NovelToon NovelToon

Membiayai Cowok Mokondo

Bagian 1

Di sebuah ruangan megah yang berada di salah satu gedung pencakar langit di tengah kota, tampak seorang wanita muda sedang merapikan dokumen-dokumen yang berserakan di atas meja kerjanya. Wanita itu bernama Keira Azzahra, seorang CEO dari perusahaan teknologi terkemuka, PT Inovasi Nusantara. Dengan usia yang masih tergolong muda, Keira sudah berhasil membawa perusahaannya mencapai kesuksesan luar biasa.

Waktu sudah menunjukkan pukul 21.36 malam, dan semua karyawan lain sudah pulang sejak beberapa jam yang lalu. Hanya lampu-lampu redup di sekeliling ruangan yang menemani kesendiriannya. Sembari merapikan barang-barangnya, Keira menghela napas panjang. Ini hari yang melelahkan. Berkas-berkas kontrak dan laporan yang tebal membuat punggungnya terasa kaku.

Saat ia meraih tasnya, tiba-tiba ponselnya bergetar di meja. Sebuah notifikasi pesan masuk dari aplikasi chat berbunyi. Ia membuka layar dan melihat nama yang tertera Reno.

> “Sayang, kamu udah pulang belum?”

Keira tersenyum kecil. Reno, pacarnya, selalu menanyakan kabarnya setiap malam. Meski sibuk, perhatian Reno selalu berhasil menghangatkan hatinya. Ia pun mengetik balasan dengan cepat.

> “Belum, baru mau pulang nih.”

Tak butuh waktu lama, balasan dari Reno pun muncul.

> “Sayang, temen-temen aku punya motor baru. Aku boleh nggak pinjem uang kamu dulu buat beli motor, plisss? Nanti kalo aku udah kerja aku ganti, ya.”

Keira terdiam membaca pesan itu. Hatinya mencelos. Permintaan seperti ini bukan pertama kalinya ia terima dari Reno. Awalnya, perhatian Reno terasa tulus, namun semakin lama, permintaan-permintaan ini mulai terasa aneh. Keira ingat beberapa bulan lalu, Reno juga meminjam uang untuk “bisnis kecil-kecilan” yang sampai sekarang tak ada kabarnya. Dan sekarang, uang untuk beli motor?

Ia menghela napas. Ia tahu betul Reno belum punya pekerjaan tetap, tapi permintaan ini membuat pikirannya bergejolak. Apakah Reno benar-benar sayang padanya atau hanya memanfaatkan dirinya? Sembari memandang pesan itu, Keira menimbang-nimbang apa yang harus ia lakukan.

Keira mengetik cepat balasannya, jari-jarinya menari di atas layar ponsel.

> “Bukannya baru beberapa bulan lalu kamu ganti motor? Masa mau ganti lagi, itu kan masih baru!”

Matanya menatap layar ponsel, menunggu jawaban dari Reno. Mungkin dia berharap Reno akan memberi alasan yang masuk akal, atau setidaknya merespon dengan nada lebih lembut. Namun, apa yang ia dapatkan jauh dari ekspektasinya.

> “Kamu ini!” balasan dari Reno datang dengan cepat. “Pelit banget sama pacar sendiri! Aku tuh malu teman-teman aku punya motor baru sedangkan aku masih motor lama! Lagian kamu kan juga banyak duit! Jangan perhitungan gitulah!”

Keira terpaku membaca pesan itu. Hatinya seperti ditusuk. Kata-kata Reno yang penuh kemarahan dan tanpa sedikit pun empati membuat dadanya sesak. Pelit? Perhitungan? Padahal, selama ini Keira selalu berusaha mendukung Reno semampunya. Ia tak pernah sekali pun menghitung atau mengeluh soal uang yang ia keluarkan demi membantu Reno. Tapi setiap kali ia menolak, ini yang selalu terjadi, Reno akan mengomel, memaksa, dan kadang bahkan sampai mengancam untuk pergi.

