NovelToon NovelToon

ISTRI RASA SIMPANAN

Bab 1

"Hiks... hiks... hiks... ibu jangan tinggalkan El?"

Elena terisak menguncang tubuh ibunya yang masih di penuhi alat-alat Rumah sakit.

"Nak... kamu yang sabar, ibu kamu pasti akan sembuh," ujar Tante Mira.

Elena masih terisak lalu mengalihkan pandangan ke arah Tante Mira. "Tante siapa?" tanya Elena.

Tante Mira tersenyum seraya mengelus rambut panjang Elena. "Tante... adalah sahabat ibumu!"

Elena menatap tante Mira dengan raut wajah bingung. Dalam hatinya bertanya, sejak kapan ibunya mempunyai sahabat. "Maaf... tapi koq, Elena gak pernah lihat Tante sebelumnya."

Tante Mira tersenyum melihat raut wajah bingung Elena. "Tante, baru datang dari luar negeri!"

Elena menatap wajah ibunya yang terbaring lemah di atas brangkar Rumah sakit. Tubuh ibunya terlihat kurus dan wajahnya begitu pucat. Elena tidak tahu apa penyakit ibunya. Selama ini ibunya tidak pernah mengeluh sakit tapi tiba-tiba saja ibunya pingsan di dalam kamar mandi. Untung saat itu dirinya belum berangkat ke sekolah, jadi dia bisa segera membawa ibunya ke rumah sakit.

Elena sudah tidak mempunyai ayah lagi. Ayahnya pergi meninggalkan dia dan ibunya dengan wanita lain.

Elena menggengam erat tangan ibunya lalu menciumnya. "Tante... sebenarnya apa penyakit ibuku?" tanyanya kepada tante Mira.

Tante Mira mendesah tidak tahu harus jujur atau tidak kepada anak dari sahabatnya ini.

Dia hanya tidak ingin Elena shock akan penyakit ibunya. "Kamu... yang sabar dan kuat yah!"

"Nanti kita tanyakan saja pada Dokter."

Hanya kata itu saja yang bisa tante Mira sampaikan. Biarlah Dokter saja yang menjelaskan semuanya.

Ceklek... !

Pintu kamar rawat dibuka, Dokter masuk beserta suster yang mendampingi.

Elena segera bangkit berdiri untuk menanyakan keadaan ibunya.

"Dok... bagaimana keadaan ibu saya?" tanya Elena.

Tante Mira mengelus pundak Elena agar tenang. "Elena... kamu yang tenang biar dokter periksa dulu kondisi ibumu," ujarnya.

Elena merasa tidak sabar untuk mengetahui kondisi ibunya. "Dokter... apa penyakit ibu saya?"

Dokter melihat Elena dengan tatapan iba. Dokter yang bernama Irfan itu adalah dokter yang selama setahun terakhir menangani penyakit ibu Ningsih, ibunda dari Elena. Selama ini ibu Ningsih memang menyembunyikan penyakit yang di derita dari anaknya.

"Kamu... ikut keruangan saya," ujar Dokter Irfan pada Elena.

Segera Elena beranjak mengikuti Dokter Irfan, tak lupa menitipkan ibunya pada tante Mira. "Tante... El minta tolong jaga ibu sebentar, secepatnya El akan kembali."

Tante Mira mengelus pundak El. "Jangan khawatir El, kau pergi saja temui Dokter."

Dokter Irfan mempersilakan Elena masuk dan duduk di dalam ruangannya. Dokter Irfan menunjukan berkas map berwarna biru di hadapan Elena. "Nak Elena... ini adalah daftar riwayat penyakit ibumu, buka dan bacalah."

Elena menatap map biru itu, dia enggan untuk membuka map itu. Perasaan takut sudah menyelimuti hatinya. Firasatnya sudah tidak enak sejak melihat kondisi sang ibu yang belum sadarkan diri. "Bacakan saja Dok, saya akan siap mendengarnya."

