KKRRIIIIKKK
KRRRIIIIKKKK
KRRRIIIIKKKK
KRRRIIIIKKKK
Suara jangkrik di suatu malam hari... Seorang gadis manis berusia 19 tahun, berkulit coklat karena sering tersengat oleh sinar mata hari berbaring di balai balai bambu, di samping Sang Nenek. Di dalam rumah yang berdinding separo tembok dan separo bagian atas terbuat dari anyaman bambu.
“Nek, aku boleh ya kerja di pabrik bulu mata. Gajinya banyak loh Nek.. setiap bulan dapat gaji pasti. Tidak macam kita sekarang ini, kerja kalau di saat musim tanam saja... Kerja serabutan juga tidak tentu hasilnya ..” Ucap Mawar Ni Utami nama gadis manis itu dengan mata berkedap kedip, merenungi nasibnya.
Saat ini mereka berdua bekerja sebagai buruh tani, bekerja di masa awal musim tanam padi tiba. Dan jika sudah selesai masa tanam mereka berdua bekerja sebagai buruh serabutan kadang mencuci pakaian atau mencuci piring tetangga yang membutuhkan tenaganya. Terkadang juga mereka memulung sampah sampah yang bisa dijual.
“Tidak kena panas dan tidak kehujanan Nek.. enak Nek, bisa putih mulus nanti kulitku.. macam Dahlia itu Nek, jadi cantik dan uangnya banyak, dia baru saja beli motor metic cash loh Nek...” ucap Mawar Ni sambil membalikkan tubuhnya untuk menatap Sang Nenek yang berbaring di sampingnya.
“Boleh ya Nek..” ucap Mawar Ni lagi karena Sang Nenek hanya diam saja.
Sang Nenek pun lalu juga membalikkan tubuhnya dan menatap lekat wajah Mawar Ni.
“Ni kalau kerja di pabrik kamu seharian harus berada di pabrik jauh dari rumah, istirahat juga di pabrik tidak bisa pulang. Padahal Nenekmu ini sudah sering sakit sakit an, kalau... Huk.. hukkk hukkk...” ucap Sang Nenek dan terhenti karena Nenek mendadak terbatuk batuk..
Mawar Ni mengambilkan air putih buat Nenek lalu membantu Nenek terbangun untuk minum air putih.
“Kalau kerja buruh tanam, kita bisa selalu bersama, kalau Nenek pas tidak enak badan atau capek ya Nenek tidak kerja nunggu kamu di bawah pohon sampai kamu selesai kerja.. kita selalu bersama..” ucap Sang Nenek lagi dengan nada dan ekspresi wajah serius
“Memangnya itu Pabrik mau menerima Nenek jadi karyawan? Agar kita bisa bersama?” tanya Nenek selanjutnya dengan bola mata agak melebar.
“Ya tidak boleh lah Nek, ada batasan usia, mana ada pabrik mau menerima karyawan yang sudah nenek nenek..” jawab Mawar Ni sambil tersenyum.
“Itulah Ni, kalau Nenekmu sakit pas kamu kerja bagaimana? Kerja di pabrik kan sampai malam, itu Dahlia sering pulang malam kata nya kerja lembur biar uang banyak...”
“Uang upah hasil buruh tanam kita irit irit agar bisa bertahan sampai waktu panen tiba. Tidak lama lagi kan panen, kita bisa ngasak untuk tambah tambah .. Kamu jangan boros boros beli kota kota buat mainan hape.” Ucap Sang Nenek lalu kembali berbaring terlentang.. Tidak lama lagi memang musim panen segera tiba, dan ngasak (memungut padi sisa panen) adalah kegiatan yang tunggu tunggu oleh kaum marginal.
“Kota? Kuota Nek... Kok kota mana mungkin aku beli kota he... he...” saut Mawar Ni sambil tertawa kecil..
Di saat mereka masih berbincang bincang tiba tiba ada suara memanggil...
“Ni...” suara seorang perempuan di luar rumah.
“Nek itu Lia datang..” ucap Mawar Ni sambil tersenyum lebar lalu bangkit dari tidurnya untuk membukakan pintu buat Dahlia. Dia memang sudah janjian dengan Dahlia. Dahlia adalah tetangga mereka yang masih satu nenek buyut dengan Mawar Ni. Nenek Mawar Ni dan Nenek Dahlia kakak beradik.
Sesaat kemudian..
