Vherolla mengendarai motor maticnya dengan kecepatan sedang, menikmati angin sore yang menyentuh wajahnya. Hari ini cukup melelahkan setelah pulang kerja. Pikirannya terbang memikirkan rencana akhir pekan bersama Romi, kekasih yang selama ini begitu ia cintai. Vherolla sudah membayangkan akan menghabiskan waktu berdua, seperti biasa, dengan mengobrol santai atau mungkin makan malam di kafe favorit mereka.
Namun, lamunannya terhenti ketika matanya menangkap sosok yang sangat ia kenali di kejauhan, duduk di bangku taman dengan seorang perempuan. Tangan Vherolla langsung menegang di setir motor. Ia perlahan memperlambat lajunya, memastikan bahwa ia tidak salah melihat. Di taman itu, Romi, lelaki yang ia percayai sepenuh hati, terlihat sedang berbicara dengan seorang wanita.
Hati Vherolla berdegup kencang. Dalam beberapa detik, ia mencoba menenangkan pikirannya. "Mungkin hanya teman biasa," pikirnya, mencoba meyakinkan diri sendiri. Tapi rasa penasaran dan cemas membuat langkahnya bergerak mendekat. Vherolla memberhentikan motor tidak jauh dari tempat mereka duduk, di balik pohon besar yang cukup lebat. Dari sudut itu, ia bisa melihat segalanya dengan jelas.
Romi tertawa. Tawa yang selama ini hanya ia simpan untuk Vherolla, kini ia bagikan pada perempuan lain. Perempuan itu, entah siapa dia, tersenyum manis, menatap Romi dengan tatapan yang terlalu akrab. Mereka terlihat begitu dekat, dan Vherolla tidak bisa menahan rasa sakit yang tiba-tiba menghantam dadanya. Selama beberapa detik, Vherolla berharap ia bisa membangunkan diri dari mimpi buruk ini. Namun, kenyataan di depannya terlalu jelas untuk diabaikan.
"Apa yang mereka lakukan?" bisik Vherolla dalam hati, berusaha menenangkan diri meskipun dadanya terasa sesak. Ia mencoba membalikkan badannya, mencoba pergi dan berpura-pura tidak melihat apapun. Tapi kakinya seolah membeku di tempat.
Tak disangka, Romi tiba-tiba mengulurkan tangannya, meraih tangan perempuan itu. Mereka tertawa bersama, lebih dekat dari yang seharusnya. Saat itulah segalanya pecah. Tanpa pikir panjang, Vherolla maju dengan langkah cepat, langsung menghampiri mereka.
"Romi!" teriak Vherolla, suaranya penuh emosi. Romi terkejut, seketika melepas tangan perempuan itu. Mereka berdua menoleh ke arah Vherolla, dengan ekspresi yang berbeda, Romi tampak panik, sementara perempuan itu terlihat terkejut dan bingung.
"Kamu ngapain di sini, Vhe?" Romi bertanya gugup, suaranya bergetar.
Vherolla menghampirinya dengan mata berapi-api, tidak peduli lagi dengan penjelasan apapun. "Ngapain aku di sini? Itu yang kamu tanyakan? Harusnya aku yang tanya! Ngapain kamu di sini sama perempuan ini, hah?!" Vherolla memelototi Romi, napasnya tersengal, antara marah dan terluka.
"Vhe, kamu salah paham. Dia cuma temen," Romi mencoba meraih tangan Vherolla, tapi Vherolla segera menepisnya.
"Temen?" Vherolla tertawa sinis. "Tega kamu, Mas! Brengsek kamu. Inikah balasan kamu setelah apa yang aku lakukan buat kamu? Aku sudah rela berkorban demi kamu. Kamu nganggur aku kasih uang, kamu sakit aku beliin obat, tapi kamu buta. Sehat dikit udah gatel sama perempuan lain!"
Romi terdiam. Ia tidak bisa menjawab. Mulutnya berusaha terbuka untuk membela diri, tetapi setiap kata yang ingin ia ucapkan tenggelam di antara rasa bersalah dan kebingungannya.
Vherolla menarik napas panjang, berusaha menahan air mata yang hampir tumpah. "Aku kira... aku kira kamu benar-benar berubah. Aku kira kamu bisa lebih baik. Tapi ternyata aku salah, ya? Kamu tetap sama, laki-laki yang cuma bisa mengambil tanpa pernah memberi."
