NovelToon NovelToon

Simon Says

- [Prolog] Biarawati

Tahun 1990...

"Bakar!"

Teriakan para warga yang mengamuk dan membakar sebuah biara yang berdiri kokoh di kampung halaman mereka. Sebuah berita mengejutkan mengenai teror mistis dan penyebab dari meninggalnya para warga di setiap hari jum'at adalah karena menjadi tumbal seseorang yang membuat perjanjian dengan iblis.

Seorang biarawati muda dan cantik bernama Anna terlihat terduduk lemas di atas tanah, menyaksikan tempat pengabdiannya terlahap oleh api yang setiap detiknya semakin membesar.

Tubuhnya bak tengkorak hidup, wajahnya pucat dan kedua tangannya bergetar hebat. Dia sudah mencari banyak cara untuk menyembuhkan penyakit ganas yang hinggap di dalam tubuhnya akibat sebuah perjanjian yang ia lakukan dengan iblis dan karena dia melanggar janjinya itu membuat dirinya terkena penyakit ganas.

"Bakar tubuhnya!" seorang warga mendekati Anna dan langsung menyeret tubuhnya, warga itu kemudian melemparkan tubuh Anna ke tumpukan kayu, tubuhnya di siram oleh minyak tanah, lalu tak lama kemudian salah satu warga melemparkan obor kepadanya sehingga menciptakan api yang perlahan melahapi tubuh Anna.

Anna berteriak kesakitan, ia meminta tolong kepada para warga yang hanya diam melihatnya perlahan-lahan terbakar oleh api, seolah-olah para warga sudah di butakan oleh kemarahan mereka karena kelakuan yang di perbuat oleh Anna sendiri.

"Simon says, pegang hidung kalian!"

Haikal, Nijan, Jejen, Mason dan juga San segera memegang hidung mereka masing-masing, tetapi Eric malah memegang mulutnya sendiri.

Yaksa tertawa dan segera menepuk pundak Eric, memberi isyarat kepadanya untuk berlutut di lantai, dengan kesal laki-laki itu pun menurut.

Yaksa memberi isyarat kepada yang lainnya, mereka yang mengerti langsung memberi pukulan main-main kepada Eric, membuatnya mengerang kesakitan.

"Sialan kalian!" teriaknya.

"Berisik!" tegur Natasha sambil melemparkan gulungan kertas ke arah Haikal, ia pun langsung menghampiri kedua teman-temannya yang sedang berkumpul di meja Michael.

Hannah menendang meja Michael, membuat gadis itu mendongak kepadanya.

"Ikut gue," ucap Hannah yang langsung pergi keluar kelas.

Michael melihat sekeliling, ia pun menghela nafas dan segera menutup buku novel yang sedang di bacanya lalu pergi mengikuti Hannah dan kedua temannya.

Disisi lain, Rean dan kedua temannya berjalan menuju halaman belakang sekolah. Dengan perpaduan kaos hitam dan kemeja seragam sekolah yang tidak di kancingkan, Rean dan kedua temannya menghampiri salah satu teman sekelasnya yang bernama Vino sambil membawa sebuah tongkat bisbol yang tersampir di pundak kanannya, tanpa berbasa-basi ia langsung melayangkan sebuah pukulan tepat di lengan kiri Vino.

"Anjing, lu yang mata-matain gue sama temen-temen gue, kan?" tanyanya, ia pun membuang ludahnya kearah Vino.

"Apa manfaatnya lu gabung sama anak sebelah? sekalian aja lu pindah kesono!" cibir Reygan sinis.

Yahezkael tertawa sambil merekam vidio Vino yang sedang kesakitan itu, mereka merasa puas dengan rasa sakit yang di alami oleh laki-laki itu.

Saat Rean hendak memukul Vino lagi, tongkat bisbolnya mematung di udara saat dia mendengar suara seseorang, refleks dia pun melihat ke arah sumber suara.

"Cepet anying, pukul!" kata Reygan.

Rean kembali menatapnya, ia menghela nafas dan melemparkan tongkatnya kepada Reygan, meminta laki-laki itu untuk mengambil alih.

