Sekitar pukul setengah enam, alarm wajib Arini bunyi. Bukan sebuah beker, atau alarm dari gawai canggih lainnya. Melainkan mulut mertua maupun iparnya yang sangat berisik. Iya kalau hanya berisik karena heboh. Setiap ucapan mereka selalu lebih tajam dari pedang perang yang bisa mematahkan leher hanya dengan satu kali hantaman. Selain itu, ucapan mereka juga sangat panas dan kerap membuat Arini kelimpungan.
Andai bukan menantu yang harus selalu patuh kepada mertua. Andai bukan kakak ipar yang harus selalu sayang kepada adik ipar, sudah Arini banting keduanya sejak lama.
“Jam segini tutup saji isinya bersih. Punya menantu, tapi enggak berguna. Dikiranya mertua sama ipar bahkan suaminya bakalan kenyang kalau makan angin?” itu suara ibu Minah, mama mertua Arini.
“Ya ampun, Ma ... air di galon juga tinggal setengah gelas. Lihat, beneran cuman tinggal segini. Padahal aku haus banget!” Itu suara Messi, adik ipar Arini. “Mbak Arini ya. Sengaja banget dia bikin kita mati karena kekurangan gizi, biar dia bisa menguasai gaji mas Akbar!”
“Emang enggak waras tuh Arini. Jadi menantu, hidup numpang, enggak tahu diri banget! Masak enggak, ... beli galon pun mager!” timpal ibu Minah terdengar makin emosi.
“Lagian, kenapa juga Arini masih di sini? Bukannya mas Akbar sudah punya–”
“Sttt, ... jangan keras-keras. Itu rahasia Messi! Nanti kita enggak bisa makan enak lagi!”
Mendengar itu, Arini refleks menghela napas pelan sekaligus dalam sambil lanjut memakaikan sepatu kaki kanan Akbar—sang suami. “Ya Allah, ... semoga mama mertuaku sekaligus adik iparku segera dapat hidayah. Kesengat tawon segede gajah apa gimana. Cukup bibirnya yang kesengat, biar tuh bibir pada bengkak parah dan mereka enggak asal mangap ngomong enggak jelas. Jelas-jelas tiga bulan ini, Mas Akbar kena PHK. Dan selama tiga bulan juga, Mas Akbar enggak pernah kasih uang sepeser pun. Malahan aku yang kerja jadi tulang punggung. Yang kasih makan di keluarga ini beneran aku. Dari kerja, mengolah, semua aku. Karena mama mertuaku tipikal orang melarat, tapi gayanya ningrat! Apalagi si Messi adik iparku. Hobinya pacaran, terus ngaku-ngaku rumah gedong depan sebagai rumahnya. Aih ... pokoknya kalau diceritakan, patung Roro Jonggrang bahkan bisa balik jadi orang!” batin Arini.
Memakaikan pakaian lengkap hingga sepatu, memang sudah menjadi kebiasaan Arini kepada Akbar. Semua itu Arini lakukan sebagai baktinya sebagai seorang istri. Walau aslinya Arini tipikal bar-bar anti ditindas, demi menjadi istri yang baik untuk Akbar, Arini selalu menyikapi kedua alarm di rumah Akbar, dengan sangat sabar.
“Semoga hari ini Mas bisa dapat kerja, biar ada yang bisa dimasak, ya, Mas. Soalnya kalau nunggu aku gajian lagi, ya sama saja harus nunggu bulan depan. Sementara bulan depan itu masih dua minggu,” ucap Arini merasa putus asa.
PHK mendadak yang Akbar alami, memang membuat kehidupan mereka kacau. Bukan hanya mereka yang jadi kerap kelaparan. Karena Arini dan Akbar juga sengaja menunda momongan. Arini yang nyaris enam bulan Akbar nikahi, tak tega jika suaminya bekerja sendiri. Arini memutuskan untuk bekerja di sebuah perusahaan sebagai cleaning service. Selain itu, tuntutan dari kedua alarm Akbar agar Arini tidak jadi benalu mereka, juga membuat Arini tidak tahan lama-lama di rumah.
