NovelToon NovelToon

Paman Tampan Itu Jodohku

Sayembara Jodoh

Siang ini sinar matahari bersinar sangat terik. Panasnya mampu membakar kulit, tiupan angin tak mampu meredakan panasnya udara yang seperti bara api.

Tidak hanya di luar saja, yang merasakan panas, tetapi yang di dalam ruangan juga demikian seperti Alexander Kai Devinter, berulang kali ia memijat pelipisnya yang terasa berdenyut, telinganya berdengung, serta keringat yang membanjiri tubuhnya. Perasaan frustasi membelenggu dirinya akibat nasehat sang mama.

“Kai, kau itu mendengarkan Mama tidak, sih?" tanya sang ibu dengan perasaan kesal. Bagaimana tidak? Sedari tadi ia mengoceh panjang lebar, memberikan petuah tentang pasangan hidup, tak pernah dihiraukan oleh putranya. Justru, putranya hanya terdiam membatu dengan tatapan dan pikiran kosong, lantas beberapa menit kemudian ia memijat pelipisnya.

“Iya, Ma. Kai dengar kok," Kai menjawab sang mama. Betul Kai memang mendengarnya. Akan tetapi, ia tidak menangkap apa yang dibicarakan oleh sang mama.

“Kalau begitu, bisa kau ulangi apa yang Mama sampaikan padamu?" tuntut mamanya. Ya, wanita paruh baya tersebut mencoba mengetes putranya apakah ia mendengarkan, atau tidak.

“Mati saja kau, Kai!" maki dirinya dalam hati, “suara Mama pun hanya sebatas suara sirine ambulans di telingaku."

“Tidak bisa menjawab, kan? Kai, Mama serius kali ini. Dengarkan Mama, kau ini sudah berumur 30 tahun ...," ucapannya disela oleh Kai.

“Dua tahun lagi, Mama. Aku bahkan baru berusia 28 tahun. Tega sekali Mama memberiku umur lebih sebelum waktunya. Jangan mendahului ketetapan Tuhan, Ma. Bahaya!"

“Eh ... eh ... eh ... berani kau menjawab Mama, ya! Dasar anak durhaka, Mama kutuk dirimu jadi batu, baru tahu rasa!"

“Ma, ini zaman modern. Mana mungkin sekali kutuk bisa langsung jadi batu. Please deh, itu zaman sudah lama sekali, nenek moyang kita mungkin belum lahir," Kai masih memejamkan mata dan bersandar pada kursi kebesarannya.

“Kai anak kesayangan Mama yang tampannya melebihi Oh Sehun EXO. Dengarkan Mama terlebih dahulu, Nak. Ini demi masa depan cerahmu!" Kali ini mamanya tidak main-main. terbukti dengan tatapan tajam yang dilayangkan padanya, jika dalam dunia komik, mungkin saja mata ibunya itu sudah mengeluarkan laser dan dipastikan Kai akan hangus seketika. Karena mencari aman, akhirnya Kai memilih diam.

“Papa sudah atur untuk semuanya jauh-jauh hari dan malam ini papamu akan mengadakan pesta untukmu, dia turut mengundang koleganya beserta anak mereka, atau bahkan para pengusaha muda. Mama harap kau menemukan seseorang yang cocok untukmu di pesta nanti malam. Ayolah, Kai. Mama dan Papa itu sudah tua, sudah saatnya menggendong cucu!" kata mamanya terkesan merengek.

“Buset! Apa Papa berniat mengadakan sebuah sayembara, Papa pikir aku barang? Dan apa-apaan ini, kenapa mendadak sekali, dan kenapa aku tidak tahu tentang rencana pesta nanti malam?" Kai sedang melakukan aksi protes.

“Karena jika diberitahu jauh-jauh hari, kau pasti akan menyiapkan seribu alasan untuk menghindar dari rencana Mama dan Papa," balas sang mama tak mau kalah.

“Ma, aku sudah sukses, sudah bisa memajukan perusahaan keluarga, aku juga memiliki perusahaan sendiri yang tak kalah maju dan tak kalah sukses, aku tampan, mapan, jenius. Mama tahu itu, kan?" tanya Kai. Mamanya mengangguk mengiyakan. ”Lalu apa kurangku, Ma? Kenapa kalian tidak pernah bersyukur, memiliki putra yang sukses di usia muda?"

Mendengar keluh kesah anaknya justru wanita paruh baya itu bertepuk tangan dengan riang. Namun, jangan senang terlebih dahulu. Jika sang nyonya seperti ini, Kai patut memasang sikap waspada, “Kau benar, Sayang. Kau itu sempurna ... sangat sempurna. Muda, tampan, kaya, dan jenius. Akan tetapi ada satu hal yang membuat kesempurnaanmu itu terasa kurang ... yaitu pendamping hidupmu! Apa kau tidak malu dengan anak teman Mama yang sudah memiliki keluarga kecil yang bahagia? Mama merasa iri dengan teman-teman Mama yang sudah menggendong cucu mereka yang lucu, sedangkan Mama? ... Mama hanya menggendong angin, Kai!"

“Lebih bagus jika menggendong angin. Itu membuat Mama baik-baik saja dan tidak menderita sakit pinggang di usia senja," Kai membalas perkataan mamanya itu.

“Kau menyumpahi mamamu sendiri sakit pinggang?"

”Bagian mana dari perkataanku yang menyumpahi Mama agar sakit pinggang?"

“Anak kurang ajar!"

“Kurang ajar bagaimana sih, Ma? Kai, kan tidak mengatakan apa pun," wajah Kai memelas.

“Pokoknya Mama tidak mau tahu, kau harus datang malam ini. Jangan kabur, atau semua fasilitasmu Mama cabut, mengerti?!" ucap sang mama kemudian keluar meninggalkan ruangan sang putra.

Kai hanya mengacak rambutnya frustasi. Mengapa dalam hidup harus ada kata pernikahan, pendamping hidup, dan jodoh? Apa dengan karier yang cemerlang saja tidak cukup?

Masalah hidup terkadang memang cukup pelik, apalagi jika membahas soal pernikahan, jodoh, dan segala bibit, bebet, dan bobotnya.

Bagi seorang Kai Devinter, tidak ada wanita yang akan tulus mencintainya, karena pada kenyataannya mereka hanya menyukai hartanya.

Jadi untuk apa ia mencari pendamping hidup, jika mereka semua tidak mencintai dirinya dengan tulus?

Masalah anak? Kai bisa melakukan apa pun. Mengadopsi dari panti asuhan, atau menyewa rahim dan membayar mereka, begitu tugas mereka sudah selesai. Kedengarannya memang mudah, tetapi hal tersebut pasti ditentang oleh kedua orang tuanya.

“Kak Mina, apa jadwalku sudah selesai?" Kai berbicara dengan kakak sepupunya yang juga merangkap menjadi sekretaris pribadinya melalui telepon.

“Tidak ada Kai, kau tidak ada agenda lagi hari ini, semuanya sudah selesai."

“Baiklah kalau begitu, aku akan beristirahat. Oh, iya. Jika ada tamu tolong tolak saja ya, Kak. Aku sedang tidak ingin diganggu!"

“Baiklah, aku juga paham jika kau membutuhkan waktu sendiri, ini pasti gara-gara Aunty?"

“Kau tahu itu dengan baik, Kak. Sudah dulu, ya. Aku butuh tidur."

