"Lana sudah pasang sabuk pengaman? Perjalanan kita masih jauh, loh," tanya Ayah, sambil melirik ke belakang dari kaca spion. Suaranya terdengar hangat, seperti biasa, tapi Lana tetap saja tidak bersemangat.
Lana memanyunkan bibirnya dan menyilangkan tangan di dada, mencoba menahan kekesalan. Mata kecilnya melirik malas ke arah Ayahnya.
"Aku ingin merayakan ulang tahunku yang ke sembilan ini bersama teman-teman, bukan liburan keluarga yang membosankan seperti ini," gumamnya kesal.
Ayahnya tertawa kecil. "Yah, anak Ibu kenapa cemberut begitu? Ya sudah, kalau begitu, tahun depan berpesta saja dengan mengundang semua teman Lana ya, Bagaimana?"
Lana tetap diam, tetapi hatinya mulai sedikit melunak. Namun, rasa kecewa masih ada di sana, menekan perasaan bahagianya. Dengan enggan ia memasang sabuk pengamannya.
Di tengah percakapan itu. Tiba-tiba suara dering ponsel memecah keheningan.
Trilililit...
"Sayang, ada telepon," Ibu berujar sambil menyerahkan ponsel kepada Ayah.
Ayah Lana segera mengangkatnya. "Halo?"
Dari speaker ponsel, terdengar suara kasar seseorang di seberang sana memaki ayahnya dengan suara kejam.
Dasar berengsek! Apa pada akhirnya kamu harus begini? Temui aku sekarang!
Suara itu begitu tajam dan penuh amarah, hingga membuat Lana merinding. Lana menoleh ke arah Ayahnya, memperhatikan bagaimana ekspresinya berubah dari tenang menjadi tegang. Ayahnya menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab.
"Masalah itu kan sudah berakhir." balas ayahnya.
Namun, suara di telepon tetap tak kenal ampun.
"Apa?! Baiklah, aku salah. Jadi tolong... bisakah kamu tutup mata sekali ini saja?"
Lana merasakan kegelisahan di sekelilingnya. Ibunya yang awalnya tenang, kini menoleh ke arah Ayah dengan wajah penuh kekhawatiran. Ada yang salah, tetapi Lana tidak tahu apa. Perasaan takut mulai merayap masuk ke dalam hatinya.
Setelah menutup telepon, Ayahnya kembali menoleh ke arah Lana, mencoba untuk mengembalikan suasana yang sempat tegang.
"Lana, pokoknya saat ulang tahunmu tahun depan lakukan apa yang kamu inginkan, ya. Mengerti?"
Lana masih cemberut, tetapi mendengar janji itu membuat matanya langsung berbinar.
"Berarti aku boleh ngundang lima temanku, kan yah?" tanya Lana semangat.
Ayahnya tersenyum. "Tentu saja. Lakukan saja yang kamu mau!" katanya.
“Hihi, senangnya! Berarti aku juga harus memikirkan kado yang ingin aku dapatkan.” gumam Lana.
"Haha, iya... Kamu tinggal bilang saja, Ayah akan membelikan semuanya untuk anak ayah yang cantik ini," ujarnya ayahnya gemas. meski suaranya terasa agak jauh, seperti ada yang masih mengganggu pikirannya.
Trilililit...
Dering ponsel kembali memecah suasana. "Sayang, handphonemu berdering lagi," Ibu berkata dengan cemas. Ayah menghela napas dan mengangkat teleponnya lagi.
Di saat sedang fokus dengan telfonnya.
Tin... tin... tiiiiin!
Suara klakson mendadak membahana, diiringi deru kendaraan yang melaju terlalu cepat. Membuat jantung lana seolah berhenti berdetak, semua terjadi begitu cepat.
Braaaak! Braaaak! Cess...
Suara benturan keras mengguncang mobil mereka. Dunia di sekelilingnya berputar, kaca jendela pecah berserakan, tubuh Lana terasa seperti dilempar ke segala arah. Jeritan Ibunya memenuhi udara, dan pandangan matanya menjadi kabur. Lana merasakan sakit yang menusuk di seluruh tubuhnya.
Di tengah rasa bingung dan panik, ia mendengar suara orang-orang di luar mobil. Kerumunan orang mulai berkumpul, tapi pandangannya terlalu kabur untuk melihat siapa mereka. Lana hanya bisa mendengar suara gemuruh dan langkah kaki yang mendekat.
Salah satu dari mereka, seorang remaja berseragam sekolah, berlari ke arah mobil yang sudah ringsek, tampaknya ia sedang menelfon bantuan.
"Ini 118, kan?! Ada kecelakaan! Ini sangat darurat!" Serunya penuh kepanikan, sama seperti perasaan Lana saat itu.
Lana samar samar mendengar suara Ayahnya yang lemah dari depan.
"A... ada... anak saya... di belakang. To... tolong... selamatkan... anak kami..." rintih ayahnya.
Suaranya terdengar begitu putus asa, hingga air matanya mulai mengalir di pipi. Lana tidak bisa melihat wajah Ayahnya, tetapi ia tahu ayahnya terluka parah.
