Malam Minggu adalah malam yang ditunggu-tunggu oleh semua orang. Gadis cantik dan manis bernama Calista hari ini terpaksa mengikuti permintaan ketiga sahabatnya untuk pergi ke klub malam. Awalnya, Calista terus menolak permintaan gila teman-temannya itu, tetapi mereka terus merengek kepadanya hingga akhirnya mau tak mau, Calista mengikuti kemauan ketiga sahabatnya itu.
Ini adalah pertama kalinya bagi Calista berada di klub malam. Selama ini, ia tak pernah ke tempat semacam ini karena menurutnya, klub malam hanya membuat kepala terasa pusing dan hanya bisa menghamburkan uang dengan mudah.
Cahaya yang minim, lampu yang berkelap-kelip, bau alkohol yang menyengat, dan musik yang sangat kencang hingga orang-orang yang sedang melakukan hal tak senonoh pun memenuhi klub malam ini. Calista sedari tadi hanya bisa duduk terdiam, memperhatikan ketiga sahabatnya yang asyik minum dan berjoget-joget tak jelas di hadapannya. Mereka bertiga sungguh-sungguh membuat Calista pusing.
“Calista, ayo joget!” ajak salah satu sahabat Calista yang bernama Jehana.
“Nggak ah, Na. Lo aja tuh sama Riana sama Lily,” tolak Calista.
“Gak asik lo, Cal. Masa kesini nggak happy-happy sih?” sindir Riana.
“Ah, Calista anak alim. Susah dia kalau mau diajak bandel,” Lily pun duduk di samping Calista sambil meminum alkoholnya. Jehana dan Riana pergi menjauh dari mereka berdua yang sedang duduk, Calista pun kebingungan dengan Lily yang sejak tadi tak berhenti minum.
“Ly, kalau lo stres sama matkul, jangan begini juga,” ujar Calista.
“Gue nggak stres matkul, Cal. Hahaha,” balas Lily sambil tertawa tak jelas. Lalu, karena Lily sudah sangat mabuk, akhirnya ia pun tertidur di sofa yang mereka tempati.
Hari semakin larut. Handphone Calista juga sudah sangat lowbat, tetapi Jehana dan Riana belum juga kembali. Calista sebenarnya ingin sekali segera pergi dari tempat ini. Namun, ia tak bisa, karena Lily yang sedang tertidur. Jika Calista meninggalkan Lily sendirian, ia takut ada laki-laki hidung belang yang berbuat hal tak senonoh padanya.
Tak lama, akhirnya Jehana dan Riana pun kembali ke tempat duduk mereka, dengan Jehana yang membawa dua botol alkohol lagi untuknya dan Riana.
“Jehana! Riana! Udah maboknya! Stop!” omel Calista sambil merebut dua botol alkohol yang dipegang Jehana.
“Ckkk, gak asik lo, Cal,” sebal Riana.
Jehana memberikan Riana kode, Riana yang mengerti pun segera memegangi kedua tangan Calista sementara Jehana mencekokkan alkohol ke dalam mulut Calista.
“Ahhh, Na! Riana!” teriak Calista yang tak tahan.
“Udahh! Ahhh! Uhuk uhuk!” Mereka memasukkan alkohol cukup banyak ke dalam mulut Calista, sampai-sampai alkohol tersebut tumpah ke baju Calista. Setelah merasa cukup puas, akhirnya Jehana dan Riana pun menyudahi pekerjaan mereka. Mereka berdua sangat senang sekarang karena berhasil memasukkan alkohol ke dalam tubuh Calista.
“Gila lo berdua! Nanti kalau gue mati, gimana?” omel Calista.
“Gak akan mati, Cal. Santai aja sih,” ujar Jehana.
“Akh, bodo amat! Sebel gue tuh sama lo berdua!” Calista yang merasa kesal pun langsung terdiam karena mood-nya sudah berantakan.
Tak butuh waktu lama, kepala Calista mulai terasa sangat pening karena ia sangat lemah terhadap alkohol. Jehana dan Riana yang melihat Calista mulai kehilangan kesadaran pun semakin merasa senang. Calista benar-benar sudah tak tahan berada di tempat seperti ini, kepalanya sudah seperti mau pecah, ditambah lagi penglihatannya sudah mulai buram.
“Jehana, Riana,” panggil Calista.
“Apa?”
