"Apakah kalian berdua berjanji untuk saling mencintai dan saling menyayangi selama sisa hidupmu?"
"Ya."
Dia menjawab tanpa ragu sedikitpun, sementara ia hanya menatap kosong ke arah pendeta.
Apakah dia benar-benar akan menikah? Dengan seorang pemuda yang terkenal seantero kerajaan.
"Clarisse?"
Suara di atas kepalanya menyadarkannya dari lamunannya. Ia mendongak menatap pemuda yang akan menjadi suaminya.
Ia mengenakan jas hitam rapi yang berbeda dari pakaiannya biasanya. Jas itu begitu melekat pada tubuhnya, sehingga tidak bisa menyembunyikan kontur ototnya yang bisa memikat hati para wanita.
Rambutnya di sisir ke belakang menampilkan dahinya yang halus. Matanya bersinar di bawah teriknya cahaya matahari yang membuat Clarisse teringat dengan batu Amethyst. Itu sangat indah dan membuat dia hampir terbuai olehnya.
Dia adalah kesempurnaan itu sendiri.
Jauh lebih tinggi dari seorang pria dewasa pada umumnya, bahunya lebar, pinggangnya ramping, dan postur tubuhnya sangat proposional bak model pria yang tampil di depan sampul majalah.
Ia juga mengenakan jubah yang sangat mewah yang sesuai dengan identitasnya. Tidak diragukan lagi dia sangat berbau uang dari ujung kepala sampai ujung kaki.
Tidak jauh berbeda darinya, dia juga mengenakan gaun pengantin desainer ternama dengan bertatahkan berlian di atasnya. Bertaburan mutiara dan rubi, gaunnya di jahit dengan desain terbuka di dadanya yang membuat dia menampilkan bahunya yang ramping
Harus ia akui, dia sangat cantik hari ini sehingga siapapun terpesona melihatnya.
Pernikahan mereka di adakan di kuil kerajaan dan hanya mengundang kerabat dekat.
"..........."
Aillard menunduk menatap wanita yang berada di depannya, "Apakah kamu tidak akan menjawabnya?"
Suaranya lembut tetapi Clarisse merasakan hawa dingin berhembus di atas kepalanya.
"Apakah mempelai wanita, Clarisse Leonor, dengan tulus mencintai dan bersumpah untuk bersama Aillard Ciello Van Timothee selama sisa hidupnya?"
Pendeta bertanya sekali lagi karena tidak kunjung mendapat jawaban dari mempelai wanita.
Suara bisik bisik mulai terdengar membuat fokus Clarisse terpecah dan melihat sekali lagi kepada kursi tamu. Disana semua anggota kerajaan berkumpul menjadi satu dan juga bangsawan lainnya.
Dia sudah sejauh ini, tidak mungkin dia membatalkannya. Clarisse menghela nafas panjang, hanya dua tahun dia akan bertahan dengan pernikahan ini, setelah itu ia akan pergi menggapai kebahagiaannya sendiri.
"Eh... ya."
"Saya akan melanjutkan pertukaran cincin yang penuh cinta antara satu sama lain."
Terakhir, kedua orang mengeluarkan cincin yang berada di dalam kotak.
Sebuah cincin berlian berwarna putih delapan belas karat dengan model sederhana.
Clarisse meraih jari tangan Aillard yang terasa dingin lalu memasang cincin itu di jari manisnya.
Begitu juga dengan Aillard yang juga memasang cincin itu di jari manis Clarisse.
"Dengan ini saya nyatakan, bahwa keduanya sudah resmi menjadi pasangan."
Tepuk tangan mulai bergemuruh di aula pernikahan memecahkan suasana yang awalnya sunyi.
Clarisse mengaitkan sudut bibirnya berusaha tersenyum walaupun itu terasa aneh. Berbeda darinya, Aillard tersenyum sangat cerah sehingga membuat dia merasa curiga. Apa yang sebenarnya di pikirkan laki-laki itu?
................
"Haaaaaa.."
Clarisse menghela nafas berat ketika ia merasakan kepalanya terasa mau pecah karena aksesori yang memenuhi di kepalanya. Lusinan jemput rambut menghiasi rambutnya yang membuat kulit kepalanya ikut ketarik ke dalamnya.