Dokter Irfan membuka map biru itu di hadapan Elena. "El... sebenarnya dari setahun lalu ibumu mengidap penyakit kanker otak stadium akhir."

Mendengar hal itu Elena menutup mulutnya.

Seakan tidak terpercaya akan apa yang di katakan Dokter. "Apa ibu saya masih bisa sembuh Dok?"

Dokter Irfan menghela napas lalu melepas kacamata yang sedari tadi bertengger di wajahnya. "Saya akan melakukan yang terbaik, walaupun kemungkinannya itu sangat kecil. Kita berdoa saja semoga ibumu bisa sembuh."

Elena hanya menganggukan kepala membenarkan perkataan Dokter. Meskipun dia tahu kemungkinan ibunya untuk sembuh sangat kecil bahkan mungkin tidak ada. "Dokter, saya permisi keluar," ujarnya.

Elena berjalan gontai menuju ruang rawat ibunya. Saat ini perasaan takut sudah menghantuinya. Akankah ibunya juga akan meninggalkannya pergi sama seperti ayahnya.

Elena sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Kerabat ibu dan ayahnya sudah tidak memperdulikannya. Mungkin mereka semua sudah menganggap Elena dan ibunya tiada. Semenjak ayahnya pergi bersama wanita lain dan keluarganya jatuh miskin.

Ceklek... !

Elena masuk kedalam ruang rawat ibunya.

Di elusnya puncak kepala sang ibu, di genggamnya tangan itu lalu di letakan di sisi pipinya. "Ibu... kenapa ibu tidak pernah memberitahu penyakit ibu?"

"Apa ibu tidak ingin membuatku cemas."

Tante Mira mendengar suara lirih Elena merasa sedih. Gadis muda itu sudah harus menanggung beban yang berat. Di tinggal oleh seorang ayah yang tidak bertanggung jawab lalu sekarang ibunya terbaring sakit.

"Nak... kamu yang sabar, ini semua adalah cobaan. Kita berdoa saja yang terbaik akan kesembuhan ibumu."

Elena terisak. "Tante... apa ibu akan meninggalkan aku juga?"

Tante Mira memeluk Elena lalu menggelengkan kepala. "Tidak sayang, jangan bicara seperti!"

"Lalu... kenapa ibu tidak bangun juga?" tanyanya lirih.

Tante Mira makin mengeratkan pelukannya. "Sabar sayang... jangan takut."

"kau tidak sendirian, ada tante disini."

Tangan yang masih di genggam Elena itu mulai bergerak sedikit. Elena yang merasakan pergerakan tangan ibunya segera memanggil dokter.

"Tante... lihatlah, tangan ibu bergerak. Aku akan pergi panggil Dokter."

"Iya... cepatlah panggil Dokter," ujar tante Mira.

Dokter Irfan segera menuju keruangan rawat setelah mendapat panggilan dari Elena.

"Gimana, Dok keadaannya?" tanya rante Mira.

Dokter Irfan mengembuskan napas. "Keadaanya... masih tetap sama Mira. Kau banyak berdoa, aku harap secepatnya dia bisa membuka matanya."

Tante Mira meratap sedih. "Bukalah matamu sahabatku. Lihatlah disini ada aku dan juga putrimu, bangunlah Ningsih."

Elena dan tante Mira menangis tersedu. Mereka berdua berpelukan saling menguatkan perasaan sedih yang melanda.

"El... Elena!"

Elena dan tante Mira tersentak mendengar suara ibunya.

"Ibu... sudah sadar, El disini bu."

"Ningsih... syukurlah, kau sudah sadar. Ini aku Mira sahabatmu."

Elena mencium kening ibunya. Tangan ibunya tidak pernah lepas dari genggamannya.

"El... maafkan ibu yang sudah menyembunyikan ini semua darimu!"

Elena menggelengkan kepala. "Tidak bu, jangan minta maaf. El senang, ibu akhirnya sadar."