“Kok badan gue ngerasa panas ya?” tanya Calista takut.
“Ah, lo cuma gak biasa aja sama alkohol, Cal. Yaudah deh, lo pulang duluan aja, biar gue pesenin taksi online,” jawab Jehana. Tak lama, Jehana pun yang kasihan pada Calista segera memesan taksi online.
Tak butuh waktu lama, taksi online yang dipesan Jehana pun telah sampai. Lalu Riana segera membangunkan Lily untuk mengantarkan Calista ke depan.
“Ly! Bangun, Ly!” teriak Riana, membuat Lily terbangun.
“Hmmm, apaan sih!” sebal Lily.
“Anterin si Calista ke depan nih, dia mau pulang soalnya udah terbang,” suruh Riana.
“Hah! Hahaha, iya iya!” Lily segera menyeret Calista keluar dari klub malam. Tubuh mereka berdua pun hampir terhuyung jatuh karena mereka berdua sangat mabuk berat.
“Hahahaha, alien Cal!” kata Lily sambil menunjuk-nunjuk ke atap.
“Hahahaaha gila! Hahahaha!” Calista pun membalasnya dengan tawa, tak sadar dengan kondisi dirinya.
“Badan gue panas! Hahahaha gatel!” ujar Calista, tetapi Lily mengabaikannya.
Lily dan Calista pun sudah berada di luar klub malam. Mereka berjalan ke arah parkiran, dan Lily secara tak sengaja menabrak seseorang yang juga sedang mabuk berat.
“Nah, nih abang-abang taksi online-nya Cal. Bang, anterin dia ya,” ujar Lily, lalu Lily pun melepaskan gandengan Calista dari tangannya.
“Hati-hati, bang. Bye, Cali!” teriak Lily sambil berjalan memasuki klub kembali dengan susah payah.
“Ayo pulang!” ajak Calista sambil menarik tangan laki-laki tersebut, tetapi lelaki tersebut hanya diam dan mencoba memandang wajah Calista.
“Mas! Ayo pulang!” ajak Calista lagi, kini dengan nada sedikit lebih mendesak.
Laki-laki yang juga sedang mabuk berat itu hanya menggeleng, tetapi sepertinya ia mengerti dan akhirnya membopong tubuh Calista. Mereka berdua berjalan menuju hotel yang berada cukup dekat dari klub malam tersebut.
Sesampainya di hotel, mereka berdua segera memasuki lift. Laki-laki tersebut, dengan susah payah, segera memencet tombol lantai di mana kamarnya berada. Calista yang merasa tubuhnya panas dan tak nyaman, akhirnya dengan cepat segera memeluk tubuh laki-laki yang tak ia kenal itu.
Laki-laki tersebut terkejut dengan tindakan Calista. Ia tak pernah membayangkan akan ada gadis yang begitu berani mendekatinya di malam yang penuh alkohol ini. Namun, saat merasakan kehangatan tubuh Calista yang tak terduga, ia merasa hatinya bergetar.
“Kenapa lo peluk gue?” tanya lelaki itu dengan suara serak, mencoba terdengar lucu meski sebenarnya merasa canggung.
“Karena badan gue panas, mas. Tolong, deh!” jawab Calista sambil tersenyum meski matanya hampir tertutup. Rasa percaya diri yang ia miliki kini hilang, dan yang tersisa hanya rasa ketidakpastian.
Sesampainya di lantai yang dituju, laki-laki itu dengan hati-hati menuntun Calista keluar dari lift. Mereka berjalan menuju kamar yang berada di ujung koridor. Laki-laki itu merasa bingung, berusaha mencari kunci kamar dalam keadaan setengah sadar.
“Lo udah pernah ke sini sebelumnya?” tanya Calista, sedikit ingin tahu, tetapi suaranya tak lebih dari desahan yang lembut.
“Belum,” jawabnya sambil berusaha membuka pintu. “Tapi sepertinya semua tempat seperti ini sama.”
Ketika pintu akhirnya terbuka, laki-laki itu mengantarkan Calista ke dalam kamar. Calista segera terjatuh ke kasur yang empuk, dan rasa kantuk mulai menggelayuti pikirannya.
“Gue nggak mau sendirian. Tungguin, ya?” Calista berujar dengan suara pelan, tak ingin terlelap tanpa ada seseorang di sampingnya.