Keira terdiam, ponselnya masih tergenggam erat. Ia berusaha menenangkan diri, mengatur napas yang mulai tak beraturan. Matanya terasa panas, namun ia menahan diri agar tidak menangis. Apakah ia sedang bersama seseorang yang benar-benar menyayanginya? Ataukah Reno hanya menginginkannya karena alasan lain?

Reno dulu bukan seperti ini. Ketika mereka pertama kali bertemu, ia adalah sosok yang hangat, perhatian, dan selalu mendukung Keira dengan tulus. Keira masih ingat saat Reno sering mengatakan betapa bangganya dia memiliki pacar yang cerdas dan sukses. Tapi seiring berjalannya waktu, semua itu mulai berubah. Reno semakin sering meminta uang, dan setiap penolakan Keira selalu berakhir dengan pertengkaran yang sama.

Keira menggigit bibirnya, menahan rasa sakit yang perlahan menyelimuti hatinya. Ia tahu, hubungannya dengan Reno sudah tak sehat lagi. Setiap pertengkaran, setiap makian, semuanya seolah menjadi rutinitas yang tak ada akhirnya.

Ia mengetik balasan perlahan, berusaha tetap tenang meski jari-jarinya sedikit bergetar.

> “Ren, aku bukannya pelit. Aku cuma nggak mau kamu boros untuk hal-hal yang nggak perlu. Motor kamu masih bagus dan baru, kenapa harus ganti? Aku nggak bisa kasih uang kali ini, maaf.”

Jantung Keira berdebar-debar saat mengirim pesan itu. Ia tahu, ini akan memicu reaksi yang lebih buruk. Dan benar saja, beberapa detik kemudian, balasan dari Reno masuk lagi.

> “Sialan kamu, ra!” Reno langsung memaki. “Kamu nggak ngerti perasaan aku sama sekali! Temen-temen aku semua ngetawain aku! Cuma kamu doang yang nggak peduli! Kalo gini terus, ngapain juga kita pacaran? Mending aku cari cewek lain yang nggak perhitungan kayak kamu!”

Kata-kata itu menusuk tepat ke hati Keira. Reno selalu menggunakan ancaman itu setiap kali tak mendapatkan apa yang ia inginkan. Dan entah kenapa, meski Keira tahu itu hanya gertakan, ancaman itu masih saja membuatnya takut.

Ponsel di tangannya bergetar lagi, tetapi Keira tak segera membukanya. Ia memandang keluar jendela besar yang memperlihatkan pemandangan malam kota. Lampu-lampu jalanan berkelap-kelip, mobil-mobil berlalu-lalang, dan gedung-gedung tinggi berdiri kokoh, semua tampak begitu damai. Namun, di dalam hatinya, perasaannya berantakan, kacau, dan penuh dengan kebingungan.

“Kenapa jadi begini?” bisiknya pelan, suara yang nyaris tak terdengar di ruangan sunyi itu.

Reno pernah menjadi seseorang yang membuatnya merasa istimewa. Tapi sekarang? Keira merasa ia hanya menjadi mesin ATM berjalan. Dan yang lebih parah lagi, meski Keira tahu semua ini salah, ia tak bisa benar-benar lepas dari Reno. Karena meski Reno sering kali menyakitinya dengan kata-kata kasar, ada bagian dari dirinya yang masih berharap, mungkin, hanya mungkin, Reno akan berubah kembali seperti dulu. Tapi harapan itu semakin hari semakin tipis.

Keira menelan ludah, menatap pesan terakhir dari Reno yang masih terpampang jelas di layar ponselnya. Kata-kata itu menggantung di udara, menyisakan luka yang tak terlihat. Apa yang harus ia lakukan? Terus bertahan dengan Reno yang hanya membuatnya menderita, atau berani mengambil keputusan yang bisa mengakhiri segalanya?