"Mira... sahabatku, bisakah aku bicara denganmu?"

Tante Mira hanya menganggukan kepala. "Tentu saja Ningsih!"

Ibu Ningsih mulai bicara dengan terbata-bata. "Aku ingin kalian berdua mendengarkan permintaan terakhir dariku. Mira kita dulu pernah berjanji jika kita memiliki anak, maka kita akan menikahkan mereka. Dan saat ini disisa terakhir hidupku, aku ingin melihat putriku menjadi seorang pengantin."

Elena yang mendengar permintaan itu kaget.

"Ibu... jangan bicara seperti itu, pikirkan kesehatan ibu saja," lirih El.

Ibu Ningsih tersenyum pada El. "Nak... kau mau kan, menikah?"

"Ibu... ingin ada yang menjaga dirimu setelah kepergian ibu."

"Ningsih... kau tenang saja, aku akan menikahkan mereka hari ini juga," ujar Tante Mira.

Ibu Ningsih tersenyum menatap sahabatnya itu, sedangkan Elena pasrah saja jika harus menikah hari ini. Bagaimana pun juga ini adalah permintaan terakhir ibunya.

Tante Mira beranjak keluar dari ruang rawat lalu pergi menelpon seseorang. Entah siapa yang di hubunginya yang pasti pernikahan ini harus terjadi hari ini juga.

Tbc

Dukung Author dengan vote, like dan juga koment.

Bab 2

Suasana di dalam ruang ICU tegang. Ibu Ningsih kondisinya makin kritis. Tidak ada lagi yang bisa di lakukan oleh tim Dokter. Semua cara untuk bisa menyelematkannya sudah dilakukan.

Elena makin terisak menangis, matanya sembab rambut panjangnya terlihat awut-awutan baju sekolah yang melekat di tubuhnya sudah kusut.

Tante Mira masuk kedalam ruangan ICU. Dia memberikan sepotong pakaian gamis beserta jilbab yang akan di pakai oleh Elena untuk menikah.

Tante Mira mengelus rambut Elena. "El... kamu ganti bajumu sekarang. Sebentar lagi penghulu dan calon suamimu akan datang."

Elena mengambil gamis itu lalu mendekapnya. Airmatanya semakin tumpah, haruskah dirinya menikah hari juga di mana usianya baru masuk 18 tahun.

"Tante... apa, El harus menikah?"

Tante Mira tersenyum lalu mendekap calon menantunya itu. "El... ini adalah amanat dari ibumu, setidaknya kabulkanlah."

El mengangguk. "Baiklah tante, El akan turuti kemauan ibu." Lalu beranjak pergi berganti pakaian.

Dalam koridor Rumah sakit seorang pria remaja berlari tergesa-gesa mencari ruangan ICU.

Remaja itu seperti di kejar waktu, dengan baju dan tas ransel yang masih melekat di tubuhnya.

"Mama," teriaknya.

Ketika mendapati sosok wanita yang mondar mandir di depan pintu ruang ICU.

"Kevin... syukurlah kamu cepat datang, Nak?"

Tante Mira ibunda dari Kevin Adhitama merasa lega anak lelakinya telah tiba.

Kevin masih ngos-ngosan napasnya masih memburu. Bagaimana tidak, saat dirinya masih disekolah, mama Mira menelpon menyuruhnya untuk segera ke rumah sakit karna ada keadaan darurat.

Kevin mengatur napas perlahan lalu bertanya kepada mamanya. "Ma... ada apa sebenarnya, siapa yang sakit, Ma?"

Mama Mira membawa Kevin menjauh dari ruangan ICU menuju ke tempat sepi. Kevin merasa heran akan tingkah Mamanya itu.

Kevin yang di tarik menuju ruangan kosong menjadi penasaran lalu kembali bertanya kepada mama Mira. "Ma... ada apa sih, koq Kevin di bawa kesini?"

Mama Mira menghela. "Hah... !"