Sambungan diputuskan sepihak oleh Kai. Dilangkahkan kaki jenjangnya menuju kamar pribadinya yang terdapat di ruangan itu dan mulai tidur.

Sementara di ruang kerja lain, tampak seorang wanita menggelengkan kepalanya, merasa prihatin dengan keadaan adiknya yang selalu didesak tentang pernikahan.

“Aku yakin kepalanya pasti terasa seperti mau pecah saat ini. Hah ... Kai, kuharap kau mau membuka hatimu untuk wanita, aku tahu kau masih belum bisa melupakannya. Akan tetapi, dia sudah bahagia di atas sana, Kai. Sudah saatnya kau mencari kebahagiaanmu sendiri," gumam Mina.

Saat tenggelam dalam lamunannya. Mina dikagetkan dengan dering telepon di ponselnya. Tanpa melihat siapa yang menelepon, Mina langsung mengangkatnya.

“Halo," sapanya.

“Mina, apa Kai masih sibuk saat ini?"

“Eh ... Aunty. Kai sedang istirahat, ia izin untuk tidur dan tidak ingin diganggu, Aunty, karena agendanya sudah selesai. Ada apa?"

“Ah, tolong sampaikan pada Kai jika ia harus mampir ke butik untuk acara pesta nanti malam, Aunty sudah membuat janji pada pemiliknya, jika Kai akan datang."

“Baiklah, nanti akan Mina sampaikan, tapi Aunty, apa Aunty tidak merasa kasihan pada Kai. Tolong jangan menekannya. Aku tahu jika anak itu merasa tertekan, karena desakan pernikahan."

“Sebenarnya Aunty juga tidak tega, tapi kau lihat sendiri bukan sepupumu itu selalu menganggap remeh masalah pendamping hidup. Dia sudah hampir kepala tiga dan masih bertahan dengan kesendiriannya. Aunty tahu jauh di dalam hatinya, dia merasa kesepian. Aunty hanya ingin dia bahagia dengan kehadiran seseorang di sisinya."

Mina tersenyum kecut, dalam hati ia membenarkan perkataan ibunda dari Kai tersebut. Dia juga paham jika sepupunya itu merasa kesepian, dan kesedihan yang berlarut masih senantiasa menggelayuti hatinya. Untuk itu Kai berubah menjadi robot pekerja agar kesedihannya bisa teralihkan.

Orang tua mana yang tega melihat anaknya berpura-pura baik-baik saja, padahal hatinya sedang rapuh?

Kedua orang tua Kai tidak bisa terus-menerus bersikap pura-pura tidak tahu, jika anak mereka sedang rapuh dan terluka. Mereka akan melakukan apa pun demi bisa melihat senyuman tulus yang terbit di wajah putra mereka.

“Ini sudah 11 tahun berlalu, Mina. A ... aku tidak kuat jika melihat Kai terus-terusan menyiksa dirinya. Berpura-pura tersenyum padaku dan papanya seolah mengatakan bahwa ia baik-baik saja, tetapi kenyataannya dia tengah hancur. Aunty sudah tidak bisa melihatnya seperti itu. Mau sampai kapan Mina?" suara bibinya terdengar bergetar menahan tangis.

Tidak hanya bibinya, sebenarnya Mina juga merasakan sesak di dadanya, tak terasa setetes air mata jatuh ke pipinya.

“Aunty yang sabar. Aku yakin akan ada kebahagiaan yang menghampiri Kai suatu saat nanti. Akan ada pelangi untuk dirinya."

“Aunty masih terus berharap seperti itu di setiap doa Aunty. Baiklah kalau begitu Aunty tutup dulu teleponnya. Bekerjalah dengan baik, jangan lupa makan. Ajak sepupumu itu, Aunty khawatir dia sering melupakan makan siangnya."

“Baik Aunty."

Sambungan diputuskan sepihak oleh sang bibi. Membuat Mina menghela napasnya, berusaha menghilangkan perasaan sesak di dadanya. Ia melangkah menuju ruangan Kai. Tidak perlu mengetuk pintu, Mina langsung melangkahkan kakinya menuju kamar sang adik.

Suara pintu terbuka, terlihat Kai tengah memejamkan matanya, meski Mina tahu bahwa pria itu tak tertidur pulas ... seperti dulu.

“Baby Bear, bangunlah. Temani kakakmu yang imut ini makan siang!" kata Mina sambil menggoyangkan lengan Kai berharap adik sepupunya itu bangun.

Kai melenguh, menggeliatkan tubuhnya, menyingkirkan rasa kantuk yang masih bergelayut manja di dalam dirinya, “Kak Mina."

“Ayo kita makan siang, aku sudah lapar, Kai. Aku ingin makan bakpau ayam!" Mina menarik lengan Kai agar bayi beruangnya itu lekas bangun.

“Iya-iya! Aish, kenapa Kak Mina menginginkan bakpau ayam tiba-tiba? Ini sudah siang, mana ada yang jual bakpau siang hari begini?!" Kai mengeluh.

“Aku sedang ingin. Dan kata siapa bakpau hanya dijual di pagi hari? Ada tuh yang jual saat siang hari!"

“Kau sedang mengidam, Kak? Apa aku akan punya keponakan baru?"

“Anggap saja seperti itu," jawab Mina sekenanya.

“Kau sungguh hamil? Wah, aku tak menyangka ternyata Kak Jo benar-benar hebat!"

“Bodoh, tentu saja aku belum hamil. Baru juga kemarin selesai resepsi. Aku belum mengajukan cuti," ujar Mina.

“Jika kau cuti lalu siapa yang akan menjadi sekretarisku?"

“Kan masih ada Raffi, Kai," jawab Mina lagi.

Kai bangun dan beranjak dari posisi tidurnya. Namun sejenak kemudian matanya memicing melihat Mina, “Matamu sembab. Kau habis menangis?"

“Ti ... tidak. Aku tidak apa-apa, aku hanya kelilipan saja," Mina beralasan.

”Kak Jo tidak macam-macam padamu, kan?"

“Tidak Kai, dia begitu mencintaiku, tak mungkin dia berbuat macam-macam. Aku jamin itu!"

“Baguslah. Jika Kak Jo berani macam-macam padamu, aku akan buat perhitungan untuknya."

“Kau memang adik kesayanganku," puji Mina.

Mereka bergegas menuju kantin. Banyak pasang mata yang menatap dengan tatapan iri, karena hanya Minalah yang mampu sedekat itu dengan atasan mereka. Bahkan tidak jarang keduanya saling bercanda dan melakukan skinship tanpa rasa canggung.

Kini mereka berdua sudah duduk di salah satu meja kantin paling sudut. Beruntung apa yang diinginkan Mina masih tersedia di etalase.

“Kai, tadi aku ditelepon oleh Aunty. Kau harus pergi ke butik sepulang kerja, untuk pesta nanti malam. Kali ini aku tidak akan membuatmu lembur lagi," ujar Mina serius kali ini.

“Kak, ayolah. Kau yang paling bisa kuandalkan," Kai mulai merengek. Sebenarnya ia merasa frustasi dengan acara nanti malam.

“Tidak Kai. Kali ini aku setuju dengan Aunty. Kau harus mencoba membuka hati, ini sudah 11 tahun berlalu. Kau berhak bahagia dengan mencari seseorang yang mengerti dirimu. Dia pasti mengerti, Kai dan dia juga pasti akan sedih jika melihatmu masih terpuruk dalam duka," Mina mencoba memberi pengertian.