"Ini yang ke sembilan."
Dengan perasaan jengkel dia meletakkan jepit rambut berbentuk kupu-kupu itu di atas meja rias.
Sekarang tinggallah korset yang sedari tadi terasa mencekiknya.
Sambil melihat ke arah cermin, ia mencoba melepaskan gaun itu dengan susah payah. Namun ternyata, ketika menuju bagian korset dia tidak berhasil melepaskannya dan hanya menyisakannnya sebagian.
Sudahlah, yang penting dadanya tidak merasa mencekik seperti sebelumnya.
Clarisse menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur sambil menatap ke langit-langit kamarnya.
Tidak menyangka dia sudah menikah dengan laki-laki nomor satu di Kerajaan, yang sangat di puja-puja oleh para wanita.
Adeline saat ini pasti sedang mengamuk di kamarnya sehingga dia juga tidak di perbolehkan oleh permaisuri untuk datang ke pernikahnnya.
Tok tok tok.
Tiba tiba terdengar ketukan pintu.
"Masuk."
Dia menjawab tanpa berpikir.
Dia sudah meminta Anne, pelayannya untuk menyiapkan teh hangat untuk mengurangi rasa lelahnya.
"Apakah kamu sudah siap?"
Namun ternyata suara bariton yang menyambutnya.
Tidak, ini bukan suara Anne. Terkejut, Clarisse bangkit dari tempat tidur.
Matanya melebar ketika melihat orang yang berada di hadapannya.
"Grand Duke?"
Wajah Clarisse dengan cepat memerah ketika melihat pakaiannya yang agak terbuka.
Kenapa dia tidak mengancingkan kemejanya?
Clarisse membalikkan badannya menepuk pipinya yang terasa panas karena melihat otot-otot perutnya yang kencang begitu terbuka di depannya.
"Apakah kamu malu?"
"Tidak." bantah Clarisse keras.
Aillard terkekeh lalu berjalan mendekati Clarisse. "Bukankah aku yang harusnya malu karena melihat pakaianmu yang begitu menggoda di depanku."
Terkejut, Clarisse melihat dirinya sendiri.
Sial.
Dia lupa bahwa gaunnya telah di lepas dan hanya menyisakan korsetnya saja.
Panik, Clarisse melompat ke atas tempat tidur lalu mengambil selimut untuk menutupi tubuhnya.
"Apa yang kamu lakukan?" tanya Clarisse cemas melihat Aillard yang terus mendekat.
"Tentu saja untuk melakukan kewajiban kita."
Kewajiban, itu artinya...
"Hari ini adalah malam pertama."
Apakah yang barusan dia katakan adalah malam pertama? Tetapi itu tidak ada di dalam kontrak. Tidak, kenapa dia mengatakan hal itu sekarang?
"Menurutmu apakah pernikahan kita palsu?"
"Tidak."
Walaupun mereka menikah kontrak, tetapi janji suci dan akta pernikahan itu tentu saja asli.
Aillard menganggukkan kepalanya puas mendengar jawaban Anne.
"Karena pernikahan kita asli, lalu bukankah kita harus menyelesaikan kewajiban pernikahan kita?"
"Ti.. tidak." ujar Clarisse tergagap. "Kurasa kamu salah paham?"
"Hal itu hanya dilakukan oleh sepasang kekasih yang saling mencintai dan kita bukan termasuk dalam hal itu. Kenapa kita harus melakukannya?"
Aillard terkekeh kecil lalu mendekatkan mulutnya ke telinga Clarisse, "Kamu sendiri yang menawarkan dirimu padaku, bukankah kamu seharusnya tidak keberatan jika melakukan hal itu denganku."
Deg.
Bagaikan tersambar petir, Clarisse terdiam di tempatnya mendengar perkataan Aillard.
Ya, dia menawarkan dirinya sendiri kepada Grand Duke dengan harapan bisa membalas dendam kepada orang-orang yang telah menyakitinya.
"Aku membutuhkannya untuk meyakinkan tua bangka itu. Apakah kamu tidak melihat bayangan hitam yang berada di dekat jendela?"
Sontak Clarisse mengalihkan pandangannya dan melihat sosok bayangan hitam yang berada di balik tirai.