"Mau kemana?" tanya Yahezkael.

Rean tidak menjawab, dia kemudian pergi menjauhi tempat tersebut yang membuat kedua teman-temannya kebingungan.

"Bodo, rekam terus El." kata Reygan yang sudah bersiap-siap untuk kembali memukul Vino, Yahezkael pun kembali merekamnya sambil menahan tawa.

Hannah, Livy dan juga Natasha memojokkan Michael ke pohon yang cukup lebar, saat ini mereka berada di halaman belakang sekolah. Hannah segera mendekati Michael yang sedang menatapnya dengan tajam.

"Apa? mau ngadu ke sahabat kecil lu?" tanya Hannah sambil mendorong kepala Michael kebelakang.

"Denzzel gue di bully sama geng Hannah, gue takut, bantuin gue." ucap Livy meledek yang kemudian tertawa terbahak-bahak.

"Michael... Michael, lu itu cuman bergantung sama Denzzel, dia juga pasti risih sama lu," kata Hannah.

Hannah kemudian menjambak rambut Michael dan menariknya ke samping, membuat gadis itu meringis kesakitan.

"Apa jangan-jangan bokap lu selingkuh karena dia juga muak sama lu?"

Perkataan Hannah seketika membuat Michael mengerutkan keningnya, ia pun menatap Hannah dengan tanda tanya.

"Ah kayaknya dia belum tau," ledek Natasha sambil menatap kedua temannya.

"Michael, emangnya lu gak pernah ngeliat sahabat lu di anterin sama bokap lu?" tanya Livy sambil melipatkan tangannya di depan dada.

"Kayaknya nggak deh, setiap si Hanni mau pulang atau masuk sekolah, dia selalu di anterin sama bokap lu dan nyokapnya dia," timpal Natasha sambil terkekeh geli.

"Hey kalian gak boleh gitu, liat... karena kalian dia jadi hampir nangis." ucap Hannah sambil melepaskan rambut Michael dan mundur beberapa langkah.

"Tck, tck... cuman kalian yang ngurusin hidup orang lain, salut gue."

Mereka segera berbalik dan menatap ke arah Rean yang sedang bersandar di dinding sambil melipat tangannya dan tatapannya tajam seperti elang.

"Sejak kapan lu ada disana?" tanya Hannah sambil mengerutkan keningnya.

"Harusnya gue yang nanya, ngapain kalian ada disini? ini wilayah gue." tanya balik Rean sambil mendorong dirinya dari dinding dan kemudian melangkah mendekati mereka, tatapannya begitu mengintimidasi.

Kini kedua tangannya di masukan kedalam saku celananya, rasa panas yang mengalir dalam dirinya dapat dirasakan oleh mereka berempat, Michael memperhatikannya yang semakin dekat.

"Pergi," katanya yang tidak memberi ruang untuk negosiasi sama sekali, Hannah berdecak sebal, ia pun segera pergi meninggalkan tempat tersebut, di susul oleh kedua temannya.

Rean terus memperhatikan Michael setelah ketiga gadis itu pergi meninggalkan mereka berdua sendirian di sana.

"Poor princess, gue kasihan banget sama lu, selemah itu lu sampe gak bisa ngelawan mereka bertiga?" tanya Rean penuh sarkastik, ia semakin melangkah mendekatinya.

"Bukan urusan lu, mau gimana pun, makasih."

Rean mengangkat kedua alisnya, geli dengan ucapan terima kasih Michael yang terdengar enggan, untuk sesaat ia hanya terdiam sambil berusaha menahan tawa.

"Ikut gue, udah mau masuk kelas."

Michael mengangguk dan segera mengikuti langkah Rean dari belakang, entah ia harus berterima kasih seperti apa lagi kepada laki-laki itu karena selalu menyelamatkannya satiap ia hendak di rundung oleh Hannah dan teman-temannya.

Di kantin, Denzzel dan juga Chaiden sedang duduk bersama untuk menikmati makan siang mereka. Denzzel memeriksa ponsel genggamnya saat pesan grup kelas masuk, terlihat Kanin yang menyuruh mereka untuk berganti pakaian dan segera pergi ke lapangan untuk memasuki jam pelajaran olahraga.