Ngiung... ngiung... ngiung...
Suara sirene ambulans mulai terdengar semakin dekat. Petugas medis berlarian, berusaha menyelamatkan Ayah dan Ibunya yang tak lagi bergerak. Lana mencoba memanggil mereka, tapi suaranya tertahan di tenggorokan. “Ibu…! Ayah…!” panggil Lana, tetapi tidak ada satupun yang menyahutnya.
Lana merasa tubuhnya mulai lemah, dunia sekelilingnya semakin kabur. Namun, di tengah kegelapan itu, Lana melihat bayangan samar seorang laki-laki mendekat. lelaki itu meraih tubuhnya dengan hati-hati, membawa keluar dari reruntuhan mobil.
Di tengah rasa sakit itu, suara lain tiba-tiba terdengar. Suara yang sangat Lana kenal memanggil namanya.
"Lana... Lana... Oh, Alana. Bangun, Lana! Teriak suara itu.
Eunghh..
Alana melenguh, perlahan ia membuka matanya dan merasakan pipinya yang terasa basah. Saat matanya terbuka lebar ia begitu terkejut melihat Zayn yang panik menatapnya. dengan segera ia mengelap airmata yang jadi sumber kekhawatiran Zayn. lalu menoleh ke arah jendela yang kini perlahan mulai terang oleh sinar matahari pagi.
“Oh, sudah pagi...Tapi kenapa aku nggak dengar suara alarm, ya?” gumamnya dengan suara serak.
Alana melihat jam di ponselnya. Sudah jauh lebih pagi daripada yang dia perkirakan. Biasanya, Ia akan terbangun begitu alaram berbunyi dengan keras, tapi entah mengapa hari ini semuanya terasa berbeda.
Alana mengumpulkan tenaganya untuk bangkit dari tempat tidur. Ia mengerjapkan matanya yang masih berat mengamati kamar yang dia gunakan saat ini, masih terasa asing, ia masih belum terbiasa walau 9 tahun sudah berlalu.
Alana memang tinggal di rumah Zayn semenjak tragedi yang menimpa keluarganya. Beberapa tahun yang lalu, ketika Alana berusia sembilan tahun, ia dan kedua orang tuanya terlibat dalam sebuah kecelakaan tragis. Meskipun Alana selamat, kedua orang tuanya meninggal di tempat. Kehilangan yang mendalam membuat Alana merasa seolah setengah dari dirinya hilang. Tanpa sanak saudara yang bisa diandalkan, Alana terpaksa mencari tempat aman di dunia yang begitu menakutkan baginya.
Setelah mendengar kabar duka tersebut, Pak Budi, rekan kerja ayah Alana, segera menawarkan bantuan kepada Alana. Dia menyarankan agar Alana tinggal bersama keluarganya untuk sementara waktu. Meskipun awalnya berat untuk beradaptasi, Alana tahu dia tak punya pilihan lain. Tinggal sendirian di dunia ini terlalu menakutkan bagi anak kecil sepertinya. kini Zayn adalah satu-satunya tempatnya bergantung.
“Cepat siap-siap, terus turun sarapan, ya.” Zayn tersenyum sebelum menutup pintu kamar Alana dengan lembut. Walaupun Zayn selalu berusaha membuat suasana lebih ceria, ada hal-hal di rumah ini yang tak bisa sepenuhnya dihindari.
Alana bangkit dari tempat tidurnya, masih merasa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya sejak dia terbangun. Mimpi buruk tentang masa lalu kembali terbayang di pikirannya. Alana merasa dadanya berat, seolah ada beban yang terus menghimpitnya. Namun, dia berusaha mengabaikannya dan bergegas bersiap untuk sekolah.
Setelah selesai berpakaian, Alana menuruni tangga dengan perlahan. Di ruang makan, suasana seperti biasanya. Bu Sari, ibu Zayn, sudah duduk di meja makan, dengan wajah dingin yang selalu tampak sama setiap pagi. Senyumnya jarang sekali terlihat di rumah ini, terutama untuk Alana.
"Lana, bisa tolong siapin sendok sama piring?" perintah Bu Sari tanpa mengalihkan pandangannya dari meja makan.
Alana mengangguk patuh, meskipun di dalam hatinya dia merasa sedikit cemas. Sejak awal tinggal di rumah ini, Alana selalu merasakan jarak yang besar antara dirinya dan Bu Sari. Meski keluarga Zayn telah menerimanya, perhatian yang diberikan padanya terasa berbeda dari yang diterima Zayn.
Dia segera menuju dapur, mengambil peralatan makan yang diminta. Di tengah kesibukannya, pikirannya melayang ke kenangan masa kecilnya bersama kedua orang tuanya. Dulu, sarapan adalah momen hangat di rumah mereka—penuh dengan tawa dan canda. Ia selalu merindukan masa itu namun, semua itu kini terasa seperti mimpi yang jauh.
Ketika Alana kembali ke ruang makan, Zayn sudah duduk di meja, disambut dengan senyum hangat dari Bu Sari.