“Lebih baik kerja, capek tapi dapat uang, dan bisa cuci mata karena bisa keluar dari rumah. Daripada di rumah, cuma direcokin dan selalu dipaksa b u n u h diri secara halus oleh mertua sama ipar!” batin Arini yang kemudian menengadah. Tak disangka, sang suami yang duduk di pinggir tempat tidur mereka, justru tengah senyum-senyum sendiri.
Kedua mata Akbar asyik memandangi layar ponsel yang menyala. Akbar tampak sangat bahagia dan tengah sibuk mengetik di ponsel, layaknya orang yang dimabuk cinta. Tak ada tanda-tanda putus asa apalagi sedih dari seorang Akbar. Padahal setelah diPHK, mereka jadi sering serba kekurangan.
“Mas ...?” lembut Arini. Terpikir olehnya, jangankan tersinggung apalagi sedih karena alarm di luar sana. Mikir saja sepertinya tidak.
Karena tak kunjung mendapat respons dari sang suami, Arini justru sengaja membiarkannya. Arini sengaja membuat semuanya mengalir bagaikan air tanpa menegur apalagi marah. Karena jika yang ada begitu, mereka pasti ribut.
Akbar yang sepertinya memang tak mendengar ucapan Arini, bergegas mengecas ponselnya. Akbar meninggalkan ponsel bagusnya itu di meja kayu kecil tak jauh dari tempat tidur.
Sambil memakai lipstik yang isinya nyaris tak tersisa, hingga ia harus menggunakan lidi untuk mengambilnya. Arini jadi bertanya-tanya. “Mas Akbar yang di—PHK, tapi kenapa kesannya hanya aku yang pusing dan repot, ya? Mas Akbar bukannya sedih apa minimal murung, malah makin necis, wangi, mirip abg lagi puber,” batin Arini yang berinisiatif mengecek ponsel sang suami.
Selain setiap hari jadi sibuk main ponsel dan alasannya sedang cari loker alias lowongan kerja. Masa bukannya murung, si Akbar jadi mirip orang kasmaran?
“Deg!” Jantung Arini seolah berhenti berdetak, sebelum akhirnya kembali bekerja dan menjadi makin cepat. “Sejak kapan mas Akbar pakai sandi di hapenya. Ini sandinya apa? Tanggal lahirnya, kah? Tanggal lahirku? Eh ... enggak ada yang bener,” panik Arini dalam hatinya.
Tak mau ketahuan telah berusaha membuka ponsel suaminya, Arini bergegas kembali ke depan lemari pakaiannya. Ia lanjut siap-siap memakai hijab, sebelum kembali lanjut memoles bibir tipisnya dengan sisa lipstik. Karena sebentar lagi, ia juga harus berangkat kerja.
“Mas, ... nanti kita makan enak lagi ya. Di tempat yang kemarinnya lagi ya. Soalnya di sana lebih enak loh, Mas. Lihat tuh, si Arini enggak masak apa-apa. Pagi ini alamatnya kita kelaparan.” Rengekan manja dari Messi barusan dan mendadak membuat Akbar maupun ibu Minah kompak menghentikannya, membuat Arini terdiam lemas.
Di depan cermin lemari pakaian terbilang kusam, Arini menatap pilu pantulan bayangannya. Ia yang memakai lipstik saja belum beres karena masih harus diratakan menggunakan potongan lidi, berpikir. Apakah dirinya telah melewatkan sesuatu dan itu fatal? Kenapa Akbar dan ibu Minah seolah menyembunyikan rahasia, sementara Messi terus keceplosan?
Juga, kenapa meski di—PHK, suaminya justru makin menjaga penampilan? Suaminya makin necis bahkan wangi. Selain itu, masa iya tiga bulan mencari pekerjaan, tetap tidak ada hasilnya? Minimal jika bukan posisi tinggi, posisi remahan juga tidak apa-apa. Terlebih sebelumnya, Akbar hanya seorang OB di sebuah kantor terbilang besar.
“Masa iya mas Akbar selingkuh sama wanita kaya? Halu banget ... mirip novel online! Lagian masa iya, ada wanita kaya yang mau kasih hidup enak secara cuma-cuma ke suami orang yang bahkan statusnya mantan OB?”
