"Apa maksudnya ini, Arman?" Dewi berdiri dari duduknya, tangannya mengepal, tubuhnya gemetar karena marah setelah mendengar kata-kata dari Nyonya Bagyo, Ibu Arman.
Dia telah menunggu moment ini dengan dada berdebar serta hati yang berbunga-bunga, sejak sebulan yang lalu. Berdandan habis-habisan untuk hari bersejarah sekali seumur hidup ini, tapi apa! Ingin melamar Dita untuk Arman?
"Maafkan aku, Dewi?" Arman berkata pelan dan menunduk, tak berani menatap Dewi terang-terangan. Orang-tuanya tidak keberatan menikahkan dirinya dengan anak dari Kolega mereka, karena sebuah janji. Tapi kenapa baru bilang kemarin kalau mereka hanya akan setuju, jika dia menikahi Dita si anak kedua, dari pada Dewi si anak pertama yang telah dikencaninya selama 4 tahun, diam-diam.
Dewi menatap nanar kepada semua yang hadir di ruang keluarga hunian indahnya. Khususnya adik semata wayangnya, Dita. Sejak orang tua mereka meninggal karena kecelakaan, dirinya lah sebagai tulang punggung untuk membesarkan dan membiayai hidup mereka berdua agar bisa makan dan hidup layak. Bagaimana adik oon-nya ini tega mengkhianatinya.
"Dita, katakan ada apa ini? Apa kamu sudah tau bahwa lamaran hari ini memang untuk kamu?" tanya Dewi.
Dita berkaca-kaca menahan air mata, teringat kata Arman yang mengatakan bahwa sebenarnya dia lebih mencintai dirinya daripada Dewi. Kakaknya yang berkepribadian keras tidak disukai oleh orang tua Arman. Jika mereka menikah, maka Arman akan menjadi suami di bawah telunjuk istri dan itu menyalahi syari'at.
Apalagi jabatan Dewi lebih tinggi dari Arman, kemungkinan itu memang ada. Dita telah melihat dengan mata kepalanya sendiri, bagaimana Dewi membentak Arman saat membuat kesalahan.
Namun bukan itu masalahnya, Dita telah jatuh cinta pada Arman karena dari kecil dia dimanja oleh laki-laki dewasa itu, dan telah banyak mencium dirinya. Kata Arman, kalau dia menikahi Dewi maka Arman tidak akan pernah menciumnya lagi sampai kapanpun. Karena status Dita akan jadi selingkuhan, bukan lagi adik kesayangan. Bukankah lebih baik jadi istri sah, sekalian?
"Jawab, Dita!" bentak Dewi melihat kemurungan adiknya. Dia tau bahwa setelah kematian orang tua mereka, Dita sangat dimanja oleh Arman. Dewi tidak mempersoalkan kedekatan mereka karena Arman tidak pernah melampaui batasan di depannya. Dia kira itu hanya sebagai rasa perhatian atas kehilangan kasih sayang dari sosok seorang ayah, disaat Dita masih sangat muda. Lagipula Arman memperlakukan Dewi lebih intim. Jadi inikah namanya, habis manis sepah dibuang? Setelah dirinya disedot sarinya, ingin memetik adik kandungnya sendiri, bunga yang masih segar?
"Maaf, Tante! Saya tidak setuju Dita menikah dengan Arman," kata Dewi melihat adiknya diam saja dengan raut ketakutan.
Dari gambaran wajah adiknya itu, Dewi akhirnya paham kalau Dita juga menyukai Arman sebagai laki-laki. Tapi Arman adalah pria bajingan, dan tidak mungkin juga dia beberkan disini perbuatan bejat mereka yang telah sering berhubungan badan selama ini. Bukankah itu membuka aibnya sendiri yang tidak bisa menjaga harga diri?
"Dewi! Disini bukan kamu yang menentukan! Lebih baik tanya Dita, apakah dia menerima atau menolak lamaran ini," kata Nyonya Bagyo
"Hah, kenapa baru sekarang! Kenapa tidak bulan lalu saat keputusan menikah baru dibuat?"
Dia pontang panting memutar otak bagaimana membesarkan bisnis jadi seperti sekarang ini, sampai mengorbankan masa mudanya. Bisa-bisanya semua orang mengkhianatinya. Bisa-bisanya calon mertuanya tidak menghargai usahanya, bisa-bisanya pacar rasa suami ini mengabaikan perasaannya. Bisa-bisanya, adik kandungnya ini mencuri kekasihnya.
