Suara ayam berkokok membuat suasana pagi hari di kampung begitu ramai.
"Aira sudahmi, nak."
Gadis cantik, bermata biru serta memiliki kulit putih, rambutnya yang terurai panjang menoleh.
"Ini ku kasih masuk dulu pakainku umi ke dalam tas."
"Umi tunggu pale di ruang tamu, nah."
"Iya, umi."
Humairah kembali membereskan pakaiannya ke dalam tas. Hari ini dia akan ke kota jakarta, melanjutkan pendidikannya di sana.
"Rasanya deg-degaan," ucap gadis itu.
Setelah semua pakainnya selesai, Humairah pun keluar dari kamarnya, berniat untuk makan bersama dengan keluar sebelum dirinya diantar ke bandara.
"Humairah, anaknya Etta. Kalau di kampungnya ki orang, jangki banyak tingkah nah. Ingat bukan kampung ta itu. Apalagi kita tinggal sama temannya umi. Bukan siapa-siapa ta itu, beliau cuma orang baik yang mau memberimu tumpangan. Jaga sikap ta."
Mereka berasal dari kampung jeneponto salah satu provinsi sulawesi selatan.
Humairah mengangguk, mendengarkan setiap ucapan dan nasehat ayahnya.
"Iyya Etta."
Setelah makan, mereka pun mulai bersiap untuk mengantar Humairah ke bandara.
...****************...
Humairah memeluk semua tante, om serta teman-temannya.
"Hati-hati ya, Aira."
Humairah mengangguk, menghapus air matanya yang membasahi pipinya di balik cadar.
Gadis itu masuk ke dalam mobil. Ayahnya pun mulai melajukan mobilnya.
Humairah menatap semua tempat yang mereka lewati. Tempat biasanya dia dan kawannya bermain.
Ayahnya dan sang ibu ikut merasa sedih harus melepaskan putri mereka jauh untuk meraih cita-citanya.
Tak terasa perjalanan mulai jauh, dan tepat selesai magrib mereka sampai di bandara.
"Anak gadisnya Etta, tidak boleh menangis." Ayahnya menghapus air matanya Humairah.
"Etta Aira enggak bisa, Aira tidak bisa pisah sama kalian."
Umanya mendekati putrinya. "Pergilah."
Humairah mengangguk. Ia melambaikan tangannya kepada orang tuanya.
Saat anak itu sudah hilang dari pandangan mereka. Kedua orang tua Humairah pun menumpahkan air matanya.
"Semoga bisa na jaga dirinya, ya Etta."
'"Bisa ji itu Humairah jaga dirina."
...----------------...
Seseorang menepuk bahu Humairah saat sudah turun dari pesawat dari beberapa menit lalu. Ia menempuh perjalanan satu jam.
"Humairah kan?"
Humairah mengangguk.
"Gue anaknya teman umi lo, Arika," ucap lelaki tampan itu.
"Benaran? Enggak bohong?" tanya Humairah memastikan.
"Enggak percaya banget." Lelaki itu memperlihatkan foto mommynya membuat Humairah pada akhirnya percaya.
Humairah pun masuk ke dalam mobil lelaki itu. Dia masuk dan duduk di belakang.
"Gue bukan supir lo, hey. Duduk depan."
"Enggak, mau di sini aja."
"Lo takut sama gue?"
Humairah menggeleng membuat lelaki itu bingung.
"Kita bukan muhrim, enggak boleh dekat-dekatan. Lagian enggak ada yang bakal tau kok."
"Yaudah deh."
Arvi pada akhirnya mengalah, ia mulai melanjutkan mobilnya, dari pada berdebat terus dengan gadis anak teman mommynya itu.
Singkat cerita, mereka pun sampai di rumah mewah. Humairah sampai menganga melihat rumah besar tersebut.
Padahal di kampung, rumah orang tuanya lah yang paling terlihat menonjol, tapi ini lebih mewah.
"Ayo keluar."
Humairah turun dari mobil. Sedangkan Arvi mengambil kopernya di bagasi.
"Ayo," ajak Arvi saat melihat gadis itu bengong di tempat.
Baru saja di teras, pintu rumah sudah terbuka memperlihatkan wanita paruh baya. Namun, wajahnya masih terlihat awet muda.
"Akhirnya kamu datang juga." Wanita itu mengajak Humairah masuk ke dalam rumah.
Sedangkan Humairah jadi merasa canggung. Ingin rasanya pulang ke sulawesi kembali.