****
Salam santun. Salam kenal buat yang baru gabung. Aku nulis memang ini pekerjaanku sejak tujuh tahun terakhir. Maaf kalau masih banyak typo. Maaf jika aku enggak bisa menyenangkan semua pembaca 💙🙏
“Mas Akbar bukan orang kaya loh. Dia juga cuma lulusan SMA kayak aku. Ah masa ... enggak mungkin ah. Mas Akbar enggak mungkin selingkuh. Duit saja enggak punya, masa mau jadi mokondo. Tadi, aku pasti hanya salah dengar, tapi–” Arini yang awalnya merenung serius, dikejutkan dengan kehadiran Akbar. Bukan tanpa alasan. Namun, dering telepon masuk di ponsel Akbar, membuat suaminya terjatuh karena terpeleset setelah lari sangat cepat.
Dering telepon masuk di ponselnya membuat Akbar begitu bersemangat. Seperti biasa, seolah Akbar merupakan raja sekaligus aset penting dalam hidup mereka, ibu Minah dan juga Messi langsung mengamankannya. Keduanya berbondong-bondong membantu Akbar bangun.
“Apaan sih kamu, Mbak. Suami jatuh kok cuma diliatin. Bantu apa gimana?” sewot Messi.
“Sebelum kalian membantu Mas Akbar, aku sudah bantu lewat doa kok. Jangan khawatir, ... doa seorang istri ke suami, enggak pernah putus. Karena kami para istri percaya, doa kami buat suami kami bisa tembus ke langit!” balas Arini dengan santainya sambil merapikan lipstik yang menggumpal di bibir bawahnya.
“Goblok banget, di mana-mana tetap doa seorang ibu yang paling mujarab ke anak!” sewot ibu Minah.
“Lah ... ya konteksnya beda, Ma. Anak laki-laki yang sudah jadi suami orang ya terikat dengan istrinya. Enggak usah dibikin rumit lah, Mama kan juga punya anak perempuan. Gimana, Dek ... andai suamimu direcoki mama sama ipar kamu. Ibaratnya, kamu sama suamimu baru nempel saja, mama mertua sama ipar kamu heboh, enggak terima dan berusaha memisahkan kalian. Terus, kamu mau juga enggak, jadi tulang punggung keluarga suamimu? Berasa panti sosial, kan? Teruss terusssssss, gimana perasaan kamu, kalau mama mertua kamu sama adik ipar kamu, melarang suami kamu kasih uang ke kamu? Lima ribu saja diungkit-ungkit loh!” ucap Arini santai tapi sangat tajam.
“Najis banget Mbak! Yang ada, aku racun tuh, mertua sama ipar benalu!” refleks Messi terlalu menjiwai cerita Arini.
Padahal di seberang Arini, ibu Minah langsung mendelik karena sadar, sebenarnya Arini sengaja menyindir ibu Minah dan juga Messi.
“Nah, dengar, Ma ... enggak main-main. Si Messi bakalan ngeracun mertua ama iparnya andai dapat yang spek benalu model nempel!” balas Arini yang mengakhirinya dengan tersenyum penuh kemenangan.
Sadar si Messi akan kembali membalas sekaligus mendukung topik pembicaraan Arini, ibu Messi sengaja menginjak kuat kaki kiri sang putri. Wanita muda berusia dua puluh empat tahun dan memang sebaya dengan Arini itu langsung mendelik kepada sang mama. Messi sungguh tak tahu menahu alasan sang mama menginjaknya dan sampai melotot-melotot kepadanya.
“Sudah ... sudah. Masih pagi jangan ribut, malu ke tetangga!” lembut Akbar berusaha melerai.
Sebenarnya, alasan Arini mau dinikahi Akbar, murni lantaran Akbar terkenal sebagai pria santun yang juga sangat bertanggung jawab. Karenanya, setelah membiarkan Akbar jungkir balik mengejarnya selama dua tahun, Arini mau dinikahi Akbar. Akan tetapi, nyatanya rasa sayang Akbar kepada mama dan adiknya tidak terusik sedikit pun, meski pria itu sudah menikah. Malahan, Arini yang harus serba mengalah, menekan ego dan selalu siap dianggap salah jika ibu Minah maupun Messi, tidak terima. Akbar akan menyebut bakti sekaligus mengaitkan agama di setiap pembelaan yang ia berikan kepada Arini. Sebab meski sudah diberi pengertian, Arini yang memang bar-bar, kerap melawan. Tak jarang, Arini dan mertua maupun iparnya akan terlibat jambak maupun adegan saling cakar.
