Seno, dengan suara yang bergetar, membacakan ikrar nikah. "Aku nikahkan engkau dan aku kawinkan engkau dengan pinanganmu, putriku Ambar binti Bambang, dengan mahar uang dua ratus ribu dan satu gram cincin emas, dibayar tunai."
Mempelai pria menjawab dengan suara yang teguh, "Saya terima nikah dan kawinnya Ambar binti Bambang dengan mas kawin yang tersebut, tunai."
Tiba-tiba, terdengar suara tangisan yang memilukan. "Bangun, Ayah! Jangan tinggalkan Ambar, Ayah! Hu hu hu!" Ambar berteriak sembari mengguncangkan tubuh lemah Ayahnya yang masih terbaring di ranjang rumah sakit. Suasana yang sebelumnya penuh dengan kebahagiaan, tiba-tiba berubah menjadi sedih dan pilu.
Seno, yang mendengar monitor jantung di sebelah ranjang berbunyi dengan nada yang mengkhawatirkan, segera menekan tombol untuk memanggil dokter. Ia tidak ingin keadaan Pak Bambang, yang baru saja menjadi mertuanya, memburuk.
Dalam beberapa detik, sang Dokter dan seorang perawat telah tiba di ruangan. "Permisi, biar saya periksa sebentar," ucap sang Dokter dengan nada yang tenang dan profesional. Perawat itu sigap mencatat apa yang diucapkan sang Dokter, sementara Seno dan Ambar menunggu dengan hati yang berdebar, berharap bahwa keadaan Pak Bambang tidak terlalu parah.
"Innalillahi wa inna ilaihi raji'un," ucap sang Dokter dengan nada yang sedih dan hormat. "Mohon maaf, Beliau sudah tidak ada. Sus, tolong catat dan uruskan untuk pemandian dan kepulangan pasien, ya." Perawat itu hanya mengangguk, mata mereka berdua terlihat sedih dan berempati.
Ambar memeluk tubuh Ayahnya yang kini terasa dingin, air matanya mengalir deras. "Ayah, bangun! Ayah, jangan tinggalkan Ambar sendirian! Ambar takut, Ayah... hu hu hu," ucapnya dengan suara yang bergetar, penuh dengan kesedihan dan kehilangan.
Di ruangan yang dingin dan sunyi, dengan nuansa putih yang mendominasi, serta peralatan kedokteran yang terlihat begitu menjemukan, Ambar merasakan kesedihan yang mendalam. Ruangan ini telah menjadi saksi bisu atas pernikahan yang tidak terduga, sekaligus kehilangan yang sangat besar baginya.
Kini, Ambar merasa sendirian, tidak memiliki siapa-siapa lagi. Hanya ada seorang lelaki yang tidak pernah ia kenal, yang telah dipercayakan oleh sang Ayah untuk menjaganya. Lelaki itu adalah bawahan dan kepercayaan Ayah di perusahaan, namun Ambar tidak pernah melihatnya sebelumnya.
Ambar tidak bisa memahami apa maksud sang Ayah menikahkannya dengan orang yang tidak pernah ia kenal. Apakah ini hanya sebuah keputusan yang diambil oleh sang Ayah untuk menjaga keamanannya, atau ada alasan lain yang lebih kompleks? Ambar hanya bisa menebak-nebak, sambil merasa hatinya semakin berat dengan kehilangan yang baru saja ia alami.
Setelah acara pemakaman selesai, para pelayat bergegas untuk pulang, meninggalkan Ambar yang masih termenung berdiam diri di samping pusara sang Ayah. Ia masih belum bisa mempercayai bahwa orang yang ia cintai dan miliki satu-satunya telah pergi meninggalkannya, sama seperti mendiang Ibunya yang telah meninggalkannya sejak lama.
Seno dan orang rumah Ambar masih setia menunggu Ambar, memberikan ruang bagi dia untuk meratapi kehilangannya. Namun, Ambar tidak menyadari bahwa guyuran air hujan telah membasahi tubuhnya, seolah-olah langit juga ikut bersedih atas kehilangan orang yang amat sangat dicintainya. Air hujan itu seolah-olah menjadi simbol dari air mata Ambar yang tidak pernah berhenti mengalir.