Dita bertubuh dan bermental lemah, hari ini adalah pertama kali Dewi terpaksa membentaknya. Kalau dia yang ditanya, bisa dipastikan adik oon-nya ini akan setuju. Akh, kenapa aku baru menyadarinya saat ini kalau Dita mencintai si Arman bajingan ini, keluh Dewi.
"Dita masuk kamar! Kamu harus lulus kuliah dulu baru mikirin nikah!" Dewi berkata tegas. Lagipula si Dita masih perawan, masa dapatnya laki-laki bekas kakaknya.
"Kak!" bantah Dita.
"Apa! Mau melawan Kakak?" Dewi melotot padanya.
"Tapi Dita udah telat datang bulan."
DUAR!
APA!
Suaranya pelan tapi semua orang yang mendengarnya terperanjat bagai disambar petir, bahkan Arman si bajingan. Kapan dia meniduri gadis yang dia jaga kepolosannya ini? Lagian sejak kapan peluk cium bisa bikin wanita hamil. Kalau bisa, bukankah dia yang nyata-nyata berhubungan badan dengan Dewi sudah punya anak tiga sekarang?
___________
"Arman!"
Dewi masih tidak percaya kalau Dita hamil anak Arman. Dia mendapat jatah dari Dewi seminggu 5 kali dan setiap kali tidak pernah cukup sebelum pelepasan berkali-kali. Apakah pria hyper bajingan ini masih belum puas sehingga meniduri Dita juga, biar genap 7 kali seminggu. Ya Tuhan....
Tapi kalau dipikir-pikir, bisa jadi itu benar jika dilihat dari gairah Arman yang bahkan dirinya kadang-kadang, kalau lagi banyak kerjaan tidak bisa membendungnya.
Seingat Dewi, baik dirinya maupun Arman tidak pernah pakai pengaman saat berhubungan, kenapa dia tidak hamil? Kenapa si Dita bisa hamil?
Arman menatap wajah Dita yang pias, "Benar, Kak." jawab gadis itu pada Dewi sebelum Arman membuka mulutnya.
Lalu kemudian menatap Arman dengan ekspresi memohon seperti saat dia menginginkan sesuatu yang sangat diinginkannya. Arman sangat familiar dengan ekspresi Dita ini.
Hm.
Apakah ini taktik agar Dewi setuju, pikir Arman. Karena dia tau betul Dita tidak punya laki-laki selain dirinya. Tapi kalau dia mengaku telah melecehkan gadis sepolos Dita, bukankah dirinya akan dianggap bajingan?
Biarlah, toh itu kenyataannya. Dia sudah bosan menjaga sikap mengalah bahkan sampai merendah pada Dewi. Disuruh sana disuruh sini, kalau salah pakai diomeli. Seperti pria tidak punya harga diri sama sekali, beh. Arman lebih suka istri yang tunduk pada suami seperti Dita yang selalu menghormatinya. Sopan dan lembut hatinya, baik Budi baik parasnya. Masih segar dan lebih montok dari Dewi kemana-mana.
Arman menatap kedua orang tuanya, "Maaf Ma, Pa." Ucapnya penuh rasa bersalah.
Orang tua Arman saling memandang kemudian menggeleng jijik menatap putra mereka. Tapi walaupun caranya tidak benar biarlah, yang penting menantu mereka bukan Dewi, si perempuan angkuh ini. Saham Arman jika digabung dengan saham Dita, maka yang layak duduk di kursi presiden adalah Putra mereka juga.
Dita lega, Kak Arman mengerti maksudnya. Ketampanan dan kelembutan Kak Arman memang tidak pantas untuk Dewi. Bahkan orang tua Kak Arman segan pada bos wanita otoriter ini. Hm, dasar perempuan kasar dan sok kuasa, cibir Dita dalam hatinya namun dipermukaan melirik Dewi dengan wajah lesu.
Dewi tidak melihatnya, perhatian nya pada Arman yang belum menjawab panggilannya. Bukankah bajingan ini berutang maaf padaku, kenapa malah nyengir ke orang tuanya. Kalau bukan karena kebugaran tubuh Arman, laki-laki kurang akal ini bukanlah tipenya. Dewi mengharapkan seorang pria yang cergas, smart dan bisa memikul tanggung jawab besar perusahaan. Pria yang bisa menggantikan dirinya sebagai presiden direktur, agar setelah menikah, dia bisa fokus di rumah mengurus keluarga.