“Lo tenang aja, gue temenin lo,” jawab laki-laki itu, merasa aneh dengan situasi ini tetapi tak bisa menolak. Meskipun mereka adalah orang asing, ada sesuatu dalam diri Calista yang membuatnya merasa perlu melindungi gadis ini.
Saat malam semakin larut, Calista tertidur pulas, sementara laki-laki itu duduk di sampingnya, merasa bingung dengan apa yang terjadi. Rasa tanggung jawab dan ketertarikan mulai bercampur aduk dalam pikirannya.
Entah bagaimana, malam itu akan menjadi awal dari kisah yang tak terduga antara mereka. Di balik kebisingan dan kegilaan malam, sebuah cerita baru sedang dimulai. Mungkin, cinta bisa tumbuh dari situasi yang paling tidak terduga. Atau mungkin, mereka berdua akan terjebak dalam kekacauan yang akan mengubah hidup mereka selamanya.
Calista membuka matanya, dan betapa terkejutnya ia melihat sosok laki-laki yang terbaring di sampingnya, tanpa sehelai baju pun. Hatinya berdegup kencang saat ia berusaha mengingat apa yang terjadi semalam. Dengan cepat, ia memeriksa sekeliling ruangan. Ini bukan kamar tidurnya. Semua terasa asing dan menakutkan.
Ketika Calista mengintip tubuhnya dari balik selimut, rasa panik melanda saat ia menyadari bahwa ia pun tidak mengenakan sehelai benang pun. Noda merah yang menghiasi seprai putih di bawahnya menandakan sesuatu yang tak bisa ia elakkan—ia telah kehilangan keperawanan semalam. Air mata mulai mengalir di pipinya. Dia tidak pernah membayangkan bahwa momen tersebut akan terjadi dengan orang yang tidak ia kenal.
Tangisan Calista membuat laki-laki di sampingnya terbangun. Ia terkejut dan segera menoleh. "Siapa lo?! Ngapain gue semalem?!" teriak Calista, suaranya bergetar penuh emosi.
Laki-laki itu mengernyit, tidak mengerti. "Loh, lo siapa?!" tanyanya, tidak kalah terkejut melihat Calista.
Tangisan Calista semakin keras, menciptakan suasana panik di ruangan. "Stop! Jangan bilang semalam…," kata laki-laki itu, suara serak dan gugup. Dia cepat-cepat melihat ke arah selimut, mencoba mengingat kembali kejadian semalam.
"Ahh, goblok! Bangsat! Kenapa bisa?!" teriaknya, yang membuat Calista semakin ketakutan. "Stop nangisnya! Coba bantu gue inget-inget kejadian semalam kenapa bisa sampai kita kebablasan."
Setelah beberapa saat dalam keheningan, mereka berdua akhirnya mulai mengingat potongan-potongan kejadian semalam. Calista merasa malu setiap kali mengingatnya, tetapi kenyataan tetap tak bisa diabaikan.
"Gue rasa kita sama-sama diobatin," Kenneth—laki-laki itu, berkata, mencoba mencari penjelasan. Namun, Calista hanya menunduk, bingung dengan apa yang harus dikatakan. "Gue Kenneth," katanya sambil mengulurkan tangan ke arah Calista.
Dengan ragu, Calista membalas uluran tangan Kenneth. "Calista," ujarnya singkat.
"Sorry, gue bener-bener nggak sengaja ngelakuin itu sama lo," kata Kenneth, nada penyesalan jelas terdengar di suaranya.
Calista tiba-tiba menanyakan, "Lo pake pengaman semalam?" Suaranya bergetar, penuh kecemasan.
"Nggak, gue nggak punya pengaman. Dan gue juga bukan orang yang biasanya ngelakuin hal kayak gini," jawab Kenneth, menambahkan rasa sakit di hati Calista.
Tears streamed down Calista’s face again, her regret intensifying. She felt utterly defeated, thinking back to the night she had decided to go out with her friends to the nightclub.
"Stop! Jangan nangis! Gue juga pusing!" Kenneth omel, berusaha menenangkan Calista. Mereka berdua terdiam, larut dalam pikiran masing-masing.
"Cali, lo bisa tolong hadap ke jendela dulu nggak? Gue mau pakai baju," Kenneth minta, dan Calista segera memalingkan wajahnya, memberi Kenneth sedikit privasi.
