"Kamu gimana sih, Nay?" tanya Aiden dengan suara yang meninggi, kecewa dengan keteledor Naya sang drumer band mereka. Sebuah kesalahan yang membuat mereka didiskualifikasi dari kompetisi musik yang sudah lama mereka dambakan kemenangannya.
"kacau... Kacau... Kacauu" ujar Liam mengacak - acak rambutnya frustasi dengan pengumuman yang digaungkan Pembawa acara dari atas panggung. Pria remaja yang berjalan mondar mandir berusaha tetap menguasai kewarasan dalam dirinya.
Naya tertunduk lemas, merasakan beban kesalahan itu menindih hatinya seberat timbunan batu. Air mata yang tadinya ia tahan agar tidak terjatuh, kini semakin mengembun dipelupuk matanya. Dengan jemari yang saling bertautan dia berusaha membuka mulutnya, berusaha mengucapkan kata maaf karena telah mengecewakan teman-temannya. Perempuan yang setiap harinya terlihat kuat dan tegar kini hanya bisa tertunduk tanpa berani mengangkat kepalanya. pandangannya hanya tertuju pada sepatu yang dia kenakan, tidak berani melihat kegusaran dan kekecewaan dalam pandangan teman-temannya. Impian mereka untuk memperkenalkan band serta kemampuan mereka sirna begitu saja, semua usaha serta kemenangan-kemenangan sebelumnya kini tampak tak memiliki nilai lagi.
"Maafkan aku" ucap Naya lirih, suaranya terdengar parau seperti seorang yang sedang berbisik. Ia memberanikan diri menatap teman-temannya satu per satu, mencari secercah pemaafan dari wajah mereka. Namun yang dia saksikan hanyalah kekecewaan dan kehampaan. Membuatnya kembali tertunduk dengan lemah.
Naya berusaha menggali ingatannya, berusaha meyakinkan dirinya tentang sepasang stik cadangan yang sempat dia sisipkan ke dalam tasnya kemarin malam. Namun kenyataan yang terjadi membuatnya frustasi sendiri, nyatanya tidak ada stik di dalam tas yang ikut dia bawa naik ke atas panggung.
"Ini bukan sepenuhnya salahmu, Nay" ucap Liam sang gitaris berusaha menenangkan Naya. Meski perasaan kegusaran dan kecewa berkecamuk di dalam dadanya. Diantara mereka berempat mungkin hanya dia yang masih memiliki jiwa yang tenang. Liam tidak menganggap semua kekalahan mereka sebagai tanggung jawab Naya sepenuhnya, melainkan menjadikan kekalahan sebagai bagian dari pembelajaran yang seharusnya mereka terima baik-baik.
"kita masih bisa memenangkan kompetisi lain" lanjut liam berusaha tersenyum tipis memegangi pundak Naya, Meski dalam sorot matanya terlihat jelas guratan-guratan yang kehampaan.
"Kalau saja aku bisa menemukan stik cadangan lebih cepat..." Naya memotong ucapan liam, dia tetap bersikukuh untuk menyalahkan dirinya sendiri tanpa ingin menerima pembelaan dari temannya.
"benar! semua ini salah loe, nay" tegas Aiden sebelum melangkah meninggalkan tempat itu, langkah yang tergesa-gesa meninggalkan perasaan amarahnya yang masih membuncah di dalam hatinya.
"ishh" desis Liam berusaha mengejar langkah Aiden yang kian menghilang dari pandangan mereka, meninggalkan Jimi dan Naya di tempat mereka berkumpul sebelumnya. Jimi hanya bisa menatap iba pada naya yang menjadi satu - satunya orang yang disalahkan dalam kegagalan mereka.
"gue duluan yah, nay" ucap Jimi tidak tahu harus melakukan apa untuk menenangkan teman di depannya. Dia lebih memilih meninggalkan Naya sendiri, memberi ruang kepada Naya untuk menumpahkan semua emosi dan perasaan yang dia tahan sendiri, bagian dari dirinya yang tidak bisa dia bagikan kepada sembarang orang sekalipun mereka terlihat begitu dekat.
"Dasar nggak berguna!" monolog Naya meremas tangannya kuat - kuat, menyalurkan perasaan bersalahnya, menumpahkan semua air matanya yang sudah cukup lama dia bendung
"maaf!" lirih naya menatap kepergian ketiga temannya yang meninggalkan kekosongan serta perasaan bersalah yang semakin menggerogoti jiwa naya.