“Zayn, sayang, kamu sudah siap ke sekolah, nak? Ibu bangga sama nilai rapormu yang hebat kemarin.” ucapnya.
Alana hanya bisa menunduk, berusaha menyelesaikan tugasnya tanpa membuat masalah. Dia mengatur piring di meja dan hendak mengambil lauk. Namun, ketika ia mengambil sendok, tangannya tanpa sengaja menyentuh tangan Pak Budi, yang sedang memegang sendok yang sama.
Deg.
Sentuhan itu membuat Alana kaku seketika. Ada sesuatu yang aneh dalam sentuhan itu, sesuatu yang membuat bulu kuduknya meremang. Tangannya langsung terlepas, seperti tersengat listrik, sementara jantungnya berdetak lebih cepat dari sebelumnya. Ia melirik ke arah Pak Budi, yang menatapnya dengan senyum tipis kearahnya.
Alana buru-buru menundukkan kepala berusaha menghindar, namun kini ia merasakan tatapan Bu Sari yang kian menusuk, terasa lebih dingin dari sebelumnya. Jari-jarinya gemetar, menggenggam sendok erat-erat hingga terasa sakit, seolah sendok itu satu-satunya penopang ketenangannya.
“Lana, lauknya mana?” teguran Bu Sari terdengar tajam dan penuh kecurigaan. “Cepat sedikit, jangan lambat.”
Alana tertegun sejenak, kemudian cepat-cepat mengambil lauk yang diminta.
“I-iya, Bu,” lirih Alana, suaranya sedikit bergetar.
Ketika dia kembali dengan piring lauk di tangan, pikirannya teralihkan pada sesuatu yang lain—rapor sekolahnya. Rasa khawatir mulai menyusup dalam hatinya.
Dengan tangan yang sedikit gemetar, Alana mengeluarkan rapornya dari tas dan mendekati Bu Sari.
“Bibi… bisa tanda tangan raporku ju...” kalimatnya terhenti di tengah-tengah. Dia tiba-tiba menyadari kesalahan besar yang baru saja ia ucapkan dengan segera ia menutup mulutnya dengan tangan.
Mata Bu Sari mendadak melirik tajam ke arahnya, ekspresinya semakin sinis. “Panggil aku Ibu,” katanya tegas.
Alana menunduk dalam-dalam, merasa bersalah dan canggung.
“I-iya, Bu... maaf,” ucapnya dengan suara yang nyaris tak terdengar.
Zayn yang duduk di seberang mereka memperhatikan dengan gelisah. “Ma, Lana kan cuma salah sebut. Kok mesti dimarahin sih?” protes Zayn, mencoba membela Alana.
"Za," Panggilnya pelan, ia buru-buru melirik dengan ekspresi memohon agar zayn tidak memperpanjang masalah, dan berusaha tersenyum meskipun hatinya masih diliputi ketakutan.
Namun, Zayn tidak bisa tinggal diam melihat Alana diperlakukan seperti itu. Dengan cepat dia berdiri, menarik tangan Alana dengan lembut.
“Ayo, kita telat nanti,” katanya dengan nada yang lebih tegas.
Mereka berdua berjalan keluar dari rumah, dengan udara pagi yang sejuk sedikit membantu meredakan ketegangan yang melingkupi hati Alana. Langkah Zayn santai, namun Alana bisa merasakan kemarahan yang tersimpan di dalam dirinya. Dia tahu, Zayn selalu mencoba melindunginya dari apapun, tapi kadang-kadang Alana merasa hal itu justru membuatnya lebih cemas.
Beberapa langkah kemudian, Alana memutuskan untuk membuka pembicaraan.
“Za, tadi aku ngigau nggak sih waktu tidur? Aku mimpi sangat buruk…" ucapnya sambil menatap ke tanah, masih teringat dengan jelas kejadian dalam mimpinya.
Zayn menoleh sejenak, ragu-ragu sebelum menjawab. “Nggak kok,” katanya singkat.
Padahal, Zayn mendengar Alana berteriak dalam tidurnya, memanggil nama ayah dan ibunya dengan suara yang penuh keputusasaan. Tapi dia tak ingin membuat Alana semakin cemas. jadi ia lebih memilih memberikan kesaksian palsu daripada harus melihat wajah menderita Alana.
Zayn memperhatikan Alana yang sesekali memijat pelan tangannya, tanda-tanda bahwa dia merasa tidak nyaman. Wajah Zayn berubah khawatir.
“Tanganmu sakit? Gara-gara tadi ya?” tanyanya, meskipun dia sudah tahu jawabannya.
Alana mengangguk pelan, mencoba mengabaikan rasa nyeri di tangannya. Tapi Zayn, dengan hati-hati, mulai memijat tangan Alana. Gerakannya terlihat kaku, tapi sentuhannya penuh perhatian.
Alana terdiam, merasakan kehangatan dari pijatan Zayn. Ketika pijatan itu berhenti, Alana tersenyum lembut. Dia mengusap kepala Zayn dengan sayang.
