NovelToon NovelToon

TEENAGER : 4 Gadis Remaja

BAB 01 : SMAWI VS SMAJA

Langkah kaki dengan suara sepatu seirama mengundang keramaian di koridor yang semula sudah ramai, bertambah ramai saat sekumpulan primadona SMA Wijayakusuma datang. SMA elite serta segudang prestasi yang diraih.

Berjalan dengan langkah angkuh, wajah datar dan terkesan cuek. Mereka adalah empat gadis yang dipuja-puja kaum Adam atas kecantikan mereka serta empat laki-laki yang sama dipuja-puja kaum hawa atas ketampanan mereka yang tidak manusiawi.

Sebenarnya mereka tidak dalam daftar anak baik-baik melainkan anak nakal yang sering membuat onar dan masalah. Tetapi tentang masalah berpakaian mereka selalu nomor satu kecuali kalau mereka sedang buru-burunya mereka akan seperti anak nakal pada umumnya. Kemeja putih yang dimasukkan ke dalam rok/celana abu-abu. Dasi rapi. Bersabuk dan sepatu pantofel hitam polos.

“Vian sama gue ke ruang OSIS dulu.” Ucap Raya.

Soraya Aafreeda. Gadis paling pendiam tetapi lebih menonjol dari ketiga teman perempuannya. Rambut hitam lurus sedikit bergelombang di ujung rambut ditata sangat rapi terurai. Bola mata yang besar dan sedikit sayu, pipi sedikit berisi meskipun bentuk wajahnya lonjong serta bibir ranum berbentuk hati selalu membuat kaum Adam mengatakan ‘sempurna’.

“Jangan pada bolos upacara. Awas aja sampai ketahuan, gak gue bantu.” Kata Vian.

Karvian Lean Arvano. Laki-laki tampan tapi sayangnya cuek dan judes pada orang lain. Pada sahabat-sahabatnya saja sama kecuali, pada gadis di sebelahnya. Sifatnya sedikit ia kurangi dan lebih peka terhadap gadis itu.

“Ya Allah bos! Gitu amat sama temen. Gak pren Lo mah.”

Dio Geovandra. Laki-laki yang sering bolos mapel nya Pak Himawan guru Biologi. Dio adalah laki-laki humoris, banyak tingkah, nyebelin dan selalu membuat ulah. Kata Dio, “Hari tanpa masalah hidup kurang berwarna.”

“Masuk nanti, Yo. Dikelasnya Pak Himawan, ada ulangan loh.” Kata Zai.

Zaidan Padantya. Gadis campuran indo Amrik. Wajah Barbie able tapi sifatnya 11/12 kayak Dio. Sableng. Cengengesan. Zaidan ini selalu memponi rambutnya. Kalau kata Zai itu, “dahi gue lebar anjir! Mending pakek poni imut wajah gue jadinya.”

“Masuk lo! Gak gue kasih contekan.” Ujar Agam.

Agam Ravindra. Laki-laki 11/12 sama kayak Vian. Tapi Agam lebih ke irit omong bisa sehari dia gak ngomong sama sekali. Tapi Agam kadang menimpali ucapan teman-temannya. Laki-laki dengan wajah mirip kayak kucing tapi wataknya kayak harimau sekali senggol.

“Kenapa kalian semua sangat jahat kepada ku?” Ujar Dio drama.

“Jijik anjir!” Jenny.

Jenny Agustinus. Mba crush nya mas-mas yang senyumnya kayak dia, mirip. Kalau kata orang kalau mirip itu berarti jodoh, pikir Jenny. Jenny dalam kategori galak dan mulutnya ceplas-ceplos. Ditambah Jenny tipe-tipe wajah julid. Matanya yang kayak kucing serta tajam. Pipi gembul kayak cimol serta tubuh yang kecil tapi ideal.

“Tobat Yo, gak kasihan sama bapak ama Mak Lo apa? Kalau gak kasihan gue aja yang sering jadi pelampiasan Mak Lo kalau Lo berantem sama Mak Lo.” Ujar Aiden.

Haiden Arwan Wisnu. Itu temen deketnya Dio. Rumah Dekat. Orang tua Dekat. Pokoknya semua Dekat. Bedanya sifat mereka gak sama. Dio yang banyak tingkah. Haiden kalem banget sampai kadang bikin orang istighfar terus. Mana kalau jalan tebar pesona. Udah gak tinggi sok ganteng. Kasian kalau menurut Zai.

“Ini ceritanya Lo gak seneng jadi sahabat gue gitu? Kok Lo gitu sih sama gue? Kita itu berjuang dari kecil. Tumbuh besar bersama.” Ujar Dio yang hanya dibalas oleh gelengan dan helaan nafas dari teman-temannya.

“Dio dan ke dramaannya yang tidak dapat dipisahkan.” Gumam Billa.

Nabilla Gyusadir. Gadis rambut pirang asli karena keturunan. Gadis yang kalau sekali omong selalu menyentuh hati alias nyelekit. Billa ini banyak diam karena kadang gak paham apa yang temannya omongin. Gadis paling tinggi antara tiga sahabatnya serta suara emasnya.

“Gak kelar kalau Dio ngedrama mulu. Lo udah sana, biar yang lain gue urus.” Ujar Jenny.

Raya mengangguk. “Ya udah gue duluan.” Raya pergi setelah diangguki Jenny. Vian mengikutinya dari belakang.