"Padahal aku sudah berusaha melakukan yang ku bisa tapi mengapa tetap tidak bisa..." ungkap Naya menatap beberapa lebam yang mulai menghitam pada pergelangan tangannya. Lebam yang selalu dia sembunyikan di bawah lengan cardingannya.
"mungkin memang benar, pada akhirnya tetap aku yang akan ditinggalkan" ujar Naya menghapus sisa air matanya yang lolos dari pelupuk matanya, sebelum melangkahkan kakinya meninggalkan tempat kompetisi yang masih ramai meski malam semakin larut.
Tok... tok... tok..
Dengan gerakan tangan yang lunglai Naya mengetuk pintu utama, berharap seseorang akan segera membukakan pintu untuknya. Membiarkan dia masuk agar tidak semakin tersiksa dengan angin malam yang semakin dingin berhembus hingga menusuk tulang-tulang.
"sepertinya harus lewat pintu belakang lagi" monolog Naya bergegas melangkah ke arah pintu yang berdekatan dengan kamar ART mereka. Berharap wanita paruh bayah itu masih terbangun dan bersedia membukakan pintu untuk dirinya.
"Mbak! Tolong bukain pintu belakang" ucap naya dengan suara pelan setelah dirinya berhasil terhubung dangan panggilan suara.
"baik nona" jawab mbak stella yang segera bergegas membukakan pintu untuk anak majikannya itu.
"maaf yah nay! Tadi saya ketiduran" kata mbak Stella dengan mata yang memerah dan suara parau khas baru bangun tidur.
"saya yang seharusnya minta maaf karena sudah mengganggu istirahat mbak" ucap Naya mengikuti langkah mbak stella menuju ke arah meja makan, berusaha melegakan kerongkongannya yang terasa kering.
"mama masih belum pulang yah?" tanya Naya mengedarkan pandangannya, berusaha menelusuri setiap sudut rumah yang terasa semakin sunyi pada malam hari.
"Belum nay, mungkin besok siang baru mereka pulang" jawab mbak stella membuat hembusan nafas Naya terasa berat. Meski dirinya seharusnya sudah terbiasa dengan keadaan seperti itu, namun kali ini dirinya sangat membutuhkan sosok orang tua untuk meringankan sedikit beban di hatinya.
"nay, ndak makan dulu?" tanya mbak stella melihat Naya yang bergegas menunggalkan area dapur tanpa menyentuh sedikitpun makan yang tersedia di atas meja makan.
"besok saja mbak, aku capek banget hari ini. Pengen cepat - cepat istirahat saja" kata Naya melanjutkan langkahnya meninggalkan mbak Stella yang hanya bisa menggeleng - gelengkan kepalanya dengan tingkah Naya.
"Kalian udah pada tahu tentang kejadian kemarin"
"Iya tahu, kasihan banget yah sama Naya"
"kira-kira pertemanan mereka masih baik-baik aja nggak yah?"
"Bakalan heboh nggak sih"
Bisik-bisik beberapa siswa menyambut kedatangan Naya di sekolah pagi itu.
Naya berjalan melewati koridor sekolah, setiap langkah yang dia ambil dalam diam meninggalkan kehampaan di dalam dirinya. Dia terus berjalan sambil menebalkan telinganya, berusaha mengabaikan bisik-bisik yang mengiringi langkahnya menuju ruang kelas. Dinding-dinding sekolah seakan menjadi semakin dingin menguarkan hawa dingin yang membawa perasaan hampa dan perasaan asing yang menyerang naya yang masih saja membisu. Tanpa dia bisa pungkiri bahwa dirinya sungguh merindukan hari-hari yang lalu, Hari-hari dimana dirinya bisa bercengkrama, bercerita serta bercanda gurau dengan anak-anak yang lain. Kesunyian semakin mengusik batin saat pandangan anak-anak lainnya tampak mencibir dan bergegas menjauh dari naya yang hendak menyapa mereka.