“Makasih, Za. Kamu memang selalu peduli sama aku,” ucapnya lirih.
Wajah Zayn langsung memerah. Merasakan debaran jantungnya yang semakin berpacu. Dengan segera dia melepaskan tangan Alana dan mempercepat langkahnya ke depan.
“Udah, jangan lebay,” katanya cepat, meskipun ada senyum kecil yang berusaha dia tahan.
Alana hanya bisa tertawa kecil, melihat punggung Zayn yang semakin jauh di depannya. Di balik sikap dingin dan cueknya, Alana tahu Zayn selalu ada untuknya, menjadi satu-satunya tempat dia merasa aman di dunia ini.
Sesampainya di kelas, Alana mencoba menjalani aktivitas sehari-hari sebagai siswa seperti biasa. Ia duduk di bangkunya, membuka buku pelajaran, dan berusaha fokus, meskipun sebagian besar materi yang disampaikan seolah hanya masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Meski begitu, ia tetap berusaha fokus dan semangat. Berbeda dengan Zayn, yang duduk di sebelahnya, ia tampak tidur nyenyak seperti biasa. Meski sering tertidur di kelas, entah bagaimana, Zayn selalu berhasil mendapatkan nilai yang baik.
Jam terakhir adalah pelajaran Bahasa Indonesia, tapi guru mereka tak masuk karena ada perjalanan dinas. Suasana kelas pun menjadi ramai, sebagian besar siswa mulai merencanakan kegiatan mereka sepulang sekolah.
Alana duduk termenung sambil menatap ke luar jendela, membiarkan pikirannya berkelana. Di sebelahnya, Zayn masih rebahan di mejannya sambil sesekali menguap kecil.
"Za, hari ini kamu bimbel, yah?" tanya Alana, mencoba mengobrol untuk mengusir rasa bosannya.
"Iya," sahut Zayn santai, tanpa membuka matanya. Meskipun kelihatannya selalu malas-malasan, ia tak pernah mengabaikan Alana ketika diajak bicara.
Alana mendesah pelan dan kembali tenggelam dalam lamunannya.
Tak lama kemudian, bel panjang berbunyi, menandakan berakhirnya jam pelajaran. Sontak, seluruh siswa berebut keluar kelas sambil menggendong tas mereka. Alana pun ikut bangkit, meraih tasnya, dan beranjak ke luar bersama teman-teman lainnya, sementara Zayn tetap santai mengemasi barang-barangnya di bangku belakang.
Setelah mereka berjalan keluar dari gerbang sekolah, Alana dan Zayn berhenti sejenak. Di depan mereka, mobil jemputan Zayn sudah menunggu di tepi jalan.
"Aku pergi dulu ya?" ucap Zayn, menatap Alana dengan sedikit ragu. Terlihat jelas bahwa ia tampak berat meninggalkan Alana. Namun, teringat pada permintaan ibunya yang begitu rewel soal nilai-nilainya, Zayn tak punya pilihan selain pergi ke bimbel.
Alana mengangguk pelan, tersenyum tipis meski ada sedikit rasa kecewa. "Iya, nggak apa-apa. Semangat ya, Za. Hati-hati di jalan."
Zayn menghela napas, lalu membuka pintu mobil dan melangkah masuk. Namun, sebelum pintu ditutup, ia menoleh lagi ke arah Alana dan melambaikan tangannya.
Alana membalas lambaian Zayn, melihat mobil itu melaju pergi hingga menghilang di kejauhan. Ia kemudian berbalik dan mulai berjalan sendirian menyusuri jalan menuju rumah.
"Aduh, pulang sekolah sendirian itu membosankan. Masak apa ya hari ini? apa buat ayam geprek aja ya? Zayn kan suka itu”
Lana berfikir sambil terus berjalan ia mengedarkan pandangannya ke tempat-tempat yang menarik di sekelilingnya.
Di saat yang sama tak jauh dari Alana, Zidan, pemuda tampan berambut hitam, tampak kebingungan. Ia bolak-balik menatap ponselnya dan jalanan di sekitarnya, berusaha mencari petunjuk yang familiar.
"Tunggu, bukan di sini juga," ia melirik peta di layar ponselnya. "Kok bisa lupa jalan gini, sih? Lihat peta malah makin bingung. Apa aku bakal sampai sana hari ini?" Gumamnya.
Haaaah... Dari tadi udah muterin tempat ini tapi nggk nemu-nemu juga." keluhnya frustasi.
Zidan melangkah lebih jauh, berharap menemukan tanda yang bisa membantunya. Ia berpapasan dengan Alana yang sedang asyik mengamati sekeliling. Namun ia tak perduli dan tetap melanjutkan langkahnya. Sama halnya dengan Alana, ia sempat melirik lelaki tampan itu. Tapi itu saja, wong dia nggak kenal yah bodo amat lah, ia meneruskan jalannya.
Tiba-tiba, langkah Alana terhenti oleh pemandangan mengejutkan. Seorang siswi SMA berambut bob, mengenakan seragam yang sama dengannya, dipojokkan oleh sekelompok gadis lain. Wajah mereka penuh amarah dan ejekan.