Mama Mira meremas kedua tangan seraya mengambil napas lalu mengembuskannya. Dia harus menyusun kata-kata yang tepat agar Kevin mau menuruti kemauannya itu.

Kening Kevin berkerut tak kala melihat raut wajah mamanya. Terlihat sedih tapi juga takut mungkin lebih tepatnya cemas akan sesuatu. Entahlah Kevin sendiri juga tidak bisa mengartikanya.

Mama Mira menatap dan menggengam kedua tangan Kevin. "Kevin... selama ini Mama tidak pernah meminta sesuatu darimu bukan?"

"Jika hari ini Mama meminta sesuatu yang berharga padamu, apa kamu mau memberikanya?"

Kevin bingung akan kata mamanya. "Ada apa sebenarnya, Ma?" tanya Kevin.

Dengan masih menggengam erat tangan Kevin. "Jawab saja Kev, apa kau mau memberikanya?"

Kevin berbalik menggengam kedua tangan mama Mira. "Apapun... yang Mama mau akan Kevin berikan!"

Mama Mira tersenyum. "Mama ingin kehidupanmu, masa muda dirimu," ujarnya.

Kening Kevin berkerut bingung. "Apa maksud Mama?" tanyanya.

"Pengorbanan... Mama ingin kau korbankan masa mudamu. Mama ingin kau mengubah statusmu, Mama ingin kau menikah hari ini juga."

Duarrrr... !

Bak tersambar petir Kevin kaget lalu melepas genggaman tangan mamanya. Matanya membulat bibirnya menganga saking terkejut akan kata yang barusan di dengarnya.

"Apa?"

Kevin menggelengkan kepala."Apa maksudnya ini, Ma?"

"Mama... jangan bercanda."

Kevin sedikit berteriak bicara pada mamanya.

Mama Mira meraih tangan Kevin.

Mama Mira memelas pada Kevin. "Kev... Mama mohon padamu kabulkan permintaan Mama."

Kevin kesal terhadap Mamanya. "Kenapa harus menikah sih, Kevin baru 18 tahun Ma?"

Mama Mira terisak. "Kev... ini permintaan terakhir dari sahabat Mama, menikahlah dengan putri dari sahabat Mama."

Kevin masih tidak bergeming mendengar permohonan mama Mira. "Ma... apa tidak ada cara lain selain menikah?" tanya Kevin.

Mama Mira menggeleng. "Tidak ada... Nak, turutilah Mama. Jika masalah kau tidak mengenal atau cinta pada calon istrimu, nanti juga akan terbiasa jika kalian bersama. Tapi setidaknya menikahlah sekarang demi Mama kamu sayang."

Kevin mendesah pasrah. "Hah... baiklah, aku akan menikah," ujarnya.

Mama Mira tersenyum lalu mengambil kopiah dan baju koko untuk di berikan dan di pakai oleh Kevin. "Terima kasih Nak... Mama sungguh menyayangimu."

Setelah berganti pakaian Kevin dan juga mama Mira menuju ruang ICU. Disana sudah menunggu penghulu, Dokter beserta Suster yang akan menjadi saksi di adakan pernikahan mendadak ini. Elena sudah memakai gamis berwarna dusty pemberian mama Mira dan juga ibu Ningsih sudah siuman.

Kevin dan Mama Mira masuk kedalam ruang ICU itu. Seketika raut wajah kaget terlihat dari wajah Kevin dan Elena.

"Kevin... kamu, kenapa disini?" tanya El.

"Elena... kamu, juga kenapa disini?" tanya Kevin.

Mama Mira yang melihat kedua remaja itu terkejut segera bicara. "Elena... ini Kevin calon suamimu dan Kevin ini Elena calon istrimu."

"Hah...."

Elena dan Kelvin tersentak kaget.

Mama Mira tersenyum saja, wajar mereka terkejut karna memang mereka satu sekolah.

"Kalian... satu sekolah, kan?"