Rupanya mereka masih tidak percaya dengan hubungan mereka.
Clarisse mengalungkan tangannya ke leher Aillard lalu menarik wajahnya mendekat ke arahnya.
"Kalau begitu lakukanlah!"
Walaupun jantungnya berdegup sangat kencang karena merasa sangat gugup tetapi dia meyakinkan dirinya untuk terus tenang.
Perlahan Aillard mendekatkan wajahnya kepada Clarisse lalu bayangannya menyelimutinya.
Bunyi tabrakan pedang bersamaan dengan jeritan tangis terdengar disana sini. Udara itu begitu mencekam hingga membuat orang lari hanya ketika melihatnya. Clarisse mengunci pintunya lalu mondar-mandir dalam ruangan. Ia bisa mendengar suara tangis Valerie, saudara perempuannya ketika diseret oleh pemberontak.
"Yang mulia, apa lagi yang anda tunggu?" Anne bertanya dengan cemas melihat tuannya yang masih duduk diam di kamarnya. "Kita harus kabur dari sini sebelum pemberontak menemukan kita."
"Aku tau, tetapi istana telah di kelilingi oleh pemberontak." Clarisse mengigit bibir bawahnya cemas sambil memikirkan bagaimana harus keluar. Ia tidak punya ide lagi untuk melarikan diri dari istana, karena semuanya sudah jalan buntu.
Tepat ketika ia memikirkan itu, ia mendengar ada suara orang di balik pintu kamarnya. Tidak salah lagi, itu pasti mereka. Jantungnya berdetak dengan liar sambil memandang ke arah luar dengan gugup.
"Yang mulia, ganti pakaian anda dengan saya!"
"Apa maksudmu?" tanya Clarisse marah. Bagaimana ia tidak tau pikiran pelayan yang telah bersamanya selama ini? Dia pasti berniat menggantikan dirinya.
"Yang mulia, anda harus melakukannya. Pemberontak itu tidak tau dengan wajah anda, jadi mereka pasti akan terkecoh." ujar Anne meyakinkan Clarisse supaya mau menuruti permintaannya.
"Aku tidak mau." jerit Clarisse sambil menangis. "Apakah kamu berniat mengorbankan dirimu, aku tidak akan berterimakasih sama sekali. Kamu pikir itu sangat mulia melakukan itu, bukan? Aku malah menganggapnya sangat tercela. Jika kau benar-benar melakukan itu, aku akan membuang mayatmu ke dalam hutan belantara."
"Yang mulia, tenang! Pemberontak itu sedang di luar, mereka pasti akan mendengar suara anda, itu jika anda berteriak seperti itu." ujar Anne gelisah.
Clarisse terdiam sejenak lalu setelah itu dia menganggukkan kepalanya. Ia menarik nafas dalam-dalam lalu memandang Anne dengan sedikit tenang. "Anne, kamu tidak berniat melakukan itu bukan?" ujar Clarisse sambil memegang bahu Anne dengan kuat.
Anne menganggukkan kepalanya membuat Clarisse menghela nafas lega. Namun belum sempat Clarisse menarik nafas beberapa detik, ia merasakan ada yang menusuk tangannya lalu setelah itu pandangannya menjadi gelap. Samar-samar ia bisa mendengar suara Anne meminta maaf lalu kegelapan pekat benar-benar menelannya sepenuhnya.
"Maaf Yang mulia." Anne memandang Clarisse yang sekarang tergeletak tak berdaya lalu menghela nafas panjang. Tidak ada waktu lagi, ia harus segera mengganti pakaiannya sebelum pemberontak itu datang.
Tanpa babibu lagi Anne langsung menyeret Clarisse ke bawah tempat tidur. Ia mengolesi wajah Clarisse dengan jelaga sambil menuangkan darah ayam di sekitar pakaiannya. Untungnya ia cepat tanggap sebelumnya, ketika melihat pasukan pemberontak itu mencoba menerobos masuk ke dalam istana. Sejujurnya dia sudah menebak hal ini akan terjadi, mengingat sikap Clarisse yang terlalu baik hati. Dia pasti tidak akan mau melakukannya.