Setibanya di ruang kelas, Naya memilih tempat duduk di pojok paling belakang. Ia sadar bahwa dirinya tidak lagi memiliki tempat yang baik dari pandangan teman-teman sekelasnya, mungkin dirinya tidak berhak lagi atau bahkan tidak lagi memiliki hak untuk berbicara membela dirinya sendiri dari tatapan menghakimi itu. Naya mengeluarkan buku catatannya dan mencoba fokus pada pelajaran, namun pikirannya terus melayang-layang menampilkan angan yang mungkin hanya ada dalam pikirannya. Ia terus menerka, membayangkan bagaimana reaksi teman-temannya jika ia mencoba untuk berbicara dengan mereka terlebih dahulu. Apakah mereka akan menerimanya kembali atau malah semakin menjauhinya? Menganggapnya rendah karena tidak mampu menerima semua konsekuensi dari kesalahan yang dia perbuat.
Tanpa terasa Bel istirahat berbunyi, Naya yang masih dihantui keraguan berusaha memberanikan diri. Mengambil langkah untuk berjalan keluar kelas mempersiapkan diri menghadapi tatapan yang akan menghakimi dirinya lagi. Dengan perasaan was-was dia terus Ia memohon di dalam hatinya agar tidak bertemu ataupun berpapasan dengan anggota Band Starry.
"Andai tadi nggak kesiangan bangunnya, mungkin aku nggak perlu ke kantin" batin Naya berusaha mempercepat langkah kakinya. Menyesali sarapannya yang terlewati karena dirinya terbangun kesiangan membuatnya harus berangkat sekolah dengan tergesa-gesa karena takut terlambat.
"naya!" Sapa Sintia berjalan cepat mendahului langkah naya. Dari tatapan serta senyum simpul Sintia, naya bisa memastikan bahwa dirinya akan berada dalam situasi yang kurang baik jika terus meladeni mereka.
"apa yang mereka ingin lakukan?" batin Naya memandang heran pada tiga gadis yang punya banyak pengagum di sekolah mereka. Meski mereka kerap berpapasan di lingkungan sekolah maupun di luar kegiatan sekolah namun hal itu tidak serta merta membuat mereka memiliki hubungan yang baik.
"loe dipanggil sama Bu Febry ke ruang guru, sekarang!" tutur Lisa dengan senyum tipisnya. Dahi Naya berkerut memikirkan alasan dari pemanggilan diri ke ruang guru, bukankah speaker sekolah masih berfungsi dengan baik mengapa harus merepotkan siswa lain jika hanya untuk menyuruh siswa menghadap ke ruang guru.
"Benar nay, kalau kamu nggak percaya kita bisa temanin kamu ke sana" ucap Sintia memperkuat kebenaran dari ucapan Lisa sebelumnya. Senyum yang tidak hilang dari sudut bibir mereka dan alis mereka yang naik turun saat bertatapan seakan salin memberi kode rahasia yang mungkin hanya mereka yang bisa mengerti maksudnya.
"baiklah, kita ke ruang guru sekarang" kata Naya menyetujui niatan mereka setelah diam memikirkan dan merenungkan beberapa kemungkinan yang akan terjadi saat dirinya menolak ataupun mengikuti ucapan mereka.
"Tumben kamu jalan sendiri Nay?, anak Starry yang lain pada kemana?" tanya Lisa berjalan di samping Naya, seakan berusaha mengejek Naya yang kini tak sekalipun bertegur sapa dengan Aiden, Liam maupun Jimi hari itu. meski mereka mengetahui dengan jelas kejadian kemarin bahkan mereka menyaksikan semua perdebatan yang berakhir dengan Naya yang ditinggalkan di tempat kompetisi sendirian.
"Mungkin mereka di ruang latihan, seperti biasa" Naya menjawab dengan mempertahankan ketenangan yang mampu dia tampilkan. Dirinya sekuat tenaga berusaha meredam kesedihan yang kini kembali menyeruak ke dalam hatinya, berusaha bersikap biasa-biasa saja seakan tidak ada masalah berarti yang terjadi.
"yah ampun Nay, nggak usah sok lugu begitu bisa kan?" timpal Rini membuka suara, membuat semua tatapan teralihkan pada Rini yang berjalan paling belakang. Diantara mereka mungkin hanya Rini yang blak-blakan saat berbicara dan sarkas terdengar, hingga seringkali membuat banyak orang sakit hati dibuatnya.
"Kemarin kita lihat semua yang terjadi di kompetisi, loe dicampakkan sama mereka 'kan?" lanjut Rini membuat langkah Naya terhenti. Setiap ucapannya seakan tidak terbantahkan dengan sikap dan kebisuan Naya yang kini kembali tertunduk lemah.