"Mama lihat baju seragam El sama seperti kamu Kevin."

"Iya... Ma, kita juga satu kelas," ucap Kevin.

Mama Mira menghampiri penghulu agar pernikahan segera di laksanakan. Di hadapan ibu Ningsih, beserta para saksi Kevin mengucapkan ijab kabul secara fasih dan juga lantang. Mereka semua yang berada di dalam ruangan mengucap hamdalah.

Kevin menyematkan cincin di jari manis El.

Elena mencium punggung tangan Kevin dan Kevin mencium kening El.

Ibu Ningsih dan Mama Mira terharu bahagia melihat putra dan putri mereka telah resmi menjadi pasangan suami istri.

El mengenggam tangan ibunya dengan deraian airmata. "Bu... sekarang, El sudah menikah. El mohon ibu harus sembuh," lirih El.

Ibu Ningsih mengusap kepala anaknya. "Sayang... kau sudah menjadi istri, patuhi semua perintah suamimu. Sekarang ibu bisa tenang karna ada yang menjagamu."

Ibu Ningsih menatap Kevin lalu tersenyum. Kevin mendekat kearah mama mertuanya. "Nak Kevin... ibu minta jagalah El, dia sudah tidak punya siapapun. Sayangi dan berikan dia cinta."

Kevin menggangguk. "Ibu tenang saja, Aku akan selalu ada untuk Elena," ujar Kevin.

Ibu Ningsih lalu menatap mama Mira. Tangan lemah itu meraih tangan mama Mira. "Mira... terima kasih, kau sudah menepati janji untuk menikahkan anak kita, gantikan aku sebagai ibu dari El."

Mama Mira menangis tersedu. "Kau jangan khawatirkan El, sekarang El sudah jadi anakku."

Ibu Ningsih beralih menatap El. "Sekarang ibu bisa pergi dengan tenang. El, kau jaga dirimu dan ingat sekarang kau sudah menjadi istri Kevin, Patuhi, layani dan cintai suamimu dengan sepenuh hati."

Elena mengangguk. "Ibu jangan cemas... El akan baik-baik saja disini," ucapnya.

Ibu Ningsih membelai wajah Elena. "Ibu sayang kamu Elena."

Tangan ibu Ningsih terlepas dari membelai wajah El, matanya meredup.

Tut... tut... tut... !

"Ibu... !"

Tbc

Dukung Author dengan vote, like dan juga koment.

Bab 3

Airmata masih menetes di pelupuk mata Elena, seolah air mata itu tidak ada habisnya. Elena mengusap pusara makam ibunya. Para pelayat yang datang sudah pergi. Hanya tinggal mama Mira dan juga suaminya Kevin yang masih setia menunggu Elena meluapkan kesedihanya.

Mama Mira mengusap pelan bahu El untuk menenangkan wanita itu. "Nak... Ayo kita pulang, ikhlaskan ibumu agar dia tenang disana."

Kevin beranjak meraih kedua pundak istrinya agar bangkit berdiri. Kevin merangkul istrinya seraya mengelus lengan El. "El... Ayo kita pulang, jika kamu terus larut dalam kesedihan maka ibu tidak akan tenang disana."

Mendengar ucapan dari suami dan mertuanya membuat El sadar bahwa dia tidak boleh larut dalam kesedihan. Dirinya harus ikhlas terhadap semua cobaan ini. Di tinggal ayah dan juga ibu lalu kerabat yang tidak menganggap dirinya. Dia harus bangkit untuk menjalani hidup. Masa depannya masih panjang di tambah lagi sekarang dia sudah bersuami.

El menggangguk untuk segera pergi dari makam Ibunya. "Ibu... El, pulang semoga ibu tenang disana. El akan baik-baik saja disini," tukasnya.

Seraya mencium pusara ibu Ningsih.