“Ya sudah, siapa sih yang telepon? Biar aku saja yang jawab—” Arini belum selesai bicara, tapi Akbar mirip orang kerasukan hanya karena Arini lari dan jelas akan mengambil ponselnya.
“M—Mas? M—mas kenapa?” lemah Arini karena jadi makin yakin, ada yang disembunyikan di ponsel sang suami yang kini sampai diberi sandi. Selain itu, Arini juga curiga. Bahwa telepon suara di ponsel suaminya dan sampai membuat Akbar jatuh, masih berkaitan dengan rahasia yang ia curigai.
Melalui lirikan, Arini juga menyaksikan perubahan ekspresi ibu Minah maupun Messi, yang begitu drastis. Kedua wanita itu tak lagi sibuk membuat gara-gara kepadanya. Karena yang ada, keduanya tampak tegang, tapi berusaha biasa saja. Keduanya kerap melirik ponsel Akbar, dan tampak begitu mengkhawatirkannya.
“Kalau memang kecurigaanku terbukti dan kesalahan kalian fatal, ... aku ratakan rumah ini biar kalian enggak punya tempat tinggal!” batin Arini benar-benar dendam. Wadah lipstik hitam keemasan di tangan kanannya berakhir patah setelah ia genggam paksa sekuat tenaga menggunakan tangan kanan.
••••
Khusus hari ini, Arini menghabiskan waktunya penuh emosi. Beres-beres dan bersih-bersih yang Arini jalani jadi lebih cepat selesai ketimbang biasanya. Arini sampai membantu rekannya membereskan toilet jatah sang teman. Karena menyibukkan diri ketika emosi layaknya sekarang, kerap membuat Arina merasa lebih baik.
“Kalau lagi emosi, paling bener aku memang sibuk kerja. Karena dengan begitu, emosiku enggak sia-sia!” batin Arini yang melempar sikat toilet yang ia gunakan, ke sudut ruangan.
“Ini si Tejo mati suri, apa gimana, sih? Aku suruh ngikutin mas Akbar, kok enggak ada kabarnya juga?” kesal Arini dalam hatinya. Ia mengeluarkan ponsel dari saku celana panjang warna hitam selaku seragamnya sebagai cleaning servis di sana.
Di ponsel yang layarnya sudah retak parah itu, Arini memastikan pemberitahuan terbaru. Namun, ponselnya memang tidak ada pesan apalagi panggilan tak terjawab. Baik dari Tejo sang sahabat yang ia tugasi untuk memata-matai Akbar, maupun Akbar yang jadi sibuk semenjak diPHK.
“Sumpah, aku merasa kecolongan. Masa iya, korban PHK, dia sibuk cari kerja dan selama tiga bulan enggak pernah kasih uang, malah lebih sibuk dari IRT punya anak kembar sembilan?” Arini sungguh baru menyadari, bahwa semenjak mengaku di—PHK dan setiap harinya pergi pagi pulang larut malam, suaminya tak pernah mengabarinya lagi. Sekadar tanya sedang apa, sudah makan belum, tak lagi Akbar lakukan kepada Arini.
Baru keluar dari toilet yang ia bersihkan dan memang harusnya jatah rekannya, Arini justru dikagetkan oleh sosok tegap tinggi yang sukses membuat pandangannya gelap.
Arini pikir, yang ada di hadapannya merupakan hantu penunggu toilet. Hantu tersebut sengaja menemuinya karena marah, tak terima sepanjang Arini bekerja kali ini, Arini melakukannya dengan penuh emosi. Namun ternyata, pria rupawan itu merupakan Ardhan Pradipta Kalandra, bosnya!
“Harusnya di toilet enggak ada CCTV. Harusnya pak Ardhan juga enggak tahu kalau dari tadi, aku kerjanya gaya emosi. Apa, ... ada yang lapor ke pak Ardhan, ya?” pikir Arini langsung deg-degan tak karuan.
“Benar, kamu yang namanya Arini Tri Hapsari? Kamu istrinya Akbar Suhendar yang pernah jadi OB di kantor H&D?” tanya Ardhan dengan suara sekaligus gaya yang membuat seorang Arini langsung ketakutan.