"Arvi bawa barang-barang Humairah ke kamar."
"Iya paduka ratu." Arvi mendorong koper tersebut ke sebuah kamar.
Sedangkan Humairah di ajak ke ruang makan. Di ajak makan bersama dengan yang lain.
"Ayo ikut makan, kamu pasti laparkan, sayang."
Humairah dengan merasa canggung duduk diantara tiga orang yang sudah menikmati makan malam.
Lelaki paruh payah, yang merupakan kepala rumah tangga di sana tersenyum ke arahnya membuat Humairah membalasnya.
"Ayo makan, nak. Enggak usah malu-malu."
Humairah mengangguk, dia hanya mengambil nasi sesendok dan lauk.
"Kok cuma segitu?"
"Segini aja tante."
Arika duduk di samping gadis tersebut, tahu jika anak itu sedang malu dan canggung kepada mereka.
"Shaka sudah kenyang."
"Makanannya belum habis, Shaka."
"Shaka udah kenyang, mommy." Anak itu beranjak pergi dari sana.
Arika dan sang suami geleng-geleng kepala melihat putra sulung mereka.
"Anak tante yang satu itu memang begitu, maklumi ya."
Humairah mengangguk. Dia berpikir anak teman uminya hanya seorang perempuan, ternyata mempunyai dua anak bujang juga. Kalau begini, dia memilih ngekos aja.
"Halo kakak cantik," sapa gadis kecil yang menyapa Humairah.
Humairah tersenyum di balik cadarnya, dan membalas sapaan gadis kecil itu.
"Mommy nama kakak cantik ini siapa."
"Namanya kakan Humairah."
Ainun beroh saja. Dia berpindah tempat duduk ke samping Humairah.
"Kak Humairah, kakak enggak usah malu ya. Ada Ainun kok di sini, kakak enggak usah peduliin aa Shaka sama aa Arvi."
Humairah mengangguk. Ada rasa lega saat mendengar ucapan Ainun.
Arika dan Raiden tersenyum melihatnya. Mereka pun melanjutkan makan malam dengan tenang.
Usai percakapan di meja makan, Ainun mengantar Humairah ke kamar yang akan Humairah tempati.
Humairah merasa takjub dengan isi kamar tersebut, ia kira akan diberikan kamar sederhana saja. Ternyata kamarnya begitu mewah.
"Kakak kenapa? Kok diam? Ayo masuk."
"Ainun, ini benaran aku tidur di sini?"
"Iya kak, kenapa sih?"
"Enggak kok." Humairah melangkah masuk, ia duduk di kasur empuk, sangat empuk beda dengan kasurnya yang kawatnya mulai bermunculan di balik kasur.
"Ainun, ayo ke kamar kamu. Biarin kakak Humairah istirahat, kamu besok sekolah. Jadi harus bangun pagi."
Ainun mengerucut bibirnya. Namun, perlahan tersenyum ke arah Humairah.
"Kakak, Ainun ke kamar dulu ya. Besok kita main."
"Ok Ainun." Humairah menaikan jempolnya, anak kecil itu pun keluar dari kamarnya.
"Istirahat, ya. Seragam sekolah kamu besok udah tante siapin di dalam lemari. Kamu tinggal pake besok."
"Repot-repot banget tante, Humairah jadi enggak enak hati."
Arika tersenyum dan mengusap kepala gadis tersebut.
"Enggak masalah, sayang. Selama kamu di sini, kamu adalah tanggung jawab tante, enggak usah sungkan ya."
Humairah mengangguk. Arika pun keluar dari kamar tersebut, Humairah pun menutup pintu kamar.
"MasyaAllah, kamarnya benar-benar impian aku banget."
Humairah melepaskan hijab dan cadarnya. Setelah itu berjalan ke dalam kamar mandi, untuk membersihkan diri lalu menunaikan sholat isya setelah itu baru beristirahat.
"Besok hari pertama aku sekolah di sini, ya Allah lancarkan semuanya. Semoga aku bisa menjaga sifat yang kampungan aku ini." Humairah berdoa dalam hatinya.
"Semoga aku bisa menyelesaikan pendidikan ku di sini dan pulang ke kampung. Beri nama baik buat Etta dam umi."
Pagi hari yang begitu berisik. Biasanya, Humairah akan di bangunkan oleh suara ayam di pagi hari, tetapi sekarang mendengar teriakan demi teriakan orang rumah.
"Mommy shampo Ainun habis."