Ketiganya berlalu meninggalkan pemakaman. Mereka masuk ke dalam mobil untuk pulang menuju kediaman Elena. Sesampainya di rumah El beserta suami dan mertuanya turun. Rumah sewa El sudah sepi hanya tinggal beberapa orang saja yang masih ada karna mereka membantu proses pemakaman ibu El.

Elena, Kevin dan Mama Mira masuk kedalam rumah. Hari ini Elena akan pindah ke rumah mereka mengikuti Kevin suaminya. El langsung masuk menuju kamarnya untuk berkemas. El memasukan pakaian ke dalam koper dan tak lupa semua perlengkapan sekolahnya.

Mama Mira masuk kedalam kamar El. "Sayang... apa sudah selesai, sini biar Mama bantu."

El tersenyum hangat lalu menggeleng. "Udah beres koq, Ma. Baju El hanya sedikit, cuma buku pelajaran saja yang banyak."

Mama Mira tersenyum. "Hemm... ya sudah, Mama akan panggil Kevin untuk membantu membawa barang kamu ke dalam mobil."

El mengangguk. "Iya... Ma."

El menatap sekeliling kamarnya. Kamar yang sudah 2 tahun ini menemani dia dan ibunya. Semenjak di usir dari rumah mewah ayahnya, ibu El hanya bisa memberinya rumah sewa yang kecil. Kehidupan mewah sebelumnya harus dia tinggalkan lalu menyesuaikan diri hidup sederhana.

Ibunya hanya bekerja sebagai penjahit pakaian saja. Karna serba kekurangan membuat El harus bekerja paruh waktu di sebuah cafe. Di sekolah El mengandalkan beasiswa. El enggan meminta bantuan pada ayahnya meskipun El tahu rumah dan kantor ayahnya bekerja. Ayahnya sudah bahagia bersama wanita dan saudara tirinya. El sudah menganggap ayahnya itu tiada.

El menutup pintu kamar untuk pergi. Di tatapnya sekali lagi seluruh ruangan rumah. Air matanya menetes segera El menghapusnya.

Kevin datang menghampiri El agar istrinya itu segera keluar dari rumah. "El... ayo!"

El mengangguk dan berjalan mengikuti langkah kaki Kevin.

Kevin melajukan kendaraannya membelah keramaian kota. Di dalam mobil suasana masih hening tidak ada yang masih membuka suara. El hanya menatap jalanan saja sedangkan mama Mira memainkan ponselnya.

"Ehem... Kevin, kamu akan tinggal dirumah atau tetap di apartemen kamu?" tanya Mama.

Kevin menoleh pada Mamanya yang duduk di jok samping dirinya menyetir. "Kevin dan Elena akan tinggal di apartemen saja."

"Kenapa tidak dirumah saja?"

"Rumah kita besar Ma, kasihan El jika harus sendiri dirumah. Kevin kadang sibuk dan Mama bakal tinggal di luar negeri," ujarnya.

Mama Mira mengangguk mengerti. "Yah sudahlah, jika itu mau kamu."

1 Jam perjalanan Kevin beserta istri dan mamanya telah sampai di apartemen mewah milik Kevin. Mereka turun keluar dari dalam mobil. Kevin menurunkan barang-barang milik Elena lalu mengeretnya ke lantai atas kamarnya.

Kevin menekan tombol password. Setelah pintu terbuka mereka semua masuk kedalam. Apartemen Kevin cukup besar didalamnya ada 2 kamar, mini bar, ruang tamu dan dapur. El memperhatikan sekeliling ruangan itu. Ruangan bernuansa maskulin sesuai dengan pemiliknya.

Kevin mengeret koper El masuk kedalam kamar yang di tempatinya. "Elena... ini kamar kita berdua."

Kevin membuka pintu kamar dan mempersilakan Elena masuk. "Masuk dan istirahatlah, barang-barang kamu nanti saja dibereskan," ujar Kevin.

El tersenyum. "Tidak apa-apa Kev, aku baik-baik saja."

Elena dan Kevin keluar dari kamar menuju ruang tamu menyusul mama Mira.