Perempuan di sebelah Romi terlihat semakin cemas, seolah-olah menyadari bahwa dirinya adalah penyebab pertengkaran besar ini. Ia berdiri dari bangku taman, tampak ingin pergi, tetapi Vherolla menghentikannya dengan satu tatapan tajam.
"Kamu!" Vherolla menunjuk perempuan itu. "Aku tidak peduli siapa kamu, dan aku tidak mau tahu apa hubungan kalian. Yang jelas, hari ini kamu sudah hancurin segalanya antara aku dan Romi."
Perempuan itu tampak ketakutan, tapi Vherolla tak peduli. Dengan suara bergetar, perempuan itu berkata pelan, "Aku... aku nggak tahu kalau kalian pacaran."
Vherolla menatap Romi tajam. "Kamu nggak cerita ke dia kalau kamu udah punya pacar, Rom? Setega itukah kamu?"
Romi hanya bisa menunduk, merasa malu. Ia mencoba meraih tangan Vherolla sekali lagi, tetapi Vherolla mundur selangkah.
"Sudah cukup, Rom. Aku sudah cukup sabar sama kamu. Tapi hari ini, semuanya sudah selesai."
Vherolla berbalik menuju motornya. Air mata akhirnya jatuh, mengalir deras di pipinya saat ia berjalan pergi, meninggalkan Romi yang tak berdaya. Setiap langkah terasa berat, seolah beban seluruh dunia ada di pundaknya. Namun, dalam hatinya, Vherolla tahu bahwa ini adalah awal dari akhir. Pengkhianatan ini tidak hanya menghancurkan cintanya, tetapi juga rasa percaya dirinya.
Ia mencoba menenangkan diri di atas motornya, namun pikirannya terus berputar. "Kenapa aku begitu bodoh? Kenapa aku percaya sama dia selama ini?" Suara hatinya terus berteriak, mencabik-cabik perasaannya. Ia menyalakan mesin motor, tetapi belum sempat menggerakkannya, seseorang memanggil dari belakang.
"Vhe, tunggu!" Suara Romi terdengar jelas di tengah heningnya sore itu.
Vherolla berhenti sejenak, tetapi ia tidak berbalik. Tangannya sudah menggenggam erat setang motor, siap pergi.
"Vhe, aku bisa jelasin semuanya!" Romi berlari kecil menghampirinya, napasnya terengah-engah. "Ini cuma salah paham. Dia bukan siapa-siapa. Aku nggak pernah berniat nyakitin kamu."
Vherolla menggeleng pelan, matanya tetap tertuju ke depan. "Apa yang harus dijelasin, Rom? Aku udah lihat semuanya." Suaranya terdengar berat, hampir tidak bisa dikenali. Hatinya berperang antara ingin mendengarkan Romi atau meninggalkannya selamanya.
"Aku cuma... aku nggak sengaja ketemu dia di sini. Sumpah, aku nggak ada hubungan apa-apa sama dia," Romi berusaha mati-matian membela diri, suaranya memohon ampun.
Vherolla memejamkan mata sejenak. Ia tidak tahu apakah harus percaya atau tidak. Setelah semua yang terjadi, hatinya sudah terlalu hancur untuk kembali lagi seperti semula. "Aku udah capek, Rom," katanya pelan. "Capek sama semuanya."
Hening mengisi ruang di antara mereka. Angin sore yang tadi terasa sejuk kini berubah dingin menusuk kulit, menciptakan atmosfer yang semakin berat. Romi tampak terdiam, tidak tahu harus berkata apa lagi.
Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, Vherolla akhirnya berbicara lagi, kali ini dengan suara yang nyaris tak terdengar. "Kalau kamu memang masih sayang aku, kenapa kamu lakukan ini?"
Romi tidak bisa menjawab. Ia hanya menunduk, terpaku, seolah semua kata-kata yang bisa ia gunakan lenyap dari pikirannya. Vherolla menghela napas panjang. Ia menyalakan motornya kembali.
"Vhe, tunggu! Jangan pergi!" Romi berteriak, mencoba menghentikan Vherolla yang sudah siap melaju pergi. Namun, Vherolla hanya menoleh sebentar, tatapan matanya dingin dan penuh kekecewaan.
"Aku nggak bisa lagi, Rom. Aku nggak bisa percaya sama kamu..." kata Vherolla pelan sebelum akhirnya melaju pergi meninggalkan Romi yang berdiri tak berdaya di taman itu.