"Sayang, jas kantor mas udah di setrika belum sama bibi?"
"Bibi ini seragam Arvi masih kotor."
Dan lain sebagainya. Humairah hanya mampu menghela napas panjang, ia memakai cadarnya dan bersiap untuk keluar kamar. Berniat membantu Arika dan ART di sana.
"Aduh!"
Humairah meringis saat tubuhnya serasa menabrak seseorang. Ia mendongak ke atas, mendapati wajah tampan seorang tuan muda Shaka.
"Maaf."
Tanpa merespon, Shaka melewati Humairah menurungi tangga.
Humairah menaikan bahunya dan ikut turun ke bawah. Mendekati dapur, melihat Arika dan ART sedang memasak.
"Asslamualaikum, tante. Humairah bisa bantu apa?" tanya Humairah.
Arika menoleh, dan tersenyum.
"Walaikumsslam, anak cantik. Kamu enggak perlu bantu, bibi udah masakin semuanya."
"Aku bantu angkat aja ke meja makan." Humairah membantu bibi mengangkat semua sarapan ke meja makan.
"Anak yang baik," ucap Arika dalam hatinya.
Usai mengangkat semuanya ke meja makan. Mereka pun makan bersama.
"Kakak Humairah makan yang banyak."
Humairah hanya mengangguk pelan. Rasanya begitu sungkan kepada mereka.
"Shaka kamu sama ya Humairah ke sekolahnya, sekalian kamu temani dia ke ruang kepala sekolah."
"Arvi aja, dad. Yang temani dia, Shaka ada latihan basket."
"Gue mau antar Ainun ke sekolah, bakal lambat. Dia murid baru, yakali mau datang terlambat."
Humairah jadi merasa tak nyaman saat semuanya membahas dirinya.
Shaka menghela napas panjang. Pada akhirnya lelaki itu mengangguk.
Usai sarapan, Shaka mengeluarkan mobil yang akan dipakai di dalam garasi. Awalnya Shaka ingin memakai motor, tapi mommynya melarang karena akan membawa Humairah.
"Duduk di depan!" ucap Shaka, walaupun terlihat tenang tapi membuat bulu kuduk Humairah merinding.
"Di-belakang aja."
"Gue bilang di depan, ya di depan. Lo mendengar enggak?"
Humairah pada akhirnya duduk di depan. Shaka pun mulai melajukan mobilnya.
Hanya ada suara kendaraan. Di atas mobil hening, tidak ada percakapan.
Hingga tak terasa mereka pun sampai di sekolah. Namun, Shaka menyuruh Humairah turun dari mobilnya saat di depan gerbang sekolah.
"Turun."
"S-aya turun?" tanya Humairah.
"Lo pikir kita berapa orang di mobil ini?" tanya Shaka balik.
Dengan perasaan sedikit kesal, tapi tak berani ia perlihatkan. Humairah turun dari mobil.
Mobil itu pun melaju memasuki gerbang, meninggalkannya. Humairah menghembuskan napas kasar, ia berjalan masuk ke dalam.
Gadis itu bingung harus kemana, apalagi menjadi pusat perhatian. Ia meremas tali tasnya.
"Ruang kepala sekolah di mana, ya?" tanyanya bingung. "Anaknya tante Arika juga kemana?"
Humairah terdiam di tengah lapangan, menjadi pusat perhatian banyak orang. Dan hal itu membuatnya merasa takut.
Tiba-tiba saja ada yang menariknya membuatnya panik.
"Si-Kamu." Ada rasa lega yang dirasakan Humairah, saat mengatahui yang menariknya adalah Shaka.
"Lo kek orang gila tau enggak? Lo enggak nyadar jadi pusat perhatian?" tanya Shaka.
Humairah menggeleng, ia menunduk ke bawah. Melepaskan tarikan Shaka.
"Enggak usah pegang bisa, enggak? Kita bukan muhrim."
"Cih." Shaka berdecak. "Awalnya gue mau bantuin lo, tapi lo-nya sok alim. Jadi cari aja sendiri ruang kepala sekolah di mana." Shaka melangkah meninggalkan Humairah sendiri.
"Tunggu, saya minta maa-" Humairah berdecak sebal, saat langkah Shaka begitu cepat hingga sudah tak terlihat dari pandangannya.
Ia pun kembali ketakutan. Nasib jadi siswa pindahan. Ia pun berjalan sendiri mengelilingi setiap koridor. Membaca setiap papan yang berada di depan pintu.
