NovelToon NovelToon

DILARANG JATUH CINTA

1. Titah Mama

"Valeda, Mama mau kamu segera menikah."

Valeda menahan diri agar tidak tersedak mendengar perkataan Nyonya Emely yang tiba-tiba, di saat mereka tengah duduk bersama untuk makan malam.

Hari itu, Valeda meluangkan waktunya untuk makan malam bersama Tuan Suherman dan Nyonya Emely, setelah bujukan hebat dari ibunya itu. Sebenarnya, masih banyak yang ingin dia lakukan di sisa hari itu.

Yah, karena takut durhaka sama orangtua, akhirnya Valeda setuju saja untuk makan malam bersama. Tapi, kenapa pembicaraannya jadi merembet ke pernikahan?

"Val masih kecil, Ma," tolak Valeda.

Nyonya Emely meletakkan sendok dan garpu dengan hati-hati. Matanya memandang anak perempuannya lurus-lurus. "Dua puluh dua tahun itu, sudah cukup untuk menikah," ujar Nyonya Emely. "Dulu, Mama menikah di usia dua puluh tahun. Mama membantu Papa kamu untuk sukses seperti sekarang. Tapi, kamu sendiri malah nggak punya pacar."

"Ma, zaman dulu dan sekarang itu, berbeda," sanggah Tuan Suherman. "Lagipula, Valeda baru saja lulus kuliah."

"Apalagi yang kita tunda, Pa?" Nyonya Emely masih keras kepala dengan keputusannya. "Anak kita ini cantik, pintar, bahkan mendirikan perusahaannya sendiri. Tidak ada yang kurang, kecuali pasangan. Mama tidak pernah mendengar gosip apapun tentang dia."

"Dan itu buat Mama khawatir?" sela Tuan Suherman sambil tertawa pelan.

"Bukannya bagus kalau Val nggak pernah ada gosip miring? Posisi Papa dan Mama juga jadi enak, kan? Punya anak gadis yang bisa jaga diri," jawab Valeda, sekaligus bangga akan dirinya sendiri yang tidak mudah tergoda dengan laki-laki.

"Pokoknya minggu depan kamu harus makan siang dengan anak kenalan Mama," putus Nyonya Emely sepihak.

"Minggu depan Val ada meeting penting, Ma! Rumah sakit Val mau rekrut dokter-dokter baru. Val harus hadir di sana." Valeda teringat dengan e-mail yang sekretarisnya kirimkan tadi sore. Yah, bukan minggu depan banget, sih... Tepatnya tiga hari lagi. Tapi Valeda tidak sepenuhnya bohong, kan? Malas banget kalau harus ikut kencan buta begitu.

"Ada Celine yang bisa gantikan kamu untuk urusan itu," sahut Nyonya Emely.

Valeda melirik ke arah Tuan Suherman, meminta bantuannya. Namun, Tuan Suherman hanya melemparkan senyuman kecut. Tuan Suherman sendiri tahu, watak Nyonya Emely sama dengan watak anaknya, sama-sama keras kepala. Meja makan ini bisa jadi medan tempur kalau Valeda terus menghindari Nyonya Emely.

Yah, sepertinya Valeda memang harus ikut kencan buta yang ibunya atur. Kalau ditolak, bisa-bisa darah tinggi Nyonya Emely kumat.

"Iya. Minggu depan Val ketemu sama anak teman Mama," Valeda menyerah dan melanjutkan makan malamnya.

"Lalu, ke mana ketiga kakak laki-lakimu?" tanya Nyonya Emely.

"Val terlalu sibuk dengan mall yang baru Val buka. Val nggak sempat berkabar sama kakak-kakak," jawabnya cuek. Sebenarnya bukannya Valeda membenci ketiga kakak laki-lakinya, namun mereka tidak terasa seperti keluarga bagi Valeda.

Sejak kecil, ketiga kakaknya diajarkan untuk selalu bersaing dan memperebutkan posisi pertama. Mereka bersaing secara sengit dan terlalu fokus pada tujuan Nyonya Emely. Bisa dikatakan, Valeda termasuk anak yang beruntung karena dilahirkan sebagai perempuan. Fokus Nyonya Emely tidak terarah pada Valeda. Dia bebas bersekolah di mana saja dan mengambil studi yang dia minati.