Vherolla menyalakan lampu di kamar kosnya yang sederhana. Udara dingin dari pendingin ruangan perlahan meredakan emosi yang bergejolak di hatinya. Ia duduk di tepi ranjang, menatap ke luar jendela yang dipenuhi kilatan lampu kota. Angin malam yang sepoi-sepoi tak mampu menenangkan kegelisahan yang semakin besar di dalam hatinya.
Bayangan Romi masih menghantui pikirannya. Betapa tega dia, betapa kejam. Vherolla menutup wajahnya dengan kedua tangan, mencoba menghentikan air mata yang hampir jatuh. Tapi, seiring pikirannya kembali ke masa lalu, saat-saat awal yang penuh kebahagiaan, hatinya terasa semakin sakit.
"Kenapa bisa jadi begini?" gumam Vherolla, berbicara pada dirinya sendiri.
Dia ingat betul bagaimana semuanya bermula. Kenangan itu datang tanpa bisa dicegah. Semuanya begitu jelas di ingatannya, seperti film yang diputar ulang dalam kepalanya.
Dulu, semuanya dimulai begitu sederhana. Berawal dari sebuah pesan masuk di ponsel Vherolla, pesan dari seorang pria yang dia temui di aplikasi sosial media berwarna biru. Saat itu, Vherolla sedang dalam perjalanan pulang dari kantor. Rutinitas pekerjaan yang padat sering kali membuatnya mencari hiburan di dunia maya, dan di situlah pertama kali dia melihat profil Romi. Pria itu tampak menyenangkan, dengan senyuman ramah yang terpampang di foto profilnya.
Tanpa banyak berpikir, Vherolla memutuskan untuk menerima permintaan pertemanan Romi. Tidak ada ekspektasi yang berlebihan kala itu, hanya rasa ingin tahu tentang siapa pria ini. Hari itu, obrolan pertama mereka pun dimulai.
"Hai, apa kabar?" Romi memulai percakapan terlebih dahulu.
Vherolla pun menanggapinya dengan senyum ramah. "Baik, kamu?"
Percakapan sederhana itu terus berlanjut, diiringi dengan tawa dan canda. Romi begitu pandai membuat Vherolla tertawa. Tidak ada pembicaraan yang berat, semuanya terasa ringan dan menyenangkan. Hari demi hari, pesan dari Romi menjadi salah satu hal yang ditunggu-tunggu oleh Vherolla.
Dalam waktu singkat, mereka menjadi lebih akrab. Topik obrolan yang awalnya sederhana mulai berkembang. Romi mulai menceritakan tentang dirinya, tentang pekerjaannya sebagai seorang sales barng-barang elektronik, keluarganya yang tinggal di luar kota, dan mimpinya untuk sukses di masa depan.
Vherolla mendengarkan semua itu dengan antusias, terkesan dengan ambisi dan semangat Romi.
"Kayaknya dia beda dari cowok-cowok lain yang pernah aku kenal," pikir Vherolla saat itu. Baginya, Romi punya gaya berbicara yang membuatnya merasa istimewa.
Setelah hampir dua minggu penuh chattingan, Romi mengusulkan untuk bertemu secara langsung. Vherolla sempat ragu pada awalnya, tapi Yasmin, sahabat karibnya, memberi dorongan semangat.
"Kenapa nggak coba aja? Selama ini kamu nggak pernah keluar dengan siapa pun. Mungkin Romi bisa jadi orang yang tepat buat kamu," kata Yasmin sambil tersenyum jahil, mencoba membuat Vherolla lebih percaya diri.
Maka, dengan rasa gugup yang sedikit bercampur antusiasme, Vherolla setuju untuk bertemu dengan Romi. Hari itu datang, dan mereka sepakat untuk bertemu di sebuah kafe kecil yang nyaman di sudut kota.
Vherolla tiba lebih awal dari Romi. Ia duduk di salah satu meja dekat jendela, berharap angin sejuk bisa mengusir kegugupan yang semakin besar. Jantungnya berdegup kencang, dan setiap kali pintu kafe terbuka, ia melirik ke arah pintu, berharap Romi segera muncul.
Dan akhirnya, Romi datang. Dengan senyum lebar di wajahnya, pria itu melangkah masuk, terlihat lebih tampan dari yang dia bayangkan melalui foto. Romi memakai kemeja biru muda yang pas di tubuhnya, dan iris matanya yang berwarna coklat bersinar ketika melihat Vherolla.