Seno dengan cepat dan sigap memayungi tubuh mungil Ambar, yang kini telah menjadi istrinya, untuk melindunginya dari hujan yang semakin deras. Semua orang rumah telah lelah membujuk Ambar untuk pulang, termasuk Bik Inem, pengasuh Ambar sejak kecil, yang telah menjadi seperti ibu kandung bagi Ambar.
Seno, yang mengerti akan sorot mata Bik Inem yang meminta tolong padanya untuk membawa Ambar pulang, segera mendekati istrinya dengan langkah yang lembut dan penuh perhatian. Ia ingin membantu Ambar melewati kesedihan yang mendalam ini, dan membawanya kembali ke rumah untuk beristirahat dan memulihkan diri.
"Hujan semakin deras, nanti kamu sakit," ucap Seno dengan nada yang lembut dan penuh perhatian, sambil berjongkok di samping Ambar. "Ayo kita pulang, kasihan Ayah jika Beliau melihatmu terus menangisi kepergiannya. Tidak akan membuat Beliau tenang di sana."
Mendengar suara yang asing itu, Ambar menoleh perlahan-lahan. Matanya yang sembab oleh air mata itu menatap Seno dengan rasa heran dan tidak percaya. Kini, ia disadarkan oleh kenyataan bahwa Ayahnya telah menitipkannya pada pria ini, pria yang tidak ia kenal, tidak pernah ia lihat, dan sangat asing bagi Ambar. Perasaan tidak nyaman dan ketidakpastian itu mulai menghantui hatinya. Siapakah pria ini sebenarnya? Mengapa Ayahnya menitipkannya pada orang yang tidak ia kenal? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar-putar di kepala Ambar, membuatnya merasa semakin bingung dan tidak tenang.
Setelah puas menatap wajah pria yang kini telah sah menjadi suaminya itu, Ambar kembali menoleh ke arah pusara sang Ayah, dengan mata yang masih sembab oleh air mata. Ia mengambil napas dalam-dalam, seolah-olah ingin mengucapkan kata-kata terakhir yang penuh makna.
"Ayah, Ambar pulang ya," ucap Ambar dengan suara yang lembut dan penuh haru. "Terima kasih sudah menitipkan Ambar pada orang kepercayaan Ayah." Setelah mengucapkan salam itu, Ambar pun perlahan melangkahkan kaki meninggalkan area pemakaman, tanpa menoleh ke belakang. Ia seolah-olah ingin meninggalkan kesedihan dan kehilangan itu di belakang, dan memulai babak baru dalam hidupnya.
****
Sesampainya di rumah, Ambar merasa lelah dan lesu. Suaminya, yang masih terasa asing bagi Ambar, menghampirinya dengan wajah yang penuh perhatian.
"Masuk ke kamar mu, mandilah dulu dan beristirahatlah," ucapnya dengan nada yang lembut. "Aku akan pergi sebentar, jika butuh sesuatu panggil Bik Inem. Sebelum jam makan malam, aku akan menemui mu lagi."
Ambar hanya menatap siluet tubuh suaminya yang kian menjauh, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ia merasa tubuhnya ringkih dan lelah, seolah-olah tidak kuasa menahan berat beban tubuhnya sendiri. Kekuatan untuk berdiri pun mulai meninggalkannya, hingga...
Bruukkk...
Aroma minyak angin yang tajam dan menusuk hidungnya membuat Ambar membuka mata. Ia merasa sedikit bingung dan disorientasi, tapi ketika ia melihat wajah suaminya yang duduk di sampingnya, ia mulai mengingat kembali.
"Apa yang kamu rasakan? Mau minum?" tanya suaminya dengan nada yang lembut dan penuh perhatian. Ambar hanya mengangguk, masih merasa sedikit lelah dan lesu. Suaminya segera menuangkan air ke dalam gelas dan menyerahkannya pada Ambar, yang dengan lembut mengambil gelas itu dan meminumnya.