Ajaibnya, Valeda memiliki kemampuan yang sama dengan Tuan Suherman dalam pengembangan bisnis dan motto hidup. Valeda melampaui kakak-kakaknya dengan cepat dan mudah tanpa usaha berarti.

Valeda Abhiyan Suputri, di usia kedua puluh dua tahun, telah menyelesaikan gelar magister. Pendiri sebuah rumah sakit swasta dengan tabungan yang Valeda buat selama dia kuliah di Amerika. Lalu, dengan penghasilan dari rumah sakit, Valeda dapat mendirikan sebuah mall megah di pusat kota.

Oke, oke. Tuan Suherman juga ambil bagian. Ayahnya memegang tiga puluh persen saham di perusahaan Valeda. Tanpa Tuan Suherman, teman-temannya tidak akan tertarik menanam saham di tempat Valeda. Itulah pentingnya relasi.

Valeda sama sekali tidak berminat mengambil alih usaha yang ayahnya punya. Itu adalah hak ketiga kakak Valeda. Makadari itu, Valeda memutuskan membuat kenyamanan untuk diri sendiri dengan usahanya. Sehingga, tidak ada salah satu dari kakaknya berhak atas apa yang Valeda miliki sekarang.

Hal itu mengundang bermacam-macam tanggapan dari ketiga kakak laki-lakinya. Mereka yang biasa bersaing, tiba-tiba dihadapkan dengan seorang gadis kecil yang lebih hebat dari mereka. Oke, Valeda memang sedikit sombong. Namun, itulah kenyataannya.

"Kamu harus sering-sering bertemu dengan kakak-kakakmu," Tuan Suherman menambahkan di sela makannya.

"Ya, Pa. Nanti Val coba hubungi mereka."

Tapi bohong! Hehehe...

"Akur-akurlah! Bagaimanapun, kalian itu saudara," perintah Nyonya Emely.

Valeda cuma mengangguk saja, karena tidak yakin bisa memenuhi perintah Nyonya Emely. Ketiga kakaknya itu tidak di dalam jangkauannya. Sudah tiga bulan lebih Valeda tidak melihat mereka. Valeda juga tidak mau menghubungi mereka duluan. Bahkan, untuk makan malam seperti ini saja, mereka tidak ada waktu.

"Setelah ini, kamu langsung balik ke apartemen kamu?" tanya Tuan Suherman.

Valeda manggut-manggut sambil menyelesaikan suapan terakhirnya. Steak buatan Nyonya Emely memang paling enak! Rasanya Valeda bisa nambah seporsi lagi, tapi Valeda mengurungkan niatnya karena harus jaga body.

"Sekali-sekali, menginaplah di sini," kata Nyonya Emely.

"Iya, Ma. Kalau Val punya waktu senggang, Val akan menginap. Tapi untuk saat ini, Val ada banyak pekerjaan. Apalagi, apartemen Val lebih dekat dengan kantor. Val jadi bisa punya waktu istirahat lebih banyak." Valeda melipat kembali serbet yang ada di pangkuannya. "Val sudah selesai."

"Hm, ya sudah, hati-hati di jalan," jawab Tuan Suherman. Nyonya Emely hanya mengangguk saat Valeda menoleh padanya.

Valeda berjalan cepat menuju halaman depan rumah, di mana mobilnya terparkir sejak dua jam yang lalu. Sebuah mobil sedan berwarna hitam berkilau, yang dia dambakan sejak sekolah dulu. Begitu masuk ke mobil, Valeda langsung memasang handsfree di telinga kirinya.

"Celine, resume yang kemarin sudah siap?" tanya Valeda begitu suara seorang perempuan terdengar dari seberang.

"Sudah. Aku taruh di atas meja ruang kerja di apartemenmu," jawab Celine. "Kamu sudah selesai makan malam?"

"Baru aja."

"Hmmm, lebih cepat dari perkiraanku. Aku pikir, Nyonya Emely bakalan nahan kamu buat menginap."