Bagian 2

Keira membuka pintu apartemennya dengan wajah lelah. Begitu tiba di rumah, ia berharap bisa beristirahat dan melupakan pertengkarannya dengan Reno malam ini. Namun, bayangan percakapan terakhir mereka masih terngiang-ngiang di benaknya. Mengapa semuanya bisa berubah menjadi seburuk ini?

Ia meletakkan tas kerjanya di sofa, melangkah ke kamar tidur, dan melemparkan tubuhnya ke atas kasur yang empuk. Pandangannya menerawang menatap langit-langit yang gelap. Reno belum menghubunginya lagi sejak percakapan tadi. Mungkin dia marah, mungkin dia kesal. Tapi jujur, Keira merasa lebih tenang tanpa pesan-pesan makian itu.

Sembari berbaring, Keira menarik napas panjang, mencoba mengusir semua pikiran yang berputar-putar di kepalanya. Perlahan, ia menutup mata dan membiarkan kantuk menyelimutinya. Namun, ketika malam semakin larut dan suasana apartemennya sunyi, tiba-tiba terdengar suara ketukan keras di pintu depan.

Keira tersentak bangun. Detik itu juga, rasa kantuknya hilang seketika. Siapa yang datang malam-malam begini? Dengan hati-hati, ia bangkit dari tempat tidur dan melangkah menuju pintu. Ketukan itu terdengar lagi, kali ini lebih keras.

“Siapa?” tanyanya dengan suara pelan, menahan rasa gugup.

Tak ada jawaban, hanya ketukan yang terus berulang. Keira memeriksa interkom dan melihat sosok yang tak asing berdiri di depan pintunya Reno. Hatinya berdegup kencang. Apa yang dia lakukan di sini? Dan… dia terlihat tidak stabil. Wajah Reno memerah, matanya setengah terpejam, dan tubuhnya sedikit terhuyung.

Dengan ragu, Keira membuka pintu perlahan. Begitu terbuka, aroma alkohol yang kuat langsung menyergap indra penciumannya. Reno terhuyung masuk ke dalam apartemen tanpa menunggu undangan dari Keira. Ia langsung menutup pintu dengan keras dan tanpa mengatakan apa-apa, Reno tiba-tiba memeluk Keira erat.

"Re-Reno, kamu ngapain di sini?" Keira berusaha mendorongnya, namun pelukannya begitu kuat.

“Keira… kamu, kamu nggak boleh tinggalin aku,” gumamnya dengan suara yang serak. Matanya merah, dan ia mengendus seperti seseorang yang kehilangan arah.

Reno menarik Keira ke dalam pelukannya lebih erat, seolah takut wanita itu akan menghilang jika ia melepaskan. Lalu, tanpa aba-aba, ia memiringkan wajahnya dan mulai menempelkan bibirnya ke bibir Keira, menciuminya dengan kasar.

“Reno! Stop!” Keira mendorong tubuhnya dengan panik, tetapi Reno hanya semakin mempererat cengkeramannya. Ciuman itu bukanlah ciuman yang lembut seperti biasanya, melainkan ciuman yang penuh emosi, penuh keputusasaan, dan bercampur dengan bau alkohol yang membuat Keira mual. Dia berusaha keras melepaskan diri, tapi kekuatan Reno yang mabuk malah menjadi semakin sulit dilawan.

“Aku… aku sayang kamu, Keira,” gumam Reno di sela-sela ciumannya. “Kamu nggak boleh tinggalin aku!”

Keira merasa seluruh tubuhnya bergetar. Reno dalam kondisi seperti ini benar-benar menakutkan. Ia mencoba bicara dengan suara lembut, meski ketakutan mulai merayap di benaknya.

“Reno, tolong… kamu mabuk. Kamu nggak sadar apa yang kamu lakukan,” ucapnya dengan tenang, berharap Reno akan sadar dan mau mundur.