Setelah melihat semuanya sempurna, Anne lalu berbaring di tempat tidur berpura-pura ketakutan. Tak lama setelah itu para pemberontak masuk ke kamar lalu menyeretnya dengan paksa. Ia menjerit tak terkendali mencoba melepaskan tangan pemberontak yang mencengkeram tangannya.
"Ada satu orang lagi disini." pemberontak itu menunjuk ke bawah tempat tidur sang putri. Rupanya rambut Clarisse mencuat dari dalam membuat pemberontak menemukannya. Jantung Anne berdegup kencang seiring langkah kaki pemberontak yang mulai mendekati Clarisse.
"Dia sudah mati. Darahnya mengalir sampai ke sini sehingga tidak diragukan lagi, dia benar-benar sudah mati." Pemberontak itu berkata sambil menunjuk genangan darah yang mengalir di bawah sepatunya.
"Mari kita pergi!" Anne menghela nafas lega melihatnya lalu mulai berakting menjerit lagi.
"Diam." Pemberontak itu mulai kesal lalu menyumpal mulut Anne dengan sapu tangan. Lingkungan menjadi sunyi, perlahan dengan pasrah Anne juga membiarkan pemberontak menyeret dirinya. Lagipula tidak ada lagi yang dia harapkan, dia akan benar-benar mati hari ini. Semoga tuannya bisa kabur dari istana dan tidak menyia-nyiakan pengorbanannya.
Entah sudah berapa lama waktu berlalu, mata Clarisse perlahan terbuka. Ia memandang sekeliling ruangan yang sekarang menjadi sunyi lalu mencari Anne dengan panik. Ini tidak seperti yang dalam pikirannya kan? Namun harapan Clarisse harus pupus ketika melihat pakaian siapa yang telah melekat pada tubuhnya.
Ia mengigit bibir bawahnya sampai berdarah guna menahan isak tangis yang seakan mau meluncur dari bibirnya. Ia tidak punya waktu lagi. Ia harus cepat-cepat kabur dari sini sebelum pemberontak itu menemukan ada yang salah. Ia tidak boleh menyia-nyiakan pengorbanan Anne untuk dirinya. Karena Anne menginginkannya untuk hidup jadi dia harus hidup. Setelah memikirkan itu, Clarisse dengan cepat keluar dari pintu kamarnya. Namun baru beberapa langkah, ia mendengar ada suara yang memanggilnya di belakangnya
Perlahan ia menoleh ke belakang dan betapa terkejutnya dia ketik melihat siapa yang memanggilnya.
"Salam Yang mulia pangeran Kendrick." Clarisse membungkukkan tubuhnya lalu memberikan hormat standar pelayan. Dia tidak lupa saat ini, ia adalah seorang pelayan yang sedang menyamar.
"Pangeran." Laki-laki itu mengernyitkan dahinya mendengar panggilan wanita itu terhadap dirinya. Wajahnya tertutup jelaga dan pakaiannya ternoda darah yang membuat dia tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Lalu setelah itu dia menyadari ada yang aneh dari perempuan ini. Rambutnya yang berwarna pirang platinum tidak bisa di tutupi oleh noda yang melekat di wajahnya.
"Tangkap pelayan itu!" Mendengar nada suara tanpa emosi itu membuat Clarisse mendongakkan kepalanya kaget, ia tidak mengerti kenapa dia bisa di tangkap.
"Lepas..lepas." Clarisse berteriak panik melihat prajurit membawa paksa dirinya. "Apa salah saya, Pangeran?" ujar Clarisse tidak tahan lagi. Ia memandang Kendrick dengan amarah tanpa menyembunyikan api yang menyala di matanya.
"Salahmu?" Kendrick terkekeh kecil mendengar perkataan Clarisse, lalu dengan dingin dia menjawab, "Panggilanmu."
"Panggilan." Clarisse bergumam sambil memandang Kendrick dengan linglung. Tiba-tiba dia teringat sesuatu membuat ia sontak membelalakkan matanya ketakutan. Ia menatap Kendrick dengan gugup sambil menyembunyikan tangannya yang gemetar.
"Kurasa kamu sudah tau." Kendrick terkekeh sambil menunjuk tangan kanan Clarisse yang gemetar. Menyadari pandangan pangeran Kendrick terhadap tangannya, Clarisse refleks menyembunyikannya di belakang punggungnya.