Kai hanya mampu terdiam seribu bahasa. Sejujurnya ia belum mampu melupakan kekasih hatinya meski sudah berlalu 11 tahun lamanya. Akan tetapi, ia juga sadar, tidak baik jika terus-menerus seperti ini. Kedukaan yang berlarut-larut, membuatnya lupa akan kebahagiaannya sendiri.

“A ... aku tidak tahu, Kak. Ingin rasanya aku mencoba, tetapi sangat sulit. Apalagi di posisiku yang sekarang, aku sudah memiliki nama besar, aku sukses. Aku sadar memang banyak yang mendekatiku, tetapi aku juga tahu jika mereka hanya ingin hartaku," aku Kai. Matanya memandang ke arah luar jendela yang menampakkan gedung-gedung di luar sana. “Zaman sekarang mencari pendamping hidup yang benar-benar tulus itu sangat sulit, kemungkinannya juga sangat kecil."

“Kau lihat aku sekarang, Kai?" tanya Mina pada adiknya itu, sembari menyesap secangkir teh. “Awalnya aku juga sama sepertimu, terlalu minder untuk menjalin hubungan apalagi menikah, karena aku minder dengan diriku sendiri yang mungkin tidak secantik gadis lain di luar sana, tetapi ketakutan itu perlahan mulai sirna, saat aku dipertemukan dengan suamiku. Ia menganggapku cantik, ia memperlakukan diriku layaknya seorang ratu. Hingga perlahan rasa percaya diriku itu muncul dan mulai menjalin hubungan. Nyatanya, kami berhasil terikat janji suci pernikahan."

“Ya. Dan harus kuakui aku iri padamu, Kak. Kau menemukan jodoh lebih dulu," canda Kai pada kakak sepupunya itu.

“Maka dari itu temukan kebahagiaanmu sendiri. Nah, kau harus pulang sekarang, pergilah ke butik. Berdandanlah yang tampan," goda Mina.

“Lalu pekerjaanku?"

“Aku yang akan meneruskannya. Lagipula hanya tinggal sedikit, kan?"

“Terima kasih, Kak."

“Tak masalah, asal kau menaikkan gajiku," canda Mina seraya tersenyum.

“Itu bisa diatur. Baiklah aku pergi dulu," Kai berpamitan dan pergi meninggalkan Mina.

Sebelum pergi ke butik, Kai mampir ke sebuah toko bunga dan membeli satu buket bunga anggrek. Setelah mendapatkannya, Kai melajukan mobilnya menuju pemakaman dan menghampiri makam seseorang yang sangat berarti dalam hidupnya.

Jessica Berlian

Kekasih hatinya yang sudah pergi meninggalkannya 11 tahun lalu karena penyakit yang dideritanya. Sampai saat ini, Kai belum mampu menghapus bayang-bayang Berlian.

“Halo Lian, maaf aku baru bisa mengunjungimu lagi setelah sekian lama, bagaimana kabarmu? Kuharap kau baik-baik saja di sana. Lian, aku ingin bercerita sedikit, apa boleh?" Kai menarik napas dan menghembuskannya. ”Lian, hari ini Papa dan Mama mengadakan pesta untukku, agar aku bisa mencari pendamping hidup. Jujur ... aku belum mampu melupakan sosokmu, aku masih merindukanmu, aku belum rela melepasmu, aku belum bisa mencari penggantimu."

Air mata yang di tahan di pelupuk mata, pada akhirnya tumpah juga. Bahunya bergetar, dadanya merasakan sesak. Kai merasa berada di titik terendahnya saat ini.

Kehilangan seseorang yang sangat amat dicintainya, membuat Kai kehilangan separuh jiwanya.

Diletakkannya buket bunga anggrek itu di depan batu nisan. Semilir angin yang berhembus membuat daun-daun menari dengan gemulai, serta membelai lembut wajah tampan serupa Dewa Apollo itu.

Mata setajam elangnya terpejam menikmati angin yang membelai wajah yang berhiaskan kristal bening, melepaskan segala perasaan sesak yang bercokol di dalam hati, dalam suasana hening.

Perlahan-lahan entah hanya sekedar ilusi, atau pun nyata Kai merasakan tubuhnya berada dalam dekapan hangat seseorang.

Perasaan hangat itu makin menyeruak di dalam dada. Mengantarkan rasa nyaman yang mampu menghapus rasa sakit yang selama ini ia rasakan.

“Hiduplah bahagia meski tanpa aku di sampingmu, Kai. Terima kasih untuk cinta dan kasih sayang yang begitu besar untukku. Kau berhak bahagia, aku yakin, kau akan menemukan seseorang yang lebih baik dariku," bisik sebuah suara.

Kai mengatur napasnya. Rasa lega mulai merayapi hatinya. Akhirnya ia memutuskan untuk pulang, sebelumnya ia mengecup batu nisan sang kekasih.

Kai melajukan mobilnya menuju butik untuk mengambil baju yang ia kenakan untuk pesta nanti malam.

Cinderella Datang ke Pesta?

Seorang wanita berkepala empat tengah berkacak pinggang. Sedari tadi ia membuka, lalu mengatupkan mulutnya, seolah mencoba mengolah kata-kata yang akan keluar dari mulutnya.

“Mommy ... jadi bicara?" tanya seorang gadis berkisar usia 16 tahun dengan wajah tak berdosa, padahal bisa dikatakan wajah gadis ini sudah tak berbentuk karena luka lebam yang menghiasi wajahnya.

“Tutup mulutmu, sayangku. Mommy sedang bermeditasi saat ini!" jawab sang mommy penuh penekanan. Sejujurnya wanita tersebut sedang mencoba memproses kejadian tak terduga yang terjadi beberapa saat lalu, di mana saat ia tengah bersantai dan menikmati quality time seorang diri. Tiba-tiba saja, ia dikejutkan dengan kedatangan sang putri yang pulang ke rumah dengan wajah penuh lebam.

Salah apa dirinya, Tuhan. Setahu ia, dirinya beserta keluarganya rajin pergi beribadah setiap minggu dan taat pada aturan agama. Akan tetapi, mengapa Tuhan menitipkan anak yang begitu aktif padanya dan suaminya. Saking aktifnya, terkadang membuatnya sakit kepala.

Setelah berhasil menguasai dirinya, wanita itu membuka pembicaraan.

“Jelaskan pada Mommy bagaimana kau mendapatkan lebam di wajahmu Dominica Sophia Raviola Dexter?!" tuntutnya pada sang putri.

“Oh, ini. Tadi saat aku hendak pulang, aku dihadang komplotan murid dari sekolah sebelah, Mom. Awalnya aku biasa saja, tetapi mereka justru semakin menjadi-jadi dan merasa sok jagoan. Soya kesal! Karena mereka menantang Soya, ya, Soya terima tantangan merekalah," jelas gadis yang akrab dipanggil Soya itu.

“Soya anak kesayangan, Mommy. Sudah berapa kali Mommy bilang, jangan berkelahi, cukup kakakmu yang membuat Mommy sakit kepala, kamu jangan mengikuti jejaknya. Kau ini perempuan, Nak. Bersikaplah anggun seperti perempuan pada umumnya. Jangan menjadi preman pasar seperti ini!" pekik sang ibu pada putrinya, “lihat ini kulitmu yang putih mulus jadi lebam begini."

“Hanya lebam kok, Mom. Diobati dengan salep juga hilang, nanti," Soya memutar bola matanya.