Mama yang melihat mereka berdua keluar menyuruh mereka untuk duduk.

Mama Mira mengeluarkan Black Card di dalam tasnya lalu menyerahkannya kepada Kevin. "Kevin... ambil kartu ini untuk keperluan kalian berdua."

Kevin menolak pemberian mamanya itu. "Kevin sudah punya Ma, Kevin sanggup koq menghidupi Elena."

Mama Mira tersenyum. "Baiklah... jika kamu menolak tapi kalau kamu dan El perlu sesuatu segera hubungi Mama."

Kevin mengiyakan permintaan mamanya. "Iya Ma, jangan cemaskan Kevin dan Elena kami pasti akan baik-baik saja."

Mama Mira menghela napas lega. Kevin anaknya bisa menjaga istrinya. Wajar saja Kevin bisa memimpin perusahaan yang di tinggal oleh sang papa. Karna sikap mandirinya itu Kevin menjadi berpikir dewasa.

Mama Mira meraih tangan El lalu mengenggamnya. "El... kamu tidak sendiri lagi sekarang, sudah ada Kevin yang menjagamu."

"Iya Ma... jangan khawatir, El akan baik-baik saja."

Mama Mira beralih menatap Kevin. "Kev... sekarang kau sudah punya El. Jaga dia, beri cinta dan kasih sayang untuk El. Jangan sekali kau menyakiti hati El. Mama percaya padamu," ujar Mama Mira.

Kevin mengangguk. "Mama tenang saja... aku akan selalu ada disisi Elena."

Mama Mira memeluk Kevin dan juga Elena. Rasanya tenang kalau Kevin sudah bicara seperti itu. Maka tidak ada lagi keraguan dihatinya untuk meninggalkan mereka, hidup bersama menjalani biduk rumah tangga.

Meskipun saat ini usia mereka masih sangat muda. Kevin anak yang mandiri begitu juga dengan Elena. Mama Mira berharap cinta akan tumbuh seiring waktu di antara keduanya.

Mama Mira berpamitan untuk pulang kerumahnya. Sebab besok pagi mama Mira akan berangkat ke bandara menuju negara Jerman. Sejak suami mama Mira meninggal, mama Mira menetap di negara asalnya. Mama Mira juga mempunyai bisnis di negaranya sedangkan Kevin menetap di Indonesia negara asal papanya, sekaligus meneruskan perusahaan peninggalan mendiang papanya.

"Mama... pamit pulang sayang," ujar Mama Mira.

Elena memeluk Mama Mira. "Mama jaga diri baik-baik disana."

"Pasti... sayang, kalian juga yah," ucap Mama Mira.

"Kevin... besok akan mengantar mama ke bandara."

Mama Mira menggeleng. "Tidak usah sayang, kalian kan, pengantin baru pasti capek."

"Hemmm... Kevin, mama mau kasih saran saja. Elena jangan sampai kebobolan, kalian pake pen***an saja," ujar Mama Mira. Tersenyum.

Wajah Elena merona mendengar ucapan mama mertuanya sedangkan Kevin mengalihkan pandangan ke arah lain.

Kevin kesal dan juga malu mendengar perkataan mamanya. "Mama apa-an sih?"

Mama Mira tersenyum menggoda anaknya.

"Lho... kenapa?"

"Kalian sudah suami istri dan kamu harus menafkahi Elena lahir dan batin. Kalian kan masih sekolah, jadi pakai peng**an saja biar aman."

Elena dan Kevin makin merasa malu, wajah mereka sudah merah. Mama Mira terkekeh geli menggoda pasangan suami istri itu.

"Yah sudah, mama pamit pulang kalian baik-baik disini," ujarnya.

Mama Mira memeluk Kevin dan Juga Elena.

Kevin mengantar mamanya sedangkan Elena tinggal di apartemen.

Tbc

Dukung Author dengan vote, like dan juga koment.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!