Kenneth cepat-cepat mengenakan pakaiannya dan mencari ponselnya untuk melihat jam. Ia beranjak masuk ke kamar mandi untuk sekedar menyegarkan diri.
"Lo mendingan mandi sana dan nanti lo bisa pakai baju gue, karena kayaknya baju lo bau alkohol banget," Kenneth menyarankan, sambil melirik pakaian Calista yang berserakan di lantai.
"Eh, nggak usah deh," Calista menolak, ragu-ragu.
"Jangan takut, gue nggak akan kabur. Ini jaminannya," Kenneth menepuk saku celananya, menunjukkan ponsel dan KTP-nya. "Lagipula masih ada hal yang mau gue omongin sama lo."
Setelah Kenneth meninggalkan kamar, Calista segera turun dari kasur. Dengan hati-hati, ia mengambil pakaiannya yang berserakan dan masuk ke kamar mandi. Mandi terasa menyegarkan, meskipun dia merasakan sedikit perih di bagian bawahnya.
Setelah selesai mandi, Calista mengenakan baju Kenneth yang ternyata jauh lebih besar untuknya, namun terasa nyaman. Dia merasa aneh mengenakan pakaian orang lain, tetapi itu lebih baik daripada baju yang masih tercium bau alkohol.
"Nanti gue kasih lo nomor handphone sama sosmed gue, jadi lo bisa foto KTP gue buat jaga-jaga," Kenneth berkata begitu kembali.
"Iya," jawab Calista singkat, merasa sedikit lebih tenang.
"Nanti lo pulang kemana? Biar gue anterin," tanya Kenneth dengan penuh perhatian.
"Gak usah, makasih. Gue naik ojek online aja," tolak Calista, berusaha menjaga jarak.
"Gue bukan orang jahat. Gue udah mesen hotel ini dari dua hari yang lalu karena mau cari suasana tenang. Dan gue sama sekali nggak berniat ngelakuin hal kotor kaya gini," Kenneth menjelaskan, seakan mengerti ketakutan Calista.
"Gue juga baru pertama kali ngelakuin hal ini sama lo, dan gue rasa lo juga baru pertama kali, kan? Gue liat ada noda darah di kasur," lanjutnya, menekankan bahwa ini adalah kesalahan bersama.
"Gue nggak anggap lo orang jahat. Ini murni kecelakaan," Calista menjelaskan, dan Kenneth mengangguk mengerti.
"Lo nggak perlu takut. Gue akan tanggung jawab kalau misalnya lo hamil," kata Kenneth, dan itu membuat Calista merasa lebih lesu.
"Btw, lo umur berapa?" tanya Calista, ingin tahu lebih banyak tentang Kenneth.
"Gue 21, kalau lo?" Kenneth balik bertanya.
"21," jawab Calista.
Mereka terus mengobrol, mencoba meredakan kecanggungan. Kenneth membuka percakapan dengan cerita tentang kuliahnya, Calista juga berbagi tentang kuliahnya di jurusan bahasa Inggris.
"Jadi, lo kuliah di mana?" tanya Kenneth, antusias.
"Di Universitas XYZ," jawab Calista. "Gue baru tahun kedua. Awalnya, gue nggak nyangka bakal berurusan dengan bahasa Inggris, tapi ternyata seru."
Obrolan mereka mengalir, membawa sedikit kelegaan di tengah situasi yang canggung. Mereka mulai saling mengenal, mengungkapkan mimpi dan harapan masing-masing, meskipun di tengah bayang-bayang kesalahan besar yang mereka buat semalam.
"Jadi, setelah ini, ada rencana apa?" tanya Kenneth, ingin tahu lebih jauh.
"Gue mau fokus sama kuliah dan nyari kerja sambilan. Gak mau terjebak dalam masalah lagi," jawab Calista.
"Good plan. Gue percaya lo bisa!" Kenneth memberikan dukungan, dan Calista merasakan semangat baru.
Setelah berbincang cukup lama, saatnya bagi Calista untuk pulang. Dia sudah mempersiapkan diri, meskipun ketidakpastian masih menghantuinya. Kenneth berjanji akan menghubunginya setelah semuanya reda, dan mereka berdua berharap bisa mengatasi situasi ini dengan bijak.
"Jaga diri baik-baik, Calista," ucap Kenneth saat mereka berpisah. Calista mengangguk, merasa campur aduk antara rasa takut dan harapan.