“Hanya ...? Kau bilang hanya? Sekali lagi kau menyepelekan perkara kecil seperti ini, Mommy tidak segan-segan untuk menjadikanmu pinguin panggang!"

“Mommy, yuhu ... Lulu pulang!" seruan terdengar nyaring hingga ke setiap sudut rumah, membuat wanita itu menghela napas berusaha sabar.

Tampaklah gadis cantik bermanik rusa, bersama pria tampan berkulit pucat dengan tinggi di atas rata-rata, raut wajahnya terlihat datar.

“Liliosa Luvita Venecia Dexter, kecilkan suaramu. Ini rumah, Sayang, bukan hutan belantara. Tidak perlu berteriak! Kasihan Stephen," sang ibu mengurut kepalanya yang terasa berdenyut.

“He-he-he ... maaf, Mommy. Oh my God. Kau tersesat di kandang mana. Mengapa wajahmu jadi lebam begini?!"

“Kandang Kudanil. Dan aku bergulat dengan kawanannya, lagipula itu bukan salahku. Salah mereka sendiri yang sok jagoan menantangku. Mentang-mentang aku seorang perempuan, mereka semua menantang dan meremehkanku!" Soya menjelaskan dengan sedikit berapi-api.

“Huh, memang dasar sifat laki-laki yang selalu memandang perempuan sebelah mata. Mereka pikir, kami para perempuan hanya bisa merengek. Lalu apa kau tadi memenangkan perkelahiannya, adikku?" Lulu bertanya sembari merogoh toples cookies.

“Tentu saja aku menang. Tidak ada sejarahnya putri dari Daddy Kevin dan Mommy Zizi itu kalah, ya! Akan sangat memalukan jika aku kalah, mau ditaruh di mana wajahku?"

“Bagus, itu baru adikku. Jangan mau ditindas! Mata balas mata, kaki balas kaki, dan tangan balas tangan!"

Obrolan mereka terhenti sejenak karena bunyi notifikasi dari ponsel Zizi. Mata pandanya melirik ada satu pesan yang ia terima dari sang suami. Dengan cepat ia menyambar ponselnya dan membaca pesan tersebut.

“Girls, Daddy mengirim pesan bahwa nanti malam akan ada pesta yang diadakan oleh salah satu kolega Daddy ...." Zizi menyela obrolan mereka.

“Iya ... lalu?" sahut Lulu dan Soya bersamaan.

“Kalian semua diminta bersiap untuk ikut ke pesta nanti malam," Zizi menyampaikan.

“Ini pasti pesta perusahaan. Malas, ah. Lagipula jika ada pesta begini, bukankah Mommy dan Daddy saja sudah cukup?" heran Lulu. Badannya dengan manja bersandar pada dada bidang Stephen.

“Lebih baik aku tidur saja daripada menghadiri pesta yang membosankan," Soya setuju dengan kakaknya.

“Tidak ada bantahan, atau kartu kredit kalian akan dibekukan!"

“What, mana bisa begitu?!" teriak dua kakak-beradik itu bersamaan.

“Ini perintah dari Daddy, Honey. Dan Soya, kemarilah, Mommy akan mengobati lebam di wajahmu," perintah Zizi kemudian. Dengan sabar dan hati-hati, Zizi mengobati luka sang putri. Sementara Soya sedikit meringis kala lukanya bersentuhan dengan tangan sang ibu.

“Ini tidak mungkinkan? Mommy pasti berbohong. Daddy tidak mungkin sekejam itu pada kami, karena kami adalah putri kesayangan Daddy, terutama aku," Soya tidak percaya dengan perkataan sang ibu. Matanya memicing, berusaha mencari kebohongan di raut wajah ibunya.

“Lihatlah sendiri jika tidak percaya." diberikannya ponsel miliknya pada sang putri supaya sang putri bisa membaca pesan suaminya. Lulu ikut merapatkan tubuhnya dan menempel pada Soya. “Mommy, tidak berbohong, kan?"

“Wah! Ini benar-benar serius. Jangan-jangan pesta ini semacam pesta yang ada di dongeng Cinderella?" tebak Lulu, “ah! Kalau memang seperti itu, untuk apa aku ikut? Aku, kan sudah punya Stephen."

“Aku pun juga tidak ikut. Kakak lupa aku sudah punya Richard?" Soya menimpali ucapan kakaknya.

“Berhentilah berhubungan dengannya, Soya. Dia tidak benar-benar mencintaimu. Selain itu, aku juga tidak menyukainya!" ujar Lulu dengan nada kesalnya. Ya, ia memang kurang menyukai kekasih hati sang adik, karena menurutnya Richard Loey adalah seorang playboy kelas kakap. Dia tak ingin sang adik merasa sakit hati setelah mengetahui tabiat buruk kekasihnya.

Bagaimana bisa Lulu mengetahuinya? Mudah saja, mereka ini satu kampus, namun berbeda jurusan, sedangkan Soya masih ditingkat sekolah menengah atas. Tentu itu menjadi peluang bagi seorang Richard Loey untuk bermain di belakang adiknya.

“Sekarang Kakak tanya, perasaanmu sendiri terhadap Richard bagaimana?"

Soya terdiam. Ia sendiri juga bingung pada perasaannya, ia mencintai Richard, tetapi rasa cintanya belum sebesar itu. Namun, setidaknya ia berusaha untuk belajar mencintai seseorang.

“Aku ... mencintainya, Kak," Soya menjawab, meski masih ada sedikit keraguan di hatinya.

“Jika kau tidak mencintainya, lebih baik putuskan saja, ia. Aku tidak ingin pinguin kecilku ini sakit hati karena pria brengsek sepertinya," nasehat Lulu, kemudian memeluk adik kesayangannya.

Zizi merasakan terenyuh melihat kedua putrinya saling menyayangi, dibalik ucapan pedas yang terkadang mereka lontarkan untuk satu sama lain.

“Oke, kembali ke permasalahan utama. Jadi, Soya. Mommy sangat berharap padamu, kau ikut pergi malam ini," putus Zizi.

“Kenapa hanya aku? Kenapa kakak tidak diajak sekalian?!"

“Hari ini aku akan pergi menemui orang tua Stephen, sayangku. Aku akan ikut orang tuanya mendampingi Stephen di pesta," jelas Lulu lagi.

“Ah ... ini tidak adil! Lalu lebamku bagaimana? Tidak mungkinkan, aku datang dengan kondisi wajah seperti ini?"

“Itu salahmu, mengapa kau berlagak seperti preman jalanan, huh? Bersikap anggunlah sedikit!" Zizi mencibir putri bungsunya yang kelewat bengal itu.

“Kak Stephen, bagaimana jika aku yang menemani dirimu saja?" pinta Soya pada calon kakak iparnya itu. Ya, Stephen dan Lulu sudah bertunangan. Meski usia mereka masih muda.

Lulu mendelik tak terima, “Sorry? Untuk apa kau minta tolong pada tunanganku? Maaf, ya. Kakak tidak membuka jasa persewaan pasangan."

“Barangsiapa tidak menolong sesamanya, maka rezekinya akan kering, sekering Gurun Sahara," ucap Soya seakan menyindir Lulu.

Lulu hanya mendecih, “Barangsiapa mengambil milik sesamamu, maka tinggi badanmu tidak akan bertambah."