Dengan gerakan yang lembut dan penuh perhatian, Seno mengambil gelas yang berisi air putih yang telah ia minta pada Bik Inem sebelumnya. Ia kemudian membangunkan tubuh mungil Ambar menjadi setengah duduk, sehingga ia bisa minum dengan nyaman. Seno memegang gelas itu dengan hati-hati, membantu Ambar untuk minum dengan perlahan-lahan.
Setelah Ambar selesai minum, Seno mengembalikan gelas itu ke atas meja samping ranjang milik istrinya, dengan gerakan yang masih sama lembutnya. Ia kemudian memandang wajah Ambar dengan penuh perhatian, memastikan bahwa ia sudah merasa lebih baik.
"Bagaimana perasaanmu? Apakah ada yang sakit atau masih pusing?" tanya pria berkaca mata itu dengan nada yang penuh perhatian dan kepedulian. Namun, pertanyaannya itu tidak langsung mendapat jawaban dari Ambar.
Sebaliknya, Ambar malah membalikkan pertanyaan itu dengan nada yang sedikit heran. "Kenapa kamu kembali? Bukankah kamu sudah mengatakan akan mengurus sesuatu dan akan pulang saat makan malam?" tanya Ambar, matanya memandang suaminya dengan rasa penasaran dan sedikit kecurigaan.
"Aku kembali karena ingin menanyakan apakah ada sesuatu yang kamu ingin beli di luar," ucap Seno dengan nada yang lembut. "Namun, baru selangkah melewati pintu rumah, aku melihatmu tergeletak di dekat tangga, dan nyaris kepalamu membentur anak tangga. Aku sangat khawatir melihatmu dalam keadaan seperti itu."
Ambar mengangguk pelan, merasa sedikit bersalah karena telah membuat suaminya khawatir. "Pergilah, aku sudah tidak apa-apa," ucapnya dengan nada yang lembut. "Aku rasa aku hanya butuh tidur sebentar, setelahnya aku akan lebih baik."
Ia menyadari bahwa pria di depannya ini adalah orang kepercayaan Ayahnya, yang pasti memiliki banyak tanggung jawab dan pekerjaan yang menunggunya. Ditambah lagi, Seno juga harus mengurus pengajian untuk Ayahnya, sehingga Ambar tidak ingin menjadi beban baginya.
"Kamu yakin?" tanya Seno dengan nada yang penuh perhatian, sembari melangkah keluar dari kamar. "Aku lihat dari pagi kamu sama sekali belum memakan apapun. Kamu harus makan untuk memulihkan kekuatanmu."
Lima menit setelah kepergian Seno, ia kembali dengan nampan yang berisikan sepiring nasi lengkap dengan lauk dan sayur yang menggugah selera. Selain itu, ada juga segelas air putih yang jernih dan segelas susu hangat yang masih terlihat asap yang mengepul, menandakan bahwa susu itu baru saja disiapkan. Semua makanan itu disajikan dengan rapi dan menarik, seolah-olah Seno ingin memastikan bahwa Ambar memiliki kesempatan untuk memulihkan kekuatan dan kesehatannya.
"Pergilah, aku akan memakannya nanti," ucap Ambar dengan nada yang lembut.
Tapi Seno tidak mau meninggalkannya begitu saja. "Makan lah dulu, biar aku suapi, biar aku tenang meninggalkan mu keluar rumah nantinya," ucap Seno dengan nada yang membujuk dan penuh perhatian.
Ambar melihat kesungguhan dan ketulusan yang terpancar dari sorot mata Seno, dan ia merasa tergerak untuk menuruti permintaannya. Dengan tangan yang sudah menyendokkan nasi, Seno menghadapkan makanan itu ke arah Ambar, dan ia hanya bisa menuruti dengan memakan makanan yang telah disiapkan untuknya.
Ambar menerima suapan demi suapan yang dilakukan oleh suaminya dengan penuh perhatian, hingga suapan ke lima ia sudah merasa kenyang. Ia merasa sedikit lega karena telah memenuhi permintaan suaminya.