"Bawa dia!"
Clarisse dengan cepat di seret ke aula kerajaan. Ini sia-sia. Anne sudah bersusah payah mengorbankan dirinya untuk menyelamatkannya, namun hanya karena mulutnya yang ceroboh semuanya hancur berantakan.
Anne pasti mengutuknya ketika tau ini terjadi. Clarisse terkekeh kecil ketika membayangkan mulut Anne yang kecil dengan penuh semangat mengutuknya.
"Apa dia gila?" prajurit itu bertanya kepada rekan di sebelahnya yang hanya di respon gelengan kepala.
"Sudah, ikuti saja intruksi Yang mulia sebelum Yang mulia memenggal kepala kita."
Prajurit itu membelalakkan matanya ketakutan lalu dengan cepat menyusul Kendrick yang sudah berjalan di depan.
Baamm......
Clarisse terhempas di lantai yang dingin membuat dia mengaduh kesakitan. Ia mendongak menatap Kendrick yang sedang menatapnya tanpa emosi.
"Putri Clarisse, pilih sendiri bagaimana kematianmu! Karena kamu sudah menyelamatkanku sekali, aku dengan berbaik hati membiarkan kamu memilih kematianmu sendiri." Ia dengan cepat mengeluarkan sebotol racun yang berada di sakunya dan mengambil pedang yang berada di pinggangnya lalu meletakkannya di depan Clarisse.
".........." Mata Clarisse terbelalak mendengar perkataan Kendrick. Ia beringsut mundur mencoba menjauh dari pemuda yang sudah yang membantai keluarganya itu.
Kendrick terkekeh kecil melihat reaksi Clarissse seolah-olah dia dalam suasana hati yang baik. Dengan riang dia berkata, "Kenapa? Terkejut?" tanyanya gembira. Ia melangkah perlahan mendekati Clarisse lalu menjambak rambut Clarisse dengan kuat.
"Aaaaahh... Aaaaaaah..." Clarisse berteriak kesakitan ketika merasakan kulit kepalanya ikut ketarik karena perbuatan Kendrick.
"Lain kali warnai juga rambutmu sebelum melarikan diri." Itu saran yang ramah namun itu terdengar seperti nasihat kematian. Siapa yang tidak tau kalau rambut pirang platinum adalah simbol kerajaan Leonore. Semua anggota kerajaan pasti memilikinya termasuk putri Clarisse yang merupakan salah satu anak dari raja.
Perlahan Kendrick melepaskan tangannya dari rambut Clarisse lalu berjalan sejauh dua langkah darinya. Ia bersedekap sambil memandang perempuan di depannya dengan dingin. "Cepat pilih! Aku tidak punya waktu untuk melihat hal-hal yang tidak berguna."
Bibir Clarisse bergetar menghadapi bayangan kematian yang menyerbu dirinya. Ia sekarang menyesal kenapa menyelamatkan laki-laki ini. Seharusnya ia membiarkannya saja lalu mencekiknya sampai mati. Ia juga tidak mempunyai tenaga lagi untuk mengangkat tangan karena ketakutan yang melanda dirinya.
Kendrick tersenyum senang melihat Clarisse yang gemetar lalu dengan ramah berkata, "Saranku, lebih baik kamu menggunakan pedang ini. Ini sangat tajam sehingga membuatmu tidak merasakan sakit." ujarnya sambil menyerahkan pedang itu kepada Clarisse.
"Aku jamin kamu pasti akan langsung ke surga." ujarnya dengan nada baik hati.
"........" Clarisse perlahan mengambilnya dengan tangan gemetar.
"Pegang yang baik! Kalau kamu terus bergetar seperti ini, aku jamin kamu pasti akan kesakitan." kata Kendrick sambil membungkuk meletakkan pedang itu di tangan Clarisse dengan kuat.
Raut wajah Clarisse sangat pucat hingga ia tidak mempunyai aliran darah mengalir di wajahnya. Ia memejamkan mata sambil menggenggam kalung yang berada di lehernya. Ini harus berhasil. Dia meyakinkan dirinya ketika mengingat nasihat ibunya ketika menggunakan kalung ini.