"Vhe?" Romi menyapa dengan senyuman, dan hati Vherolla langsung berdebar lebih kencang.
"Mas Romi?" Vherolla mencoba bersikap tenang, meski dalam hati ia merasa canggung.
Pertemuan itu berlangsung lebih baik dari yang Vherolla bayangkan. Percakapan mereka mengalir dengan mudah disertai candaan pula.
Romi ternyata tidak hanya pandai berbicara melalui pesan, tapi juga memiliki pesona yang lebih kuat saat bertemu langsung. Selama beberapa jam, mereka bercerita tentang banyak hal, tentang pekerjaan, hingga hal-hal kecil yang membuat mereka tertawa tanpa henti.
"Serius kamu dulu pengen jadi pilot?" tanya Vherolla sambil tertawa kecil.
Romi mengangguk, ikut tertawa. "Iya, tapi karena mata aku minus, akhirnya gagal deh. Jadi sales aja, deh."
"Tapi sales juga keren kok," balas Vherolla, mencoba memberi semangat.
Obrolan mereka begitu seru sampai-sampai waktu terasa berlalu begitu cepat. Ketika akhirnya mereka harus berpisah, Romi menawarkan untuk mengantar Vherolla pulang. Meskipun sempat ragu, Vherolla akhirnya setuju. Malam itu, ketika mereka berjalan berdua menuju parkiran, Vherolla merasa hatinya mulai terisi oleh sesuatu yang baru.
Semenjak pertemuan itu, hubungan mereka semakin dekat. Romi semakin sering menghubungi Vherolla, bahkan setiap hari. Ada kalanya mereka berbicara berjam-jam di telepon, hanya untuk membicarakan hal-hal kecil yang tidak penting.
Namun, entah bagaimana, semuanya terasa begitu istimewa bagi Vherolla. Dia merasa bahwa akhirnya dia telah menemukan seseorang yang benar-benar bisa membuatnya bahagia.
Vherolla mulai membayangkan masa depan bersama Romi. Dia membayangkan bagaimana hubungan ini akan terus berkembang menjadi sesuatu yang lebih serius.
Yasmin sahabatnya, juga sangat mendukung hubungan mereka. Setiap kali Vherolla bercerita tentang Romi, Yasmin selalu tersenyum dan berkata, "Aku seneng banget liat kamu bahagia, Vhe. Semoga dia bener-bener serius sama kamu."
Vherolla hanya bisa tersenyum malu setiap kali Yasmin menggodanya. Dalam hatinya, ia berharap bahwa Romi memang orang yang tepat, seseorang yang akan selalu ada untuknya, sama seperti dia selalu ada untuk Romi.
Namun, seiring berjalannya waktu, Vherolla mulai menyadari bahwa hubungan mereka tidak selalu seindah yang ia bayangkan. Ada tanda-tanda kecil yang mulai muncul, tapi Vherolla memilih untuk mengabaikannya. Ia terlalu larut dalam kebahagiaan awal yang mereka rasakan.
Namun, tidak lama setelah hubungan mereka semakin serius, Romi mulai menunjukkan tanda-tanda membutuhkan bantuan. Suatu sore, ketika mereka sedang berjalan di taman, Romi tampak gelisah.
"Vhe, sebenarnya ada sesuatu yang sudah lama aku ingin ceritakan, tapi aku malu," kata Romi, suaranya terdengar pelan dan ragu-ragu.
Vherolla menatapnya dengan rasa khawatir. "Apa, Rom? Ada masalah?"
Romi menunduk, tampak tertekan. "Aku sebenarnya punya kerjaan, tapi... gajinya nggak jelas. Kadang dibayar, kadang nggak. Aku benar-benar kesal dengan bosku."
Vherolla terdiam sejenak mendengar pengakuan Romi. Dia bisa melihat betapa berat beban yang dipikul oleh pria itu, setidaknya itulah yang dia pikirkan. Romi selalu terlihat tenang dan bahagia, tapi kini Vherolla menyadari mungkin ada masalah yang disembunyikan.
"Aku nggak mau kamu khawatir, Vhe," lanjut Romi, suaranya semakin rendah. "Aku malu bilang ke kamu kalau aku masih nganggur. Pekerjaan yang aku bilang selama ini…."