"Sudah, aku kenyang, dan sekarang pergilah," ucap Ambar dengan nada yang lembut, mengusir Seno perlahan-lahan.
Tapi Seno tidak mau pergi begitu saja. "Minum susunya dulu, baru aku pergi," ucapnya dengan nada yang membujuk, menyodorkan segelas susu putih hangat yang masih mengepul asapnya. Ia ingin memastikan bahwa Ambar telah meminum susu yang dapat membantunya memulihkan kekuatan dan kesehatannya.
Ambar menerima segelas susu hangat itu dan meneguknya sedikit, merasakan kehangatan dan kenyamanan yang menyebar di dalam tubuhnya. Setelah itu, ia menyerahkan kembali gelas susu itu pada Seno, yang langsung menerimanya dan meletakkannya di atas nampan dengan hati-hati.
Seno tersenyum melihat Ambar menurutinya, dan matanya berkilau dengan kebahagiaan. "Aku pergi ya, jika butuh sesuatu bilang pada Bik Inem untuk memberitahuku," ucapnya dengan nada yang lembut dan penuh perhatian. Sambil mengucapkan itu, Seno mengusap pucuk kepala Ambar yang berkerudung dengan lembut, menunjukkan kasih sayang dan kepeduliannya pada istrinya. "Beristirahatlah, aku akan kembali nanti," tambahnya sebelum berpamitan dan meninggalkan kamar.
Seno melangkah keluar dari kamar dengan membawa nampan bekas makan Ambar, meninggalkan istrinya yang masih terpaku di tempat tidur. Ambar yang baru saja mendapat perlakuan manis dari suaminya itu merasa terkejut dan tidak percaya. Ia hanya bisa mematung, seolah-olah waktu telah berhenti.
Sedetik kemudian, Ambar kembali sadar dan merasa malu mengingat kejadian tersebut. Ia tersipu malu, merasa bahwa hatinya telah tergerak oleh perlakuan suaminya yang penuh kasih sayang. Ia tidak bisa membayangkan bahwa suaminya yang belum lama ini ia kenal bisa membuatnya merasa seperti ini.
Pukul lima sore pekerjaan yang diurus oleh Seno sudah selsai ia melajukan kendaraan roda empatnya menuju rumah sang istri, karena ia berjanji bahwa sebelum makan malam ia sudah kembali.
Setelah mobil di parkir di halaman rumah, Seno pun mempercepat langkahnya memasuki rumah dan menaiki tangga, ia langsung membuka pintu kamar tanpa mengetuk terlebih dahulu tanpa ia sadari ada sosok yang berbaring di ranjang king size sedang memperhatikannya.
Setelah memasuki kamar ia pun membuka kancing kemejanya satu persatu ia belum menyadari bahwa ada tatapan terkejut dengan mata yang melotot telah memperhatikan belahan roti sobek yang berada di balik kemeja kerja yang ia buka kancingnya satu-persatu.
Ambar yang merasa dirinya membeku setelah melihat lelaki yang masuk ke kamar nya tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu dan langsung membuka kemeja kerjanya tanpa melihat situasi pun hanya bisa terdiam dengan ma ta yang membulat sempurna.
"aduh ma ta ku ternodai, ahh.. Roti sobek nya sayang kalau nggak di lihat "ucap Ambar dalam hati.
Seno merasa ada yang memperhatikannya pun langsung menoleh ke arah ranjang king size yang berada di ruangan tersebut dan...
" aaaaaaa... Kamu ngapain di situ?" ucap Seno seraya menarik kemeja untuk menutupi bagian tubuh depannya yang sudah terbuka.
Ambar yang terkejut akan teriakan Seno pun ikut berteriak.
"aaaaaaa... Ini kan kamar aku, kamu yang nggak ketok pintu dulu" ucap Ambar tak mau kalah.
Setelah Seno sadar dari keterkejutannya ia pun langsung menyambar handuk yang tergantung di lemari yang entah milik siapa lalu ia melangkah menuju kamar mandi yang berada di dalam kamar tersebut.