Valeda tertawa pelan. Celine memang sudah hafal dengan kebiasaan keluarga atasannya itu. Bagaimana tidak, Celine sudah berteman dengan Valeda sejak SMP. Awalnya, mereka berteman karena strata keluarga mereka setingkat. Namun, lama-lama, Valeda merasa cocok dengan Celine. Celine tidak protes waktu diajak manjat pagar sekolah untuk bolos kelas sejarah. Lalu, dia juga tidak protes waktu Valeda minta diet karena berat badannya yang berlebih. Celine tipe orang yang penurut. Jadi, Valeda putuskan untuk menjadikan Celine sebagai tangan kanannya.

Terbukti sekarang, pekerjaan yang Valeda limpahkan ke Celine, beres sesuai tenggat waktu. Celine tidak mengeluh walau Valeda minta lembur karena ada masalah di kantor. Pokoknya, Celine itu karyawan terbaik yang Valeda punya.

"Cel, ada kabar buruk."

"Kabar apa?" tanya Celine cepat.

Valeda menarik nafas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. "Mama nyuruh aku ikut kencan buta."

"Hah!?" Celine terdengar cengak.

"Kencan buta, Cel!" ulang Valeda tidak sabar.

"Hahahahaha!" Celine malah terbahak. Sebal sekali Valeda mendengar dia tertawa bahagia begitu.

'Aku sumpahin kamu keselek, Cel!' batin Valeda.

"Uhuk, uhuk!" Celine beneran keselek.

"Hahahaha!" giliran Valeda tertawa. "Ngetawain orang, sih! Kualat kamu!"

"Maaf, maaf," jawab Celine. "Tapi, Nyonya Emely ada benarnya juga."

"Maksudnya?"

"Kamu sudah mencapai semua keinginan hidupmu. Sekarang kamu tinggal panen hasil, kan? Memang sudah waktunya kamu punya pacar," jelas Celine.

"Sebel, deh, ngomong ama kamu!" Valeda langsung menutup telepon.

***

2. Memulai Hari

Valeda membuka mata dengan susah payah karena tidur larut semalam. Sinar matahari bahkan belum muncul dari peraduannya, tapi Valeda sudah harus bersiap memulai harinya. Ya, tentu saja Valeda tidak boleh mengeluh dengan hal ini. Ini adalah jalan ninjanya!

“Valeda! Valeda! Ayo cepat keluar!”

"Astaga! Nenek lampir itu sudah siap duluan rupanya! Padahal masih jam lima pagi. Tapi dia sudah nangkring di apartemenku," gumam Valeda.

“Valeda!?” cicit Celine lagi karena tidak mendengar jawaban si empunya apartemen.

“Iya, iya! Aku sudah bangun! Nggak usah teriak-teriak, aku nggak budeg!” sahut Valeda setengah kesal. Daripada harus mendengar panggilan dari Celine lagi, Valeda memilih segera pergi mandi dan mempersiapkan diri untuk hari yang sibuk.

Hari Kamis. Waktunya untuk warna biru. Valeda akan memakai atasan secerah langit biru dan rok sebiru laut dalam. Dipadu dengan sepatu kaca karya desainer langganannya dan sebuah tas bermerek yang baru saja dia beli. Harinya akan menjadi sempurna.

Ah, bukan. Harinya kali ini pun, harus menjadi sempurna…

Begitu siap dengan dirinya, Valeda keluar dari kamarnya yang nyaman dan hangat. Valeda menghampiri Celine yang duduk di ruang tamu sambil menyusun kertas-kertas di atas meja. Valeda bisa menebak, itu adalah berkas yang Celine siapkan untuk rapat mereka dengan tim pemasaran siang nanti.

“Sarapan ada di atas meja dapur,” kata Celine tanpa menoleh ke arah Valeda. Dia benar-benar fokus pada pekerjaannya.

Valeda berjalan cepat menuju meja makan. Di sana telah terhidang sarapan ‘Hari Kamis’ yang selalu Valeda pesan. Sepiring omelet berpenampilan mewah dengan tambahan kaviar di atasnya, dipadu dengan campuran lobster terbaik. Aroma yang memenuhi dapur apartemennya sungguh membuat perut Valeda menjerit-jerit kelaparan.

“Apa saja jadwal untuk hari ini?” tanya Valeda sambil duduk di depan sarapannya yang berharga. Valeda tidak akan bisa melewati pagi hari tanpa makanan kesukaannya setiap pagi.