Benda yang berada di lehernya merupakan peninggalan ibunya yang merupakan artefak suku Regen. Ibunya merupakan keturunan suku Regen, suku yang hidup di pedalaman hutan timur. Tidak ada yang mengetahui mereka masih hidup karena mereka sangat memisahkan dirinya dari dunia luar. Ibunya sendiri kabur dari kakeknya sampai dia bertemu kaisar dan melahirkan dirinya.
Untuk pertama kalinya dia menggunakan benda ini walaupun dia harus menanggung konsekuensi yang sangat fatal. Dia juga sudah siap menerima hal itu terjadi.
Perlahan Clarisse mendekatkan pedang ke lehernya, lalu dengan cepat meng*****nya. Gerakan itu tidak ragu-ragu, karena dia tau jika dia ragu-ragu dia pasti akan merasakan sakit. Namun walaupun begitu ia masih bisa merasakan sensasi dagingnya yang terkoyak karena pedang.
Ia memejamkan mata merasakan darah menyembur keluar dari lukanya bak air mancur. Perlahan tapi pasti ia merasakan kesadarannya mulai kabur dan kegelapan menelannya sepenuhnya. Satu hal yang tidak Clarisse tau, cahaya terang bersinar dari kalungnya lalu menyelimuti tempat itu.
"Yang mulia, bangunlah!" Anne menggoyang-goyangkan tubuh Clarisse yang masih terlelap dalam tidurnya. Ini sudah sangat siang hingga Anne curiga apakah tuannya sedang tidur atau pingsan. Sudah berulang-ulang kali dia memanggilnya, namun dia tidak kunjung bangun. Dia mulai khawatir apakah tuannya sedang sakit.
Sepertinya dia juga bermimpi buruk dalam tidurnya karena dia sangat gelisah dan berkeringat dingin. Namun tidak ada waktu untuk memikirkan semua itu karena kepala pelayan sebentar lagi akan datang kesini. Anne mulai cemas jika tuannya tidak kunjung bangun, kepala pelayan pasti akan menambah banyak banyak masalah pada tuannya.
"Yang mulia, anda harus bangun!" ujar Anne sekali lagi sambil mengguncang-guncang tubuh Clarisse dengan lebih kuat. Upaya Anne berhasil karena perlahan netra biru muda itu terbuka dengan sendirinya.
"Huft." Anne menepuk dadanya menghela nafas lega, namun setelah itu kekhawatiran melanda dirinya dalam sekejap, "Yang mulia, ada yang terjadi denganmu? Aku sudah mencoba membangunkan mu berkali-kali, namun anda tidak kunjung bangun. Apakah anda sakit?" ujarnya dengan tatapan khawatirnya yang tidak bisa dia sembunyikan.
Clarisse mengerjapkan matanya menatap Anne dengan bingung. Apakah ini surga? Karena dia melihat Anne berdiri sehat di hadapannya.
Clarisse mengerjapkan matanya menatap Anne dengan bingung. Apakah ini surga? Karena dia melihat Anne berdiri sehat di hadapannya.
"Yang mulia?" Anne melambaikan tangannya di depan wajah Clarisse, melihat tuannya yang sedang linglung menatap dirinya. Entah apa yang terjadi, dia merasa ada yang salah dengan tuannya hari ini.
Beberapa detik Clarisse mengamati, akhirnya ia tersadar bahwa orang di depannya adalah nyata. Ia menggenggam tangan Anne dengan erat sambil berkata dengan antusias, "Anne, ini benar-benar kamu kan? Aku tidak menyangka kita bisa masuk ke surga bersama-sama."
Walaupun dia mempunyai banyak kesalahan di masa hidupnya, tetapi ia benar-benar tidak menyangka Tuhan akan semudah itu memaafkannya.
"Surga?" Anne mengerjapkan matanya bingung mendengar penuturan Clarisse. Omong kosong apa yang dia bicarakan? Anne mulai was-was apakah kejiwaan tuannya sedikit terganggu. Ia mencoba melepaskan tangan Clarisse yang mengenggamnya, namun genggaman itu begitu erat sehingga dia tidak bisa melepaskannya.
"Yang mulia, tolong lepaskan saya!" kata Anne mulai panik.