Masih dengan jantung yang berdegup kencang Ambar memegangi da da nya.
"untung ini buatan Gusti pangeran kalau made in ch*na mungkin sudah jatoh" ucap Ambar mengelus da da nya.
Ia kembali menyandarkan diri di sandaran ranjang king size miliknya dengan melanjutkan kegiatan membaca bukunya yang sempat tertunda karena suaminya yang masuk tanpa mengetuk pintu.
Tidak bisa di pungkiri bayang roti sobek milik Seno pun masih membayangi pikirannya.
Setelah dua puluh menit berlalu Ambar mendengar pintu kamar mandi di buka, ia langsung menutupi wajahnya dengan buku yang ia pengang guna mengantisipasi jika suaminya itu keluar hanya menggunakan handuk di pinggang saja.
"kamu ngapain? Saya pakai baju kok" ucap Seno.
Sedetik kemudian Ambar menjauhkan buku dari wajahnya guna membuktikan ucapan lelaki yang tengah menjadi suaminya itu.
Dan benar saja Seno keluar kamar mandi menggunakan Jubah mandi miliknya yang berwarna Pink, Ambar yang merasa lucu dengan Seno yang menggunakan Jubah mandi nya yang berwarna pink sedetik kemudian tergelak dengan menggulingkan tubuh nya di ranjang king size tersebut.
"ha ha ha aduh perut ku keram..." ucap Ambar memegangi perutnya yang berasa sakit akibat terlalu lama tertawa sontak membuat Seno mendekatinya dengan raut wajah cemas.
"kamu nggak papa? Mana yang sakit?" ucap Seno dengan wajah cemasnya dan jangan lupa ia masih menggunakan Jubah mandi pink milik Ambar.
Ambar yang mendengar suara Seno yang berada di dekatnya pun menoleh sedetik kemudian ia tertawa lagi.
"kamu ini sudah aku mau ganti baju dulu dari pada jadi bahan tertawaan kamu terus" ucap Seno berlalu keluar kamar dengan wajah memerah seperti kepiting rebus menahan malu akibat di tertawakan oleh Ambar.
Setelah Seno keluar dari kamar Ambar pun mengontrol nafasnya terlihat da da nya yang naik turun dan perutnya masih keram akibat terlalu lama tertawa.
Setelah ia bisa mengontrol nafasnya Ambar kembali membaca buku yang tadi sempat tertunda karena menertawakan Seno suaminya.
****
Ambar sudah menyelesaikan acara memasaknya, ia memang hobby memasak malah ia yang sering memasak jika sedang senggang.
"Bi .. Minta tolong panggilkan mas Seno di kamar tamu yaa bilangin suruh makan" ucap Ambar meminta tolong pada Bik Inem, pengasuhnya sejak ia kecil.
Bik Inem hanya mengangguk dan cepat berlalu memanggil suami dari nona nya yang sedari kecil ia rawat hingga tumbuh dewasa dan cantik seperti Almarhum Ibunya.
Seno dan Ambar memang masih tidur di kamar terpisah, karena baru semalam mereka sah menjadi sepasang suami istri dan mereka pun belum membicarakan apa pun selayaknya pengantin pada umumnya, karena Seno suaminya pun masih sibuk mengurusi perusahaan Ayahnya dan juga pemakaman Ayahnya.
Seno yang sudah menuruni tangga ia langsung bergegas ke dapur sesuai arahan si Bibi pengasuh istrinya tersebut.
Setelah sampai di pintu dapur ia malah di suguhkan pemandangan yang menggugah jiwa lelakinya, bagaimana tidak leher jenjang nan putih milik istrinya yang tak tertutupi rambut itu seolah memanggil jiwa lelakinya meminta untuk di s3ntuh.
Ambar yang hanya menggunakan daster rumahan dengan panjang sebatas lutut, dan rambut panjang hitam lurus yang ia gelung agar tidak menggangu aktivitas memasaknya, malah kini menjadi suatu pemandangan indah untuk ma ta suaminya itu.