Namun, Reno malah mengabaikannya. Tangannya mulai bergerak liar, meraba-raba tubuh Keira seakan ingin memastikan bahwa wanita itu nyata, bahwa Keira ada di sana bersamanya. Keira merasakan punggungnya bersentuhan dengan tembok di belakangnya. Ia terjebak. Tidak ada jalan keluar.

“Lepasin aku, Reno! Aku serius!” Suara Keira mulai meninggi, matanya mencari-cari cara untuk bisa melepaskan diri dari kekangan ini.

Tapi Reno hanya menatapnya dengan pandangan kabur, seolah-olah tak mengerti apa yang Keira katakan. Tatapan mata Reno berubah aneh kehilangan sinar hangat yang biasanya membuat Keira merasa nyaman. Yang ia lihat malam ini hanyalah kekosongan dan kemarahan yang tak terkontrol.

“Jangan tinggalkan aku, Keira,” bisiknya lagi. Suaranya rendah dan serak, hampir seperti ancaman. “Kamu milik aku.”

Dalam sekejap, ia tahu bahwa Reno malam ini bukanlah Reno yang ia kenal. Pria ini berbeda pria yang ada di hadapannya adalah seseorang yang dikuasai oleh emosi negatif dan tak terkendali. Dan jika ia tidak melakukan sesuatu, situasi ini bisa berakhir dengan sangat buruk.

Mengumpulkan keberanian, Keira menggunakan seluruh tenaganya untuk mendorong Reno sekuat mungkin. Pria itu tersentak mundur beberapa langkah, terhuyung dan hampir jatuh.

“Reno, keluar dari sini sekarang,aku capek!” teriak Keira dengan suara yang terdengar lebih berani dari yang sebenarnya ia rasakan.

Reno menatapnya, bingung dan terluka. Seolah tak percaya bahwa Keira benar-benar akan menolaknya. Tapi saat ia melangkah maju lagi, mencoba mendekat, Keira mengangkat tangan, menahannya.

“Kalau kamu nggak pergi sekarang, aku akan telepon polisi!” ancamnya.

Kata-kata itu akhirnya menghentikan Reno. Ia menatap Keira, lalu ke tangannya yang gemetar, dan perlahan, kesadaran tampaknya mulai meresap ke dalam pikirannya. Dengan langkah terseok, Reno mundur menuju pintu.

“Kamu… kamu beneran mau ngelakuin ini ke aku, Keira?” gumamnya, suaranya terdengar patah. Namun, Keira tak bergeming. Matanya menatap Reno dengan tegas, tak lagi ada rasa takut di sana.

Bagian 3

malam itu ketika Keira berkata bahwa ia lelah, Reno langsung naik pitam. Amarah di matanya membara seperti api yang tak bisa dipadamkan, dan sebelum Keira sempat menyadari apa yang terjadi, Reno sudah menarik tubuhnya dengan kasar. "Aku capek, Ren," ia mengulangi, berharap Reno akan berhenti, akan mendengarkannya. Namun, yang ia dapatkan hanyalah dorongan keras ke arah tempat tidur.

Reno mendorongnya ke kasur dengan kekuatan yang membuat tubuh Keira terhempas. "Aku udah nggak tahan lagi, Ra!" serunya dengan nada yang begitu penuh nafsu dan amarah, membuat Keira merasakan takut.

"Reno, tunggu... jangan... ahh" ucapannya terhenti ketika bibir Reno dengan paksa mencium lehernya "ahhh..." gigi-giginya menggigit kulit halus Keira hingga terasa perik. Tangannya mencengkram bahu Keira, menahan tubuhnya agar tidak bisa bergerak. Keira berusaha meronta, mendorong tubuh Reno sekuat yang ia bisa, tapi percuma. Pria itu lebih besar, lebih kuat, dan terlalu penuh dengan keinginan yang tak bisa dilawan. "ahhh... cukup.. ren.. emm"

Keira menahan air matanya saat Reno memperlakukannya dengan cara yang begitu kasar dan egois. Bukan ciuman lembut, bukan pelukan hangat hanya dorongan penuh kemarahan dan keinginan untuk memiliki, tanpa peduli dengan apa yang Keira rasakan. Pakaian mereka terlepas, dan yang Keira rasakan

hanyalah rasa sakit, ketidak berdayaan, dan kehampaan.