Chaiden yang membaca buku pelajarannya pun mendongak saat melihat salah satu teman sekelasnya memasuki kantin, dia melihat sekeliling kantin yang terlihat sepi.

"Tumben sepi?" tanya Samuel.

"Gak tau, makanya gue makan bekel dari rumah, kantin gak ada yang nge jaga."

Samuel mengangguk dan kemudian memasuki salah satu warung untuk ikut memasak air panas, setelah menyalakan api, ia pun mengambil ponselnya saat benda tersebut berdering.

Samuel mengerutkan keningnya saat melihat pesan masuk dari nomor tidak di kenal, pesan tersebut berisi 'Simon says, pukul salah satu teman sekelasmu' dia hanya terkekeh dan kembali memasuki ponselnya ke dalam saku celana.

"Yaksa sama yang lainnya lagi main game Simon says kan? dia punya nomor baru atau gimana?" tanya Samuel sambil melirik kearah Chaiden dan juga Denzzel.

"Maksud lu?" tanya Denzzel.

"Dia ngirim gue pesan buat nyuruh gue pukul salah satu temen sekelas kita," jawabnya sambil terkekeh geli.

"Gue dari jamkos juga udah ada disini, tapi gue kurang tau masalah Yaksa punya nomor baru atau nggak."

Samuel mengangkat kedua pundaknya lalu kembali fokus ke arah air yang sudah sedikit mendidih itu, beberapa menit kemudian ia pun mematikan apinya.

Saat hendak ingin mengangkat panci alumunium yang berukuran besar itu, tiba-tiba saja kepalanya terasa sakit, ia pun mengerang keras yang membuat Denzzel dan juga Chaiden bangkit dari tempat duduknya dan segera menghampirinya.

"Sam, lu kenapa?" tanya Denzzel.

Samuel semakin mengerang keras, bahkan ia menarik rambutnya sendiri dengan begitu kuat sehingga beberapa helai rambutnya tertarik.

Untuk sesaat, Samuel berhenti mengerang dan terdiam mematung. Denzzel kembali mengguncang tubuhnya, Chaiden mengerutkan kening saat melihat perubahaan sikap Samuel yang tiba-tiba itu.

Samuel mengangkat kepalanya, membuat Denzzel dan juga Chaiden mundur beberapa langkah saat melihat kedua matanya yang memutih, mereka berdua mengerutkan kening dan bertanya-tanya ada apa dengan Samuel.

"Samuel, lu denger gue? lu baik-baik aja?" tanya Denzzel lagi.

Tanpa mengatakan sepatah katapun, Samuel mengangkat panci alumunium dan menumpahkan air panas itu ke sekujur tubuhnya, Denzzel dan Chaiden melebarkan matanya dan mundur beberapa langkah, mereka begitu terkejut dengan apa yang di lakukan oleh Samuel.

"Lu gila?!" teriak Denzzel.

Tidak hanya di situ saja, Samuel meraih pisau dapur dan segera menusukkan benda itu ke perutnya sendiri beberapa kali.

"SAMUEL!"

Denzzel dan Chaiden bernapas dengan begitu cepat saat melihat tubuh Samuel yang mengeluarkan darah, kulitnya melepuh dan memerah karena air panas yang di tuangnya sendiri, hingga beberapa detik kemudian terdengar suara mikrofon yang begitu nyaring, disusul oleh suara perempuan yang tidak mereka kenali.

"Samuel di eksekusi karena tidak mengikuti perintah Simon."

- 3 Korban

Michael dan Rean yang saat itu hendak pergi ke kelas mendengar pengumuman tersebut, mereka saling menatap satu sama lain dengan kerutan dalam di kening mereka. Rean pun segera berlari menuju kelas, di susul oleh Michael.

"Ada apa?" tanya Rean setelah dia memasuki kelas, ia bisa melihat teman-temannya yang sama bingungnya seperti dia.