“Udah Yo, dramanya di pending dulu. Kita ke kelas aja.” Zaidan merangkul pundak Dio dan menyeretnya menjauh dari Aiden. Berjalan di depan.

Di belakang Agam, Nabilla dan Jenny menggeleng kepala. Berjalan mengikuti dua sahabatnya. Aiden sedikit lega setelah Dio dilepaskan darinya. Ia juga mengikuti sahabat-sahabatnya dari belakang sesekali tebar pesona ke siswi-siswi SMA Wijayakusuma.

...۝

...

Soraya sekretaris OSIS dan Karvian adalah ketua OSIS. Mereka berdua sering sibuk mengurus tugas OSIS yang memang sudah tanggung jawab keduanya. Dan karena itu pula kadang keduanya jarang meluangkan waktu untuk kumpul-kumpul bersama teman-temannya.

Tepat hari ini hari Senin upacara akan sebentar lagi dilaksanakan. Raya menata balok nama kelas dengan teliti sesuai jarak yang sudah ditetapkan. Vian mengecek mik dan berbincang dengan anggota OSIS lainnya mengenai apel pagi ini.

Hari ini juga jadwal bagi anggota OSIS yang bertugas. Di SMA ini tugas upacara giliran per kelas sejak kelas 11 sampai 12. Sebagai ketua OSIS, Vian yang akan menjadi pemimpin barisan. Sedangkan Soraya ia bebas dalam bentuk ia menjaga di belakang barisan.

Beberapa siswa siswi sudah ada yang berdatangan dan baris dikelas masing-masing. Zaidan, Aiden dan yang lainnya pun juga sudah keluar kelas dan berbaris dikelas masing-masing. Btw, kelas mereka berbeda. Zaidan, Jenny, Agam dan Dio kelas 12 IPA-3. Nabilla dan Haiden kelas 12 IPA-2 sedangkan Soraya dan Karvian 12 IPA-1.

Waktu sudah menunjukkan setengah delapan tepat. Para guru dan murid pun sudah berbaris rapi di barisan masing-masing. Para petugas upacara juga sudah siap di tempat masing-masing.

Vian berdiri berjejeran pada petugas upacara –pembawa upacara, pembawa bendera, pembawa undang-undang dan pembawa doa. Menunggu instruksi dari pembawa upacara.

“Pemimpin upacara memasuki lapangan upacara.” Emma, pembawa upacara kali ini. Ia bendara OSIS 1 dan sekelas dengan Raya serta Vian juga.

Vian berjalan tegak ke tengah lapangan. Berhenti tepat di depan podium yang masih kosong. Membelakangi podium dan menghadap pada barisan teman-temannya. Menunggu instruksi selanjutnya.

“Penghormatan peserta upacara kepada Pemimpin Upacara dipimpin oleh Pemimpin Barisan yang paling kanan.”

Bara, yang menjadi pemimpin barisan arah kanan. “KEPADA PEMIMPIN UPACARA! HORMAT.... GRAK!”

Vian membalas hormat setelahnya. Dan menurunkan kembali.

“TEGAK.... GRAK!”

“Laporan pemimpin barisan kepada Pemimpin Upacara.”

Pemimpin barisan setiap perdua kelas melangkah mantap ke arah Vian. Berhenti dan menyesuaikan barisan. Melaporkan setiap kelas sudah siap kepada pemimpin upacara. Saat sudah diangguki serta dibalas oleh Vian. Pemimpin barisan kembali pada tempatnya.

Berbalik menghadap podium yang masih kosong sampai instruksi pembawa upacara kembali bersuara untuk pembina upacara yang diarahkan pada kepala sekolah untuk berdiri pada podium.

“KEPADA PEMBINA UPACARA! HORMAT...... GRAK!” Serentak semuanya hormat sampai kepala sekolah menurunkan terlebih dahulu.

“TEGAK.... GRAK!”

Maju beberapa langkah, Vian melakukan laporan kepada pembina upacara.

“Ya laksanakan!” Balas kepala sekolah SMA Wijayakusuma.

“Siap laksanakan!” Vian mundur dan berhenti di tempat semula.

Emma melanjutkan rentetan kegiatan. Pembawa bendera. Nyanyian lagu Indonesia raya. Membaca teks Pancasila serta undang-undang dasar. Sampai di mana yang ditunggu-tunggu para seluruh siswa siswi, yaitu amanat upacara.

Pidato sang pembina upacara memang hal yang paling dibenci seluruh siswa-siswi tetapi kali ini mereka menunggu akan hal itu. Karena sebelum upacara dilaksanakan tadi, sebuah pengumuman aneh dan pagar sekolah yang masih terbuka.

Vian berdiri tegak menjulang menghadap sang kepala sekolah tanpa merasa kepanasan atau kegerahan sama sekali. Sedangkan Soraya di belakang hanya diam menatap punggung-punggung teman-temannya. Ia tidak sendiri, di belakang bersama para anak ekstrakurikuler PMR serta teman se-organisasi. Olivia, Ana serta Hasna.

“Kali ini bapak sertakan informasi penting untuk kalian semua yang hadir di lapangan upacara ini. Kalian pasti tahu SMA Rajawali bukan? Sekolah kedua atau cabang Wijayakusuma. Karena ada hal kondusif pada sekolah mereka, anak-anak kelas 12 SMA Rajawali dipindahkan sementara di sekolah kita.”

“WHAT THE F—“ Umpat Tertahan Zaidan.