"Tidak." bantah Clarisse cemas. "Tidak akan ku biarkan kamu menjauh dariku walaupun sedetikpun. Kamu harus di beri pelajaran karena beraninya menipuku."
Entah berapa lama waktu sudah berlalu, Anne mulai cemas karena Kepala pelayan Ratu akan datang. Sambil menatap pintu dia berkata dengan panik kepada Clarisse, "Yang mulia, sadarlah! Kamu harus segera bersiap-siap sebelum kepala pelayan Ratu tiba disini."
"Apa tadi katamu? Kepala pelayan Ratu?" Mata Clarisse terbelalak mendengar perkataan Anne. Kepala pelayan Ratu juga ada disini? Tidak mungkin orang yang sudah menganiaya orang tak terhitung jumlahnya itu, bisa masuk ke surga. Apakah sekarang dia berada di neraka? Tidak, tidak mungkin ini neraka karena Anne juga berada di dalamnya.
"Yang mulia, untuk apa anda masih linglung?" kata Anne mulai gemas melihat Clarisse yang masih belum sadar dari tadi. Akhirnya dengan terpaksa dia menarik tangan Clarisse lalu menyeretnya ke kamar mandi. Clarisse tidak menolak, dia hanya membiarkan tubuhnya pasrah di seret oleh Anne.
Berbeda dari pelayan lainnya yang tidak memperbolehkan menyentuh tubuh tuannya sesuka hati, Anne diperbolehkan oleh Clarisse untuk melakukannya. Karena itulah, mereka sangat akrab hingga layaknya kakak dan adik.
Tiba-tiba Clarisse teringat sesuatu lalu dengan cepat dia berkata, "Sekarang tanggal berapa?"
Anne menggaruk kepalanya bingung karena pertanyaan Clarisse lalu dia segera menjawab "Tanggal 16 April tahun 588."
"Apa???" Clarisse sontak berteriak kaget mendengar jawaban Anne. Tahun 588? Itu dua tahun sebelum terjadi pemberontakan, yang berarti dia telah berhasil kembali ke masa lalu. Ia memeriksa kalung yang berada di lehernya lalu tersenyum senang melihat kalung itu masih berada di genggamannya.
Walaupun permatanya sedikit retak karena dia memakai kekuatannya, tetapi itu sepadan. Ia juga tidak menyesal mengambil hidupnya, karena hal itu jugalah yang membuat dia berhasil mengaktifkan kalung ini.
"Yang mulia, gaya rambut apa yang Anda inginkan?" tanya Anne di sela-sela ia menyisir rambut Clarisse. Selama lima belas menit Clarisse berkutat di kamar mandi, akhirnya Anne berhasil mendudukkan Clarisse kembali ke kursi.
"Yang simpel saja." jawab Clarisse sambil tidak melepaskan pandangannya dari cermin. Di dalamnya ada wajah seorang wanita muda yang sudah lama tidak dilihatnya, yang menandakan saat ini dia masih berumur tujuh belas tahun.
Tepat pada waktunya, ketika Anne selesai menata gaya rambut Clarisse, pintu pun terbuka dan datanglah seorang wanita berusia sekitar setengah abad dari luar. Tidak ada sopan santun sama sekali ketika dia membuka pintu yang membuat orang beranggapan apakah dia yang mempunyai status yang lebih tinggi daripada Clarisse.
Namun saat ini Clarisse tidak ingin mempermasalahkan semua itu karena saat ini ia sedang dalam suasana hati yang baik.
"Salam hormat, Yang mulia Clarisse. Semoga berkah dewa selalu tercurah kepadamu." Madeline membungkukkan tubuhnya lalu memberi hormat kepada Clarisse. Wajah yang terpampang itu sangat arogan sehingga dia ingin mengusirnya dari sini.
Clarisse tersenyum anggun lalu mempersilahkan Madeline untuk melanjutkan ucapannya.
"Yang mulia, saya kesini membawa perintah ratu untuk memeriksa kemajuan pembelajaran etiket anda." Dengan sangat cerdik dia menekankan kata Ratu yang membuat Clarisse tidak bisa membantah.
"Baik." jawab Clarisse dengan masih wajah tenangnya. "Anne, tolong ambilkan kursi dan secangkir teh untuk kepala pelayan."
