kesempatan yang Aldo tunggu-tunggu, tapi lidahnya mendadak kelu. Detik-detik berlalu seperti pelan, dan sebelum Aldo sempat membuka mulut, Alia sudah berbelok ke arah lain.
"Aldo, cepetan! Ini kesempatan lu!" bisik Rio dari belakang, memberi semangat, meski tidak membantu sama sekali dalam mengatasi kegugupan yang semakin meningkat.
Aldo menarik napas sekali lagi dan akhirnya melangkah maju. Dia mendekati Alia, mencoba bersikap santai meskipun keringat dingin mulai mengalir di telapak tangannya.
"Hai, Alia," ucap Aldo, suaranya sedikit gemetar. Alia menoleh, sejenak tampak terkejut, tapi kemudian tersenyum.
"Oh, Aldo, kan? Yang di kelas kepemimpinan itu, ya?" jawab Alia ramah, menunjukkan bahwa dia mengingat Aldo meski mereka jarang berinteraksi.
Aldo mengangguk, merasa lega karena setidaknya Alia tahu namanya. "Iya, benar. Aku lihat kamu sibuk banget hari ini."
Alia tertawa kecil. "Iya, acara kayak gini emang selalu bikin ribet. Tapi aku seneng kok bisa sibuk kayak gini. Kamu gimana? Ikut seminar juga?"
"Iya," jawab Aldo cepat, berusaha menjaga percakapan tetap mengalir. "Aku pikir bakal menarik, apalagi topiknya soal kewirausahaan. Mungkin bisa jadi ide buat setelah lulus nanti."
Alia tersenyum, tampak senang mendengar jawaban Aldo. "Bagus itu, kewirausahaan memang bidang yang luas. Aku sendiri juga tertarik. Malah, aku lagi coba bikin proyek kecil-kecilan di luar kampus. Kamu tertarik ikut?"
Aldo terkejut dengan tawaran tak terduga itu. "Proyek? Tentu, boleh tahu lebih lanjut?"
Dan begitulah percakapan antara Aldo dan Alia mengalir dengan lebih mudah dari yang dia bayangkan. Mereka membicarakan proyek yang Alia rencanakan, tentang kewirausahaan, dan juga tentang pengalaman di kampus. Meskipun awalnya gugup, Aldo merasa semakin nyaman berbicara dengan Alia. Setidaknya, ini bukan tentang taruhan lagi, melainkan tentang menemukan cara untuk lebih mengenal satu sama lain.
Meski begitu, di sudut pikirannya, Aldo masih khawatir. Apakah Alia akan tahu tentang taruhan itu suatu saat nanti? Dan jika iya, bagaimana reaksi Alia saat mengetahuinya? Hingga saat itu, Aldo hanya bisa berharap bahwa perasaannya cukup kuat untuk mengatasi semua halangan yang mungkin datang.
Kafe kampus yang biasanya ramai mulai sepi saat matahari meredup di balik gedung-gedung fakultas. Aldo duduk bersama Fajar, Adi, dan Riko di salah satu meja paling pojok, tempat mereka sering berkumpul untuk bercanda, ngobrol, atau sekadar menghabiskan waktu sambil menikmati secangkir kopi. Namun, kali ini suasana berbeda. Percakapan serius yang dimulai dari obrolan iseng soal cinta berubah menjadi sebuah taruhan yang penuh tekanan bagi Aldo.
"Serius nih, Do? Lo yakin mau ikut taruhan ini?" tanya Fajar, matanya menyelidik ke arah Aldo yang masih menimbang-nimbang keputusan yang baru saja dia ambil.
Aldo hanya bisa menghela napas. Di dalam hatinya, dia tahu bahwa taruhan ini adalah ide gila. Apa yang ada di pikirannya hingga setuju untuk mengambil bagian dalam sesuatu yang sangat berisiko? Namun, setelah terlanjur setuju, dia tak ingin menarik kembali kata-katanya. Sebuah tantangan telah dilemparkan, dan sekarang, satu-satunya jalan keluar adalah menghadapi tantangan itu dengan kepala tegak.
"Gue udah bilang, kan? Gue setuju," kata Aldo akhirnya, suaranya terdengar tegas, meski di dalam hatinya ia masih merasa gamang.
Adi menyeringai lebar, sementara Fajar dan Riko tertawa kecil. "Wah, ini taruhan bakal seru, nih. Gue udah nggak sabar nunggu hasil akhirnya," ujar Riko sambil menepuk bahu Aldo.
"Tenang aja, Do," tambah Adi, "lo punya sebulan penuh buat deketin Alia. Kita semua percaya lo pasti bisa."