“Hanya kelas 12 saja. Dan bagi anak kelas 12 di sekolah ini dimohon untuk berbagi fasilitas untuk anak SMA Rajawali. Untuk kelas tenang saja kelas kalian tetap sama. Karena di sisi depan gedung murid 12 kosong, Bapak gunakan untuk anak SMA Rajawali. Bapak mohon untuk kalian semua, bukan hanya murid 12 tapi 11 dan 10 untuk menerima kakak kelas kalian teman kalian. Mengerti?”

Tidak ada yang menjawab atas pertanyaan kepala sekolah SMA Wijayakusuma. Sebagai anak SMA Wijayakusuma, mereka sangat membenci anak Rajawali. Sifat, watak serta orang-orangnya.

Wijayakusuma dan Rajawali adalah sekolah favorit. Sekolah elite dan sama-sama memecahkan rekor terbaik. Kedua sekolah itu pun juga ber kakak adik. Bentuk logo sekolah mereka saja sama, seragam dan semuanya sama. Tetapi siswa-siswanya tidak sama. Murid kedua sekolah itu bertentangan. Bermusuhan. Meskipun benar ada masalah atau tidak keduanya tetap musuh.

Para murid mendesah kecewa serta pasrah. Lebih tepatnya bagi anak yang dijuluki Spooky –Soraya end the geng. Vian hanya dapat memendam amarah saat matanya tidak sengaja bertatapan dengan sang musuh.

Pak Arya selaku kepala sekolah SMA Wijayakusuma tersenyum pada murid anak Rajawali yang sudah datang. “Tolong para OSIS yang di belakang atur barisan teman kalian.” Ucap Pak Arya.

Raya dan teman-temannya merotasikan bola matanya. Mendesah pasrah. Mereka mengatur barisan para anak Rajawali. Raya di depan mengatur setiap jarak per kelas serta berteriak untuk baris sesuai kelas. Sialnya, sekolah mereka saat upacara barisan paling depan diisi para laki-laki dan di belakang perempuan.

“12 IPA 1!” Teriak Raya dengan wajah datar. Menatap tajam seseorang yang akan baris paling depan. “Baris yang bener bisa gak?!” Kata Raya ketus.

“Cih! Sok pinter Lo!” Desis Reza. Menatap malas musuhnya. Reza Raditya Prayoga.

Raya tidak mengindahkan ucapan Reza melaksanakan tugasnya mengatur barisan. Setelah selesai, ia kembali ke belakang dan mengatur emosinya.

“Anjir! Kalau gini caranya ya gue olahraga mulut muluk.” Ujar Jenny. Diangguki oleh Zai yang berdiri di sebelahnya.

“Gedek gue. Liat noh kumpulan anak Mak lampir, sok cantik anjir! Jijik gue.” Zai menatap jijik ke arah barisan anak sebelah. Karena ia baris paling belakang.

Setelah acara Pak Arya yang mengumumkan hal sesuatu. Upacara dilaksanakan kembali sampai selesai tanpa kendali.

Dan sekarang para murid-murid sudah kembali ke kelas masing-masing. Meskipun ada yang pergi ke kantin. Lapangan masih ramai diisi oleh para anggota OSIS yang membereskan peralatan yang digunakan untuk upacara tadi. Serta Agam, Aiden, Dio, Bila, Zai dan Jenny yang membatu mereka.

Saat sedang asik melakukan kegiatan masing-masing, orang yang tak diundang datang bersama antek-anteknya.

“Gak nyangka sekarang kita bakal sering ketemu di sekolah.” Celetuk Kris. Kris Agastya Pamurya.

Anak OSIS hanya membiarkan mereka tanpa berniat membalas.

Al dan Nathan tertawa tiba-tiba, “Anjir! Gue baru tau anak OSIS sini pada bisu semua.” Seru Aldeo. Aldeo Reicholas.

Diangguki oleh Nathan dengan tawanya yang masih terdengar. “Wis! Sante dong matanya, nanti keluar gue gak mau donorin mata gue.” Nathan melirik sebentar kepada Zai. Nathan Angga Hasibuan.

“Lo laki tapi mulut kayak perempuan.” Cetus Jenny. Tidak tahan berada di area ini. Untung hanya mereka berempat tidak ada si Mak lampir.

Kris meludah ke arah kiri, “Anjing! Mulut Lo belum pernah di semen hah?!”

Bila tertawa, “Semen dulu mulut Lo sebelum nyuruh orang, bre.” Balas Bila santai.

“Cih! Murid teladan tapi rambut semiran.” Ledek Al.

“INI ASLI GOBLOK!” Bila memang sensitif jika ada seseorang yang mengira ia semiran rambut.

“Udah lah, yok pergi dari sini. Gak guna juga ngeladenin anjing pada bergong-gong.” Ujar Zai merangkul pundak Bila meninggalkan area lapangan.

Kris ingin mengejar Zai dan Bila karena emosi disamakan oleh anjing tetapi ditahan oleh Reza yang sedari tadi diam menatap gadis yang tetap tenang melakukan tugasnya.

Reza mendekat ingin menghampiri Raya yang tetap tenang. Tapi langkahnya terhenti saat ia dihadang oleh Vian. Sudah bilang bukan, mereka musuh dan tetap akan menjadi musuh selamanya.