Sebuah sepatu melayang dan mendarat tepat di kening mulus milik Lulu, membuat Lulu mengumpat pada sang adik, “Sialan!"

“Mirror please, tinggi badan kita itu tidak jauh berbeda," sinis Soya. Oh, dia memang sensitif jika tinggi badannya dibahas. Ia bingung, Daddy memiliki tinggi badan di atas rata-rata, begitu juga dengan mommy-nya. Namun, entah mengapa, kedua putri mereka memiliki tinggi badan yang ... ya begitulah. Meski begitu, kakaknya lebih unggul beberapa senti tingginya, daripada tinggi badannya.

Hati kecilnya jadi bertanya-tanya, apa benar mereka ini anak daddy dan mommy-nya?

Zizi hanya menghela napas sabar, ingin rasanya ia memecat kedua putrinya dari keluarga, tetapi ia harus mengingat kalau mereka berdua ada di dunia ini karena hasil kerja kerasnya dengan sang suami setiap malam.

“Baiklah, sudah diputuskan kau akan ikut malam ini. Oleh karena itu, ayo sekarang kita ke butik untuk memilih gaun yang akan kau pakai nanti malam, kemudian dilanjutkan dengan ke salon," ajak Zizi pada putrinya.

“Apa harus, Mom? Kurasa itu tidak perlu. Mommy lihat kondisi Soya yang tidak memungkinkan untuk keluar. Begini saja, daripada pergi ke butik dan salon, bagaimana jika aku dan Stephen yang mengurus Soya untuk mempersiapkan nanti malam? Tenang saja, Mommy tahu, kan, jika Stephen itu orangnya sangat fashionable dan stylish? Untuk gaun biar itu menjadi urusan Stephen. Ia memahami fashion wanita. Sedangkan, untuk riasan wajahnya nanti, biarkan Lulu yang mengurusnya," usul Lulu.

“Bajunya ... tidak pakai yang terbaru?" Zizi bertanya.

“Hemat uang, biar irit," Soya menjawab dengan malas.

“Benar juga," Zizi menyetujui perkataan sang anak, “oke, Mommy serahkan Soya pada kalian. Pokoknya adikmu itu harus cantik, malam ini. Jika bisa seperti Princess Kate Middleton."

“Dasar Mommy yang tak pernah bersyukur, sudah memiliki anak yang cantiknya keterlaluan begini, masih saja tidak terima," Soya mencibir ibundanya. Namun, Zizi tak peduli, ia pergi ke dapur, membuat minuman untuk calon menantunya. Oh, ia ingin menjadi ibu mertua yang baik.

Berbeda dengan Soya yang sudah ada di kamar bersama kakaknya dan calon kakak iparnya.

Soya mengirim pesan pada kekasihnya. Ia ingin sang kekasih bisa menemaninya ke pesta nanti malam.

Lama menanti sebuah balasan, akhirnya sebuah notifikasi ia terima, menampakkan pesan dari sang kekasih.

Maaf aku sibuk, tugas kuliah menumpuk. Sekali lagi aku minta maaf, Sayang.

Begitu isi pesannya. Huh, memang laki-laki yang tidak bisa diharapkan.

Membuang napas kesal, Soya melempar ponselnya ke ranjang.

“What happened with you, Honey?" tanya Lulu saat melihat ekspresi adiknya berwajah masam.

“Nothing," jawab Soya lesu.

“Richard?" tebak Lulu lagi.

“Dia tak bisa menemaniku datang ke pesta nanti," Soya berkata sambil memandang langit-langit kamarnya.

“Kau iyakan saja semua alasannya. Aku sudah malas mendengar semua seribu satu alasannya," Lulu berujar sambil mempersiapkan peralatan make up. “Sudahlah sekarang kau mandi terlebih dahulu, aku dan Stephen akan mempersiapkan semuanya!"

Soya menurut saja, ia langsung beranjak dari tidurnya dan melangkahkan kakinya menuju kamar mandi.

“Sayang, menurutmu sampai kapan Soya harus bersama Richard?" bisik Lulu pada tunangannya.

“Biarkan saja, biarkan Soya yang melihat dengan mata kepalanya sendiri, bagaimana tabiat Richard itu. Kita hanya perlu mengawasinya, Sayang." direngkuhnya pinggang wanitanya.

“Aku hanya tidak ingin dia terluka."

“Aku tahu, tetapi aku yakin Soya adalah anak yang kuat."

Lima belas menit berlalu, Soya sudah selesai mandi. Begitu juga dengan Stephen yang sudah memilihkan satu gaun pesta lengkap dengan cadar.

“Kenapa harus ada cadar?" Soya bertanya dengan heran.

“Untuk menutupi lebam yang ada di wajahmu, Anak Manis," Stephen memberikan gaun dan cadarnya itu pada Soya. Lengkap dengan sepatu hak tinggi.

“Benda horor macam apa ini?!" Soya menenteng sepatu hak tinggi tersebut.

“Sudah jelas itu sepatu hak tinggi, kau masih bertanya?" Lulu menyahut, “cepatlah, kita tidak punya banyak waktu!"

“Baiklah aku keluar dulu," Stephen keluar dari kamar Soya.

Lulu bergegas mendadani sang adik, dia memoles wajah adiknya dengan makeup natural, tidak terlalu menor.

Mereka bersiap hingga satu jam lamanya. Mengenakan gaun sepanjang mata kaki lengkap dengan sebuah cadar dan rambut sudah gelung ke atas dan ditata dengan rapi, Soya terlihat sangat cantik.

Saat turun ke bawah ternyata Kevin dan Zizi sudah bersiap. Mereka tengah mengobrol dengan Stephen.

Untuk Stephen sendiri, ia sudah memakai pakaian formal yang sengaja ia bawa di mobilnya. Ia berangkat dengan Lulu.

“Honey, kau memakai cadar?" tanya sang ayah.

“Dia mengenakan cadar untuk menutupi luka lebamnya, Sayang. Seperti tidak tahu putrimu saja," sahut Zizi yang masih menyimpan perasaan kesal pada putri bungsunya. Tidak hanya Soya yang terlihat cantik, Lulu pun juga tidak kalah cantik dari sang adik.

Karena semuanya sudah siap, mereka bergegas menuju mobil masing-masing. Lulu bersama dengan Stephen. Keduanya terlihat seperti pasangan yang serasi.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Hiruk-pikuk tamu undangan telah memadati ruang tamu mansion luas, milik keluarga Devinter. Banyak tamu yang hadir dalam pesta tersebut. Mereka semua tampak dari kalangan atas, terutama para kaum hawa. Beberapa wanita dari berbagai kalangan berusaha menarik perhatian dari seorang Kai Devinter. Akan tetapi, hanya kekecewaan yang mereka dapatkan, pasalnya Kai tak satu pun memperlihatkan ketertarikan pada wanita yang ingin berkenalan dengannya.

Pun dengan keluarga Kevin dan Zizi yang sudah sampai di tempat pesta, begitu pula dengan Lulu dan Stephen yang ternyata juga menghadiri pesta tersebut. Namun, setelah bertemu tuan rumah, Soya dengan cepat mengambil langkah seribu untuk menghilang dari tempat itu dan menyingkir ke tempat yang sepi.

Sama halnya dengan Kai. Laki-laki itu merasa jenuh dan sesak karena banyaknya tamu. Ia memilih menepi naik ke atas menuju ke arah balkon rumahnya.