“Setelah tiba di kantor, kamu harus berkeliling untuk menyapa semua staff dan bertanya apakah ada masalah. Meskipun kamu sudah tahu semua masalah yang ada di kantormu,” Celine memulai.

“Oke, lalu?” Valeda mempersilakan Celine untuk melanjutkan. Sementara Valeda mulai menikmati omeletnya.

Hei, jangan katakan bahwa Valeda adalah orang yang jahat! Valeda tahu, beberapa dari kalian pasti mencibirnya karena makan sendiri, dan membiarkan Celine tetap bekerja. Biar aku katakan,

Kalian salah!

Ini adalah yang Celine inginkan. Dia tidak terbiasa untuk sarapan. Katanya, otaknya tidak akan berfungsi jika dia bekerja dengan perut kenyang di pagi hari. Pernah suatu ketika, Valeda memaksanya untuk sarapan. Lalu, dia melamun di sepanjang jalannya rapat. Yang rugi Valeda, dong!

“Jam sebelas, kamu ada janji bertemu dengan Direktur Mahaputra. Kamu harus berterima kasih karena Beliau mau menanam saham di mall barumu.”

“Iya, aku ngerti,” jawab Valeda.

“Makan siang nanti, aku sudah siapkan un-”

“Lewati makan siangku,” potong Valeda cepat. “Aku mau memeriksa riwayat dokter-dokter baru yang akan aku rekrut.”

Celine mengerutkan alisnya. “Tapi kamu sudah setuju, Val,” Celine mengingatkan. “Dua hari lagi, mereka akan mulai orientasi di rumah sakit.”

“Setelah membaca resume yang kamu berikan, aku melihat ada kejanggalan pada salah satu dokter yang aku rekrut. Aku mau menyelidikinya lebih dalam, sebelum ada hal yang tidak beres terjadi di rumah sakitku.” Valeda meneguk susu yang tersedia di samping piring omelet.

Celine mengangguk. “Aku juga merasa ada hal yang aneh. Tapi tidak bisa menemukan sesuatu,” ujarnya, setuju dengan apa yang Valeda katakan. “Lalu, pukul dua siang nanti, akan ada rapat dengan tim pemasaran tentang bilik-bilik yang masih kosong di mall.”

“Ya, kita harus secepatnya mengisi bilik yang kosong. Lalu, aku harus adakan peninjauan lebih lanjut untuk grand opening yang luar biasa.” Valeda mengusap ujung bibirnya dengan tissue. “Oh, iya! Aku minta laporan keuangan rumah sakit untuk bulan lalu, diserahkan paling lambat besok.”

“Oke,” Celine mengirim pesan pada HRD rumah sakit tentang apa yang aku minta. “Ngomong-ngomong, bagaimana dengan rencana kencan butamu?”

“Duh, kepo, deh! Pagi-pagi sudah nanya hal yang nggak penting,” sahut Valeda malas. “Aku nggak habis pikir, kenapa Mama tiba-tiba minta aku untuk menikah.”

“Sudah umur?” ejek Celine sambil terkikik geli. “Mamaku juga sering bertanya, kenapa kamu tidak punya pacar sampai sekarang?”

“Kamu sendiri tahu apa alasanku, kan?” Valeda balik bertanya pada Celine. “Harusnya kamu mendukung keputusanku untuk membangun perusahaan dan hidup nyaman tanpa bantuan laki-laki.”

“Bukan berarti, kamu akan hidup sendiri selamanya, kan?” Celine memberi nasehat. “Bagaimanapun, kamu harus mencoba membuka hati pada lawan jenis. Mereka nggak seburuk kelihatannya, kok!”

“Kalau benar begitu, kenapa kamu putus sama Michael bulan lalu? Terus, gimana ceritanya kamu nangis badai seharian karena Rangga?”

“Hei, dilarang mengungkit masa lalu!” protes Celine sebal.

Valeda hanya nyengir, balik mengejeknya. Celine memang beberapa kali pacaran, tapi berakhir dengan tragis. Bukan masalah penampilan. Celine tidak kalah cantik jika disandingkan dengan Valeda. Apalagi, dia berdarah campuran Indonesia-Eropa. Dengan modal tampang saja, sebenarnya Celine sudah bisa mendapatkan satu atau dua laki-laki di sampingnya.