BAB 02 : Diusahakan Menjadi Satu

Zai ingin rasanya menenggelamkan guru Olahraganya yang sayangnya tampan ini. Pelajaran pertama di kelas Zai, Jenny, Dio serta Agam adalah olahraga. Saat sebelum ada gabungan kedua sekolah, ia senang-senang saja. Malahan ia bersemangat karena guru olahraga kelas 12 itu tampan. Beda lagi kalau guru kelas 11 sama 10.

Tetapi kali ini dengan berat hati Zaidan melengserkan kata penggemar sang guru Olahraganya karena terlalu kesal. Lantaran kelasnya digabungkan oleh kelas anak SMA Rajawali. Lebih tepatnya 12 IPS-3 di mana di sana ada musuh bebuyutan mereka. Apa lagi sekarang Jenny selalu menatap sengit barisan sampingnya.

Zaidan, gadis itu mengusap wajahnya kasar. Mengucap sumpah serapan pada guru olahraga serta anak SMA Rajawali.

“Zai, bilang noh sama idola Lo ngapain juga digabung sama anak pungut.” Ujar Jenny ketus. Menatap tidak suka ke arah barisan anak 12 IPS-3.

“Ya gue mana tau sih Jen! Gue udah gak penggemarnya lagi detik ini. Kesel gue sama Pak Dendi.” Kata Zaidan. Jenny hanya merotasikan bola matanya malas.

“Oke anak-anak sekarang karena kalian mendapatkan teman baru dan pembelajaran olahraga kalian Bapak gabung dengan anak IPS-3. Sekarang kalian ikuti Bapak melakukan pemanasan.” Kata Pak Dendi yang sudah mulai melakukan pemanasan.

Mereka melakukan pemanasan bersama. Diiringi hitungan hanya dari anak IPA-3. Karena sudah terbiasa jadi mereka tanpa disuruh sudah melakukan hitungan mandiri.

Jenny menatap barisan sampingnya yang berupa anak laki-laki SMA Rajawali. “Ikut hitung juga, bisu Lo pada gak ngikutin?” Cetus Jenny sengit.

Kris yang baris di samping gadis ini hanya merotasikan bola matanya malas dan mulai berhitung diikuti oleh yang lainnya.

Setelah beberapa gerakan pemanasan, Pak Dendi mulai menerangkan kegiatan olahraga kali ini. “Hari ini Bapak akan melanjutkan materi pembelajaran sesuai sekolah ini. Bola basket! Bapak akan lanjutkan pembelajaran sesuai dari kelas IPA-3.” Kata Pak Dendi.

Guru olahraga itu mulai menjelaskan dan mencontohkan memainkan bola basket dengan benar lalu menyuruh setiap siswa siswi untuk memperagakan yang dicontohkan tadi oleh Pak Dendi. “Baris lurus tertib! Cewek-cewek, cowok-cowok. Gitu ya anak-anak.”

“Ya Pak!”

Siswa-siswi melakukan percobaan memasukkan bola basket kepada ring basket. Ada yang dapat memasukkan dan ada yang tidak bisa. Seperti Jenny padahal dikit lagi masuk tapi tidak masuk karena menghantam dinding ring dan mendapatkan tertawaan dari Kris.

Agam dan Dio melakukan lemparan dengan sempurna. Teriakan riuh dari teman sekelasnya serta suara Jenny mendominasi seruan kesenangan.

“AGAM! SEMANGAT!”

“AYO AYO!”

Sampai giliran Zai yang sialnya bersamaan dengan Nathan –murid SMA Rajawali. Tidak ingin sampai ditertawakan seperti Jenny. Zai memfokuskan diri dan mempercayai semuanya kepada bola basket. Tapi, sedikit pudar kepercayaannya karena menyaksikan bahwa Nathan dapat memasukkan bola basket dengan sempurna dan mendapatkan tepukan meriah dari teman kelas anak itu.

“Gue pasti bisa!” Sugesti Zaidan pada dirinya. Kali ini demi harga dirinya dan harga diri kelasnya.

Menghela nafas panjang. Zaidan dengan mantap melempar bola basket kedalam ring. Dan,

“WUASEK! MASUK BREEEEE!” Seru Zaidan. Menatap teman sekelasnya yang beristirahat di samping barisannya.

“ZAIDAN JUARA POKOKNYA!” Teriak Sany, teman kelas Zaidan.

“Mantap! Didikan gue gak sia-sia.” Kata Dio terharu, menepuk pundak Agam dramatis. “Apa sih? Goblok ni anak!” Dengus Agam. Menggeser dirinya menjauh dari Dio.

“BAGUS ZAI! GOOD KEUSEN VERY VERY VERY!” Seru Jenny.

Zaidan tersenyum bangga kepada teman sekelasnya. Berbalik menatap Nathan yang masih berdiri di tempatnya. Zaidan dengan jahil menunjukkan ibu jarinya dan menurunkan ke bawah. Membuat ekspresi sedih.

Berbalik berjalan menuju teman-temannya tanpa menghiraukan wajah asam Nathan serta emosi tertahan Nathan.

...۝

...

“Bu, gak bisa gitu dong! Saya kan tadi sudah menjelaskan.”

“Alasan kamu itu sudah alasan lama. Bosen saya sampai dengarnya.”

Nabilla. Gadis ini mendapatkan masalah tidak mengerjakan tugas seperti biasa. Bukan tidak niat atau malas. Tetapi, memang tidak sempat. Ingat! Ti-dak sem-pat. Nabilla itu sibuk. Iya sibuk tiduran molor dikamar, makan, main hp dan lain-lainnya.