Ia pikir balkon tersebut sepi, tapi ternyata dugaannya salah besar. Ternyata di ujung balkon sana sudah ada seseorang yang tak ia kenal. Kai merasa bingung bagaimana bisa, ada orang asing sampai kemari?

Merasa penasaran, Kai mendekati orang tersebut.

“Kau sendirian?" tanyanya sambil mendekati pagar pembatas. Membuat orang itu terkejut dan membelalakkan matanya.

“Siapa namamu?" Kai lanjut bertanya. Namun, lagi-lagi tak menemukan jawaban.

“Mengapa kau tidak menjawab pertanyaanku? ... kau tidak bisa bicara?" Kai masih terus bertanya, kali ini seseorang yang diajak bicara hanya menganggukkan kepalanya. Membuat Kai terkesiap dan merasa canggung.

“Tunggu sebentar, aku akan mengambil sesuatu. Jangan ke mana-mana!" Kai berlari ke dalam untuk mengambil sesuatu yang dibutuhkan.

Tak lama kemudian, Kai keluar dengan menggenggam sebuah note kecil dan sebuah pulpen.

“Boleh aku tahu siapa namamu, mengapa kau sendirian? Kau bisa menjawabnya di kertas ini!"

Seseorang itu menuliskan sesuatu di sana, Kai membacanya.

Namaku Viola, panggil saja Vio. Aku sendirian di sini karena aku menggantikan kakakku yang tidak ingin dijodohkan. Kau benar aku tidak dapat bicara dan aku tidak ingin bergabung di pesta karena aku merasa tidak pantas, pesta itu terasa asing untukku, maaf jika membuatmu tidak nyaman.

“Jadi namamu Viola? Ah, kau merasa tidak nyaman, ya? Sama sepertiku, aku juga merasa tidak nyaman dengan pesta itu, padahal pesta tersebut untukku, tetapi entah kenapa aku justru merasa tidak nyaman," jelas Kai.

“Memang itu urusanku. Lagipula siapa juga yang bertanya?" batin Viola mencibir.

“Mau kuberitahu tempat yang menyenangkan di sini? Ayo ikut aku! Aku yakin kau pasti akan menyukainya," Kai menyeret gadis itu untuk mengikuti langkahnya meninggalkan balkon. Mereka turun menggunakan lift menuju halaman belakang. Di sana terdapat taman bunga mawar yang dibentuk labirin.

“Lihat bagus, kan? Mamaku yang menanam dan merawatnya."

Harus Viola akui jika taman ini membuatnya takjub. Saat sedang terhanyut dalam kekaguman keindahan taman, ia tidak menyadari Kai yang mendekatinya perlahan. Dihadapkannya tubuhnya itu menghadap ke arah Kai.

Tangan Kai terjulur ke arah wajah Viola dan membuka cadarnya secara perlahan, membuat gadis itu tersentak. Alarm bahaya berbunyi sangat nyaring di dalam kepalanya.

Merasa dalam bahaya gadis itu sedikit memberi jarak dan berbalik, kemudian berlari dengan secepat kilat. Hingga tak sadar sebelah sepatunya tertinggal.

“Hei, tunggu!" teriak Kai berusaha mengejar, tapi sayangnya pria itu kehilangan jejak. Namun, netra elangnya tak sengaja menangkap sebelah sepatu yang tertinggal. Diambilnya sepatu hak tinggi itu.

Seulas senyuman terbit di wajah tampannya, “Viola, siapa pun kau. Aku akan menemukanmu, kau membuatku tertarik padamu."

Kegelisahan dan Pencarian

“Bodoh kau Soya, bodoh ... bodoh ... bodoh!" boleh dipercaya boleh tidak, ini sudah lebih dari seratus kali mengatakan bodoh. Putri bungsu dari Kevin dan Zizi ini tengah mondar-mandir di dalam kamarnya. Menurutnya, ia sudah melakukan sebuah tindakan bodoh saat di acara pesta beberapa hari yang lalu. Ya, kejadian saat ia melarikan diri di acara pesta tersebut sudah lewat beberapa hari yang lalu, sejak malam itu.

Bagaimana bisa sepatunya tertinggal saat ia kabur untuk menghindari seorang pria yang akan membuka cadarnya? Seperti kisah Cinderella saja, sepatunya tertinggal, tetapi, Cinderella mana yang mengenakan cadar? terlebih lagi cadar itu untuk menutupi luka lebamnya!

Usai insiden kabur malam itu, Soya mendapatkan ceramah panjang lebar dari Yang Mulia Ratu Zizi karena aksi konyolnya tersebut.

Soya masih ingat tatapan penuh tanya dari anggota keluarganya yang dilayangkan untuknya. Bagaimana tidak? Saat itu keadaan Soya seperti seorang tunawisma, dengan mengenakan gaun yang berubah menjadi kusut dan hanya mengenakan sebelah sepatunya saja, sebelahnya lagi entah hilang ke mana? Akan tetapi, Soya meyakini bahwa sepatu itu tertinggal di taman bunga sang pemilik rumah.

“Sophia, turunlah. Ayo sarapan, ini sudah siang, nanti kau bisa terlambat!" teriak sang ibu yang membuat gadis itu mendengus malas. Ya ampun, apa ibunya itu mantan ratu hutan. Mengapa hobi sekali berteriak nyaring seperti itu?

Tak ingin mendapatkan amukan dari ibunya yang cantik jelita, Soya bergegas turun menuju ruang makan. Di sana sudah Ayah, Ibu, serta kakaknya.

“Selamat pagi semuanya!" sapa gadis itu pada penghuni rumah.

“Pagi, Sayang."

“Pagi, Honey."

“Pagi, Sweetheart."

“Tumben sekali bisa bangun pagi hari ini, biasanya Mommy lempar bola basket dahulu, baru bangun, dirimu," sindir sang nyonya rumah.

“Enak saja, itukan Kak Lulu yang jika tidur sudah seperti orang tewas!" Soya merasa tidak terima dengan sindiran sang ibu. Hei, dia itu termasuk anak yang rajin tahu, walaupun sedikit nakal.

“Yang penting, aku cantik dan sudah laku," ujar Lulu sambil memamerkan cincin pertunangannya dengan Stephen yang tersemat di jarinya. Membuat Soya mendecih iri. Mengapa begitu? Jelas iri, hubungan sang kakak terlihat jelas hilalnya karena sudah bertunangan sebagai tanda pengikat. Berbeda sekali dengan dirinya, yang masih abu-abu. Itu saja mereka sangat jarang berkencan seperti pasangan kekasih pada umumnya. Sungguh miris.

“Bagus, masih ribut hmm? ... jika Mommy masih mendengar pertengkaran kalian, Mommy lempar pisau satu-persatu!"

Mendengar ancaman ibunya, membuat suasana di ruang makan tersebut hening seketika. Lulu maupun Soya tak ada yang berani mengeluarkan suara. Ibunya tak pernah main-main dalam memberikan ancaman. Maklum saja, biarpun ia seorang wanita, Zizi menguasai seni beladiri Kungfu, selain itu dirinya juga merupakan mantan atlet Wushu.

Tidak heran jika anak-anak mereka jago berkelahi. Lulu dan Soya sendiri juga menguasai ilmu bela diri Kungfu dan Judo, serta Wushu sekaligus, begitu juga dengan sang kepala keluarga, yang merupakan pemegang sabuk hitam karate, hapkido, dan judo, bahkan ia menjadi Sabeum.