Romi berhenti berbicara sejenak ....
"Sebenarnya bukan pekerjaan tetap. Aku cuma kerja serabutan, dan gajinya nggak jelas. Kadang dibayar, kadang nggak. Aku nggak mau kamu lihat aku nggak berguna."
Mendengar itu, hati Vherolla langsung terasa berat. Dia menatap Romi, yang kini tampak sangat rapuh di hadapannya. Romi selalu berusaha terlihat kuat, tapi kali ini, pria itu terlihat begitu memelas.
"Tapi Rom, kenapa kamu nggak cerita dari dulu? Kita kan pacaran. Kamu nggak perlu malu sama aku. Kalau ada apa-apa, bilang aja. Aku pasti bakal bantu kamu," ujar Vherolla, suaranya lembut dan penuh pengertian.
Romi tersenyum lemah, seperti seseorang yang baru saja melepaskan beban yang begitu berat. "Kamu baik banget, Vhe. Aku nggak tahu harus gimana tanpa kamu."
Lalu, dengan nada hati-hati, Romi melanjutkan, "Aku sebenarnya butuh bantuan kamu, tapi aku juga nggak enak ngomongnya. Aku beneran malu, Vhe. Ibu di rumah lagi butuh uang, dan aku pengen bantu, tapi aku nggak punya apa-apa."
Vherolla tertegun. Kata-kata Romi menghujam hatinya. "Apa yang bisa aku lakuin buat bantu kamu, Rom?" tanyanya dengan tulus, merasa iba pada situasi Romi.
Romi menunduk, seolah ragu-ragu untuk berbicara. "Vhe. Aku cuma… butuh sedikit uang buat kasih ke Ibu. Aku janji begitu dapat uang aku kembalikan ke kamu."
Mendengar Romi berbicara seperti itu, hati Vherolla semakin terenyuh. Bagaimanapun, ia ingin mendukung pria yang dicintai. Romi sudah banyak berusaha untuk membuat hubungan mereka bahagia, dan ini mungkin cara kecil untuk membalas semua kebahagiaan yang sudah dia berikan.
Tanpa berpikir panjang, Vherolla akhirnya berkata, "Rom, aku punya tabungan. Nggak banyak, tapi aku bisa bantu. Kamu butuh berapa?"
Romi menatap Vherolla dengan ekspresi penuh syukur. "Tiga juta aja, Vhe. Ini untuk Ibu, dan aku bakal balikin ke kamu secepatnya. Aku juga lagi cari kerja yang lebih stabil."
Vherolla tersenyum. "Nggak apa-apa, Rom. Uang bisa dicari lagi. Kalau untuk keluarga, aku nggak keberatan."
Tanpa ragu, Vherolla pun mengambil tabungannya dan memberikan uang sebesar tiga juta rupiah kepada Romi. Ia percaya, sebagai pria yang ia cintai, Romi pasti akan memanfaatkan uang itu dengan baik. Vherolla merasa bahwa ini adalah bagian dari pengorbanan cintanya untuk pria yang dia sayang.
Namun, apa yang tidak diketahui Vherolla adalah bahwa uang tersebut bukan untuk membantu ibunya. Romi menghabiskan uang itu tanpa pernah menggunakannya sesuai janji yang ia buat. Di belakang semua kepura-puraan, Romi sebenarnya masih terus berusaha mencari cara untuk memanipulasi Vherolla, memanfaatkan kepercayaan yang diberikan dengan mudah.
Halo sobat semua, terimakasih sudah mampir.. Maaf ya cerita ini update sehari 1 bab karena kesibukan author di real life
Hari itu, Romi mengajak Vherolla untuk berkunjung ke rumahnya. Ini pertama kalinya Vherolla akan bertemu dengan keluarga Romi, dan perasaannya campur aduk antara gugup dan bahagia. Sudah hampir setahun mereka berpacaran, dan akhirnya Romi memutuskan untuk memperkenalkannya kepada orang tuanya.
Saat itu, Vherolla sudah menyiapkan diri sebaik mungkin. Ia mengenakan dress simpel berwarna pastel yang tampak manis, dan rambutnya disisir rapi. Sepanjang perjalanan, Romi tidak henti-hentinya meyakinkan Vherolla bahwa keluarganya pasti akan menyukai Vherolla.