"ahh kelamaan, sini!" seru Lisa bergegas memegang erat pergelangan tangan Naya kemudian menariknya ke arah toilet perempuan. Tidak sabar lagi ingin melakukan yang sudah lama mereka rencanakan tetapi selalu gagal.
"kalian mau ngapain?" tanya naya dengan perasaan taku yang menguasai dirinya. Dengan segala tenaga Naya terus meronta berusaha melepaskan cengkraman tangan Lisa yang semakin lama semakin kuat terasa. Bukan hal yang lumrah jika kekuatan lisa berada di atas perempuan pada umumnya, sejak kecil dirinya sudah menekuni dunia persilatan.
"Ketiga bodyguardmu tidak akan datang menolongmu lagi" ujar Sintia menutup pintu toilet dengan seringai liciknya, sudah lama mereka ingin memberi Naya sedikit pelajaran namun dengan adanya Liam, Aiden dan Jimi di sekitar naya membuat mereka urung bertindak.
Ketiga teman yang dulu selalu memasang badan saat Naya diganggu oleh anak - anak lain, kini sudah menjadi orang yang tampak asing hanya karena sebuah kegagalan.
"Apa salahku pada kalian? Kenapa kalian membenci diriku" tanya Naya dengan suara meninggi tidak ingin dirinya didominasi oleh ketiga siswa yang memiliki pengaruh besar di sekolah mereka. meski perlawanannya tidak memberi dampak yang begitu nyata di hadapan ketiga gadis tersebut.
Plak... Plak...
Dua tamparan Sintia begitu mulus mendarat di kedua pipi naya. Tamparan yang membuat naya meringis merasakan panas dan sakit pada pipinya di saat yang bersamaan.
"tamparan itu karena loe udah berani ngambil perhatian Aiden" ujar Sintia mengibas - ibaskan tangannya yang terasa kebas setelah menampar pipi naya dengan keras.
"seandainya loe tidak ada dalam Starry, sudah pasti Aiden udah jadian sama gue" ungkap Sintia mengingat kembali penolakan Aiden dengan beralasan kurang nyaman dengan Naya jika salah satu dari mereka berpacaran.
"ini, karena loe udah berani ngerebut posisi drumer band Starry dari gue" ucap Lisa mencengkram rambut Naya yang terkuncir, kemudian mendorong kepala Naya ke dalam lavatory wastafel yang dipenuhi air. Menekan kuat dan menahannya beberapa saat hingga Naya kesusahan bernafas dan menelan sedikit air tersebut.
"gue, nggak pernah merebut apapun" tutur Naya dengan nafas tersenggal - senggal, menyeret tubuhnya menjauh setelah Lisa menghempaskannya dengan kasar.
"Sebenarnya loe nggak salah apa - apa sama gue, tapi karena perlindungan dari anggota Starry dan cara kalian tertawa bersama membuat gue muak tiap hari" ucap Rini menyiramkan seember air ke atas tubuh Naya, diiringi gelak tawa puas Lisa dan Sintia. seketika keberanian naya runtuh, air matanya jatuh tanpa bisa dia bendung lagi.
Benar kata orang bahwa kebencian bisa menular, kita bisa sangat membenci orang lain tanpa hal yang mendasar. Hanya dengan mendengar beberapa potong cerita yang entah benar adanya orang itu telah lakukan, membuat kita muak bahkan menumbuhkan kebencian kepada orang tersebut.
"aku nggak pernah melakukan apapun yang buruk pada kalian, kenapa kalian membenciku" ucap Naya dengan lirih air matanya masih jatuh membasahi pipinya yang memerah. Merasakan ketakutan untuk pertamakalinya setelah cukup lama merasakan kedamaian menjalani keseharian di tempat itu.
"dasar nggak tahu diri, masih saja naif" ucap Rini menatap nyalang ke arah Naya sebelum mengikuti langkah Lisa dan Sintia yang sudah lebih dulu meninggalkan toilet tersebut.
Naya terus menangis duduk sambil memeluk kedua lututnya, gadis yang dulu tampak selalu tegar kini hanya mampu menangis meratapi nasibnya yang kurang beruntung.
"apa aku sungguh tidak bisa berdiri tanpa kalian?" tanya naya pada dirinya sendiri, mengingat kembali hari-hari damai yang dia lewati bersama Liam, Aiden serta Jimi.