"Samuel bilang mau pergi ke kantin buat masak air panas, dia mau mandi di sekolah." ujar Sabil teman dekatnya, Axel sang ketua kelas yang mendengarnya lantas pergi keluar kelas menuju kantin.

Karena penasaran, yang lainnya pun mengikutinya. Disisi lain, Denzzel dan Chaiden masih terlihat syok dengan kejadian tersebut, mereka masih mencerna apa yang telah terjadi dengan Samuel. Mana mungkin dia mengakhiri hidupnya sendiri seperti itu, itu semua begitu konyol.

Suara teriakan teman sekelasnya lantas menyadarkan lamunan mereka berdua, Axel dan juga Kanin menghampiri mereka dan melihat kearah Samuel yang sudah tidak bergerak sama sekali.

"Gue denger pengumuman di ruang siaran, ada apa sama Samuel?" tanya Axel.

Kanin mencoba menahan rasa mualnya saat melihat tubuh Samuel yang di penuhi oleh darah, San yang berada di sana pun segera menilai situasi, ia melihat kearah panci yang ada di lantai serta pisau yang tergeletak di samping Denzzel.

"Kalian bunuh Samuel?" kata-katanya berhasil keluar dengan tidak yakin.

Denzzel langsung menatap tajam laki-laki itu dan menggeleng kuat, Michael yang melihat rasa ketakutan yang terpancar dari sahabatnya itu kemudian mendekatinya dan segera memeluknya.

"Gue gak pernah ngelakuin itu, gue gak pernah bunuh orang." lirihnya dengan suara yang gemetar karena ketakutan.

"Samuel ngelakuin itu sendiri, dia nuangin air panas ke tubuhnya sendiri terus nusuk perutnya sendiri pake pisau." ucap Chaiden yang berhasil menjelaskan walaupun terbata-bata.

"Kalau kalian gak percaya cek CCTV yang ada di kantin," lanjut Denzzel.

Haikal segera melihat sekeliling untuk mencari kamera CCTV tetapi dia hanya menemukan satu dan itu pun di pojok kantin dan tidak akan sampai merekam apa yang telah terjadi ke tempat itu.

Seseorang jatuh dari lantai dua, membuat mereka yang ada disana merasa syok. Siswi itu langsung terbaring tengkurap di atas tanah, darah langsung keluar dan mengalir di sekitarnya.

"Sialan!" gumam Mason.

"Siapa itu?" tanya Hannah.

"Gue takut..." lirih Alin sambil memeluk Naira.

Yaksa dan juga Reygan menghampiri siswi tersebut dengan jantung yang berdegup kencang, mereka berdua merasa takut tetapi mereka juga harus tahu identitas orang tersebut. Perlahan Yaksa berlutut di samping tubuh gadis itu, tangannya terulur untuk menyingkirkan rambut yang menghalangi wajahnya.

"Wendy," kata Reygan.

"Wendy di eksekusi karena keluar dari permainan." suara perempuan asing itu kembali terdengar.

Rean mendesah frustasi, ia melirik kearah Risha yang sedang berdiri tidak jauh darinya. "Heh, lu anak Broadcasting kan? siapa yang ada di ruang siaran, apa maksud permainan yang di omongin itu?" tanyanya dengan begitu mendesak.

Risha yang masih merasa syok pun menggeleng pelan, ia mundur beberapa langkah. Disisi lain, Joshua yang sedang menunggu teman-temannya untuk berolahraga di lapangan seketika terdiam saat mendengar pengumuman itu lagi, dia melirik kearah pacarnya yang bernama Shaerin, gadis itu pun menghampirinya.

"Siapa sih yang ada di ruang siaran? tadi Samuel sekarang Wendy," gerutu Shaerin.

Joshua hanya terkekeh pelan, ia pun mengacak-acak rambut gadis itu dengan begitu gemas. "Mungkin lagi gabut, mending main basket aja sama aku, sekalian nunggu yang lain." katanya yang kemudian melemparkan bola basketnya kepada Shaerin, gadis itu pun segera menangkapnya.