Alana memperhatikan dengan saksama, mencoba memahami situasi.
"Hei! Kalau lihat kami, harusnya berhenti! Kenapa malah jalan terus, sih?!" teriak salah satu gadis berambut lurus dari kelompok itu.
Suaranya menggema di gang sempit yang cukup sepi hingga tak ada yang mendengar teriakan keras itu.
Ia mendorong kuat gadis berambut bob itu ke dinding yang di penuhi lumut berlendir. Tangannya mencengkeram pipi korban dengan kasar, menekan wajahnya hingga memutih.
Gadis itu berusaha berdiri tegak, meskipun wajahnya menunjukkan rasa sakit. Tangannya terkepal kuat, dengan sorot mata yang kian menajam menatap pembuli itu.
“Jangan lihat aku dengan mata menjijikkanmu itu, dasar pecundang!” bentak gadis pembuli yang bernama Maya itu.
Riska, teman Maya, melangkah mendekat dengan senyum mengejek. "Wah-wah... coba lihat deh, dia potong rambut, ya? Pakai riasan juga. Mau jadi artis, nih? Sok cantik," cibirnya dengan nada sinis.
Riska menjumput sedikit rambut pendek gadis itu, lalu menariknya dengan kuat hingga beberapa helainya rontok. melihat tangannya yang penuh rambut, ia mengibaskannya dengan ekspresi jijik. Sementara Maya tetap berdiri di depannya, mengapit wajah gadis itu dengan tatapan yang tajam dan mengintimidasi.
"Kamu pikir dengan pindah sekolah bisa lepas dari kami? Hah?! Tidak semudah itu, Airin!!" bentak Devi, teman Maya dan Riska, suaranya penuh penekanan dan amarah.
Namun, Airin, gadis berambut bob itu, tetap diam, menunduk tanpa ekspresi.
"Heh! Kalau orang ngomong tuh dijawab! Kamu bisu, ya?!" hardik Maya dengan nada geram, semakin mendekatkan wajahnya ke arah Airin.
Ia mengangkat lengannya tinggi-tinggi, telapak tangannya siap mendarat di pipi mulus Airin yang kini sudah memejamkan mata, menunggu hantaman. Namun, tiba-tiba suara keras menghentikan gerakannya.
“Hey, berhenti!” teriak Alana,
Ia tak bisa lagi menahan diri, rasa empati dalam dirinya memuncak melihat gadis berambut Bob diperlakukan seperti itu. Meski ia tahu risiko menghadapi para pembuli itu, hatinya tak mengizinkannya hanya diam menyaksikan.
Maya menoleh gusar.
Dengan langkah mantap, Alana mendekat, matanya menatap tajam ke arah para pembuli itu.
“Kalian nggak malu, ya? Orang yang nggak bisa melawan malah kalian jadikan sasaran,” katanya, nada suaranya penuh amarah yang ditahan.
Maya menyeringai, terlihat tidak terpengaruh sedikit pun. "Oh, lihat siapa yang datang menjadi pahlawan kesiangan. Apa kamu pikir tindakanmu ini akan membuat kami takut?"
Namun, Alana tetap berdiri tegak, tatapannya tidak surut sedikit pun. "Bukan soal pahlawan atau tidak, tapi tentang apa yang benar dan salah. Kalian mungkin merasa hebat sekarang, tapi semua orang tahu siapa yang sebenarnya lemah di sini. Aku nggak bisa diam saat melihat orang lain diperlakukan sekejam ini. Sudah cukup, tinggalkan dia, atau..."
"Atau apa?!" sela Devi, matanya menyipit penuh tantangan. Ia melangkah maju, mencoba menakuti Alana, tetapi Alana tetap berdiri dengan berani di tempatnya.
Di tengah ketegangan itu, Airin melihat kesempatan. Dengan cepat, ia melepaskan cengkeraman Maya yang masih terpaku menatap Alana, lalu melesat lari, napasnya tersengal, sementara tubuhnya gemetar karena takut. Kakinya melangkah cepat, menjauh dari kelompok yang telah menindasnya..
"Wah, dia kabur, May!" seru Riska, menunjuk ke arah Airin yang kini semakin jauh. Ekspresinya panik, menyadari bahwa 'mangsa' mereka lepas begitu saja.
Maya berdecak kesal, menatap Alana dengan penuh amarah. "Ini semua salahmu," gumamnya, matanya berkobar. "Kau pikir bisa lolos begitu saja setelah merusak 'kesenangan' kami?"
Alana balas menatap tajam, tak gentar sedikit pun. "Kalau kesenangan kalian didapat dari menyakiti orang lain, maka kalian adalah orang paling menyedihkan yang pernah aku temui."
Sementara itu, Airin terus berlari, napasnya tersengal-sengal, matanya sesekali melirik ke belakang, memastikan ia sudah jauh dari para pembuli. Jantungnya masih berdegup kencang, campuran antara panik dan lega karena berhasil meloloskan diri.