Ambar yang sedang asik menuangkan sayur tumis kangkung kedalam mangkuk tidak menyadari akan kehadiran suaminya yang menikmati leher jenjangnya putih miliknya, hingga ia berbalik badan untuk menaruh mangkuk berisikan sayur tersebut baru lah ia menyadari bahwa suaminya sudah berada di ambang pintu.
"mas ngapain bengong? Ayo makan" ajak Ambar pada suaminya.
Seno yang tersadarkan oleh suara istrinya tersebut berdehem untuk menetralkan perasaannya dan kemudian menarik kursi untuk ia tempati.
Seno melihat menu makan malam yang berada di meja cukup menggugah seleranya. Tumisan kangkung, ayam kecap, dan sambal tomat.
Menu rumahan yang menurut Seno sederhana namun dapat menggugah selera makannya.
"ini mas" ucap Ambar menyerahkan piring yang sudah tersedia nasi dan sendok di dalamnya kepada Seno.
Seno masih mematung ia mendapatkan perhatian dari wanita selain Ibunya membuatnya terdiam, pasalnya ia sudah lama tidak mendapat perhatian seperti ini karena Ibunya sudah lama tiada.
Melihat suaminya masih mematung belum menerima piring yang ia sodorkan, Ambar pun berinisiatif menggerakkan tangan Seno untuk menyadarkannya.
Seno yang tersadar karena tangan di sentuh oleh tangan mungil nan halus tersebut membuat ia melihat ke arah pemilik tangan, dan segera menerima piring yang sedari tadi masih melayang di depannya.
"Mau di ambilkan apa dulu? Tumis kangkung atau Ayam kecapnya?" tanya Ambar ia ingin melayani suaminya di meja makan sesuai dengan istri pada umumnya.
"semuanya" ucap Seno.
Setelah ia menuangkan sayur dan lauk pada piring suaminya kini Ambar mengisi piringnya sendiri, saat ia ingin menuangkan air ke dalam gelas tangan nya sempat tersentuh oleh tangan suaminya, lantas ia menoleh pada si pemilik tangan tersebut.
"biar aku saja" ucap Seno. Ia pun tidak ingin kalah dari Ambar istrinya untuk membangun kemistri dalam rumah tangga yang baru mereka masuki.
Mereka berdua makan dengan hikmat tanpa ada yang mengeluarkan suara untuk berbicara dan hanya dentingan sendok dan piring yang mengisi suara di dalam ruang makan tersebut.
Setelah selesai makan Seno membantu istrinya untuk membereskan piring kotor dan mengelap meja seusai mereka makan lalu ia berpamitan pada istrinya untuk melanjutkan pekerjaannya di kamar.
Sepeninggal Seno di dapur Ambar mencuci piring dan peralatan masak yang telah ia gunakan, sebenarnya bisa saja ia meminta Bik Inem atau mbak Asih untuk mencuci piring. Namun ia lebih memilih mengerjakan semua sendiri karena ia yang terlalu mandiri, baginya selama bisa sendiri mengapa harus menyuruh orang lain.
Tok Tok Tok
Tok Tok
"mas aku masuk yaa" ucap Ambar sambil memutar gagang pintu.
"masih lama mas?"
"nggak bentar lagi ada apa? Kenapa nggak tidur aja?"
"baru juga jam delapan masa aku di suruh tidur?"
"ini aku bawakan kopi hitam sama cemilan, tadi sempat bikin begitu jadi langsung aku antar ke sini mau nyobain nggak?" ucap Ambar dengan meletakkan nampan berisi kopi dengan asap yang masih mengepul dan brownies buatannya.
Seno merasakan ada hawa dingin yang menyapa kulitnya itu pun langsung menyeruput kopi hitam buatan sang istri, rasanya pas tidak terlalu manis namun tidak terlalu pahit.
Jika di kantor OB dan orang kantin yang tau kopi seleranya seperti apa, namun Ambar adalah perempuan pertama yang tahu kopi kesukaannya tanpa ia yang menjelaskan.