"Let's Play a game called Simon says..." suara perempuan itu kembali terdengar, membuat Shaerin menghentikan aktivitasnya, sedangkan anak-anak lain yang berada di kantin terdiam dengan begitu penasaran.

Michael membantu Denzzel untuk bangkit, ia bisa melihat jika laki-laki itu masih takut dan wajahnya terlihat pucat.

"Perintah yang di berikan oleh Simon harus di ikuti oleh pemain lain, tetapi hanya setelah frasa Simon berkata diucapkan, berikut adalah beberapa hal yang perlu di ketahui tentang permainan Simon says yang akan diikuti oleh seluruh murid kelas 12 IPS 4."

"Pertama, perintah yang akan di berikan oleh Simon ada yang berlangsung lama dan ada juga yang cepat, perintah harus diikuti oleh para pemain yang sudah terdaftar dan pemain tidak boleh berkata tidak atau menolak melakukan apa yang di katakan oleh Simon."

"Simon says..." gumam Yaksa.

"Permainan bocah?" tanya Yahezkael sambil melirik teman-temannya.

"Kedua, jika ada perintah yang tidak di dahului dengan Simon berkata dan pemain mengikuti perintah tersebut, maka pemain tersebut akan di eksekusi."

"Siapa sih yang ada di ruang siaran?" tanya Eric sambil mengumpat, ia menyisir rambutnya frustasi.

"Ketiga, jika tidak ada yang melakukan perintah Simon atau pemain ingin keluar dari permainan maka akan di eksekusi."

"Keempat, Simon ada di salah satu pemain, permainan pun di mulai..."

Semuanya saling terdiam dengan jantung yang berdegup kencang karena antisipasi, Rean yang menyadari situasi yang berubah tegang lantas melihat teman-teman sekelasnya.

"Siapa yang bertanggung jawab di ruang siaran?" tanya Rean dengan suara yang meninggi, tatapannya beralih kearah Risha yang sedang menundukan kepalanya sambil terisak pelan.

"Heh lu anak Broadcasting seharusnya tau!" bentaknya yang semakin membuat Risha ketakutan.

"Rean... udah," kata San mencoba menenangkan sahabatnya itu.

"Joshua sundul kan bola basket kepada Shaerin."

"Tanpa frasa Simon berkata!" gumam Axel.

Joshua yang tidak memperhatikan pengumuman tadi langsung tersenyum nakal, ia pun mengambil bola basket lain yang berada di sampingnya lalu melemparkannya kepada Shaerin, tetapi dengan cepat gadis itu menghindar.

"Kamu kalah cepet sayang," kata Shaerin sambil terkekeh pelan.

"Joshua melanggar aturan dan akan di eksekusi."

Axel yang masih berdiam diri di kantin segera berlari menuju lapangan basket, sedangkan Joshua yang awalnya sedang tertawa bersama Shaerin langsung memegangi kepalanya saat rasa sakit tiba-tiba menyerangnya, Shaerin yang melihat pacarnya kesakitan seperti itu lantas segera menghampiri Joshua.

"Sayang, kamu kenapa? kamu baik-baik aja?" tanya Shaerin panik.

Joshua mendorong gadis itu dengan kasar, membuatnya jatuh. Shaerin dapat melihat kedua mata Joshua yang memutih, urat-urat di wajahnya dapat terlihat saat Joshua terus mengerang kesakitan.

"Joshua!" panggil Shaerin.

Laki-laki itu pun berlari menuju tiang ring basket dan langsung membenturkan kepalanya beberapa kali, Shaerin yang melihat itu pun syok.

"Joshua, kamu kenapa, stop!" Shaerin segera bangkit dan berlari menghampiri pacarnya, tapi lagi dan lagi Joshua mendorongnya dengan cukup kasar.

"Aku mohon..."

Axel dan yang lainnya segera memasuki lapangan basket, Kanin dan juga Hanni segera mendekati Shaerin dan menariknya untuk menjauhi Joshua. Sedangkan Denzzel, Reygan, Yaksa, Eric dan juga Nijan langsung menghampiri Joshua yang terus-terusan membenturkan kepalanya.