Sebenarnya sebagai wakilnya di perusahan, Arman dianggap sangat kurang kompeten. Tapi karena mereka diduga sepasang kekasih dan Saham keluarga Arman terbanyak ketiga setelah Dita diposisi kedua, makanya kepala-kepala devisi dan pemegang saham gabungan menutup sebelah mata mereka.
"Arman." panggil Dewi lagi. Kenapa mereka menganggap dirinya tidak ada disini.
Arman menoleh, gugup. "Dewi, maaf! Aku tidak mungkin lari dari tanggung jawab, kan? Seandainya kamu juga hamil, aku pasti akan bertanggung jawab. Tapi kamu tau sendiri, bahwa kita bersih tidak pernah macam-macam," katanya dengan wajah innocent.
"........" Tidak pernah macam-macam? Dewi tidak dapat berkata-kata, hanya matanya berkaca-kaca. Jadi dianggap apa hubungan mereka selama ini?
Bukankah barusan di kamar saat menunggu kedatangan orang tua Arman membawa seserahan untuk mahar, mereka masih sempat bercinta penuh gairah. Setelah libur nge-seks seminggu karena direpotkan dengan urusan perusahaan ditambah urusan pernikahan yang akan diadakan lusa, apakah itu maksudnya salam perpisahan?
"Dewi," panggil Ibu Arman kemudian.
Ayah Arman, si pendiam ini adalah laki-laki yang tidak punya sikap. Bukan karena dia agung dan tidak banyak bicara. Hanya tidak berani berseteru dengan orang-orang yang bersengketa dengannya. Apa-apa selalu menyodorkan istrinya jika berhadapan dengan masalah. Mirip Arman banget sifatnya. Jaga image berwibawa tapi siapa yang tau kalau dia juga bajingan di belakang istrinya.
"Kami sebagai orang tua Arman wajib memenuhi janji dengan orang tua kalian, dulu. Tapi tidak berjanji bahwa Arman harus menikahi kamu. Masih ada Dita pilihan alternatif jika kami tidak puas dengan kamu," lanjut Ibu Dewi dengan raut bersalah yang dibuat-buat.
"Jadi sebaiknya kamu mengalah demi kebahagiaan adikmu yang saling mencintai dengan Arman."
Hah! Dewi mengepal tangan di bawah, tubuhnya lemas sejak dia berdiri namun di kuat-kuatin. Kenapa semua berkomplot menentang dirinya?
_________
Pernikahan akan diadakan di Restoran Hotel yang baru akan lounching, lusa. Peresmiannya disamakan dengan pernikahan Dewi dan Arman, yang diatur mendadak. Mengundang kolega serta tamu-tamu langganan mereka selama ini, agar hemat biaya. Bukankah sama dengan, sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui.
Dewi adalah yang mengusulkan agar mereka menikah secara sederhana. Tapi kenapa Arman malah membiarkan orang tuanya melamar Dita, disaat-saat terakhir? Apa mungkin selama ini, ibu bapak Arman tidak tau putra mereka mengencani dirinya?
"Apa kata para tamu jika pengantin wanitanya tidak sama dengan yang di email undangan?" tanya Dewi serak dengan bibir bergetar.
"Tidak apa-apa mereka bisik-bisik sebentar. Setelah itu juga akan diam dengan sendirinya jika kamu jelaskan, bahwa semula kedekatan kamu dan Arman hanya sebatas rekan kerja. Salahkan saja Arman dan Dita yang selama ini tidak jujur dengan hubungan mereka, makanya ada kesalahpahaman. Lagipula tidak ada skandal yang terekspos di permukaan antara kamu dan Arman, kan!" ujar Ibu Arman tidak mengindahkan kesakitan di wajah Dewi. Dia pantas mendapatkannya, pikir wanita baya itu.
Lalu nama baikku bagaimana, pikir Dewi. "Mau ditaruh dimana mukaku? Apa aku mau menahan malu sendirian!" teriaknya.
Saking kuatnya suara Dewi, semua orang tersentak kaget. "Dewi," desis Arman kasihan, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Ibunya telah mengancam agar jangan banyak bicara yang akan merugikan kedudukannya di perusahan.