“Kamu Ibu hukum beresin perpustakaan. Sampai saya dengar kamu tidak melakukan perintah Ibu, besok saat ulangan Ibu tidak akan mengizinkan kamu mengikutinya.” Kata Bu Nunung, guru sejarah.

Nabilla dengan lesu berjalan keluar. Padahal ia mengantuk, ingin tiduran di kelas. Bisa sih ke UKS tapi tidak deh. Masih sayang nyawa untuk tidak mengikuti ulangan besok.

“Jadi saya keluar Bu ini?” Tanya Billa. Membalikkan tubuhnya menghadap Bu Nunung.

“Iya Nabilla Gyusadir!”

Billa mengangguk. Mengalihkan tatapannya ke teman-teman sekelasnya dengan tatapan dramatis. “Gue pergi ya! Maaf in kesalahan gue kalau ada. Hidup gue kayaknya gak lama lagi deh,” Ujar Billa sedih penuh dramatis.

“Aiden! Lo ikut gue keluar yuk, nemenin gue.” Ujar Billa diujung pintu.

“NABILLA KELUAR KAMU SEKARANG!” Teriak Bu Nunung murka.

“BYE SEMUA! MUACH!”

Nabilla dengan cepat kabur keluar kelas. Padahal Aiden tadi dengan senang hati ingin ikut tapi ah! Sudahlah. Kasihan catatan BK banyak catatan alpa dirinya. Takutnya catatan BK bosan dengan namanya kan berabe masalahnya nanti.

Bu Nunung kembali melanjutkan pembelajaran tadi yang sempat tertunda.

Sementara itu di luar, Nabilla berjalan dengan santai di tengah-tengah koridor sepi karena masih di jam-jam pelajaran. Bernyanyi dan kadang menendang dinding. Melakukan hal aneh seperti berada di dunianya sendiri.

Sampai tidak terasa sudah sampai pada depan pintu perpustakaan. Masuk dan berhenti tepat pada meja resepsionis yang dijaga oleh guru killer. Bu Titin.

“Permisi Bu, saya Nabilla diutus dari Bu Nunung untuk membersihkan buku-buku perpustakaan.” Ujar Nabilla sopan. Meskipun ia nakal dan jarang mengerjakan tugas, attitude Nabilla di atas rata-rata.

Kalau kata Zai itu, “Nakal boleh tapi sopan santun harus dijunjung tinggi.”

Bu Titin mendongak, sedikit menurunkan kaca mata minusnya. “Oh! Kamu, ya silahkan. Jangan sampai berisik dan harus benar-benar rapi. Awas saja kamu kalau tidak sampai rapi dan menimbulkan suara berisik. Ancaman dari Bu Nunung berlaku juga di sini.” Kata Bu Titin tersirat ancaman di dalamnya.

Nabilla sedikit memaksakan senyuman dan mengangguk, “Hahaha, tenang Bu. Semua pekerjaan ditangan saya selalu berjalan lancar dan sempurna. Jadi, Bu Titin jangan khawatir. Oke!”

Bu Titin hanya mengangguk dan kembali ke pada pekerjaannya. Nabilla mulai meninggalkan area resepsionis dan melihat-lihat di mana dan area berantakan yang akan ia kerjakan. Tidak semua ia bersihkan tentunya. Kasihan OB nya nanti makan gaji buta kalau area perpus ia bersihkan semua.

Billa juga tidak dibayar kan. Jadi, ia hanya menata buku yang tidak rapi saja dan mengembalikan buku ke tempat seharusnya.

Mendorong troli penuh buku ke tempat sesuai tempatnya. Buku pelajaran IPA. Memasukkan buku fisika yang seketika di tatapan oleh Billa langsung menimbulkan rasa pusing. Sampul bukunya saja sudah berupa angka-angka yang rumit.

Billa menggelengkan kepalanya. Dan memasukkan kembali buku-buku dengan benar. Tidak sembarang karena terdapat nomor buku di sana.

“Rasanya udah kayak babu perpus aja.” Gumam Billa. Memasukkan buku kepada rak yang lebih tinggi darinya.

“Untung gue tinggi, jadi gak ada adegan kayak di film-film. Idih! Jijik gue bayanginya.” Ucap Billa kepada dirinya.

“Enak kali ya bersih-bersih gini nyetel lagu. Tapi mana boleh, gurunya galak cuy!” Katanya entah pada siapa.

“Ini juga buku banyak amat yang berantakan. Sengaja apa gim—DUGONG ANAK AYAM!”

Tiba-tiba Nabilla dikagetkan oleh suara bapak-bapak dari arah belakang. Karena sedang asik ngomong sendiri jadi Billa gak sengaja teriak.

“BILLA! JANGAN TERIAK-TERIAK! INGAT HUKUMAN DARI BU NUNUNG BERLAKU DISINI.” Teriak Bu Titin.

Nabilla hanya dapat meringis serta mengelus dadanya. Situ juga teriak anjir! Sabar-sabar Guru emang gitu selalu benar. Batin Billa.

“Maaf Pak, ada ap—Elo?!” Nabilla berbalik menatap sopan kepada seseorang yang tadi sempat membuatnya terkejut.

Kiranya guru dari suara seperti Bapak-bapak tetapi ternyata musuh bebuyutannya alias anak SMA Rajawali. Si Aldeo.