"Tenang aja, Vhe. Keluarga aku nggak bakal bikin kamu nggak nyaman. Mereka pasti suka sama kamu," kata Romi sambil melirik Vherolla yang terlihat sedikit tegang.
Vherolla tersenyum kecil, mencoba menenangkan diri. "Aku cuma nggak mau bikin mereka nggak nyaman. Aku tahu keluarga itu penting buat kamu, Rom."
"Udah, santai aja. Kamu udah ngelakuin lebih dari cukup buat aku. Sekarang giliran aku yang nunjukin ke keluarga kalau kamu adalah orang yang tepat buat aku."
Mendengar itu, hati Vherolla sedikit lega. Ia merasa dicintai dan dihargai oleh Romi, dan itu membuatnya lebih percaya diri.
Setibanya di rumah Romi, Vherolla disambut oleh suasana rumah yang sederhana namun hangat. Rumah itu tidak besar, tetapi terlihat bersih dan nyaman. Di ruang tamu, sudah duduk ibu dan ayah Romi, serta dua adik Romi, Runi dan Rozak.
"Vhe, ini keluargaku," kata Romi memperkenalkan. “Ma, Pa, ini Vhe pacarku.”
Vherolla tersenyum sopan dan sedikit membungkuk sebagai tanda hormat. "Selamat sore, Om, Tante. Senang bisa bertemu kalian."
Ibu Romi, seorang wanita paruh baya yang terlihat ramah, tersenyum hangat dan langsung menyambut Vherolla. "Ah, jadi ini yang namanya Vhe. Romi sering banget cerita tentang kamu. Duduk, duduk. Kamu pasti capek setelah perjalanan."
Ayah Romi mengangguk sopan, menunjukkan ekspresi yang netral namun tidak dingin. "Selamat datang di rumah kami, Vherolla. Santai saja, anggap rumah sendiri."
Vherolla merasa lega dengan sambutan yang hangat dari orang tua Romi. Ia pun duduk di sofa yang sudah disediakan. Saat itu, ia menyadari dua adik Romi memperhatikannya dengan cara yang berbeda.
Runi, adik pertama Romi yang terlihat sopan, tersenyum manis dan langsung menyapa. "Kak Vhe, senang bisa ketemu langsung. Aku Runi. Romi sering cerita tentang Kakak."
Vherolla merasa nyaman dengan sikap Runi yang ramah dan hangat. "Senang juga bisa ketemu kamu, Runi. Romi sering cerita juga tentang kamu," jawabnya dengan senyuman.
Namun, berbeda dengan Runi, Rozak, adik kedua Romi yang lebih muda beberapa tahun, terlihat lebih diam dan tidak terlalu menanggapi. Tatapan Rozak seakan menyimpan sesuatu, penuh misteri. Ia hanya menyapa singkat, "Halo," dan kemudian kembali diam, tidak banyak berbicara. Vherolla sedikit terganggu dengan sikap Rozak, tetapi ia mencoba untuk tidak terlalu memikirkan hal itu.
Seiring waktu, Vherolla mulai merasa lebih nyaman di antara keluarga Romi. Obrolan mengalir ringan, dan orang tua Romi tampak benar-benar menerima kehadiran Vherolla dengan baik. Mereka menanyakan berbagai hal tentang dirinya, tentang pekerjaan, keluarga, hingga hubungan dengan Romi.
"Saya dengar kamu kerja di perusahaan besar ya, Vhe?” tanya ayah Romi, dengan nada yang ramah tapi penuh rasa ingin tahu.
"Iya, Om. Saya bekerja di bagian administrasi. Nggak terlalu besar sih, cuma perusahaan biasa," jawab Vherolla dengan sopan.
Ibu Romi mengangguk, tampak kagum. "Baguslah kalau kamu sudah punya pekerjaan yang tetap. Romi beruntung punya pacar seperti kamu. Kami juga berharap Romi bisa cepat dapat pekerjaan yang stabil."
Mendengar itu, Vherolla hanya tersenyum, meskipun hatinya sedikit tertohok. Ia tahu bahwa Romi masih berbohong tentang pekerjaannya, tetapi ia tidak ingin mempermalukannya di depan keluarganya. Vherolla hanya berharap Romi akan segera menemukan pekerjaan yang lebih baik seperti yang ia katakan.
Di tengah-tengah obrolan, Runi tiba-tiba menambahkan, "Kak Vhe, aku sering lihat Kakak di Instagram. Kayaknya seru banget ya kerja di perusahaan itu. Kapan-kapan cerita dong tentang pengalaman Kakak."