"Baik." jawab Anne sambil berlari menuju dapur.
"Kita mulai sekarang, Yang mulia." Madeline berdiri lalu meletakkan buku itu di atas kepala Clarisse.
Clarisse mengepalkan tinjunya menahan supaya tidak meninju wajah Kepala pelayan. Ingat, dia belum mempunyai kekuatan di istana ini, jadi dia tidak bisa bertindak sesuka hati. Yang berkuasa saat ini adalah Ratu jadi dia hanya bisa pasrah menahan penganiayaan ini.
"Anda salah, Yang mulia."
Betis Clarisse mulai sakit karena kepala pelayan itu terus memukulnya dengan tongkat kecilnya. Ia sudah berusaha mengurangi kesalahan sebisa mungkin, tetapi kepala pelayan itu seakan terus mencari kesalahannya.
Mau bagaimana lagi dengan dalih memeriksa pembelajaran, permaisuri sebenarnya menunjukkan otoritasnya untuk tidak mencoba melawannya.
Entah sudah berapa lama waktu berlalu, Clarisse mulai merasakan betisnya seakan mau copot dari kakinya. Anne yang mengawasi dari samping ingin menolong, tetapi Clarisse mengisyaratkannya untuk tidak ikut campur.
"Yang mulia, etiket anda lebih baik daripada yang sebelumnya. Saya akan menyampaikan kabar baik ini kepada Yang mulia permaisuri." Madeline tersenyum puas melihat Clarisse yang hanya diam ketika ia memukulnya. Sejujurnya ia juga menikmati memukuli para bangsawan, terutama putri yang ditinggalkan ini. Ibunya hanya orang biasa, atas dasar macam apa dia menikmati segala kemewahan ini.
"Terimakasih Kepala pelayan. Ini juga berkat anda, etiket saya menjadi lebih baik." Clarissse tersenyum kecil sambil menatap perempuan baruh baya yang memiliki warna rambut cokelat tua itu.
"Sama-sama." balas Madeline sambil tersenyum arogan.
Melihat senyum itu lagi, membuat Clarisse ingin sekali menamparnya, tetapi dia malah menyembunyikannya dengan tersenyum lebih lebar.
"Kalau begitu saya pamit dulu, Putri."
"Tunggu sebentar, Kepala pelayan!" Clarisse mengambil langkah maju lalu menyerahkan sebuah kotak kepada Kepala pelayan.
Madeline mengernyitkan alisnya menatap Clarisse dengan curiga. Seakan tau apa yang dipikirkan kepala pelayan, Clarisse berkata sambil tersenyum, "Ini adalah hadiah untuk anda karena telah berjasa mengajari saya selama ini."
Perasaan curiga pun lenyap, Madeline dengan gembira langsung menerimanya, "Terimakasih Yang mulia." ujarnya sambil tersenyum senang.
Akhirnya perempuan ini juga mengerti jerih payahnya selama ini. Baiklah, dia akan menyampaikan sedikit kata-kata bagus tentangnya kepada Yang mulia permaisuri.
Tepat ketika Madeline ingin membukanya, Clarisse langsung meletakkan tangannya di atas kotak. "Jangan membukanya disini, Madeline! Ini adalah hadiah kejutan, tentu saja tidak akan bagus jika anda langsung membukanya."
Madelina terdiam lalu dengan patuh dia menganggukkan kepalanya. "Kalau begitu, saya pamit Yang mulia." Setelah mengatakan itu dia pergi dari hadapan Clarisse dan melanjutkan langkah kakinya yang tertunda.
Anne yang sedari tadi mengamati dari samping tidak tahan lagi dan berkata dengan jengkel, "Yang mulia, apakah anda benar-benar memberinya hadiah?"
"Tentu saja." jawab Clarisse sambil tersenyum senang.
Senyum terus menghiasi wajah cantiknya yang membuat Annne semakin lama semakin curiga. "Apakah anda memasukkan benda aneh ke dalamnya?"
"Tidak." sangkal Clarisse. "Ini bukan benda aneh, tetapi cukup untuk membuatnya terkejut sampai jatuh pingsan." lanjut Clarisse sambil tersenyum smirk.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!