Sebagai langkah pertama, Calista meninggalkan hotel itu dengan tekad untuk melanjutkan hidupnya. Momen semalam adalah pelajaran berharga, dan ia bertekad untuk tidak membiarkan hal itu mendefinisikan dirinya.
Setelah Calista pergi, Kenneth duduk di tepi tempat tidur, mengacak-acak rambutnya yang berantakan. Rasa frustrasi menghimpit dadanya. Ia merasa bodoh karena telah menuruti ajakan teman-teman gila yang memaksanya untuk pergi ke klub malam itu. Harusnya ia bisa menolak, tetapi malam itu, ia terjebak dalam suasana yang menggoda, dan keputusan untuk ikut serta seolah menjadi pilihan yang tampaknya menyenangkan saat itu. Kini, semua terasa hancur.
"Kenapa aku bisa sebodoh ini?" gumamnya pada diri sendiri, suaranya serak. Setiap kali ia mencoba untuk tenang, bayangan Calista yang tertegun dan penuh rasa takut muncul di benaknya. Ia tidak hanya mengkhianati dirinya sendiri, tetapi juga seorang perempuan yang kini membawa beban yang berat. Kenneth merasakannya seperti belenggu di hatinya, sesuatu yang terus mengikat dan tak bisa ia lepaskan.
Selama perjalanan pulang, Calista hanya bisa terdiam, menatap kosong jalanan yang berlalu. Otaknya berputar-putar, berpikir tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. Jika benar dia hamil, itu artinya dia akan mengecewakan banyak orang, termasuk orang tuanya, teman-temannya, dan dirinya sendiri. Ia tak pernah membayangkan situasi ini akan menimpa dirinya. Kalimat "jaga mahkota" yang sering dia dengar dari ibunya kini berputar-putar di pikirannya, membuat hatinya semakin tertekan.
Air mata mulai mengalir di pipinya, tetapi ia cepat-cepat menghapusnya dengan tangan. Calista merasa sangat kotor sekarang. Tubuhnya seolah membawa beban malu yang tak bisa ia lepaskan. Sesampainya di rumah, ia langsung masuk ke kamarnya dan mengunci pintu. Ia ingin menangis sepuasnya, merasakan semua kesedihan dan penyesalan yang menumpuk dalam dirinya. La jijik dengan tubuhnya sendiri, dan setiap gerakan terasa menyakitkan, terutama saat ia merasakan bekas ciuman Kenneth yang masih ada di lehernya. Ia bahkan tak berani bercermin, karena takut melihat bayangannya yang kini dianggapnya sangat hina.
Setelah beberapa saat terkurung dalam kesedihan, Calista diam-diam membuka media sosial milik Kenneth. Ia melihat profilnya dan memperhatikan beberapa unggahan yang menunjukkan bahwa Kenneth bukan orang jahat. Di banyak foto, ia terlihat bersama keluarganya, tersenyum dan tampak bahagia. Kenneth adalah seorang pengusaha muda yang sukses, tetapi saat ini semua itu tidak berarti bagi Calista. Rasa penyesalan dan kesedihan masih mengisi hatinya. Kenapa dia tidak lebih berhati-hati? Kenapa ia tidak bisa menolak ajakan teman-temannya?
Di sisi lain, Kenneth merasa terjebak dalam penyesalan yang mendalam. Setiap kali ia memikirkan Calista, rasa bersalahnya semakin dalam. “Aku sudah menghancurkan hidupnya,” pikirnya. Kenneth berusaha keras untuk memahami bagaimana ia bisa terjebak dalam situasi ini. Mungkin dia terlalu percaya diri, menganggap bahwa pergi ke klub malam adalah hal yang biasa dan tidak berbahaya. Ia hanya ingin bersenang-senang, tetapi kini semua itu terasa seperti mimpi buruk.
Ketika ia sampai di rumah, ia berusaha mencari cara untuk mengalihkan pikirannya. Namun, setiap sudut rumahnya mengingatkannya pada Calista. Ia membayangkan wajahnya yang pucat dan ketakutan saat mereka terbangun di pagi hari. Kenneth mencoba menghibur diri dengan berpikir bahwa mereka berdua tidak berniat untuk melakukan hal itu, tetapi pikiran tersebut hanya menambah rasa bersalah di hatinya. "Ini semua salahku," ucapnya lirih, meresapi perasaannya.