"pahit nggak mas kopinya?" tanya Ambar dengan wajah penasaran.
"nggak kok manis" ucap Seno.
"semanis apa mas?"
"cinta" tanpa sadar Seno menjawab pertanyaan dari Ambar, sedetik kemudian ia tersadar sontak saja ma ta nya membulat lalu ia mengusap tengkuk yang tak gatal, guna menghilangkan rasa gugup karena ia salah bicara.
"m-maaf" ucap Seno dengan wajah bak kepiting rebus.
Merah merona di wajah Seno tertangkap oleh pupil mata Ambar dan sontak saja gadis yang bergelar istrinya itu tertawa terbahak- bahak.
"ha ha ha... Wajah mu mas ha ha ha..."
"heh sudah jangan terlalu banyak tertawa nanti perut mu keram" ucap Seno mengingatkan Ambar.
Namun Ambar tak mengindahkan perkataan Seno ia masih menikmati rona merah di wajah Seno akibat salah ucap.
"aduh perut ku..." ucap Ambar memegangi perutnya sambil membungkukkan badan.
"nah kan ayo ku bantu kamu berdiri rebahkan dulu badan mu di kasur ku" ucap Seno seraya memapah Ambar ke arah ranjang yang terdapat di kamar tamu tersebut.
Setelah Ambar merebahkan tubuh nya Seno membuka tas kecil yang berada di atas meja.
"nih usapkan di perut mu agar mengurangi rasa keram nya" ucap Seno menyerahkan minyak angin dengan botol berwarna hijau.
Ambar segera menerimanya dan ia langsung membuka baju di bagian perutnya dan mengoleskan minyak angin tersebut di area perutnya.
Seno yang melihat pemandangan tersebut nyaris saja khilaf jika ia tidak langsung membalikan badan menghadap tembok.
Ambar yang mengetahui pergerakan Seno ia baru menyadari bahwa perlakuannya tadi sangat lah tidak seno noh.
"ma- maaf mas nggak sengaja, lupa kalau kamu ada di sini" ucap Ambar menggigit bibir bawahnya.
Seno berdehem untuk menetralkan perasaannya jika saja Ambar tahu jantungnya kini berdebar kencang ia akan sangat malu.
"khm... Sudah?"
"iya mas sudah terimakasih" ucap Ambar langsung bangkit dari kasur.
"kamu langsung tidur saja ini sudah malam, jika butuh sesuatu hubungi aku" ucap Seno menyerahkan nomor telepon yang tadi sudah ia tuliskan di kertas.
Ambar hanya mengangguk dan menerima kertas tersebut sambil beranjak keluar dari kamar yang di tempati oleh Seno.
Ambar dan Seno memang serumah namun mereka belum memiliki kontak satu sama lain.
*****
Malam ini hujan turun sangat deras di selingi dengan kilat dan gemuruh, Ambar yang sedari kecil yang takut akan suara gemuruh dan kegelapan pun tidak dapat memejamkan mata.
Klik...
"aaaaaaaa.... Mas Seno tolong...." teriak Ambar spontan karena ia terkejut dengan lampu yang padam.
Didalam selimut tubuhnya meringkuk menggigil ketakutan sambil menyebutkan nama Seno suaminya.
Seno yang masih belum terlelap pun terkejut mendengar suara teriakkan Ambar dari sebelah kamarnya, memang kamar Ambar dan kamar yang di tempati Seno bersebelahan.
Langsung saja Seno berlari keluar kamar untuk melihat keadaan Ambar.
Ternyata di luar sudah ada Bik Inem dan mbak Asih, mereka ingin masuk namun ragu lalu Bik Inem menjelaskan fobia yang di miliki oleh nona nya itu pada Seno.
Menurut Bik Inem sekarang Seno lah yang berhak menemani Ambar karena mereka sudah sah, dulu sewaktu Pak Bambang dinas keluar kota Bik Inem dan mbak Asih lah yang akan bergantian menemani Ambar.
Bik Inem meminta tolong pada Seno untuk menemani nona mereka.