"Ruang kepala sekolahnya di mana sih?"
Sedangkan Shaka sudah sampai di tempat ganti. Mengganti pakainnya menjadi seragam basket.
"Gimana kalau sampe sekarang cewek aneh itu belum nyampe ke ruang kepala sekolah? Kalau dia tersesat dan di gangguin sama Naya and the gengnya?" Shaka mulai kepikiran dengan Humairah. "Cewek itu kan penampilannya alim banget, pasti jadi bahan ejekan."
Shaka menyimpan bolanya, dan berlari keluar dari lapangan basket.
"Shaka woi, lo mau kemana," teriak temannya, tetapi Shaka tak menghiraukannya.
Shaka mulai mencari keberadaan Humairah. Perasaannya mulai panik, tak mendapati gadis itu.
"Ah sial, gue bakal di omeli sama mommy nih." Dia menggaruk belakang kepalanya yang merasa tak gatal.
Tepat pada ujung koridor, Shaka melihat gadis tersebut. Hatinya bernapas lega, dia mendekati Humairah.
"Lo dari mana aja sih?" tanya Shaka dengan nada kesal.
"Lah saya dari ruang kepala sekolah, kamu yang kemana malah ninggalin." Humairah menjawab, lalu kembali melangkah meninggalkan Shaka, mencari kelasnya
Shaka menghembuskan napasnya, dia berlari mendekati Humairah.
"Tadi enggak usah lo aduin ke mommy gue!" Setelah mengatakan hal itu Shaka melangkah pergi.
Humairah menaikan bahunya tak peduli dengan ucapan Shaka.
"Dasar cowok aneh."
...----------------...
Humairah memasukan semua bukunya ke dalam tas. Ia melangkah keluar dari kelas.
"Akhirnya berakhir juga." Humairah menghela napas lega.
Dia memiliki hanya dua teman, yang ingin berteman dengannya. Yang lain, tak ingin menemaninya.
"Humairah kami pergi dulu, ya. Kamu pulang bareng siapa?" tanya Fifi.
"Naik gojek."
"Mau pulang bareng kita?"
Humairah menggeleng. Membuat Fifi dan Tiara mengangguk, keduanya pun pergi meninggalkan Humairah.
"Ini gue pulangnya gimana?" tanya Humairah, ia merasa sekolah mulai sepi.
Shaka maupun Arvi tak terlihat. Mana dia belum mengatahui setiap jalan di jakarta.
"Neng, enggak pulang?" tanya pak satpam.
Humairah keluar dari gerbang saat pak satpam ingin menutupnya.
"Adun gimana, ya?" Humairah mulai berjalan meninggalkan sekolah. "Aku belum punya nomor orang di rumah lagi, telpon umi, tapi ponselku juga mati."
Dia berdoa semoga menemukan jalan pulang. Tega sekali kedua kembar, yang tega meninggalkannya sendiri.
Arvi tertidur di perpustakan. Pemuda itu bangun dan bergegas keluar dari perpustakan, untung saja belum di tutup.
"Ini serius tinggal gue doang yang di sekolah?" Arvi melihat pagar sudah tertutup.
Terpaksa lelaki itu lewat tempat biasanya bolos untuk keluar dari sekolah.
"Shaka sama Humairah dah pulang kah? Mereka tega meninggalkan cowok setampan gue, mereka enggak nyariin gue? Tega banget," gerutuk Arvi melompat turun ke aspal.
Untung saja motornya ia simpan di luar sekolah, jadi tak perlu menelpon pak satpam untuk membuka kan gerbang untuknya.
"Mommy udah berapa kali nelpon ini, mampus gue dapat omelan." Arvi menggaruk kepalanya. Dia menerima telpon dari abangnya, Shaka.
"Cih nyariinya baru sekarang lo."
"Apa?"
"Lo di mana?" tanya Shaka.
"Di sekolah, gue ketiduran di perpustakaan."
"Cewek itu ada sama lo?"
"Cewek siapa? Humairah maksud lo?"
Shaka berdehem.
"Lah gue kira sama lo!"
"Cari dia. Dia enggak sama gue, gue langsung pulang tadi."
"Yaudah, cari sama-sama sampai dapat. Habis kita di tangan mommy kalau Humairah kenapa-napa."
Shaka mengusap rambutnya kasar. Di sekitaran sekolah, dia tidak menemukan Humairah.