"Joshua lu nyakitin diri lu sendiri!" bentak Eric yang berusaha menarik Joshua, tetapi laki-laki itu mendorongnya dan kembali membenturkan kepalanya.

Rambutnya basah dan lepek karena darah, Shaerin terus menangis sambil memperhatikan pacarnya yang terus melukai dirinya sendiri, hingga benturan terakhir yang sangat kuat langsung membuat Joshua tumbang, dia pun jatuh ke atas tanah dan tidak bergerak sama sekali.

"Joshua di eksekusi."

- Lima Menit

Suasana terasa tegang, Shaerin terus menangis saat melihat tubuh Joshua yang tidak bergerak, begitu pun dengan yang lainnya, Hannah menggigit bibirnya sendiri sambil berjalan bolak-balik.

"Ada apa ini anjing?!" tanya Mason.

Denzzel masih terdiam mematung, tubuhnya terasa lemas setelah menyaksikan kematian tiga teman sekelasnya secara langsung. Michael pun bernapas dengan begitu cepat, dia tidak mengerti dengan situasi tersebut.

"Cek... cek nadinya!" titah Eric.

Yaksa tersadar dari lamunannya, ia pun segera menghampiri tubuh Joshua dan berlutut di sampingnya, tanpa ragu laki-laki itu meraih pergelangan tangan Joshua dan memeriksa denyut nadinya.

Yang lainnya terdiam menunggu dengan jantung yang berdebar-debar, dilihat dari kondisi tersebut, Joshua kehilangan banyak darah dan cangkang kepalanya pun retak akibat benturan yang keras dan berulang kali tersebut.

Nafas Yaksa tertahan saat dia tidak dapat mendeteksi denyut nadi Joshua, ia menatap kearah Reygan dan juga Eric secara bergantian, beberapa detik kemudian dia pun menggeleng pelan.

"Bohong! lu pasti bercanda, kan?" tanya Shaerin sambil menangis, Kanin dan Hanni semakin mempererat pelukannya.

Eric yang tidak percaya lantas mendekati Joshua, gerakannya begitu mendesak, nafasnya memburu cepat seiring rasa takut mulai merayapi dirinya. Eric segera memeriksa denyut nadi sahabatnya itu, tetapi apa yang di katakan oleh Yaksa benar, Joshua sudah meninggal dunia.

Yaksa terduduk lemas, ia kemudian terisak pelan sambil menundukan kepalanya. Denzzel yang masih terdiam kini perlahan tersadar, ia bangkit dan segera menatap satu per satu teman-temannya.

"Apa yang terjadi..." gumam Alin sambil menangis, tubuhnya gemetar hebat.

"Gue juga gak tau, sial!" jawab Nizan.

"Permainan ini..."

"Simon says," lanjut Haikal dengan tatapan yang kosong, ia mengepalkan tangannya.

"Sebelum Samuel ngelakuin hal yang sama kayak Joshua, dia dapet pesan masuk dari nomor yang nggak di kenal, dia pikir nomor itu Yaksa," lanjut Denzzel.

"Maksud lu? gue gak punya nomor lain!" bantah Yaksa sambil mengangkat kepalanya untuk menatap Denzzel.

"Dia bilang kalau dia dapet pesan perintah dari Simon buat pukul salah satu teman sekelas kita, tapi dia gak ngelakuin itu..." kata Denzzel sambil terbata-bata.

"Anjing, lu gak usah bercanda!" bentak Rean seraya menghampiri Denzzel lalu menarik kerah baju yang di kenakannya.

Michael dan Chaiden segera mendekati mereka berdua, gadis itu menepis tangan Rean yang menarik kerah baju sahabatnya. "Gue saksinya, gue juga ada disana bareng Denzzel," ucap Chaiden.

Disisi lain, Shaerin memberontak dan segera menghampiri tubuh Joshua yang bersimbah darah, gadis itu memeluknya tanpa merasa jijik sedikit pun.

"Joshua, please..."

Axel yang hanya diam saja kini menarik rambutnya dengan begitu frustasi, dia masih terlihat bingung dengan seluruh situasi di sekelilingnya.