Vherolla tersenyum dan mengangguk. "Tentu, kapan-kapan aku ceritain. Kalau kamu ada pertanyaan, jangan sungkan tanya ya."
Percakapan terus berlanjut, dan Vherolla mulai merasa semakin nyaman. Namun, dari sudut matanya, ia masih bisa merasakan tatapan aneh dari Rozak yang duduk di sudut ruangan. Meskipun tidak berkata apa-apa, kehadiran Rozak memberikan aura yang sedikit mengganggu bagi Vherolla. Seolah-olah ada sesuatu yang dipendam oleh adik Romi itu, sesuatu yang tidak pernah diungkapkan.
Setelah beberapa jam berlalu, Romi mengajak Vherolla keluar sebentar untuk berbicara lebih pribadi.
"Gimana menurut kamu tentang keluargaku, Vhe?" tanya Romi sambil menggenggam tangan Vherolla.
"Mereka baik banget, Rom. Aku nggak nyangka mereka bisa menerima aku seramah itu,” jawab Vherolla dengan jujur. "Tapi… aku sedikit aneh sama Rozak. Dia nggak banyak ngomong, ya?" lanjutnya.
Romi tertawa kecil. "Ah, Rozak emang gitu orangnya. Dia nggak terlalu banyak omong kalau sama orang baru. Tapi dia sebenarnya baik kok, cuma agak pendiam."
Vherolla mengangguk, meskipun hatinya masih merasa sedikit tidak nyaman dengan sikap Rozak. Namun, ia mencoba untuk tidak terlalu memikirkan hal itu.
"Yang penting, keluargaku suka sama kamu, Vhe. Itu yang paling penting buat aku," lanjut Romi dengan senyum lebar.
Vherolla tersenyum kecil, berusaha menyingkirkan keraguan yang tersisa. Di saat itu, ia merasa semuanya berjalan lancar. Keluarga Romi menerima dirinya dengan baik, dan ia mulai berpikir bahwa hubungannya dengan Romi akan semakin serius.
Romi tersenyum kecil sambil membawa dua cangkir kopi hitam dari dapur dan menaruhnya di meja di hadapan Vherolla.
"Ini, buat kamu, Vhe," katanya, dengan nada sedikit menggoda.
Vherolla menatap cangkir itu dengan ragu. Dia memang bukan penggemar kopi, terutama kopi hitam yang aromanya begitu kuat. Ia meneguk ludah, mencoba mencari cara untuk menolak tanpa menyinggung perasaan Romi.
"Ehm, Rom, kamu tahu kan aku nggak terlalu suka kopi hitam. Rasanya pahit banget buatku," ucap Vherolla sambil menyunggingkan senyum tipis, berharap Romi tidak tersinggung.
Romi tertawa pelan dan menggelengkan kepala. "Ya ampun, Vhe. Kopi itu nggak pahit kalau diminum dengan cinta, lho."
Vherolla langsung terkekeh. "Kalau gitu, mungkin cintamu kurang manis kali, ya," balasnya sambil tertawa kecil.
Romi tersenyum jahil dan pura-pura tersinggung. "Wah, kamu meragukan cintaku, ya? Padahal cinta ini tulus dari lubuk hati terdalam, lho!"
Vherolla mengangkat alis sambil tersenyum lebar. "Yakin? Cinta yang tulus nggak harus pahit, kan?"
Setelah candaan mereka, Romi akhirnya mengambil cangkir itu dan menyerah. "Oke deh, kalau kamu nggak mau, aku kasih ke Runi aja. Dia pasti doyan."
Romi memanggil adiknya yang sedang sibuk di dapur. "Runi! Ini kakak kasih kopi, daripada mubazir, Vhe nggak doyan."
Runi datang menghampiri dan menerima cangkir kopi dengan senyum lebar. "Wah, terima kasih, Kak. Aku suka banget kopi hitam. Ternyata Kak Vhe nggak suka ya?"
Vherolla mengangguk sambil tertawa kecil. "Iya, aku lebih suka teh manis daripada kopi pahit."
"Teh manis seperti cintaku ke kamu, kan?" Romi kembali menggoda, membuat Vherolla tertawa dan mencubit lengan Romi pelan.
Momen itu terasa hangat ....
**Author Up sehari 1 bab yaaa
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!