Ia berusaha memalingkan wajahnya, menahan tangis yang hampir meledak. "ahhh... Aku nggak mau, Ren... tolong, berhenti," bisiknya lirik, tapi Reno tak mendengar, atau mungkin memilih untuk tidak peduli. Di matanya, kanya ada keinginan untuk menguasai, untuk memuaskan egonya yang terluka. "ahh.. sakit..pelan pelan.. "

"Aku sayang kamu, Ra... Aku butuh kamu... kamu milik aku," desahnya dengan suara rendah di telinga Keira, tetapi kata-kata itu tidak lagi terdengar manis. Kata-kata itu hanyalah jeratan yang semakin menjerat hati dan pikiran Keira.

Setelah semuanya selesai, Reno hanya berbaring di sebelahnya, tertidur seolah-olah tidak ada yang terjadi. Sedangkan Keira, ia hanya bisa terbaring kaku, tubuhnya terasa berat dan lelah. Matanya menatap kosong ke arah langit-langit. Perih yang dirasakan tak hanya di tubuh, tapi jauh di dalam hatinya. Ini bukanlah pertama kalinya Reno memperlakukannya seperti ini, tapi entah kenapa kali ini terasa berbeda-lebih menyakitkan, lebih menghancurkan.

Keira merasa hampa. Perasaan yang dulu ia rasakan terhadap Reno kini berubah menjadi sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Cinta? Itu bukan cinta. Hanya ketakutan yang mengurungnya dalam hubungan ini, ketakutan akan apa yang mungkin terjadi jika ia mencoba melawan, mencoba meninggalkan Reno.

"Kenapa semua ini terjadi padaku?" gumamnya pelan, suara yang hampir tak terdengar di antara kesunyian, Tubuhnya terasa dingin meski selimut menutupi dirinya. Air matanya mengalir pelan, membasahi bantal di bawah kepalanya. Ia merasa kotor, tercemar, dan tidak berharga

pagi harinya...

Hari ini, untuk pertama kalinya, Keira benar-benar merasakan kelelahan yang mendalam, seolah-olah semangat hidupnya sudah tercabut habis. Ia tidak ingin bangun, tidak ingin bergerak, dan yang paling ia inginkan saat ini adalah menghilang-lenyap dari dunia ini, dari hubungan yang penuh kekerasan ini, dan dari cengkeraman Reno yang semakin menyesakkan. Saat matahari semakin tinggi, Reno akhirnya terbangun. Dengan gerakan malas, ia melirik ke arah Keira yang masih terbaring kaku. "Ra, kamu kenapa diam aja?" tanyanya, suaranya terdengar biasa saja, seolah-olah tidak ada yang salah dengan apa yang ia lakukan semalam.

Keira menoleh pelan, menatap pria itu dengan pandangan kosong. "Nggak apa-apa," jawabnya lirih, menahan semua emosi yang berkecamuk di dalam dirinya.

"Bagus deh kalo nggak ada apa-apa. Aku mau mandi dulu," Reno beranjak dari tempat tidur tanpa sedikit pun rasa bersalah, dan berjalan menuju kamar mandi. Tak ada permintaan maaf, tak ada kata-kata penyesalan. Hanya rutinitas biasa, seolah-olah yang terjadi semalam hanyalah sesuatu yang normal.

Begitu pintu kamar mandi tertutup, Keira meneguk napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih berpacu. Ini bukan pertama kalinya, tapi kali ini benar-benar membuatnya sadar, ia tidak bisa terus seperti ini. Kalau ia tetap bertahan, dirinya akan semakin hancur, hukan hanya fisik tapi juga mentalnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!