Namun, tanpa sadar, ia menabrak seseorang. Tubuhnya tersentak, dan ia nyaris terjatuh ke belakang. Sosok itu adalah Zidan, yang tengah berdiri sambil mengamati peta pada ponselnya. Kaget, Zidan segera mengangkat wajah, matanya bertemu dengan gadis yang kini berdiri di hadapannya dengan wajah pucat dan napas tersengal.
"Hei, kamu nggak apa-apa?" tanyanya khawatir, memerhatikan ekspresi panik gadis itu.
Namun, gadis itu terus melanjutkan larinya tanpa melihat ke belakang.
Zidan lalu menoleh ke arah datangnya gadis itu. Ia melihat para pembuli yang kini mengeroyok gadis cantik yang yang berpapasan dengannya tadi. Matanya menyipit, merasa bahwa apa yang mereka lakukan tidak adil.
Disaat Zidan terpaku mengamati gadis cantik tadi, pembuli itu kembali berteriak.
“Heh! Ibumu nggak ngajarin sopan santun ya?!” seru Maya, lalu mencengkeram kerah Alana dengan kasar. Ia mengayunkan kakinya, menendang perut Alana dengan keras.
Alana terhuyung, memegangi perutnya yang sakit. Namun, ia tak tinggal diam. Ia berusaha berdiri, lalu mendekati Maya dan menjambak rambutnya dengan kuat.
“Ahhh...! Hey, Riska! Devi! Cepat bantuin aku!” jerit Maya.
Riska dan Devi berusaha menarik Alana, tetapi cengkeramannya pada rambut Maya begitu kuat. Mereka semua berteriak, berusaha saling menjatuhkan.
Begitu melihat kejadian itu Zidan langsung melangkah mendekat.
"Biasanya aku nggak suka ikut campur urusan orang sih, tapi kalau sudah main keroyok kayak gini, rasanya nggak adil. Kalian mau aku panggil polisi?!” serunya mengintimidasi pembuli itu.
Mendengar ancaman Zidan, nyali ketiga pembuli itu langsung ciut, dan buru-buru pergi. Sebelum kabur, Maya masih sempat mengancam sambil menunjuk Alana, “Awas kamu! Lain kali aku jambak rambutmu sampai botak!” pekiknya.
Alana tak gentar dengan ancaman itu, ia menatap nanar ke mereka yang kini menjauh sambil mengacungkan jari tengahnya.
Setelah kepergian mereka Alana memegangi kepalanya yang berdenyut akibat jambakan tadi. Sementara Zidan memungut sebungkus rokok yang tergeletak di tanah, lalu mendekat ke Alana.
“Hei, kamu menjatuhkan ini?” tanya Zidan sambil menyodorkan rokok.
Alana mengernyitkan kening. “Itu bukan punyaku.” ucapnya.
“Eh, nggak usah malu gitu. Aku bakal pura-pura nggak lihat kok,” ucap Zidan, tersenyum lebar.
“Itu bukan punya saya!” ketus Alana.
“Oke, oke, jangan marah. Jaga kesehatanmu, ya?” katanya dengan nada bercanda.
Alana menghela nafas kasar. “SUDAH DIBILANG... ITU... BUKAN... PUNYA... SAYA!!!”
Kini nada suaranya meninggi penuh kekesalan yang tak terbendung, lalu ia berbalik meninggalkan Zidan yang masih melongo kaget.
Langkahnya cepat, berusaha mengusir semua emosi negatif yang menggangu hatinya. Kedatangan lelaki itu malah membuatnya semakin jengkel. Walau begitu ia tetep menyempatkan singgah ke warung sayur untuk membeli bahan masakan sebelum melanjutkan pulang ke rumah.
Setelah menyusuri jalan selama 15 menit, akhirnya Alana sampai di depan rumahnya. Dengan segera, ia membuka pintu dan melangKah masuk.
"Aku pulang,” sapa Alana.
Tak ada jawaban Ia memeriksa seisi ruangan yang kosong itu. Sepertinya hari ini tidak ada siapa pun di rumah.
"Hmm... Tidak ada satu orang pun di rumah ya? Yes!! Apakah ini saatnya aku membuat ayam geprek?" Gumam Lana dengan riangnya.
Alana segera membuka kantong belanjaannya, dan membayangkan hidangan pedas yang akan memuaskan rasa laparnya membuat air liurnya menetes.
Namun, saat ia mulai menyiapkan bahan-bahan.
kreeek...
Saat suara pintu kamar di belakangnya terbuka, wajah bahagia nan riang itu lenyap seketika. Alana menoleh perlahan, merasakan kecemasan menyelusup ke dalam hatinya, seiring dengan detak Jantungnya yang kian memompa. Tangannya meremas roknya kuat-kuat. Sorot matanya menajam menampilkan ketakutan yang kian mendalam.
"Lana... Bisa tolong ambilkan obat sakit kepala untuk ayah?" seru Pak Budi, ayah Zayn, dari dalam kamarnya. Suara itu mengingatkan Alana pada betapa tidak berdayanya ia terhadap situasi ini.