KRETTTT
Suara pintu yang terbuat dari bambu itu terbuka. Dan di dalam keremangan malam tampak sosok Dahlia, gadis cantik buruh pabrik bulu mata. Make up wajah Dahlia tebal tidak lupa matanya pun dihiasi oleh bulu mata palsu. Namun raut wajah Dahlia yang sangat lelah, tidak bisa disembunyikan oleh make up wajah nya yang tebal.
“Ni, ini kamu isi formulir nya. Besok pagi pagi kamu antar ke rumahku.” Ucap Dahlia sambil mengulurkan sebuah map.
“Dan ini mie rebus istimewa kesukaan Nenek Marmi juga mie goreng spesial buat kamu.” Ucap Dahlia selanjutnya sambil menyerahkan satu kantong plastik berisi makanan.
“Terima kasih ya Li.. moga moga Nenek mengizinkan.” Ucap Mawar Ni sambil menerima satu map berisi berkas berkas formulir untuk pendaftaran karyawan pabrik dan kantong plastik berisi mie oleh oleh dari Dahlia.
“Sudah ya.. aku capek banget mau istirahat.” Ucap Dahlia lalu dia pun melangkah pergi.
Bibir Mawar Ni tersenyum lebar, harapan Sang Nenek memberi izin untuk bekerja di pabrik bulu mata kembali muncul dengan adanya mie rebus istimewa kesukaan Sang Nenek. Di saat Mawar Ni membalikkan tubuhnya... betapa kagetnya Mawar Ni sebab Sang Nenek sudah berdiri di depannya.
“Pokoknya kamu tidak boleh kerja di pabrik Ni.” Suara Nenek Mami dengan keras.
“Selain nenek kamu ini yang sering sakit sakitan, kerja di pabrik sangat berisiko buat kamu, gaji memang lebih tinggi dari buruh tani tapi kamu juga harus kerja keras di pabrik dan rawan laki laki hidung belang!” ucap Sang Nenek lagi dengan nada suara meninggi.
Mawar Ni menatap wajah Sang Nenek dengan serius.
“Nek.. aku bisa jaga diri..” ucap Mawar Ni meyakinkan pada Nenek kalau dia bisa menjaga diri.
“Tidak.” Ucap Sang Nenek sambil meraih kantong plastik yang masih dipegang Mawar Ni.
Mawar Ni melongo, ekspresi wajahnya tampak kecewa...
“Yaaaaccchh mie Nenek mau Tapi tetap tidak kasih izin.” Gumam Mawar Ni di dalam hati.
Sementara itu di lain tempat, Di sebuah rumah termegah di suatu desa. Rumah milik Pak Handoko alias Juragan Handoko. Dialah Tuan tanah di desa Mukti Raharjo, desa di mana Mawar Ni juga tinggal. Lahan sawah Juragan Handoko berhektar hektar berada di banyak lokasi di desa itu.
Malam ini di rumah mewah itu sedang mengadakan pesta atas kelulusan anak semata wayangnya yang bernama Irawan Handoko Putro. Irawan dulu kuliah di universitas ternama di satu kota besar di Indonesia di fakultas pertanian, selain itu dia pun juga kuliah di fakultas ekonomi di universitas lain. Lalu melanjutkan studi nya lagi di luar negeri.
Kerabat dan teman teman Pak Handoko sudah berdatangan memenuhi undangan pesta.
“Kalian semua bersenang senanglah, makan dan minum sepuasnya. Hari ini aku sangat bahagia Irawan anakku satu satunya sudah menyandang gelar sarjana S2 dari luar negeri..” ucap seorang laki laki paruh baya yang tidak lain adalah Pak Handoko. Di sampingnya berdiri isteri Pak Handoko, perempuan paruh baya yang masih terlihat cantik dengan banyak perhiasan menempel di tubuhnya nya.
“Gelar mas Irawan tumpuk tumpuk dong Pak De..” ucap salah satu keponakan Pak Handoko yang juga berdiri di dekat Pak Handoko.
“Tidak tumpuk tumpuk tapi berjejer sambung menyambung ha... ha... Mas mu sekarang menjadi Doktor Insinyur Irawan Handoko Putro, Sarjana Pertanian, Sarjana Ekonomi, Magister Manajemen." Ucap Pak Handoko dengan lantang dan bangga.
“Haduh Pak De sekarang tidak Insinyur tapi sarjana pertanian. Insinyur nya tidak usah dipasang Pak De..”