Yang membuat Arini penasaran, kenapa sang bos besar sampai mengenal suaminya? Padahal, Arini sengaja merahasiakan hubungannya dan Akbar. Hingga rekan kerjanya beranggapan bahwa Arini yang sudah berusia 24 tahun baru lulus SMA.
•••
“Kenapa Pak Ardhan, ... tahu ... suami saya?” Arini berusaha menguasai dirinya.
Dalam hatinya, Arini meyakinkan dirinya. Bahwa dirinya tidak perlu takut, meski yang tengah ia hadapi merupakan bos besar di perusahaan bulu mata sekaligus rambut palsu dirinya bekerja. Terlebih yang bosnya singgung Akbar, bukan pekerjaan Arini yang seharian ini sangat bar-bar.
“Bisa jadi, mas Akbar malah mau dikasih pekerjaan. Soalnya yang lain kompak bilang, bahwa atasan puas dengan pekerjaanku yang katanya rapi, bersih, cekatan,” pikir Arini.
Namun ketika seorang Ardhan dengan enteng berkata, “Karena selama tiga bulan terakhir, dia bekerja menjadi sopir pribadi istri saya!”
Detik itu juga kehidupan seorang Arini menjadi tidak baik-baik saja.
“Hah?!” Untuk sejenak, otak Arini tidak bisa bekerja.
Dunia Arini menjadi hening. Sementara ember berisi perlengkapan bersih-bersihnya yang ia jatuhkan begitu saja. Meski tak berselang lama kemudian, benak Arini justru menjadi dipenuhi tanya. Kenapa, Ardhan mengatakan bahwa selama tiga bulan terakhir, Akbar bekerja menjadi sopir pribadi istri Ardhan? Sementara selama itu juga, Akbar mengaku di—PHK dan hanya sibuk mencari kerja? Jangankan memberi uang, sekadar beli rokok saja, Akbar minta ke Arini. Namun, masa iya sekelas Akbar yang notabene bos besar, bohong? Sekadar mau mengajaknya mengobrol saja, sudah bisa menjadi bagian dari keajaiban dunia.
“Terus, kalau memang selama tiga bulan ini sebenarnya mas Akbar kerja, gajinya ke mana? Apa gajinya habis buat bayar atau nyicil sesuatu yang sengaja enggak dikabarkan ke aku?
Sebenarnya, bukan hanya Arini yang kaget. Karena Ardhan juga merasakannya. Bedanya, alasan Ardhan kaget justru karena jeritan refleks dari Arini yang terlalu syok. Selain ember berisi perlengkapan ‘perang’ Arini yang menjatuhi kedua kakinya.
“Kelakuanmu! Cepat singkirkan ember perang kamu dari kakiku. Aduh ... itu ada apanya, sih? Batu? Kamu taruh batu di ember bersih-bersih kamu?” keluh Ardan dan sukses membuat Arini sigap mengatasinya.
Sekitar tiga puluh menit kemudian, Arini sudah duduk di sebuah sedan mewah warna hitam. Penuh ketegangan, Arini duduk si sebelah sopir sambil terus menunduk. Sementara di belakang sang sopir, di sana Ardhan yang tak lagi memakai jas abu-abu. Ardhan yang masih menyikapi keadaan dengan dingin, meraih sebuah map berwarna biru dari tas kerja di sebelahnya.
“Rin, ... hadap ke belakang dan ambil ini,” ucap Ardhan cuek.
“Setelah memastikan benar tidaknya aku istri mas Akbar, eh ini aku mendadak disuruh ikut mobil mewah pak Ardhan,” batin Arini kebingungan. Sebab walau sudah naik mobil mewah Ardhan selama sepuluh menit lamanya, Arini belum diberi kepastian ke mana merek akan pergi.
“Jangan-jangan aku mau dimutilasi? Terus dagingnya buat makan dogy? Soalnya kan tadi pak Ar cuma bilang, mas Akbar bekerja sebagai sopir pribadi ibu Killa, istri pak Ardhan, selama tiga bulan terakhir. Pak Ar beneran enggak jelasin apa-apa lagi. Termasuk mengenai alasannya bawa aku pergi, ... Pak Ar sama sekali enggak menyinggungnya," pikir Arini. “Namun kalau iya, kenapa aku dikasih map gini, mirip anak sekolah? Terus, Pak Ar juga ... melarang aku membukanya sebelum kami sampai di lokasi tujuan. Duh, makin penasaran. Jangan-jangan, dalam map ini isinya berkas yang harus aku tanda tangani karena ginjal dan organ dalamku yang lain, bakalan diambil?” Sampai detik ini, Arini masih sibuk merenung. Ia tak hentinya bertanya dalam hati sekaligus diamnya.