"Apakah ini balasan kalian atas semua susah payahku?" Dewi menatap semua orang bergantian. Kemudian fokus ke Dita, si adik oon-nya.
"Kak," rengek gadis itu berjalan ke Arman, ketakutan. Duduk di samping prianya. Padahal kursi tunggal, dia menjejalkan dirinya menempel ke Arman. Arman memeluk pundaknya, mengusap ujung kepalanya. Entah apa yang dibisikkan Arman ke telinganya, Dita mengangguk kaku sambil melirik takut-takut ke Dewi.
Memangnya kamu saja yang bekerja keras di Perusahaan, sinis dalam hati Nyonya Bagyo. "Sudah, begitu saja! Arman menikah dengan Dita atau batalkan acara pernikahan. Toh niatnya pertama lounching restoran baru, kan!"
"Makanya urusan perusahaan jangan disangkut pautkan dengan urusan pribadi!" tegas Ibu Arman yang mungkin telah dipercayakan sebagai jubir pada kesempatan ini. "Apa kamu lebih suka adikmu yang menanggung malu, hamil gak ada suaminya?"
Bagaimana mungkin, pikir Dewi. Meskipun dia menyesal telah diambil perawannya tapi lebih menyesal lagi kenapa adiknya ini mau dimanfaatkan. Dewi tidak bodoh ada maksud terselubung, kenapa Ibu Arman kekeh mengambil Dita jadi menantu. Kalau putranya kompeten, dia pun akan dengan suka rela mengundurkan diri sebagai presiden direktur.
"Baik....," Dewi tak sanggup lagi membendung air matanya jatuh di pipi tirusnya.
Dewi memang kurus hampir tidak berdaging, matanya cekung seperti mata orang kurang tidur. Tapi semua demi siapa dia bekerja keras? Membesarkan nama perusahaan ditambah memanjakan rudal Arman. Dia rela kekurangan jam tidur dan meminum obat penambah tenaga yang sebenarnya tidak baik untuk kesehatan lambung.
"Kalau kamu memang ingin sekali menikahi lelaki bajingan ini, silahkan!" kata Dewi pada Dita, dia terpaksa menyerah pada keadaan.
"Kenapa kamu bilang putraku bajingan?" Ibu Arman bertanya marah.
"Apa kamu marah aku katai bajingan, Arman?" Dewi tidak mengindahkan wanita tua gak tau diri itu. Putranya lebih tau seperti apa dirinya.
"Bu, sudahlah!" Akhirnya ayah Arman buka suara mendelik ke istrinya. Mungkin merasa sesama bajingan, makanya dia tidak mau memperpanjang masalah bajingan.
"Kamu urus sendiri keperluan mu!" ketus Dewi pada Dita. Setelah itu dia naik ke lantai dua meninggalkan orang-orang yang saat ini paling dibencinya.
"Assalamualaikum." Suara seorang pria masuk ke ruang tengah.
"Om Alan," panggil Dita Lirih. Dia ingin lari ke pelukan pria itu karena kerinduan setelah tiga Minggu tidak berjumpa, tapi ada Arman serta calon mertuanya jadi diurungkannya niat itu. Dia udah gak bisa manja lagi kelaki-laki selain Arman.
Alan mengerut kening karena merasa suasana yang agak mencekam. Dia mengenal Arman sebagai salah satu pemegang saham sekaligus wakil direktur di perusahaan yang Dewi pimpin. Dan kehadirannya juga dipanggil oleh Dewi untuk jadi saksi pernikahannya, lusa. Tapi kenapa Dita yang duduk di samping Arman, dan kenapa wajah semua orang cemberut.
"Mana Dewi, Dit?" tanya Alan pada Dita.
"Di lantai atas lihat saja di kamarnya," jawab Dita. Tidak mungkin dia meninggalkan calon suami serta calon mertuanya di ruang tengah kayak orang yang tidak dihargai demi untuk mengantar Alan ke Dewi.
Rencananya mereka akan berangkat bareng setelah lamaran ini, ke hotel untuk bersiap-siap. Tapi gak tau apakah Dewi akan ikut bersama atau berangkat sendirian. Atau malah gak hadir, tapi gak mungkin. Sebagai Direktur utama seharusnya dia hadir, setidaknya untuk acara Lounching restoran baru, kan.
__________
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!