"Ah... iya," jawab Lana gugup.
Ia berusaha menahan rasa cemasnya dan bergegas menuju laci obat, tangannya bergetar saat mencari obat yang diminta. Ketika ia menjatuhkan satu botol obat, suara kerasnya mengisi ruangan, dan rasa panik datang menyergapnya.
Dengan napas menderu, Lana melangkah perlahan menuju pintu kamar Pak Budi.
“Kenapa kamu nggak masuk, Lana? Ayo, bantu Ayah minum obat ini,” suara Pak Budi terdengar serak, namun setiap kata yang diucapkannya penuh penekanan, membuat Alana membeku di tempat.
"Ayah susah duduk sendiri, kamu mau bantu Ayah, kan?"
Nada suaranya yang memaksa membuat wajah Lana semakin pucat. Semua keinginannya untuk menghindar seketika lenyap. Dengan ragu-ragu, Lana melangkah ke kamar dan mendekat, menyerahkan segelas air dan obat kepada Pak Budi.
"I-ini o-batnya, Pak," ucap Lana lirih suaranya semakin bergetar ia segera menundukkan pandangan, menghindari tatapan pak Budi yang semakin intens. Bukannya mengambil obat, Pak Budi malah meraih tangan Lana, menelusuri kulit halusnya dengan lembut. Tangan Lana mulai gemetar, udara di kamar terasa semakin berat.
"Tenang saja, Lana," bisik Pak Budi dengan nada yang membuat bulu kuduknya meremang. Lana berusaha menarik tangannya, tetapi pak Budi menahannya. Ia tak bisa menarik lebih kuat takut menjatuhkan nampan yang ia bawa. Dalam hati, ia berdoa agar semua ini segera berakhir, sementara ia terjebak dalam situasi yang membuatnya semakin gelisah.
Tiba-tiba, terdengar suara bising dari luar.
Ting...nong! Ting...nong! Ting...nong! Ting...nong!
Suara bel rumah dipencet bertubi-tubi, seakan memberi secercah harapan bagi Lana untuk bisa keluar dari situasi yang menyesakkan ini.
"Cih! Siapa sih itu?!" Pak Budi menggerutu dengan nada jengkel, tampak kesal terganggu di tengah momen yang diinginkannya.
"Biar saya lihat," ucap Lana cepat-cepat, memanfaatkan kesempatan itu untuk melarikan diri dari situasi tegang di dalam kamar. Tanpa menunggu jawaban, ia langsung bergegas menuju pintu, jantungnya berdebar keras sambil berharap sosok di luar bisa menjadi penyelamatnya kali ini.
"Ceklek...!"
Begitu pintu terbuka, Lana terkejut melihat sosok lelaki menyebalkan yang baru saja ia temui, Zidan, berdiri di depan rumahnya. Pemuda itu tampak sama kagetnya, matanya sedikit menyipit, seolah memastikan bahwa ia tidak salah orang.
"Kamu... bukannya wanita yang punya rokok tadi? Kamu tinggal di sini?" tanya Zidan dengan nada bingung, lalu pandangannya menyapu ke arah dalam rumah. "Katanya ini tempat tinggal pemilik rumah? Apakah beliau nggak ada?"
“Ada perlu apa dengan bi… ah, ibu saya…?” Lana berusaha menjawab dengan tenang meski suaranya masih sedikit bergetar.
Zidan tersenyum, seakan tidak menyadari kecanggungan Lana. “Hari ini aku akan pindah ke rumah bawah,” ujarnya sambil menunjuk ke arah rumah yang dimaksud.
“Ya?” Mata Lana membulat, terkejut mendengar rencana Zidan. Namun, ia segera menetralkan ekspresinya. "Oh, begitu… Kalau begitu, aku antar kamu ke sana, ya," katanya, berharap bisa menghabiskan lebih banyak waktu di luar rumah.
Setibanya di depan rumah baru Zidan, Lana menunjukkan beberapa hal yang perlu diperhatikan. “Password kuncinya 2727. Kalau mau buang sampah, bisa buang di sana,” katanya sambil menunjuk tempat sampah di depan mansion.
Zidan tertawa kecil, memasukkan tangan ke saku dan menatap Lana dengan ekspresi usil. “Kamu baik juga ternyata,” ujarnya santai. “Oh ya, tadi kayaknya kamu dijambak cukup keras, ya? Haha. Kamu nggak apa-apa?”
Lana langsung melotot padanya, merasa tersinggung dengan candaan itu. "Selamat tinggal!" ucapnya singkat, lalu berbalik dan berjalan meninggalkan Zidan dengan langkah cepat.
"Oh iya… Terima kasih ya," jawab Zidan pelan sambil melambaikan tangan, tersenyum canggung melihat respons Lana yang dingin. Namun, Lana tak lagi memperhatikannya, fokusnya sudah teralihkan oleh kegelisahan yang baru saja ia tinggalkan di rumah.