"Lo udah ketemu?" tanya Arvi tiba-tiba menghentikan motornya tepat samping mobil Shaka.
Shaka menggeleng.
"Yaudah cari lagi."
Mereka pun kembali berpencar. Shaka menuju halte bus, berharap Humairah ada di sana.
Saat sibuk mencari keberadaan gadis tersebut. Hujan turun, membasahinya. Dia pun mendapatkan telpon dari sang mommy.
"Kamu di mana?" tanya sang mommy
Shaka kala kabut saat mommynya menanyakan, dirinya di mana.
"M-ommy di mana?" Bukannya menjawab, Shaka malah bertanya balik.
"Mommy masih ada di studio pemotretan, mommy tanya kamu di mana. Kamu sudah ada di rumah kan? Ainun, Arvi dan Humairah juga udah ada di rumah?"
"I-ya mommy."
"Kenapa nada bicaramu gagap, sayang?"
"Enggak apa-apa mommy. Udah dulu ya, mom. Love you." Shaka mematikan sambungan telpon.
Shaka meninggalkan mobilnya di dekat halte bus. Dan berjalan untuk mencari Humairah. Ia harus mencari gadis itu sebelum mommynya pulang.
"Nyusahin aja jadi cewek."
Shaka berlari saat melihat seseorang berjalan di depannya. Pakaiannya sama persis dengan Humairah, dan berharap orang itu adalah Humairah.
"Hu-mairah," teriak Shaka. Nama itu berhasil keluar dari mulutnya.
Terlihat dua preman mendekati orang itu. Hal itu membuat Shaka menghentikan langkahnya dahulu, memastikan apakah orang yang dikira Humairah, benar-benar gadis tersebut?
"Tolong," teriak orang itu.
Suara itu familiar ditelinga Shaka. Shaka pun berlari ke arah kedua preman yang tengah menganggu gadis tersebut.
Bug!
Shaka menendang salah satu diantara mereka. Membuat mereka mengalihkan pandangannya ke arah Shaka.
"Siapa kamu!"
Salah satu preman berusaha memukul balik Shaka. Namun, tenaganya kalah kuat oleh Shaka.
"Lepasin cewek itu!" perintah Shaka.
"Bro, kita bisa nikmati sama-sama. Lo juga mau nikmati kan sebenarnya?"
Shaka mengepalkan tangannya. Sekali gerakan, Shaka menarik tangan Humairah sehingga gadis itu berada di dalam pelukannya.
Tepat waktu, Arvi datang. Arvi pun membantu mereka, hingga preman itu pergi.
Tubuh Humairah bergetar hebat. Mungkin begitu ketakutan.
"Tenang, udah aman," ucap Shaka berusaha menendangkan Humairah.
Entah kenapa, tiba-tiba saja merasakan kekhawatirkan mendalam kepada gadis tersebut.
"Gue izin gendong lo boleh? Gue enggak bakal macam-macam, gue gendong lo ke mobil." Tanpa menunggu jawaban Humairah, Shaka mulai menggendong gadis tersebut menuju mobilnya.
Arvi membantu membuka kan mobil. Shaka mendudukan Humairah, dan segera ikut masuk ke dalam mobil.
"Maafin gue," ucap Shaka membuat Humairah yang masih dengan badan bergetar menoleh.
Gadis itu hanya mengangguk saja. Shaka pun mukai melajukan mobil.
Telat sedikit saja, Humairah akan kenapa-napa, dan dia akan di marahi habis-habisan oleh sang mommy.
Shaka tidak langsung membawa gadis itu pulang dengan kondisi basah kuyup. Shaka berhenti di sebuah butik.
"Lo ganti baju dulu, baju lo basah. Lo nanti kedinginan, dan nanti mommy akan curiga sama gue!"
Humairah hanya menurut. Dia turun dari mobil, dan mengikuti langkah Shaka masuk ke dalam butik.
Humairah kira Shaka benar-benar mencarinya karena merasa khawatir dan bersalah. Ternyata takut dapat marahan dari ibunya.
Humairah diberikan handuk oleh karyawan di sana.
"Ada pakaian gamis?" tanya Shaka.
"Ada Tuan muda."
"Tolong ambilkan dan berikan kepada gadis ini."
Ternyata butik itu adalah milik mommynya. Humairah sempat heran, sebab baru melangkah ke dalam butik, mereka di sambut begitu baik.
"Nona, mari ganti pakaian anda."