Langsung saja Seno mengetuk pintu kamar milik Ambar namun tak ada jawaban hanya suara lirih seperti berbisik yang di dengar oleh ketiga orang tersebut.
Lalu Seno memutar gagang pintu yang ternyata tidak terkunci, langsung saja Seno masuk kedalam kamar istrinya itu.
Bik Inem dan mbak Asih meninggalkan kamar pasutri tersebut.
Di dalam kamar Seno mendengar suara yang lirih seperti suara orang berbisik, ia mencoba mempertajam pendengarannya dan suaranya berasal dari balik selimut yang di pakai istrinya.
Seno mendekat ke arah di mana istrinya berada, dan ia mendengar suara istrinya yang memanggil namanya ia sempat terharu ternyata namanya lah yang di sebutkan istrinya.
"mas Seno tolong aku takut" ucap Ambar dari balik selimut.
"Ambar ini aku Seno, aku buka selimutnya ya" perlahan Seno membuka selimut yabg di gunakan istrinya.
Ia melihat wajah istrinya tertutupi oleh helaian rambut, ia mencoba menyingkirkan rambut si4l4n yang menutupi kecantikan wajah serta pipi chubby istrinya itu.
Jari telunjuk nya menyentuh bagian dahi Ambar dan di rasa panas, lalu ia memegang dahi istrinya menggunakan punggung tangan untuk memastikan.
Dan benar saja badan Ambar demam Seno bergegas keluar dari kamar ambar menggunakan flash di ponselnya setelah beberapa menit meninggalkan Ambar, ia kembali membawa nampan yang terdapat baskom yang berisi air hangat, handuk kecil untuk mengompres serta air minum dan obat penurun panas.
Ini semua sudah di siapkan Bik Inem karena ia sangat tahu jika nona nya itu merintih akan di pastikan kalau ia demam, dan benar saja dugaan Bik Inem.
Seno segera meletakan nampan di atas meja dan mulai memeras handuk kecil untuk mengompres dahi istrinya.
Ambar yang merasa ada sesuatu yang hangat dan basah mengenai dahi nya langsung membuka mata dan bangkit dari tidurnya, ia yang melihat adanya Seno berada di depannya tanpa ba bi bu langsung memeluk erat Seno dan menangis.
"aku takut mas hu hu hu"
"aku di sini nggak usah takut" ucap Seno sambil menepuk punggung istrinya.
Ada rasa senang karena di peluk oleh istrinya dan ada rasa was- was karena da da bidangnya terganjal gump4l4n d4ging empuk milik istrinya.
"kamu minum obat dulu ya baru tidur lagi" ucap Seno melerai pelukan istrinya dan mengambilkan air minum beserta obat penurun panas.
Ambar hanya menerima dengan membuka mulutnya dengan Seno yang menyuapkan obat dan menyerahkan gelas berisikan air minum, setelah Ambar selesai meminum obatnya Seno langsung merebahkan tubuh istrinya.
"mas jangan tinggalkan aku, aku takut" ucap Ambar dengan ma ta berkaca-kaca.
"nggak aku disini kamu tidur yaa" ucap Seno dengan posisi setengah duduk yang perutnya di peluk oleh lengan Ambar.
Seno yang ikut terlelap pun tak sadar jika badannya melorot dan kepalanya menyamai kepala Ambar dan jadilah seperti mereka berpelukan.
Nggak pa pa lah yaa kan udah halal...
Hujan pun semakin deras di iringi dengan gemuruh sepasang suami istri itu tanpa sadar mempererat pelukan mereka masing- masing seolah mencari kehangatan.
Ambar yang biasa terbangun malam untuk melaksanakan dua rakaat di kejutkan oleh tangan kekar yang memeluk perutnya dari belakang, ia nyaris saja berteriak namun sedetik kemudian ingatannya kembali itu membuat ia tidak jadi berteriak.
Ambar dengan perlahan memindahkan lengan suaminya itu dari perutnya, setelah berhasil ia pun bangkit menuju kamar mandi untuk membersikan diri.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!