“Lo kira gue Bapak Lo?!” Ucap Al sengit.

Billa mengernyit. Seharusnya di sini ia yang marah bukan dia. “Amit-amit juga gue punya bapak modelan kayak elo! Lo ngapain sih di sini? Ngagetin gue juga, ada apa? Fans Lo sama gue, hah?!”

“Ya terserah gue dong! Kan katanya fasilitas di sini juga milik anak Rajawali. Ya terserah gue lah, gak ada yang ngelarang termasuk elo.”

“Idih! Udah Lo minggir sana, ganggu tau.” Billa mendorong troli bukunya ke depan, meninggalkan Al.

“Lo jadi babu di perpus? Apa cosplay jadi tukang OB sekolah?” Tanya Al. Mengikuti Billa.

Billa berdecak kesal, “Gak usah ngikutin gue bisa gak? Terserah gue dong mau ngapain di sini. Kan ini sekolah gue gak ada yang ngelarang juga termasuk elo.” Kata Nabilla menirukan kalimat Al.

Setelahnya Nabilla meninggalkan Al. Melanjutkan hukumannya.

“Ditanya baik-baik juga.” Ucap Al yang masih senantiasa mengikuti Billa.

“Gak usah sokab deh Lo.” Kata Nabilla tanpa melihat ke arah Al dan tetap memasukkan buku-buku pada rak.

BAB 03 : Unstable

Soraya memasukkan buku-buku pelajaran pertama tadi bertepatan datangnya guru pelajaran kedua yaitu Bu Ida, guru Biologi. Raya mengeluarkan buku biologi dan menaruhnya di meja.

“Anak-anak hari ini sesuai janji Ibu kemarin, kalian akan belajar di lap laboratorium,” Anak 12 IPA-1 berseru senang.

“Dan sedikit info agar kalian nanti tidak terkejut, kelas kalian akan Ibu gabung dengan anak 12 IPA-1 SMA Rajawali. Karena bertepatan anak IPA-1 SMA Rajawali sama-sama pelajaran Biologi. Ibu tunggu di laboratorium 5 menit dari sekarang.” Bu Ida keluar tanpa memperhatikan ekspresi tidak suka.

“Gak jadi seneng jadi males gue.” Dengus gadis berambut coklat.

“Sama njir! Gak sudi gue.” Timpal gadis berponi.

“Ah! Kenapa harus digabung sih? Weeee....” Emma berteriak dengan akhiri bahasa Korea. Anak drakor beda.

“Udah biarin aja.” Ujar santai Soraya.

Emma menatap Soraya yang sedang mempersiapkan alat tulis yang ingin di bawa, “Ray, kalau Lo denger anak pungut batin bilang ke gue ya.” Ujarnya.

Soraya Aafreeda. Gadis tidak biasa, ia bisa mendengar apa yang dipikirkan serta diucapkan dalam hati. Bukankah keren? Ya sangat keren. Dari sini yang hanya mengetahui Soraya yang memiliki kemampuan seperti itu hanya sedikit. Sahabat-sahabatnya serta Emma teman sebangkunya. Tapi bagi Raya sendiri, itu sangat menyiksa. Tidak ada yang tau kehidupan Raya seperti apa karena kemampuan ini.

Raya mengangguk. “Ayo.”

Emma berdiri dan membawa alat tulisnya. Berjalan berdua menuju ke laboratorium yang berada di lantai dua. Teman-teman sekelasnya pun ada yang sudah ke sana terlebih dahulu dan ada yang bersama keduanya. Menuruni anak tangga karena letak kelas 12 IPA-1 berada di lantai tiga.

Membuka pintu laboratorium. Emma berlari terlebih dahulu ke meja yang masih kosong. Diikuti oleh teman sekelas mereka. Semeja berisi Enam orang. Emma sudah menyuruh Raya untuk duduk di sebelahnya. Tapi ia tiba-tiba ditarik oleh seseorang untuk duduk di sebelahnya. Siapa lagi kalau bukan Vian.

Emma mendengus kesal dan berjalan ke arah meja Raya serta Vian yang hanya terisi oleh mereka saja karena perintah Raya yang menyuruhnya duduk di sana lewat ekor mata.

“Udah Lo duduk di sini aja.” Kata Vian, kembali fokus untuk membaca materi.

Raya mengangguk. Kursi sebelahnya masih kosong dan di depannya sudah terisi oleh Emma.

“Ini kita dateng duluan ya? Belum ada batang hidung anak pungut.” Emma celingak-celinguk ke sana kemari.

Raya hanya menimpali dengan anggukan kepala karena fokus membaca materi untuk hari ini.

Akhirnya yang ditunggu-tunggu datang. Reza serta antek-anteknya datang. Duduk di meja yang masih kosong. Reza serta Aldeo masih diam di pintu. Sampai Reza berjalan ke arah meja Vian, Emma serta Raya. Diikuti oleh Al. Dirinya duduk di samping gadis itu, Raya. Dan Al duduk di depan Reza menyisakan satu bangku di tengah-tengah Al serta Emma.

“Lo ngapain disini?” Tanya Vian menatap tajam Reza.

Reza mengedikkan bahunya santai, “Penuh, karena di sini masih kosong ya gue duduk di sini aja.” Ujarnya.

Al mengangguk menimpali, “Gak ada yang ngelarang juga.”

Vian ingin saja menyuruh Raya untuk menukar tempat duduknya sebelum gadis dengan mulut jahatnya itu duduk di kursi yang masih kosong itu.