Kevin dan Zizi memang sengaja menjejali anak-anak mereka dengan ilmu beladiri, hal ini bertujuan untuk melindungi diri mereka sendiri disaat sosok orang tua tidak berada di samping mereka, terlebih mereka adalah seorang perempuan.

“Sudahlah, Sayang. Jangan begitu dengan anak-anak kita, lebih baik sekarang kita mulai sarapannya," Kevin melerai pertengkaran mereka.

Mereka memulai sarapan. Zizi dengan telaten mengambilkan menu sarapan untuk sang suami. Tipe istri idaman sekali.

Mereka sarapan dalam keheningan, tidak ada yang boleh berbicara saat makan, itu aturan yang Kevin terapkan pada keluarganya.

Usai sarapan, Kevin memulai perbincangan pagi ini, “Sayang, kau ingin berangkat dengan Daddy, atau berangkat sendiri?"

Mata Soya tampak berbinar mendengar tawaran dari sang ayah, “Aku berangkat sendiri, menggunakan mobilku, Dad. Boleh, kan?"

“No ... no ... no ...," Kevin menggoyangkan telunjuknya ke kanan dan ke kiri. “Usiamu belum legal untuk mengendarai mobil, kau akan diantar sopir. Untuk pulangnya, kau bisa dijemput, atau naik bus."

Redup sudah senyuman yang mengembang pada wajah cantiknya. Soya hanya mampu mendengus kesal karena sang ayah tidak mengizinkan. Padahal ia menginginkan mengendarai mobil sport itu setengah mati.

“Aku berangkat dengan sopir saja, kalau begitu!" ucap Soya sedikit merajuk.

“Mommy perhatikan, Soya sudah lama sekali tidak berangkat sekolah diantar, Daddy. Kenapa? Apa sudah tidak mau lagi?"

“Aku hanya tidak ingin Daddy ditempeli sekawan ulat pohon. Mommy tahu? Banyak teman-teman sekolahku yang menaruh minat pada Daddy. Bahkan pertama kali Daddy menjemputku, mereka semua mengira Daddy adalah kekasihku!"

Lulu pun menganggukkan kepalanya tanda setuju dan menimpali ucapan adiknya itu, “Uhm, sama. Dari saat aku masih bersekolah hingga kuliah juga seperti itu, untung sekarang sudah ada Stephen, tapi saat Stephen sibuk dengan mata kuliahnya, Daddy pula yang menjemput. Dan di sana banyak yang melirik Daddy. Mereka terpesona. Ingin rasanya aku mengeluarkan bola mata mereka dari tempatnya, karena melirik Daddy dengan pandangan memuja!"

Kevin hanya menggelengkan kepalanya, kedua putrinya ini sangat posesif melebihi istrinya. Bahkan mereka tidak segan-segan melabrak serta menghajar wanita yang ketahuan menggoda dirinya dengan sengaja.

Meski sudah memasuki usia kepala empat. Namun penampilan Kevin masih cocok dibilang seperti mahasiswa. Wajahnya yang masih tampak awet muda dengan tubuh tinggi tegap dan badan yang atletis idaman para wanita.

Pernah sekali, Soya memergoki seorang sekretaris wanita yang sengaja menumpahkan minuman ke arah Kevin hingga membuat baju Kevin menjadi basah. Sang sekretaris itu berpura-pura membersihkan noda kopi yang mengenai jas milik Kevin, pada saat itu secara tiba-tiba Soya dan Lulu datang menghampirinya berniat untuk makan siang bersama. Namun, yang mereka lihat adalah sekretaris genit yang sedang melancarkan modusnya untuk menggoda sang ayah.

Dengan menyeringai kejam, kedua putrinya itu menarik sang sekretaris dan menghajarnya hingga babak belur hingga wajahnya tak berbentuk dan juga mengalami patah tulang kaki serta retak tulang leher. Bahkan sekretaris tersebut mendapatkan surat pemecatan.

Kejadian itu tentu menjadi buah bibir seluruh karyawan di kantor sang ayah. Dan semenjak kejadian itu, sekretaris Kevin pun harus berjenis kelamin laki-laki. Itu merupakan syarat dari sang anak yang harus dipenuhi.

“Soya curiga, jangan-jangan Daddy ini pemimpin bangsa vampir, ya?"

Krik ... krik ... krik ....

Pertanyaannya polos si bungsu tentu saja membuat seluruh penghuni rumah membeku, beberapa pelayan yang terlihat berlalu-lalang membersihkan mansion mereka tampak berusaha menahan tawa.

“Gayanya saja yang seperti preman, tetapi otak polosnya sama sekali tidak berubah, aku heran," Lulu mendesah pasrah.

“Sudah segeralah berangkat, Daddy tidak ingin putri kesayangan Daddy ini terlambat," ujar Kevin mengakhiri sesi bincang pagi ini. Dengan segera Lulu dan Soya berpamitan, tak lupa mereka mencium tangan kedua orang tuanya serta memberi kecupan di pipi.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Sesampainya di sekolah, Soya bergegas menuju bangku dan hendak tertidur di bangkunya, dengan kepala yang ia letakkan pada meja. Sebenarnya ia masih mengantuk, semalam tidak bisa tertidur, lantaran pikirannya dipenuhi kejadian konyol saat di pesta itu.

“Ah, tidak-tidak! Bagaimana bisa aku terus memikirkan kejadian itu? Seharusnya aku sudah lupa, aish! Mana sepatuku tertinggal di rumahnya lagi, memalukan sekali. Semoga dia tidak menyadarinya. Oh, ya Tuhan aku ingin tenggelam saja, aku harus mengganti sepatu mahal milik Kak Lulu yang hilang sebelah. Hah, turut berdukacita dompetku," Soya masih meratapi nasib.

“Masih pagi sudah aktif bicara sendiri. Luar biasa sekali temanku ini," sebuah suara tiba-tiba menyahut. Soya mendongakkan kepalanya. Nah, datanglah sahabatnya yang tidak berakhlak itu.

“Kenapa sih denganmu? Kuperhatikan kau seperti gelisah, lalu marah-marah sendiri, kemarin juga begitu," tanya temannya.

“Diamlah aku sedang malas membahasnya, Bee," jawab Soya dengan lesu.

“Sepertinya masalahmu cukup pelik," tebak sahabatnya itu. Soya mengangguk mengiyakan. Namun, sedetik kemudian ia menggelengkan kepalanya.

“Jadi mana yang benar, pelik atau tidak?" tanya sang sahabat lagi.

“Sebenarnya ini hanya masalah biasa, tetapi rasa malu yang ditimbulkan dari peristiwa ini masih membekas, meski peristiwa ini sudah lewat beberapa hari yang lalu," Soya meletakkan kepalanya di lipatan tangannya.

“Kalau begitu coba ceritakan padaku!" desak Bee.

“Janji jangan mentertawakanku ya, Bee!"

“Iya!"

Mengalirlah cerita Soya pada sahabatnya itu, sementara sang sahabat menyimak dengan seksama. Tidak disangka-sangka sahabatnya justru memekik heboh.

“Oh, ya Tuhan. Aku tidak menyangka bahwa kisahmu seperti Cinderella. Wah, romantisnya!"

“Dengar Bernadette Bruzetta. Bukan di situ poin utamanya, tapi rasa malu yang merayapi diriku," rengek Soya.

“Kenapa harus malu? Kau hanya bertemu dengannya sekali. Pasti dia juga sudah melupakanmu," ujar Bruzetta.