Aldo tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. Kata-kata temannya memang terdengar menyemangati, tapi itu tidak menghilangkan kenyataan bahwa tugas yang dia hadapi ini tidaklah mudah. Mendekati gadis sepopuler Alia dalam waktu sebulan, apalagi dengan latar belakang Aldo yang sangat biasa, bukanlah sesuatu yang bisa dilakukan tanpa perhitungan matang. Alia bukan hanya cantik dan cerdas, tapi juga punya segudang kegiatan yang membuatnya sulit didekati. Di kampus, banyak mahasiswa lain yang mencoba menarik perhatiannya, tapi hanya sedikit yang benar-benar berhasil mendapatkannya.
"Jadi, gimana rencana lo buat mendekati Alia?" tanya Fajar, mengalihkan perhatian Aldo dari kegundahannya.
Aldo menatap Fajar dengan tatapan bingung. "Rencana? Gue bahkan belum mikirin sampai situ, Jar. Lo sendiri tahu kan gue orang yang nggak pernah mikir jauh-jauh soal hal kayak gini."
Fajar tertawa lagi. "Itu masalahnya, Do. Lo terlalu banyak mikir. Coba deh, lo jalanin aja dulu. Lo udah satu langkah lebih maju dengan setuju ikut taruhan ini. Sekarang, tinggal langkah berikutnya."
Riko menyikut lengan Aldo dengan semangat. "Gue ada ide, Do. Gimana kalo lo deketin dia lewat kegiatan kampus? Dia kan ketua BEM, sering bikin acara kampus. Lo ikut salah satu acaranya, terlibat aktif, dan dari situ lo bisa mulai ngobrol sama dia."
Aldo berpikir sejenak. Ide itu terdengar masuk akal. Alia memang sering terlihat sibuk dengan berbagai kegiatan kampus, dan ikut dalam salah satu acara yang dia pimpin mungkin bisa menjadi cara alami untuk mendekatinya tanpa terkesan memaksa. Tapi tetap saja, perasaan tidak percaya diri menghantui pikirannya.
"Gue nggak tahu, sih. Kayaknya gue nggak bakal bisa deketin dia dengan cara itu. Gue takut malah jadi canggung," jawab Aldo akhirnya.
"Kecanggungan itu wajar, Do," sahut Adi. "Yang penting lo berani dulu. Canggung atau nggak, semua orang pasti ngerasain hal yang sama waktu mulai deketin seseorang."
Aldo mengangguk pelan, meski dalam hatinya masih belum yakin sepenuhnya. Taruhan ini terasa semakin nyata, dan tekanan di pundaknya semakin besar. Dalam waktu sebulan, dia harus melakukan hal yang selama ini tak pernah ia berani lakukan: mendekati gadis yang sudah lama ia kagumi dari kejauhan.
"Ya udah, kalau gitu, lo mulai dari situ aja. Cari tahu kegiatan Alia berikutnya, terus lo ikut gabung. Jangan pikirin terlalu banyak, Do," kata Fajar memberikan dorongan terakhir.
Hari-hari berikutnya, Aldo terus mencoba meyakinkan dirinya bahwa taruhan ini bukanlah hal yang mustahil. Namun, setiap kali ia berpikir untuk melangkah maju, bayangan Alia yang sempurna selalu membuatnya merasa ragu. Bagaimana mungkin dia, mahasiswa biasa dengan kehidupan kampus yang monoton, bisa menarik perhatian gadis seperti Alia?
Satu pagi, Aldo berpapasan dengan Alia di koridor fakultas. Dia hanya berani menatapnya dari kejauhan, terlalu canggung untuk menyapa, apalagi memulai percakapan. Alia tampak sibuk dengan beberapa teman organisasinya, mungkin sedang berdiskusi tentang kegiatan kampus. Tatapan Aldo mengikuti gerak-gerik Alia hingga gadis itu menghilang di balik pintu ruang rapat. Rasa gelisah kembali menghantui Aldo.
"Apa gue beneran bisa?" gumamnya pelan.
Namun, saat ia hendak berbalik dan melanjutkan langkahnya, tiba-tiba Fajar datang dengan semangat tinggi. "Do! Gue dapet info soal kegiatan BEM yang bakal Alia pimpin minggu depan. Ada seminar besar, dan mereka butuh relawan buat bantuin acaranya. Ini kesempatan lo!"
Aldo tertegun mendengar kabar itu. Seminar besar? Relawan? Apa itu benar-benar jalan yang tepat untuk mendekati Alia? Meskipun ide itu masuk akal, Aldo tidak bisa menepis rasa takut yang menyelinap di hatinya. Bagaimana jika ia gagal? Bagaimana jika ia malah mempermalukan diri sendiri di depan Alia?