"Hey ketua kelas, lu harus ngasih solusi!" desak Hannah yang sudah mulai tidak nyaman dengan situasi di sekitarnya.

"Kita... kita harus cari tahu siapa yang ada di ruang siaran," kata Axel lalu di angguki oleh Mason dan juga San.

"Ayo, pergi sekarang!" ucap Mason.

Mereka pun segera berlari untuk pergi ke ruang siaran, tetapi langkah mereka terhenti karena suara mikrofon yang kembali berbunyi dengan sangat nyaring, di susul oleh suara perempuan asing itu.

"Let's play a game called Simon says."

"SIAPA YANG BERTANGGUNG JAWAB DI RUANG SIARAN, ANJING?!" teriak Rean.

Tidak ada satu pun dari teman-temannya yang bergerak atau menanggapi perkataannya, jelas mereka berdiri dengan begitu cemas.

"Simon says kembali ke ruangan kelas dalam waktu lima menit."

Nizan berdecak sebal, bagaimana bisa mereka kembali ke ruangan kelas dalam waktu sesingkat itu, bahkan kelas mereka berada di lantai dua, berlari untuk pergi kesana pun harus memakan waktu tujuh menit. Yahezkael tidak membuang waktu, dia pun segera berlari keluar lapangan.

"Bangsat!" umpat Jejen.

Michael dan Denzzel membeku di tempat, Chaiden memperhatikan teman-temannya yang saling berebutan di pintu keluar, sedangkan Kanin masih berusaha untuk membujuk Shaerin agar segera pergi meninggalkan lapangan, tetapi gadis itu tetap bersikeras ingin tetap disana.

Yaksa yang tersadar segera menghampiri Shaerin dan menggendong tubuhnya, walaupun dia merasa susah karena gadis itu terus memberontak, tetapi setidaknya dia ingin memastikan keselamatan gadis itu, dia mendekap tubuh Shaerin erat-erat, Kanin menghela nafas lega, ia pun mengikuti langkah Yaksa dari belakang.

"Nunggu apa lagi? ayo!" teriak Natasha sambil menarik pergelangan tangan Dayana untuk segera pergi.

Denzzel yang tersadar akibat dorongan dari teman sekelasnya yang bernama Alifa langsung menatap Michael dan juga Chaiden, laki-laki itu menggenggam tangan Michael dengan cukup erat.

"Ayo!" katanya yang langsung menarik Michael dan berlari keluar lapangan.

Di tempat lain, Vino yang sedang mengobati lukanya di dalam kelas hanya terkekeh pelan, sesekali ia meringis kesakitan saat tidak sengaja menekan lukanya terlalu kuat.

"Bodoh..." gumamnya.

Michael yang di tarik oleh Denzzel berhasil menaiki anak tangga, sesekali dia melirik kebelakang saat melihat teman-temannya terjatuh di bawah sana. Michael menghentikan langkahnya saat melihat sahabatnya pun ikut terjatuh, ia menghentikan langkahnya dan segera menarik tangannya dari Denzzel.

"Ada apa?" tanya Denzzel cemas.

Michael kembali menuruni anak tangga, langkahnya cepat. Denzzel yang melihatnya mendesah pelan sambil mengusap rambutnya, dia berdiam diri disana sambil sesekali melirik jam tangannya. Kini Michael memegang kedua pundak Hanni dan membantunya untuk berdiri, dia bisa melihat jika gadis itu kesakitan akibat pergelangan kakinya yang terkilir.

"Walaupun sakit tapi lu harus paksain buat lari, kelas kita deket, kita sebentar lagi sampe." katanya mencoba memberi semangat kepada sahabatnya itu, Hanni pun segera mengangguk.

"Michael, ayo cepet." kata Denzzel tidak sabar, ia kembali melihat jam tangannya.

Michael pun menautkan jari-jarinya dengan jari Hanni, mereka berdua pun melangkahi beberapa anak tangga sehingga berhasil berada di lantai dua, mereka pun kembali berlari menuju kelas.

Naira yang sudah sampai di depan kelas lantai segera membuka pintunya, tetapi anehnya pintu tidak terbuka, seperti ada yang menguncinya di dalam kelas.