“Menurutmu begitu?" tanya Soya sambil memandang Bruzetta penuh harap.

“Tentu saja," jawab Bruzetta cepat.

Soya memandang keluar jendela, berharap ia bisa menghapus bayang-bayang kejadian di pesta.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Di tempat yang berbeda, Kai masih berusaha melakukan pencarian terhadap gadis yang mampu merebut atensinya saat pertama kali bertemu. Usai pesta tersebut, ia menyuruh anak buahnya mencari gadis yang dimaksud.

Tingkah Kai yang tidak biasa itu, mengundang tanya beberapa anggota keluarganya termasuk papa dan mamanya, serta sang sepupu Mina.

“Apa kau masih mencarinya, Baby Bear?" tanya Mina sambil menghampiri adik sepupunya yang terlihat serius membaca laporan.

“Tentu, tapi hingga saat ini aku belum menemukan kabar dari anak buahku," Kai meletakkan berkas yang dibacanya. Memandang Mina dengan senyum manisnya.

“Apa yang membuatmu mencari sekeras ini. Tidak biasanya kau begini, apakah ini tanda-tanda bahwa kau telah menemukan tambatan hati?"

“Aku belum bisa memastikan, tetapi ia mampu menarik atensiku, dia gadis yang berbeda," jawab Kai.

“Apa yang membedakan dirinya dengan gadis lain. Jika aku boleh mengetahuinya?" tanya Mina tampak tertarik.

“Saat di pesta banyak wanita yang berusaha terang-terangan mendekatiku, mereka bahkan tampak agresif, sehingga membuatku tidak nyaman. Akan tetapi, dia berbeda, ia justru menepi dan meninggalkan kerumunan di lantai atas, ia menyendiri di balkon," ucap Kai menarik napas perlahan, “saat aku bertanya siapa namanya dan mengapa ia sendirian, dia tidak menjawab. Ternyata gadis itu tak dapat bicara, aku menyuruhnya menulis di kertas dan pulpen yang kuberikan. Kakak tahu? Ia menghadiri pesta itu untuk menggantikan kakaknya, karena sang kakak sudah memiliki kekasih. Dan karena kondisinya yang membuat ia merasa tersisihkan, mungkin itu alasan dirinya menepi dari kerumunan pesta."

“Dia tidak bisa bicara? ... kau serius?!" tanya Mina tak percaya.

“Entahlah, aku juga belum sepenuhnya percaya, itu sebabnya aku menyuruh anak buahku mencarinya, dia benar-benar membuatku penasaran," Kai hanya tersenyum.

“Ciri-cirinya bagaimana?" Mina sungguh penasaran sekali.

“Badannya kecil, berkulit seputih susu dan memiliki mata bulat seperti burung hantu, hanya itu saja yang aku ingat. Untuk yang lainnya aku tidak tahu, karena ia mengenakan cadar hitam senada dengan gaunnya semalam. Saat aku hendak membuka cadarnya, ia justru menjauh dan berlari kabur," jelas pria itu.

“Wow, ini sebuah rekor! Belum pernah ada yang menghindarimu sebelumnya, bahkan para wanita akan bertekuk lutut padamu dan menggodamu dengan terang-terangan, tetapi dia ... dia justru menghindar dari sentuhanmu."

“Kakak saja tidak percaya, apalagi aku. Kau tahu, Kak? Saat berlari sebelah sepatunya terlepas dan tertinggal di taman," jelas Kai lagi.

“Menarik mirip dengan kisah Cinderella. Apa kau menyimpan sebelah sepatunya?"

“Tentu saja. Aku menyimpan sepatunya, sepertinya ia dari keluarga berada, melihat dari sepatunya dari brand ternama."

“Namanya siapa?"

“Viola," jawab Kai lagi.

“Semangat mencari gadismu pangeran kecil. Semoga gadis itu adalah jawabanmu selama 11 tahun ini," Mina memberikan semangat pada adik sepupunya. Kai mengangguk dan mengacungkan ibu jarinya.

“Hah ... Viola ... Viola ... kau membuatku gila," gumam Kai sambil tersenyum kecil.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Kembali ke area sekolah, hari ini Soya disibukkan dengan tugas sekolah dengan kerja kelompok, saat ini ia sedang serius membuat bahan untuk presentasi di depan kelas.

“Tugas benar-benar menumpuk. Padahal aku sudah merencanakan ingin kencan hari ini," keluh Soya.

“Dengan siapa, kekasih tiangmu itu?" tanya Bruzetta. Soya mengangguk. “Aku merindukannya."

“Aku rasa kau harus segera mengakhiri hubunganmu dengan Richard," ujar Bruzetta dengan nada serius.

“Ada apa denganmu, mengapa tiba-tiba, sekali. Apa kau menyimpan perasaan pada kekasihku?" tanya Soya dengan penuh selidik.

“Apa? Sembarangan, ya aku jujur padamu. Aku memang suka pada kekasihmu, tetapi itu sebelum aku melihat peristiwa semalam," aku Bruzetta.

“Jadi benar? Wah, aku tidak menyangka Bee! Kau menusukku dari belakang, tetapi apa maksudmu, kejadian apa?" tanya Soya.

Bruzetta tampak gugup, seperti menimang sesuatu, sebaiknya sahabatnya itu mengetahuinya atau tidak.

“Janji jangan marah?" tanya Bruzetta takut-takut.

“Apa? Cepat katakan!" desak Soya.

“Semalam aku melihat Richard masuk ke dalam hotel dengan seorang ... wanita," ujar Bruzetta pada sahabatnya.

“Apa. Kau yakin, kau tidak salah lihat?"

“Tidak, aku yakin. Aku benar-benar melihatnya bersama wanita dan mereka terlihat sangat mesra. Aku pikir itu adalah kau, sempat ingin menyapa. Akan tetapi, begitu aku melihatnya dari dekat, aku mengurungkan niatku karena ternyata itu bukan kau, Soya!"

“Apa kau punya buktinya?"

“Ah, benar. Aku sempat merekamnya, untung kau mengingatkanku," Bruzetta merogoh sakunya, ia menyalakan ponselnya dan memutar video. Lalu diberikannya ponsel tersebut pada sahabatnya.

Soya melihat video yang berdurasi 54 detik itu di ponsel milik sang sahabat, memang benar di video tersebut seseorang yang sangat ia kenal sebagai kekasihnya tampak berjalan dengan seorang wanita, keduanya tampak merangkul pundak satu sama lain.

Hati Soya merasa panas seperti dibakar api cemburu, tetapi ia masih berusaha berpikir positif.

“Mungkin itu kakak perempuannya, Bee. Dia mengatakan kalau memiliki kakak perempuan yang tinggal di luar negeri," Soya berkata sembari tersenyum, berusaha untuk terlihat baik-baik saja. Meski nyatanya tidak. Ia hanya tak ingin sahabatnya merasa khawatir.

“Kau baik-baik saja?" tanya Bruzetta mulai khawatir dengan sahabat kesayangannya itu.

“Don't worry, Bee. I'm okay," ucap Soya.

“Really?

“Sure."

Hatinya bergemuruh melihat Richard menyimpan rahasia di belakangnya selama ini.

“Kau ingin bermain denganku Richard Loey? Baiklah jika itu maumu. Mulai sekarang aku akan ikuti permainanmu!" batin Soya sambil menyeringai kejam.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!