Cukup lama Naya duduk termenung di dalam toilet perempuan, bahkan bel pertanda bel istirahat telah berakhir dia hiraukan. Menikmati kesunyian yang membuat dirinya merenungi banyak hal yang tidak bisa dia miliki kembali.
"Naya" ujar seseorang yang berpapasan dengan Naya sudut koridor. menatap ibah pada penampilan Naya yang acak - acakan dan tak karuan.
Banyak pertanyaan yang membludak di dalam kepalanya setelah bertemu kembali dengan gadis yang dulu sangat dia ingin dekati.
"apa yang terjadi?"
"apa kau baik-baik saja?"
"siapa yang melakukan hal buruk kepadamu?"
atau bahkan pria itu ingin menanyakan tentang kehidupan Naya belakangan ini, entah semuanya berjalan dengan lancar atau mungkin kehidupan Naya sudah tidak lagi sama seperti dahulu.
Segera Naya menghapus sisa-sisa air matanya, sebelum dirinya berani mengangkat kepala untuk memastikan orang yang memegangi kedua bahunya dengan erat.
"kak bintang" batin Naya mengingat sosok yang berusaha mendekat, namun naya lebih cepat menghindar tatapan mereka yang bersirobok.
Menyadari keadaan yang tidak menguntungkan untuk membuka percakapan panjang dengan naya, Bintang segera melepas hoodie abu yang dia kenakan. kemudian dengan telaten memakaikannya pada tubuh naya, menarik resletingnya hingga keujung dan menutupi kepala naya dengan tudungnya.
"kamu pake ini dulu" Ucap Bintang mengelus lembut pucuk kepala naya yang tertutup.
"apa perlu aku antar pulang?" tanya bintang dengan hati-hati, melihat sekitaran sekolah yang sudah tampak lenggang hanya tersisa beberapa siswa yang berkeliaran di area sekolah. Beberapa siswa yang mungkin menyempatkan waktu untuk mengikuti kegiatan ekstrakulikuler setelah seluruh jam pelajaran telah usai.
"tidak perlu, terima kasih!" ucap naya dengan suara lirih terdengar berbisik namun mampu ditangkap oleh indera pendengar Bintang.
Naya kemudian berlari meninggalkan Bintang yang menatapnya dengan penuh kebingungan. setelah sekian lama tidak bertemu dengan naya, akhirnya Bintang kembali bisa bertemu dengannya. Namun pertemuan itu terjadi saat kondisi sedang tidak baik-baik saja untuk naya.
Di tempat lain
"sepi banget yah" celetuk Jimi yang merasakan kehampaan ruangan latihan mereka tanpa kehadiran Naya.
"malahan ini lebih baik, daripada dia di sini malah bikin mumet tahu!" tutur Aiden memelintir dengan asal kabel mikrofon meluapkan perasaan amarahnya yang belum juga meredah.
"iya, terserah kau sajalah" ucap Jimi tidak ingin berdebat dengan Aiden yang paling keras kepala diantara mereka.
"sudah jangan dibahas lagi, jika Naya memang merasa bersalah harusnya dia datang dan meminta maaf atas kejadian kemarin" timpal Liam ikut meluapkan perasaan kesalnya, pandangannya tidak pernah teralih dari pintu yang sejak tadi tidak terbuka dalam lubuk hatinya dia mengharapkan Naya datang menghampiri mereka. Berusaha memperbaiki semua yang menjadi kekecewaan yang kini berujung dengan peresaan kesal mereka.
"pokoknya kegagalan kemarin semua karena Naya, intinya semua kesalahan ada pada Naya" Kata Aiden bangkit dari duduknya, membuat Jimi hanya bisa menggelengkan kepala menatap kedua temannya secara bergantian. Meski ingin membela Naya namun dirinya tidak akan menang melawan argumen kedua orang yang keras kepala di depannya.
"Nay, ini! mbak bawakan sup daging" ujar mbak stella setelah menutup kembali pintu kamar yang tidak pernah terkunci, meletakkan nampan berisi semangkok sup daging ke atas meja belajar dengan hati - hati.
"iya mbak, letakkan saja di meja" seru Naya dari dalam kamar mandi, menghentikan sekilas suara gemericik air agar suaranya dapat terdengar jelas keluar kamar mandi.