Keesokan harinya, Calista masih terkurung dalam kamarnya. Ia merasakan perutnya bergejolak, bukan karena lapar, tetapi karena rasa cemas dan takut yang menyelimutinya. Ia mengingat apa yang terjadi semalam, momen-momen yang seharusnya menjadi kenangan indah berubah menjadi mimpi buruk. Calista merasa terjebak dalam kegelapan, tak ada jalan keluar. Ia tahu bahwa jika orang tuanya mengetahui ini, mereka tidak akan memaafkannya. Ia mungkin akan diusir dari rumah, dan semua impian yang telah ia bangun akan hancur dalam sekejap.
Dengan berat hati, Calista memutuskan untuk menyimpan semua ini sendirian. Ia tidak ingin membebani sahabat-sahabatnya dengan masalahnya. Mereka sudah cukup memiliki masalah mereka sendiri. Satu-satunya pilihan adalah berjuang sendirian, meskipun terasa sangat menyakitkan.
Sementara itu, Kenneth merasa terpuruk. Ia berusaha mencari cara untuk bertanggung jawab. Ia mulai merencanakan untuk menghubungi Calista, berharap bisa mendiskusikan situasi mereka dan mencari solusi. Namun, setiap kali ia memikirkan untuk menghubunginya, rasa takut menyelimuti hatinya. Bagaimana jika Calista marah? Bagaimana jika dia tidak ingin bertemu lagi? Semua pertanyaan itu hanya menambah beban di pundaknya.
Dua minggu berlalu, dan Calista berusaha menjalani hari-harinya seolah semuanya baik-baik saja. Namun, setiap kali seseorang menanyakan kabarnya, ia hanya bisa tersenyum dan mengalihkan pembicaraan. Di dalam hatinya, ia merasa seperti penipu. Ia takut jika suatu saat kebenaran akan terungkap. Keberanian dan keteguhan hatinya diuji setiap hari. Dia harus berpura-pura kuat, meskipun dia merasa hancur.
Kenneth akhirnya memberanikan diri untuk menghubungi Calista. Ia mengirim pesan singkat yang penuh penyesalan dan tawaran untuk bertemu. “Calista, aku ingin minta maaf. Aku tahu ini semua salahku. Aku ingin bertanggung jawab. Tolong beri aku kesempatan untuk menjelaskan,” tulisnya dengan hati-hati. Namun, saat ia menekan tombol kirim, rasa takut kembali menghantuinya. Apa yang akan terjadi jika Calista menolak untuk bertemu?
Setelah beberapa jam menunggu, Calista akhirnya membalas pesan Kenneth. “Kita tidak perlu bertemu. Ini adalah kesalahan yang tidak akan pernah bisa kita perbaiki. Aku ingin melupakan semuanya,” tulisnya. Kenneth merasa hatinya hancur membaca balasan itu. Dia berharap bisa mendapatkan kesempatan untuk memperbaiki segalanya, tetapi sekarang semua harapannya sirna.
Malam itu, Kenneth duduk di teras rumahnya, merenungkan semua yang telah terjadi. Dia ingin mengubah keadaan, tetapi semua terasa sia-sia. Rasa bersalah menyelimuti pikirannya, dan ia tidak bisa menemukan cara untuk melepaskan diri dari perasaan ini. Di dalam hati, ia tahu bahwa apa pun yang terjadi, ia harus bertanggung jawab atas tindakan yang telah dilakukannya, dan ia akan melakukannya, bahkan jika itu berarti harus menghadapi konsekuensi yang berat.
Di sisi lain, Calista merasa sangat kesepian. Meski ia berusaha menyembunyikan semuanya, rasa sakit itu terus menghantuinya. Ia tahu bahwa ini bukan akhir dari semua masalah, tetapi awal dari sesuatu yang lebih menakutkan. Keputusan untuk tidak memberi tahu siapa pun adalah keputusan yang sulit, tetapi ia merasa tidak ada pilihan lain. Ia harus menghadapi ini sendirian, meskipun hati dan pikirannya terus berperang.
Penyesalan menjadi bagian dari hidup mereka berdua. Kenneth dan Calista mungkin tidak akan pernah bisa kembali ke keadaan sebelumnya, tetapi mereka berdua harus belajar dari kesalahan itu. Penyesalan adalah guru yang paling berat, tetapi terkadang, itu juga bisa menjadi titik awal untuk perbaikan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!