Namun, ketika ia melihat wajah Fajar yang penuh keyakinan, Aldo menyadari bahwa ini mungkin adalah satu-satunya kesempatan yang ia punya. Jika ia terus menunda-nunda, waktu sebulan akan berlalu begitu saja, dan ia akan kehilangan segalanya mulai dari taruhan dan yang lebih penting, kesempatan untuk lebih dekat dengan Alia.
"Oke, gue ikut," kata Aldo akhirnya, meski suaranya terdengar sedikit ragu.
Fajar tersenyum lebar. "Itu dia! Gue tahu lo pasti berani. Sekarang tinggal lo dateng ke sekretariat BEM buat daftar jadi relawan."
Aldo hanya bisa mengangguk. Setelah percakapan itu, langkahnya menuju sekretariat BEM terasa berat. Bayangan Alia yang sibuk dengan semua tanggung jawabnya kembali muncul di benaknya. Mungkinkah Alia bahkan akan menyadari kehadirannya di acara tersebut? Atau dia akan sekadar menganggap Aldo sebagai relawan biasa di antara puluhan mahasiswa lainnya?
Namun, Aldo tahu bahwa ia tidak bisa mundur sekarang. Ini adalah kesempatan yang ia cari, dan meskipun peluangnya kecil, ia harus berusaha sebaik mungkin.
Seminggu kemudian, hari yang ditunggu-tunggu tiba. Aldo, bersama beberapa mahasiswa lainnya, bertugas sebagai relawan untuk seminar besar yang diselenggarakan oleh BEM. Dia mengenakan seragam panitia yang sederhana dan menunggu di belakang panggung, mengawasi persiapan acara. Jantungnya berdegup kencang, bukan hanya karena seminar ini adalah acara besar, tetapi juga karena ia tahu bahwa Alia ada di sana, memimpin jalannya acara sebagai ketua panitia.
Sejak awal acara, Aldo hanya bisa melihat Alia dari kejauhan. Gadis itu tampak begitu profesional dan terorganisir, mengarahkan para anggota panitia dan memastikan semuanya berjalan lancar. Aldo kagum melihatnya, tetapi juga merasa semakin kecil di hadapan gadis itu. Bagaimana mungkin dia bisa mendekatinya di tengah semua kesibukan ini?
Namun, saat jeda acara, kesempatan yang dinantikannya tiba. Alia tiba-tiba berjalan ke arah Aldo yang sedang berdiri di samping panggung, seolah-olah tak sengaja memperhatikan keberadaannya.
"Hai, Aldo, ya?" tanya Alia sambil tersenyum ramah.
Aldo terkejut. "Eh, iya. Lo… lo tahu nama gue?"
Alia tertawa kecil. "Ya, gue inget kok. Kita pernah sekelas di beberapa mata kuliah, kan?"
Aldo masih belum percaya bahwa Alia tahu namanya. Perasaan gugup langsung menghampiri, tapi ia berusaha tetap tenang. "Iya, bener. Gue nggak nyangka lo bakal inget."
"Ya, kenapa nggak? Lo kan juga mahasiswa di sini, sama kayak yang lain," jawab Alia santai. "Makasih, ya, udah bantuin di acara ini."
Kata-kata Alia yang sederhana itu tiba-tiba membuat Aldo merasa lebih nyaman. Mungkin gadis yang selama ini ia bayangkan tentang Alia sebagai sosok yang tak terjangkau terlalu berlebihan. Di balik statusnya sebagai ketua BEM dan gadis populer, Alia ternyata cukup ramah dan tidak angkuh seperti yang Aldo kira.
"Sama-sama. Gue senang bisa bantu," jawab Aldo akhirnya, mencoba tetap tenang meski hatinya masih berdebar.
Alia tersenyum lagi. "Kalau lo punya waktu lebih, gue bisa minta tolong buat beberapa hal lagi. Kita masih butuh bantuan di beberapa bagian, terutama di sesi penutupan nanti."
Aldo mengangguk cepat. "Tentu! Gue siap bantu apa aja."
"Great! Gue akan kasih tahu nanti, ya. Sekali lagi, terima kasih banyak, Do." Alia melambaikan tangan singkat sebelum kembali ke tengah kesibukan.
Begitu Alia menjauh, Aldo merasa seolah-olah baru saja melewati ujian berat. Meski pertemuan itu singkat, ia berhasil tidak terlihat gugup atau canggung, dan yang lebih penting, Alia tampak mengenalnya dan bahkan mengapresiasi bantuannya. Langkah pertama sudah diambil. Taruhan ini, meskipun awalnya terasa gila, kini mulai terasa lebih mungkin untuk diwujudkan.
Aldo tersenyum sendiri, membayangkan bagaimana cerita ini akan berkembang dalam beberapa minggu ke depan. Ia tahu, tantangan belum berakhir, tapi setidaknya kini ia punya sedikit kepercayaan diri untuk melangkah lebih jauh.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!