"baiklah, mbak simpan di meja yah supnya. segera dihabiskan sebelum dingin" kata mbak stella menatap ke arah pintu kamar mandi yang terkunci rapat. Dalam tatapannya terpancar jelas kekhawatiran pada sosok perempuan yang terlihat murung beberapa hari ini.
huft....
hembusan nafas Naya terdengar mengisi kehampaan kamar tidurnya. segera Naya melangkah menuju meja belajar dengan tangan kirinya yang masih mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil.
"haaa... Cukup membantu juga" ujar Naya setelah menenggak sebagian isi mangkok sup daging itu. Dia merasa jauh lebih baik setelah mendapatkan sedikit kehangatan tubuh yang menghilangkan rasa kedinginan dan kekembungan di perutnya.
Setelah menghabiskan isi mangkok porselen, Naya segera beranjak dari duduknya. dia hendak beranjak ke arah dapur untuk membawa dan juga mencuci sendiri mangkok tersebut, seperti kebiasaannya selama ini.
"Ayah, bulan depan aku mau ke sana lagi bersama mama dan ayah" ucap perempuan belasan tahun dengan ceria, menghentikan langkah Naya yang hendak melewati ruang tengah tempat dimana tiga orang sedang bercanda gurau bersama.
"Boleh sayang, tapi ingat minta izin dulu sama Bu Guru" ucap pria yang dipanggil ayah, menggenggam hangat tangan mungil anak perempuannya. Mencurahkan semua kasih sayang yang dia miliki pada putri kesayangannya.
"Naya! udah selesai makan supnya?" tanya mbak stela berdiri di sudut sekat ruangan, membuat atensi semua orang terarah pada perempuan yang setia berdiri mematung. Ada perasaan getir setiap melihat keharmonisan keluarganya, yang bisa bahagia tanpa dirinya di dalamnya.
"iya, sudah mbak" Jawab Naya segera melanjutkan langkahnya kembali, berharap dirinya bisa menghilang dari pandangan ketiga orang yang baru pulang dari liburan keluarga berkedik perjalanan bisnis.
"Naya!" panggil Nuri segera bangkit dari sofa berjalan menghampiri Naya, putri kandungnya.
"nih, oleh - oleh yang dibawakan ayah untukmu" ucap Nuri menyodorkan paperbag berwarna coklat polos pada Naya. meski enggan mengambil benda itu, namun Naya dengan berat hati tetap mengambilnya menyadari tatapan tajam dari pria yang memandang ke arah mereka.
"terima kasih ayah" ucap Naya canggung menghadapi sorot mata ayah sambungnya, ada perasaan tidak rela di dalam tatapan mata yang menusuk itu. Sebuah kenyataan pahit yang harus Naya hadapi setiap hari setelah menyetujui pernikahan ibunya yang kedua kalinya.
"Kalau begitu Naya ke dapur dulu, ma" ucap Naya kembali memotong Rudi yang ingin berbicara padanya. Ada banyak ketidak cocokan diantara mereka, namun Naya selalu berusaha mengalah hanya untuk kebahagiaan ibunya semata. Bertahan dengan membangun tembok pembatas yang memberi naya ruang sendiri.
"Silahkan dinikmati tuan buahnya" ucap mbak stella setelah meletakkan piring buah ke atas meja, sebelum beranjak kembali ke arah dapur menyusul langkah Naya.
"Sudahlah jangan terlalu dipikirkan, mungkin Naya dalam suasana kurang baik. atau mungkin Naya capek karena kegiatan sekolahnya" ujar Nuri mengambil tempat di samping Rudi, berusaha membujuk suaminya agar tidak marah terhadap Naya yang bersikap cuek dan menghindar darinya.
"siapa yang peduli, selama putriku bahagia itu sudah cukup bagiku" batin Rudi menatap Aleta dengan tatapan penuh kasih sayang, terus mengusap lembut kepala anak yang duduk didalam pangkuannya.
"Tentu, Naya juga sudah dewasa dia bisa menentukan sendiri yang baik untuk hidupnya" kata Rudi tanpa menatap ke arah Nuri yang kini sudah mengembangkan kembali senyum di sudut bibirnya.
"kapan mereka sampai, mbak?" tanya Naya dengan tangan yang sibuk mencuci beberapa alat masak yang telah mbak stella gunakan.
"barusan Nay!, setelah mengantar sup ke kamar tadi mobil Bapak baru terparkir di depan rumah" jelas mbak stella mengerjakan pekerjaannya yang tertunda setelah diminta untuk menyiapkan buah untuk Aleta.