Jika wanita lain akan baper gara-gara diajak naik mobil bagus oleh bos besar. Tidak dengan Arini. Arini yang memang tipikal realistis justru takut. Alih-alih diajak jalan bahkan kencan ‘remang-remang’, dirinya justru dibunuh, atau malah untuk ‘banten’ alias calon tumbal.
Di tengah keheningan, ponsel Arini berdering singkat. Penuh hati-hati, Arini memastikannya. Dering tadi merupakan dering pesan singkat. Arini mengeluarkan ponselnya dari saku sisi kanan celana seragam panjang warna hitamnya. Seperti dugaan Arini, dering tadi dan ada beberapa merupakan pesan balasan dari Tejo sang sahabat.
Tejo : Rin ... mertua, ipar, sama suami kamu lagi makan anak!
Tejo : Anak
Tejo : Eeek
Tejo : Anying, typo
Tejo : ENAK!!
Tejo : Ya Allah, ngetik WA saja sesulit ini. Efek enggak pernah makan bangku pemerintah kayake 😪
Tejo : Tapi Rin, ... mereka makan enaknya di restoran gede Rin. Kalau kita ikut masuk, kayaknya kita bakalan dikira pengemis 😭😭😭. Mertua sama ipar kamu saja norak banget tadi, Rin. Pintu restorannya kan modelan kaca yang muter-muter, Rin. Nah, tuh dua orang malah muter mulu enggak bisa keluar. Aku lihatnya ya ikut bengek Rin. Nanti aku kirimi vidio-nya ya, biar kamu ikut bengek efek lihat alarm kamu norak abiez!
Tejo : Eh, Rin ... mereka enggak hanya bertiga. Mereka bareng wanita seksi dan ipar sama mertua kamu panggil dia, ibu Killa. Aku sih, merasa enggak asing ke tuh wanita. Mirip menantunya yang punya klinik dekat kecamatan Rin.
Setelah membaca pesan Tejo yang bisa dibuat cerpen saking hebohnya, Arini mulai menemukan titik terang. Sebab informasi dari Tejo menegaskan, bahwa kabar dari Ardhan benar. Selama tiga bulan terakhir, Akbar bekerja menjadi sopir pribadi Killa, istri Ardhan. Yang mana orang tua Ardhan memang memiliki klinik besar dan lokasinya ada di dekat kecamatan mereka tinggal.
Tejo : Rin ....
Tejo : Tangan suamimu ngelus-elus paha mulus si Killa
Pesan lanjutan dari Tejo barusan sukses membuat dada Arini bergemuruh parah. Selain juga terasa panas, di sana juga seolah ada yang meledak. Apalagi setelah kabar dari Tejo, disertai bukti video.
“Demit! Bajingan! Mati kalian!” batin Arini benar-benar tidak terima. Kedua tangannya mengepal kencang. Lebih parah lagi karena dari belakangnya, sang bos mengatakan perselingkuhan pasangan mereka.
“Suami kamu selingkuh dengan istri saya.” Ardhan mempertegas. “Saya tidak bermaksud mengusik rumah tangga kalian, tapi kamu harus tahu karena hubungan mereka sudah sangat jauh!”
“Sejauh apa? Kenapa Pak Ardhan tidak memberi mereka pelajaran saja? Pak Ardhan bisa menggunakan uang sekaligus kekuasaan yang Pak Ardhan miliki untuk membalas mereka. Jika mereka tidak diterima di rumah sakit, pemakaman di negara ini masih luas. Atau kalau tidak, ... saya juga ikhlas menggali pekarangan jatah warisan saya, untuk dijadikan makam mereka!” tegas Arini tanpa sedikit pun keraguan.
“Eh, aku pikir dia bakalan nangis-nangis dan drama. Lah kok, ... semangat empat lima buat balas dendam. Wah ... wah, wah ... ternyata aku punya sekutu yang satu frekuensi dengan aku!” batin Ardhan yang kemudian berdeham.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!