“Oh! Di sini ada Lo juga, Ray?” Tanya Kayla.

Raya hanya menatap Kayla datar. Tanpa minat menjawab ia kembali membaca materi. Meskipun terlihat tenang dan seperti fokus membaca materi sebenarnya Raya sedang mencoba untuk tidak menutup telinganya. Kepalanya terasa berisik serta telinganya.

Kayla berekspresi kaget, “Wah! Sombong ya. Gue baru tau anak SMA Wijayakusuma pada sombong-sombong semua.” Ucapnya.

“MAKSUD LO?!” Emma tidak terima. Ia berdiri menatap tajam Kayla tapi kembali duduk setelah Vian menyuruhnya duduk dengan tatapan tajamnya. Emma mendengus.

Kayla tertawa. “Santai dong. Raya Lo baca apa? Gue denger Lo pinter ya? Emm... Bisa ajarin gue dong kalau ada tugas.” Katanya dengan senyuman manisnya.

Raya sedari tadi diam-diam mengepalkan tangannya erat menahan sesuatu yang ingin keluar. Menatap tajam Kayla dengan wajah yang masih datar serta tenang. Aura mematikan keluar dari tubuh Raya.

“Gak usah sokab bisa?” Ujarnya.

“Kok Lo gitu sih, kita kan temen sekarang. Kita sat—“

“LO BISA GAK DIEM? HAH?! BERISIK TAU GAK?!”

Tidak tahan karena kepalanya sangat-sangat ramai. Raya tidak sengaja kelepasan dan membuat seluruh laboratorium mendadak hening.

Raya memasang wajah cengoh. Ia tidak bermaksud membentak Kayla. Itu bukan sifatnya.

“LO BER—Reza?!”

Reza tiba-tiba menarik tangan Raya dan mengajaknya pergi dari laboratorium meninggalkan Vian, Al, Emma serta Kayla yang mendengus kesal. Vian ingin mengejar tetapi bertepatan Reza dan Raya keluar Bu Ida masuk.

Laki-laki itu membawa Raya jauh dari keramaian. Raya hanya diam, ia masih kaget keadaan tadi dan belum menyadari.

“Lo gak apa-apa?” Tanyanya saat sudah di area taman yang sepi.

Raya mendongak menatap Reza kosong. Suara-suara itu masih bisa ia dengar meskipun ia pergi jauh. Menutup telinganya rapat-rapat menggunakan kedua tangannya. Raya menutup matanya pula.

Reza bingung. Keadaan ini mengingatkannya kepada seseorang di masa lalu. “Ray, Lo kenapa?” Tanya Reza memegang erat bahu Raya dengan ekspresi khawatir.

Raya perlahan-lahan menetralkan nafasnya yang tadi sangat terburu-buru. Melepaskan tangannya dari kedua telinganya saat suara-suara itu tiba-tiba menghilang. Menatap Reza tanpa ekspresi.

“Lepas.” Ujarnya.

“Hah? Oh!” Reza terkejut tapi ia cepat menanggapi. Melepas tangannya dari bahu Raya.

“Lo gak apa-apa?” Tanyanya.

“Gue gak apa-apa dan makasih.” Raya meninggalkan Reza sendiri di taman untuk kembali ke laboratorium.

Reza hanya diam menatap punggung Raya.

...۝

...

“DIO! JANGAN LO MAKAN MAKANAN GUE ANJING!”

Terjadi lagi. Pertengkaran antara Zai dengan Dio. Di mana ada Zai dan Dio pasti ada keributan di sana.

“Gue ambil satu juga. Jadi orang gak usah pelit, Zai.” Kata Dio.

“Bodo, ganti gak. Gue belinya dengan susah payah. Antri lama dan Lo seenak jidat ngambil.” Kekeh Zai.

“Loh! Lo nanti dapet pahala dong. Memberi makanan dari hasil jerih payah Lo sendiri.” Ujar Dio santai.

“Pokoknya Lo harus ganti. Gak mau tau gue.”

“Idih! Ogah.”

Zai menarik tubuh Dio yang tadi sempat menjauh. Memberikan hukuman kepada laki-laki itu.

“Duh! Aduh! Zai sakit.”

“Ini kenapa woy?” Jenny datang membawa nampan makanan bersama dengan yang lainnya. Mengambil tempat duduk dekat Zai yang memasang wajah kesal.

“Jen, temen Lo cewek apa gak sih? Sumpah ya, tangannya kuat banget.” Decak Dio. Menatap skeptis Zai.

“Badan Lo aja yang lembek.” Kata Agam santai sembari memasukkan makanannya ke dalam mulut.

Dio mendengus mengalihkan tatapannya ke arah Raya serta Nabilla. “Ray, Bil, nanti jangan lupa dateng buat support kita. Gak ada Lo berdua tu rasanya sepi.” Ujarnya dramatis di akhir kata.

“Heh! Minggu lalu gue sama Zai teriak-teriak sampai tenggorokan kering gak Lo liat? Wah! Parah!” Decak Jenny.

Zai mengangguk menimpali dengan antusias. Menatap kesal Dio pula.

“Ya gak gitu maksudnya Jenny anaknya Pak Wriston yang kayanya tujuh turunan.” Kata Dio jengah.

“Ya gue usahain deh, nanti dateng.” Kata Billa.