"Kamu kenapa Nay? Apa kamu baik-baik saja?" tanya mbak stella dengan perasaan khawatir menyadari punggung Naya yang tampak bergetar tanpa mengusik kegiatannya.
"nggak apa - apa kok mbak, mungkin asam lambung naik lagi" jawab Naya segera menyelesaikan yang sedang dia kerjakan. Akhir - akhir ini dia sering melupakan waktu makan karena terlalu fokus berlatih dengan teman -temannya. Ditambah dengan masalah yang berakhir dengan menghindarnya teman - temannya membuat Naya merasa stress.
"mau diambilkan obat maag?" tanya mbak stella hendak melangkah menuju lemari tempat penyimpanan obat-obatan di dapur.
"nggak usah mbak, mungkin masih ada obat di kamar Naya. Lagipula Naya juga buru - buru mau keluar sebentar" jelas Naya segera bergegas mengeringkan tangannya. saat keluarganya berada di rumah, Naya lebih sering menghabiskan waktu di luar. Dia tidak ingin mengganggu ketentraman yang mungkin akan mengusik kebahagiaan ibunya.
"Yaudah nay, segera sana minum obatnya sebelum pergi" kata mbak stella tersenyum ringan menatap Naya yang bergegas kembali ke kamarnya dengan menenteng paperbag coklat pemberian Nuri.
"Kasihan sekali kamu Naya, harus menahan perasaan iri setiap mereka berada di rumah" monolog mbak stella menggeleng - gelengkan kepalanya. Merasa ibah dengan pengabaian yang selalu Naya dapatkan dari keluarganya sendiri.
...****************...
"Kamu yakin masih nggak mau menemui Naya?" tanya Josua yang sedang menemani Bintang mengerjakan tugas kuliah di salah satu kafe. Tempat yang sering di datangi mahasiswa, baik untuk mengerjakan tugas dengan bantuan wifi gratis maupun hanya sekedar nongkrong mengisi waktu luang mereka.
"kalau gue di posisi loe, udah dari dulu gue berusaha mendekatkan diri sama Naya" celetuk Denny menggigit - gigit gemas sedotan minuman miliknya. Dirinya tidak habis pikir dengan sahabatnya yang bisa menahan diri hingga selama itu tanpa berusaha dekat dengan Naya. Orang yang terkadang muncul di beberapa bagian cerita Bintang bersama teman - tamannya .
"iya gue setuju sama loe, Den. Apalagi Naya kayaknya benaran dikeluarin dari Starry, didiemin pula sama anggota lainnya" ungkap Josua setelah menjeda sedikit ucapan Denny. Membuat Bintang segera mengalihkan pandangan dari laptop di depannya. Ada perasaan yang mengganggu batinnya mendengar kejadian yang dialami Naya beberapa waktu ini.
"Makin berat tuh kehidupan Naya sekarang" kata Denny menimpali, membuat perasaan Bintang semakin tidak karuan dengan ucapan kedua sahabatnya itu.
"Nantilah, gue pikirin dulu caranya buat bisa ketemu sama Naya" kata Bintang setelah menyeruput kopi yang menjadi minuman pesananya. ingatannya kembali mengulang adegan saat dirinya tidak sengaja bertemu kembali dengan Naya saat berkunjung ke sekolah.
"yah ampun, tinggal loe datengin tuh rumahnya Naya. Trus ajak dia ke bioskop atau ke toko buku 'kan bisa" ucap Denny mengemukakan idenya, mengacak - acak rambutnya dengan frustasi. bingung menghadapi temannya yang selalu menghindar dari Naya meski dirinya ingin mendekat.
"Nggak begitu juga, bisa absurd nanti kalau Bintang tiba - tiba ngelakuin itu. Apalagi Naya tahunya hubungan mereka hanya sebatas senior junior, nggak lebih" kata Josua memukul bahu Denny yang duduk di sebelahnya. Bayangan kecanggungan yang sungguh akan terjadi jika Bintang benar - benar melakukan saran yang diberikan oleh Denny.
"Tahu nih, sarannya nggak berbobot banget" kata Bintang ikut memukul - mukul bahu Denny, membuat mereka tertawa ringan karena saling menjahili satu sama lain. hingga tanpa sadar beberapa pengunjung menatap ke arah mereka karena suara gelak tawa mereka yang memenuhi Kafe tersebut.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!