Humairah mengangguk. Dia mengambil gamis itu dan masuk ke ruang ganti. Dan begitu pun dengan Shaka.
Humairah jadi bingung, cadarnya basah. Karyawan tidak memberinya sepasang cadar.
Dia mengintip, tidak ada karyawan di sana. Ia menggigit bibir bawahnya. Mau tak mau, Humairah memakai cadarnya yang tadi, kebetulan masih serasi dengan gamis dan hijab yang digunakannya.
"Udah?" tanya Shaka.
Humairah mengangguk, mereka pun melangkah meninggalkan butik.
...----------------...
Shaka bernapas lega, saat mommy dan daddynya belum ada di rumah.
"Makasih ya Tuhan."
Shaka merebahkan badannya di ranjang miliknya. Hingga tak terasa kantuknya datang.
Malam hari, Shaka terbangun. Ternyata hari sudah malam, dan sepertinya dia tertidur begitu lama.
"Suara siapa itu?" Shaka keluar dari kamarnya. Dia mendengar seseorang sedang mengaji, dan suaranya begitu indah dan adam di pendengarannya.
"Apa ada pengajian di rumah? Mommy sama daddy udah pulang?" Shaka bertanya-tanya.
Suara itu berasal dari kamar Humairah yang terletak di samping kamarnya. Sebab penasaran Shaka pun mengintip.
Shaka membelalakkan matanya, saat melihat wajah gadis tersebut.
"Ternyata dia cantik juga," gumam Shaka. "Suaranya indah." Shaka baru pertama kali memuji seseorang selain mommynya.
Humairah menatap ke pintu, sebab merasa dia sedang di lihati. Shaka pun buru-buru pergi dari sana.
Gadis itu berdiri, membuka pintu lebar-lebar. Ternyata tidak ada seseorang.
"Astaghfirullah, kebiasaan aku mah. Enggak nutup pintu kamar pas di kampung, jadinya kebawaan sampe sekarang." Humairah menutup pintu kamarnya.
Shaka menurungi anak tangga, wajah Humairah terbayang-bayang dalam pikirannya.
"Shitt... Gue kenapa malah mikirin gadis aneh itu?" Shaka mengerutuk sendiri.
"Kamu kenapa ngedumel gitu?" tanya sang mommy yang berada di ruang tamu.
Shaka mengalihkan pandanganya ke arah sang mommy.
"Sana makan, mommy tadi bangunin kamu, tapi kamu keknya lelap banget."
Shaka duduk di samping sang mommy. Menaroh kepalanya di bahu wanita yang sedang menjahit.
"Udah jam berapa mommy?" tanya Shaka.
"Udah jam sembilan malam."
"Berarti aku tidur udah lama?"
Saat sedang asik bercerita dengan mommynya. Suami mommynya itu datang duduk diantara mereka berdua.
"Shaka, kamu itu udah besar. Jangan dekat sama mommymu, mending kamu cari pacar sana, jangan manja-manja sama istri daddy."
"Apaan sih daddy."
"Astaga mas. Aku lagi menjahit ini, kamu ke sanaan dikit."
"Kamu udah enggak sayang aku?"
Shaka menghela napas panjang. Dia meninggalkan keduanya. Dia ke kamar kembarannya.
"Udah bangun lo," ucap Arvi yang tak mengalihkan pandangannya dari ponselnya.
Shaka tidur di ranjang kembarannya itu. Arvi pun hanya melirik ke abangnya itu. Memang kebiasaan cowok itu.
"Aaa," teriak seorang bocah membuat keduanya menoleh.
"Apaaan."
Ainun mendekati Shaka naik ke atas ranjang. Shaka pun memeluk adiknya itu.
"Aaa..."
"Kenapa?" tanya Shaka.
"Aa kapan sih punya pacar? Terus ajak pacarnya Aa ke rumah."
Shaka menatap adiknya itu.
"Kenapa emang kalau Aaa enggak punya pacar?" tanya Shaka.
"Iya takut lo belok," sela Arvi yang tiba-tiba nimbrung.
"Belok itu apa?" tanya Ainun menatap kedua abangnya.
Shaka menatap tajam ke arah Arvi membuat Arvi menggaruk telingannya.
"Anak kecil enggak boleh tau."
"Pelit." Ainun melipat kedua tangannya.
"Udah belajar?" tanya Shaka.
"Udah dong."
"Yaudah sana tidur."
"Aaa Aka, aaa sama kak Humairah aja," ucap Ainun tiba-tiba.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!