Celine memiliki masalah yang sama dengan Valeda. Mereka sama-sama suka bekerja. Celine lebih mementingkan pekerjaannya dibanding pacarnya. Hasilnya, bisa kalian tebak, kan? Pacarnya kabur dengan perempuan lain.

Dari sana Valeda belajar, tidak ada laki-laki yang akan mau bersusah payah mendaki bersama-sama menuju puncak saat ini. Di umur segini, mereka pastinya lebih suka bermain-main ketimbang bekerja.

"Kamu tetap harus ikut kencan buta yang Nyonya Emily atur," kata Celine. Dia memasukkan semua dokumen yang sudah dia atur ke dalam tas kerjanya.

"Iya. Aku ikut."

Valeda pastinya akan membuat mereka tidak menyukainya, lalu mereka akan angkat kaki dengan sendirinya.

Valeda berjalan menghampiri Celine. Tanpa diminta, Celine mengamati penampilan Valeda. "Kamu nggak keramas?" tanyanya.

"Hhh..." Valeda menghela nafas panjang. "Kemarin aku nggak sempat keramas. Sabunan saja buru-buru."

"Sesibuk apapun kamu, mandi adalah hal terpenting, Val. Kamu harus atur waktumu untuk sering-sering berendam agar tubuhmu lebih rileks."

"Apa aku buka spa juga, ya?" tanya Valeda pada Celine.

"Stop! Kamu harus fokus ke mall-mu dulu! Jangan pikirkan yang lain!" tolak Celine.

"Kan lumayan, bisa spa setiap hari," Valeda manyun.

"Sudah banyak ada bisnis spa dan menyediakan berbagai fasilitas, tergantung kamu pilih yang mana. Nggak harus buat yang baru cuma karena kamu mau spa setiap hari. Itu namanya alasan!" Celine bangkit dari duduknya.

Valeda melirik jam di dinding. Sudah hampir jam tujuh pagi. "Sudah panggil Kris?" tanya Valeda.

"Dia ada di bawah sejak tiga puluh menit yang lalu," jawab Celine.

Valeda menyambar tasnya, lalu mengikuti Celine turun ke lantai bawah untuk menghampiri sopir pribadinya yang akan mengantar mereka ke kantor.

"Pagi, Nona Val!" sapa Kris ketika melihat atasannya muncul di lobby apartemen. Seperti hari-hari lainnya, Kris selalu mengenakan jas hitam. Kris adalah teman SMP Valeda. Valeda merekrutnya setelah tidak sengaja melihatnya sedang berjualan koran di pinggir jalan. Dia bertemu dengan Valeda, dan Valeda memutuskan untuk memberinya kesempatan dengan pekerjaan yang lebih baik.

"Pagi, Kris!" sapa Valeda balik. "Kamu sudah sarapan?"

Kris membukakan pintu belakang untuk Valeda. "Nanti, di kantor saja, Nona," jawabnya dengan seulas senyuman.

"Kris," panggil Valeda sebelum dia menutup pintu. "Nanti ajak Celine sarapan bersama!"

Kris melirik Celine yang masuk dari arah yang berlawanan. "Jika Nona Celine berkenan," bisiknya pada Valeda.

Maunya, sih, Valeda nyomblangin Celine dengan Kris. Kris orangnya polos, pasti bisa bertahan lama dengan Celine yang keras kepala.

Nggak usah mikirin Valeda. Valeda sendiri belum ada niat buat pacaran. Mungkin, jika sudah dua puluh lima tahun, di saat perkembangan bisnisnya sudah lancar, barulah Valeda akan mencari pacar.

Mungkin.

***

3. Kencan Pertama

Entah sudah berapa kali Valeda menghela nafas untuk hari ini. Sepanjang dia hidup, baru kali ini Valeda merasa malas menjalani hari.

"Kenapa, Val?" Celine yang menyadari sahabatnya tidak bersemangat sejak pagi tadi, mulai bertanya. Dia sudah menahan pertanyaannya itu sejak mereka ada di dalam mobil menuju kantor tadi pagi. "Aku tebak, bukan masalah kantor," terka Celine.