"Ada apa?" tanya Haikal.

"Pintunya di kunci dari dalem."

"Sialan, bangsat!" teriak San.

Nijan dan Jejen pun segera mengintip dari jendela kelas, mereka berdua bisa melihat Vino yang duduk bersantai di sana sambil membalut luka di lengannya.

"Woy anjing, bukain!" teriak Nijan sambil menggedor jendela.

Tetapi Vino seolah-olah tidak mendengar teriakannya, ia terus mengobati lukanya dengan santai. Rean yang sudah merasa ketakutan kini mengumpat dan mundur beberapa langkah untuk mendobrak pintu, sedangkan yang lainnya menunggu dengan sangat panik.

"59 detik lagi," gumam Alin.

Beberapa kali Rean menendang pintu kelas, hingga akhirnya pintu terbuka tepat di detik ke 30. Mereka pun segera berebutan untuk masuk, Rean terdiam sejenak di luar kelas, melihat beberapa temannya yang masih berlari dari kejauhan. Kedua matanya menangkap sosok Michael yang hampir terjatuh dan di saat itu juga dia ingin menyusulnya dan membantunya, tetapi niatnya terhentikan saat ia melihat Denzzel yang membantu Michael.

Livy yang saat itu terburu-buru menaiki anak tangga tidak sengaja tersandung, ia menarik ujung baju yang di kenakan oleh Hannah sehingga membuat gadis itu ikut terjatuh. "Sialan, kalau mau mati jangan ngajak-ngajak gue!" bentak Hannah.

Gadis itu kembali bangkit dan berlari menaiki anak tangga, mengabaikan sahabatnya yang terus-terusan meminta tolong, Livy menangis sambil memperhatikan Hannah yang perlahan menghilang dari pandangannya.

Di tempat lain, San yang berhasil masuk segera menendang kursi yang di duduki oleh Vino sehingga membuat laki-laki itu terjatuh ke atas lantai, Alin dan juga Dayana yang sedang mengatur nafasnya terkejut dengan pemandangan itu.

"Anjing lu, sengaja kan lu!" teriak San duduk di antara kaki Vino untuk menahannya agar tidak memberontak, laki-laki itu pun menarik kerah baju yang di kenakan oleh Vino.

"Awas," seru Rean yang membuat San bangkit dan mundur beberapa langkah, kini Rean yang melayangkan tinjuan ke wajah Vino beberapa kali.

"Setan lu, anjing!" teriaknya sambil terus memukul wajah Vino.

"Hey, stop!" kata Elias berusaha untuk menghentikan Rean, tetapi laki-laki itu segera di tarik oleh San.

"Biarin aja anjing, biarin binatang itu di kasih pelajaran!" kata Mason.

Michael yang beberapa detik lalu berhasil masuk ke dalam kelas segera menghampiri Rean dan menariknya menjauh dari Vino, di bantu oleh Axel dan juga Reygan.

"Udah, berhenti, gak usah buang tenaga lu cuman buat mukul dia!" kata Michael.

Rean menarik nafas dalam-dalam, dia memejamkan matanya sejenak untuk menenangkan dirinya sendiri, saat ia membuka matanya kembali, ia menatap Michael dengan tajam, ia pun menarik tangannya yang di pegang oleh gadis itu lalu pergi ke bangkunya.

Hannah memasuki kelas, di susul oleh Yaksa, Kanin dan juga Shaerin. Chaiden melihat jam tangan di dinding kelas, bertepatan dengan waktu yang telah habis, mereka semua saling terdiam sambil mencoba mengatur napas. Yaksa segera membantu Shaerin untuk duduk di kursi, setelah selesai ia pun segera berbaring di lantai dengan dada yang naik turun, jelas dia hampir saja kehabisan nafas karena berlarian.

Axel dan Yahezkael memperhatikan wajah Vino yang babak belur, darah keluar dari hidung laki-laki itu, pipi bagian kanannya membengkak dan membiru.

"Eric, Livy dan Sabil di eksekusi karena tidak mengikuti perintah Simon."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!