Ia terus berjalan tanpa menoleh, matanya terpaku pada jalan di depannya. Begitu tiba di tangga menuju rumahnya, Lana berhenti sejenak dan duduk di ujung bawah tangga, tubuhnya terasa lelah dan pikirannya kacau. Rasa cemas yang tadi sempat mereda kini kembali menguasai dirinya. Bayangan Pak Budi yang mengusik batas-batas pribadinya kembali hadir.
““Haaah… Aku nggak mau balik ke rumah. Zayn, kapan pulang ya…?” pikir Lana dengan frustrasi, mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba menahan air mata yang mulai jatuh. Hatinya terasa penuh, namun ia tak tahu ke mana harus melarikan diri dari semua beban yang ada.
Tak jauh dari sana, Zidan yang baru saja melangkah keluar rumah barunya, terhenti ketika matanya menangkap sosok Lana yang terisak pelan di ujung tangga. Rasa iba menyelusup ke dalam hatinya; meski mereka baru saja bertemu, ia merasa tak tega melihat wanita itu bersedih.
Sreek…! Suara pintu kaca luar mansion berderit saat digeser, dan tanpa berpikir panjang, Zidan segera meletakkan kemejanya di atas kepala Lana. Lana terkejut, mendongak dengan ekspresi bingung. Matanya yang masih dipenuhi air mata menatap Zidan, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi.
“Eh... apa yang kamu lakukan?” tanya Lana, merasa canggung dengan perhatian mendadak itu.
Zidan tersenyum lembut, “Kamu terlihat kedinginan. Aku pikir ini bisa membantu,” katanya, dengan suara yang ramah dan menenangkan. Sambil berbicara, dia mengedarkan pandangannya ke sekeliling, memastikan tidak ada orang lain yang menyaksikan momen pribadi ini.
Setelah itu, Zidan berbalik, menatap ke luar pintu, berencana untuk merokok sambil memberikan waktu bagi Lana untuk menenangkan diri. Dia tahu bahwa terkadang, kehadiran seseorang bisa lebih menenangkan daripada kata-kata. Meski ia tidak tahu pasti masalah apa yang sedang dihadapi Lana, ia bisa merasakan bahwa beban di pundaknya pasti sangat berat sampai-sampai membuatnya menangis.
Lana seketika tersadar bahwa ia sedang menangis dan langsung menarik kemeja itu untuk menutupi wajahnya yang memerah. “Aduh!! Haa... kenapa aku harus terlihat seperti ini di depannya?! Memalukan sekali!” batinnya, merutuki dirinya sendiri.
Namun, di tengah rasa malunya, ada perasaan yang mulai menghangat di dalam hatinya. Mungkin sebuah kata canggung darinya bisa lebih menguatkan daripada sekadar kata-kata penghibur yang biasa saja. Lana merasakan betapa perhatian Zidan, meski sederhana, memberi sedikit harapan dan penghiburan di saat yang penuh kesedihan ini.
Beberapa menit kemudian, Zidan merasakan dinginnya udara malam yang menusuk hingga ke tulangnya, dengan segera ia menutup pintu kaca itu.
“Ssssh... dingin. Aku pergi dulu, ya? Jangan terlalu lama duduk di situ. Jaga kesehatanmu,” katanya sambil tersenyum sebelum meninggalkan Alana.
Alana mengangguk pelan namun tetap tidak beranjak dari tempatnya. Saat ia mencoba menenangkan pikirannya, tiba-tiba terdengar langkah kaki mendekat, dan pintu mansion terbuka lebar. Zayn muncul di ambang pintu, terlihat lelah setelah bimbel. Ia terlonjak saat melihat Alana duduk menunduk di tangga. Namun rasa kagetnya segera tergantikan oleh rasa khawatir saat ia melihat Alana yang tampak kuyu dengan mata bengkak.
“Alana? Kenapa kamu di sini?” tanyanya, langkahnya cepat mendekati Alana. “Kamu terlihat tidak baik. Apa yang terjadi?”
Alana mengangkat kepala sedikit, mencoba memberi senyum cerah, senyum yang selalu ia tampilkan untuk menutupi rasa sakitnya.
“ Haha..aku nggak papa kok, Za. Cuman kecapean aja, biasa lah” jawabnya, berusaha terdengar meyakinkan meski hatinya bergetar.
Zayn menatapnya dengan skeptis, tidak terpengaruh oleh senyum palsu itu.
Aku hapal dengan senyuman itu, pasti ada yang kamu sembunyikan. Aku harap kamu tidak memendam rasa sakitmu sendiri La, pikirnya dalam hati.
“Ayo kita masuk, di sini dingin,” ucap Zayn, mengulurkan tangan untuk menggenggam tangan Alana. Alana hanya mengangguk, mengikuti langkah Zayn menaiki tangga menuju pintu masuk rumah. Setiap langkah terasa berat, namun kehadiran Zayn memberikan sedikit ketenangan.
Sesampainya di dalam Alana segera bergegas menuju kamarnya dan berbaring di atas ranjang. Matras yang empuk dan selimut yang hangat membuatnya merasa nyaman. Dalam sekejap, ia terbuai dan terlelap dalam tidur yang nyenyak.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!