"Yah... Memang bukan masalah kantor," jawab Valeda malas. Dia sudah menyelesaikan urusan rumah sakitnya dan mall barunya kemarin. Kali ini, adalah masalah yang sangat ingin dia hindari.

"Ah! Aku tahu!" seru Celine tiba-tiba. "Kencan butamu, ya?"

Valeda mencibir Celine yang tampak girang karena menebak dengan benar. "Kamu aja yang pergi, sana! Siapa tahu cocok."

"Hmm, terus besoknya aku digoreng sama Nyonya Emely," tolak Celine, walau sebenarnya dia mau menggantikan Valeda untuk pergi kencan buta. Celine bisa memastikan, kalau kandidat-kandidat yang dipilih Nyonya Emely pastinya kelas atas semua.

"Pengen kabur..." keluh Valeda.

"Sabar, Val," Celine memberi nasehat. "Kamu coba saja datang dulu. Nikmati makan malam kalian. Jangan berpikir kalau kamu harus menerima calon yang dipilih Nyonya Emely. Pikirkan saja kalau kamu sedang mencari relasi. Lebih rileks sedikit, Val."

Valeda menghela nafas panjang lagi. Perutnya menjadi benar-benar kenyang hanya dengan memikirkan bagaimana makan malam nanti dengan laki-laki pilihan ibunya.

"Nanti malam biar saya antar Nona Val ke lokasi makan malam," Kris menanggapi dari kursi kemudi.

"Kamu istirahat saja, Kris," tolak Valeda. "Aku bisa naik taksi."

"Biarkan Kris mengantarmu, Val," ujar Celine. "Setidaknya, Kris bisa pura-pura ada keadaan mendesak dan bawa kamu kabur dari sana."

Valeda menggeleng. "Aku bisa kabur sendiri jika perlu."

Celine melirik Kris dari spion mobil. Kris hanya menjawabnya dengan mengangkat alis. Jika Valeda sudah memutuskan sesuatu, hal itu tidak akan bisa diganggu gugat lagi. Jadi, mereka hanya membiarkan atasannya ini melakukan apa yang menurutnya perlu.

Valeda sampai di apartemennya sejam sebelum jam makam malam yang Nyonya Emely beritahukan tadi pagi. Dia masih punya waktu untuk membersihkan diri dan mengganti pakaiannya.

Tapi, itu tidak dia lakukan. Valeda memilih duduk santai melepas penat di sofa ruang baca kesayangannya. Dia memutuskan untuk datang terlambat di kencan pertamanya, tidak peduli bagaimana pendapat lawan bicaranya nanti.

Valeda memeriksa smartphone-nya. Melihat apakah ada e-mail penting yang dia lewatkan hari ini.

"Urusan dokter baru yang pakai izasah palsu, beres," Valeda membaca e-mail pertamanya hari ini. Dia merasa puas setelah berhasil mengungkap kecurangan salah satu calon karyawan rumah sakitnya. Valeda membuka e-mail kedua. "Soft opening mall akan dilakukan bulan depan," gumamnya. "Itu juga sudah disiapkan sama Celine."

Tidak ada e-mail baru yang penting lagi, selain laporan-laporan dari Celine. Valeda berharap dia bisa berlama-lama mengulur waktu, namun sepertinya tidak mungkin. Jika dia memejamkan mata sekarang, dia akan tidur hingga keesokan harinya. Lalu, kalau laki-laki itu melapor pada Nyonya Emely mengenai Valeda yang tidak menepati janji makan malamnya, itu akan menjadi petaka untuk Valeda.

"Sudahlah!" Valeda bangkit dari duduknya. Dia berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan mengganti pakaian yang pantas untuk makan malam.

Dia tidak akan berdandan terlalu cantik untuk mengesankan laki-laki itu. Lagipula, Valeda tidak ada niatan untuk pertemuan kedua ataupun ketiga. Sekali saja sudah cukup bagi Valeda untuk berbaik hati membuang-buang waktunya.

Valeda turun ke lobby dengan langkah berat. Sepuluh menit lagi dari waktu perjanjian. Valeda menjadi semakin malas.

"Nona, taksi yang dipesan sudah di depan," kata bellboy yang memakai nametag Abrah.

Valeda menelitinya sejenak, karena dia tidak pernah melihat bellboy satu ini sebelumnya. "Kamu orang baru, ya?" tanya Valeda.