“Ya gue sama juga, kalau gak Pak ketos nambah tugas ya gue dateng.” Ujar Raya tersirat sindiran serta menatap Vian sebentar.

“Nah! Yan, Lo jangan lah nambah-nambah tugas buat anak OSIS. Kalau Raya dateng kan Lo juga semangat.” Goda Haiden.

Vian memutar bola matanya malas, “Hmm.”

“Bil, lo—“

“Permisi boleh gabung gak? Meja lain penuh soalnya.”

Semua atensi teralihkan dan menatap sang unknown. Mereka adalah Reza cs. Al mengawali dengan niatan meminta izin. Memang Al yang santai saat menghadapi seseorang.

Agam menatap sekitar. Benar, meja semua sudah penuh hanya meja mereka yang terlihat lenggang meskipun sedikit. Mengangguk, “Ya boleh, geser duduknya biar yang lain kebagian.” Suruh Agam.

Dengan kesal Jenny menggeser tempat duduknya lebih dekat dengan Zai. Raya pun sama dalam diam ia menggeser tempat duduknya mepet dengan Jenny karena ia duduk di sebelahnya. Reza, Kris, Nathan serta Al duduk di sebelah Raya.

Karena posisi duduk mereka Billa paling pojok dengan sebelahnya Zai, Jenny serta Raya.

Sedangkan di depan mereka ada Dio, Agam, Haiden dan Vian. Serta Reza tepat sebelah Raya, Kris, Nathan serta Al. Dan di depan atau tepat sebelah Vian ada Kayla, Adel, Sella serta Silfi.

Karena datangnya anak SMA Rajawali, mereka hanya diam memakan makanan mereka diam. Tidak ada yang bersuara. Raya, Zai, Jenny, Billa fokus terhadap makanan mereka dan Vian, Aiden, Agam serta Dio fokus bermain ponsel sambil meminum minuman mereka.

“Kok pada diem? Kita ganggu ya?” Ujar sok polos Sella.

“Tu tau.” Disetujui oleh Jenny tetapi dengan cepat Raya menyenggol lengan Jenny. Memperingati.

“Kita kan teman, gak seharusnya ada kata mengganggu dong. Ya kan Ray?” Kayla tersenyum manis sembari menatap Raya.

“Kapan kita temenan? Kalau halu jangan tinggi-tinggi, nanti jatuh sakit.” Kata Billa heran.

“Loh! Kan kita satu sekolah. Kata Pak kepala sekolah kan kita berteman. Fasilitas kita juga sama.” Kata Silfi.

“Terus? Kalau kita satu sekolah sama fasilitas harus berteman gitu? Gila aja.” Decak Jenny.

“Biasa anak Rajawali halunya tinggi-tinggi cuy.” Ujar Zai santai.

“Maksud Lo?!” Kris berdiri menatap tajam Zai.

Dio berdiri dengan wajah bingung, “Santai dong bre.”

“Cih! Baperan.” Gumam Jenny yang masih dapat didengar oleh mereka.

Kris ingin maju menghampiri Jenny tetapi ditahan oleh Nathan serta Al.

“Mau apa? Pukul? Sini maju. Beraninya kok sama cewek.” Jenny memang berniat memancing emosi Kris yang tidak bisa terkontrol kadang.

“Mulut Lo tu kayak duri.” Ujar Adel.

Billa menatap takjub Adel, “Wah! Gak mirror. Punya kaca gak? Gue punya nih, gratis malah.” Diserahkannya sebuah kaca kecil yang sering dibawanya. Adel hanya dapat menggeram marah diam.

“Makanya nyadar kalian berdiri di mana. Ini sekolah kita, kalian itu semacam apa ya Zai? Anak pungut? Apa anak gembel?” Jenny tertawa.

Kayla mendengus marah. Dengan cekatan ia mengambil minumannya yang berupa es jeruk dan menumpahkannya pada Jenny. Tetapi sialnya dengan cepat Raya menepis tangan Kayla sampai berakhir Raya sendirilah yang terkena es jeruk tersebut.

“Akhh!” Pekik Zai.

Raya menatap nanar rok abu-abunya serta seragam putihnya. Meskipun memang niatnya ingin menggantikan posisi Jenny tapi tidak sampai ia terkena tumpahan jus jeruk ini juga.

“LO KALAU ADA MASALAH BILANG SAMA GUE, SINI MAJU.” Zai menghampiri Kayla dan mendorongnya sampai jatuh. Mereka menjadi pusat perhatian sekarang.

Vian dengan cepat melepas seragam putihnya untuk menutupi seragam Raya yang basah dan tersisa kaos hitam. Menatap tajam Reza yang berdiri tepat di sebelah Raya.

“Kalau punya anak buah diurus yang bener. Jangan sampai gue liat anak buah Lo ganggu temen-temen gue.”

Setelah mengucapkan kalimat itu, Vian menggiring Raya keluar kantin. Peninggalan Vian serta Raya. Terjadilah aksi jambak-jambakan antar Jenny, Billa, Zai dengan Kayla, Sella, Silfi dan Adel.

“Wah! Gue baru pertama kali liat berantemnya perempuan kaya gini. Seru juga.” Gumam Aiden ditimpali oleh Dio.

Agam menghela nafas panjang, “Ayo pisahin mereka. Sebelum guru pada dateng. Jangan asikan nonton.” Agam menggeret Dio serta Aiden agar membantu memisahkan mereka.

Reza diam-diam menghilang. Keluar dari area kantin.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!