Abrah mengangguk canggung. "Iya, Nona," jawabnya kalem.

"Gantikan Pak Braham yang sudah pensiun?" Valeda menyadari ada kesamaan antara Abrah dan Braham--bellboy sebelumnya.

Abrah tersenyum lebar mendengar nama Pak Braham disebut. "Itu ayah saya, Nona," jawabnya dengan nada bangga.

Valeda ikut tersenyum mendengar bagaimana Abrah bangga terhadap ayahnya. Memang seharusnya Abrah bangga, Valeda sendiri menyukai Pak Braham yang ramah dan pekerja keras. Pak Braham tidak pernah mengecewakan Valeda sebelumnya.

Valeda mengeluarkan tiga lembar uang seratus ribuan dan langsung menyelipkannya ke kantong jas Abrah. "Beli makanan yang enak untuk Pak Braham," pesan Valeda.

"Te-terima kasih, Nona Valeda," Abrah membungkuk untuk berterima kasih.

Valeda langsung menegakkan tubuh Abrah kembali. "Tidak usah membungkuk terlalu dalam. Status kita sama. Aku hanya memiliki rejeki lebih. Sudah seharusnya aku bagi dengan orang-orang yang tulus membantuku," Valeda menepuk pundak Abrah.

Abrah tersenyum bahagia dengan air mata di ujung matanya. Dia merasa sangat bersyukur bekerja menggantikan ayahnya. Kelelahannya terbayarkan dengan memiliki penghuni apartemen seperti Valeda.

"Aku pergi. Selamat bekerja, Abrah," pamit Valeda.

"Hati-hati di jalan, Nona Valeda!" seru Abrah seiring langkah kaki Valeda meninggalkan lobby.

Valeda masuk ke dalam taksi yang sudah Abrah pesankan. Setelah memberikan alamat restoran yang dipesan Nyonya Emely, taksipun melaju membelah jalanan kota yang padat.

Valeda melemparkan pandangannya ke luar jendela mobil. Malam tiba dengan keramaian hari Jumat seperti biasa. Banyak orang yang berkumpul bersama teman untuk menutup minggu kerja mereka. Valeda tiba-tiba sadar, kali terakhir dia berkumpul bersama teman sekolahnya.

'Sudah lama sekali,' batin Valeda. Dia menyayangkan waktu yang telah dia lewati tanpa banyak teman-teman di sekelilingnya. Dia tahu, bahwa dirinya terlalu ambisius. Valeda ingin menjadi di puncak secepat mungkin. Itu membuatnya tidak banyak mempunyai teman.

Setelah menempuh perjalanan singkat menuju restoran, Valeda dengan berat hati masuk dan segera mencari meja yang sudah dipesankan oleh Nyonya Emely.

Restoran itu bernuansa klasik. Megah namun tampak simpel dengan segala dekorasi vintage di setiap sudutnya. Alunan musik dari biola mendominasi ruangan, diiringi dengan lantunan lembut piano. Live music yang sering ada di restoran mewah.

Kenyamanan yang disuguhkan restoran itu saat membuka pintu masuk, ternyata tidak mampu menaikkan mood Valeda. Dia tetap tidak mempunya minat pada kencan buta ini.

"Silakan, Nona," seorang pelayan wanita yang tadi menyapa Valeda di meja depan, mempersilakan Valeda untuk duduk di sebuah meja berhiaskan bunga mawar merah.

Laki-laki yang duduk di seberang meja, mengangkat wajahnya ketika Valeda muncul. Laki-laki itu cukup tampan, menurut Valeda. Rambutnya disisir rapi ke belakang dan dia mengenakan setelan jas hitam yang membalut tubuh tegapnya. Kulitnya mulus dan cerah, seperti seorang biksu dari film Mandarin yang terkenal.

"Selamat malam, saya Valeda," ujar Valeda sebelum duduk. "Apa saya terlambat?" Valeda mencoba berbasa-basi, padahal dia sadar kalau dirinya memang terlambat.

"Karena ini pertemuan pertama kita, aku maafkan keterlambatanmu, Nona Muda," jawab laki-laki itu.

"Hm? Saya tidak minta maaf," Valeda balik menjawab.

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!