“Hah! Biar saja biar mantap. Pokoknya dia nanti yang akan menggantikan aku untuk mengurus bisnis pertanianku ini. Semua akan memakai alat alat modern. Aku yakin di tangan dia, akan semakin maju bisnisku, tanahku akan semakin banyak.. dan aku yakin Irawan akan menjadi menteri pertanian kelak ha... ha...ha...” ucap Pak Handoko lagi sambil tertawa bahagia.
Dan di salah satu sofa di ruang itu duduk seorang pemuda kira kira berusia 26 tahun, yang gagah dan tampan dengan ekspresi wajah datar, kaku dan serius, tampak pemuda itu sedang sibuk dengan hand phone milik nya. Dialah Irawan Handoko Putro.
“Segera kamu kirim semua alat alat itu!” perintah Irawan pada lawan bicara nya di hand phone.
Hari pun terus berlalu dan waktu panen pun telah tiba. Mawar Ni dan Nenek Mami pagi pagi sudah tersenyum ceria bersiap siap untuk pergi ke sawah. Formulir pendaftaran karyawan pabrik bulu mata sudah diisi oleh Mawar Ni tetapi masih tersimpan rapi di dalam lemari dia tidak berani memberikan formulir itu pada Dahlia sebab Sang Nenek tetap tidak mengizinkan.
“Ayo Ni cepat ... “ teriak Nenek Mami sambil membawa satu karung yang dilipat rapi. Mereka berdua akan pergi ke sawah untuk melakukan ngasak yaitu memungut sisa sisa padi setelah panen.
“Ayo Nek.” Ucap Mawar Ni dan segera mengeluarkan sepeda ontelnya.
Mawar Ni pun mengayuh sepeda ontel itu dan Nenek Marmi membonceng dengan memegang erat pinggang Sang cucu. Sepeda terus menyusuri jalan desa menuju ke lokasi persawahan.
Beberapa menit kemudian mereka pun sudah sampai di lokasi persawahan. Di lahan lahan sawah itu sudah terlihat sangat ramai para buruh tani laki laki yang bekerja memanen padi. Dulu waktu Nenek Marmi masih muda dia pun juga bekerja memanen padi memakai ani ani. Tetapi berjalannya waktu pemilik lahan menghendaki kaum laki laki saja yang bekerja memakai alat sabit agar lebih cepat dan memakai mesin yang dioperasikan oleh pekerja laki laki pula.
“Wah sudah banyak yang menunggu untuk ngasak Nek.” Ucap Mawar Ni saat melihat banyak kaum lansia dan perempuan menunggu di tepi jalan. Mawar Ni pun menghentikan sepeda nya di bawah pohon yang rindang di tepi jalan.
“Iya Ni, itu mesin panen Juragan Han tambah banyak.” Gumam Nenek sambil turun dari boncengan.
Para lansia dan perempuan kaum marginal, golongan ekonomi bawah, memang sudah biasa melakukan ngasak di saat panen tiba. Kaum pemilik lahan tidak marah dengan hadirnya orang orang yang melakukan ngasak. Pemilik lahan tidak merasa rugi, dan itung itung berbagi rejeki pada kaum marginal.
“Sudah dari tadi kamu Jum?” tanya Nenek pada seorang wanita muda yang menggendong anak laki laki usia dua tahun dan di sampingnya ada anak perempuan usia lima tahun. Jumilah ada lah seorang janda beranak dua. Dia pun antri menunggu panen padi selesai.
“Iya Nek, katanya panen akan selesai lebih cepat karena sekarang banyak memakai mesin panen.” Ucap Jumilah sambil tersenyum lebar. Baginya kegiatan ngasak sangat membantu perekonomian nya. Anak pertama nya pun juga sudah sangat pintar untuk membantu mengambil sisa sisa panen yang tertinggal atau terjatuh saat pengangkutan.
Mereka para pengasak duduk di tepi jalan sambil berbincang bincang menunggu pekerja memanen selesai mengangkut padi padi.
Beberapa waktu kemudian tampak para pekerja laki laki sudah mengangkut padi padi hasil panen ke mobil mobil truk dan mobil pick up.
“Mak, sudah itu! ayo!” teriak Ayu anak pertama Jumilah sambil bangkit berdiri dengan tangan membawa kantong plastik tebal besar kosong yang siap untuk tempat padi sisa panen yang akan dia pungut.
Para lansia dan perempuan kaum marginal itu pun segera berjalan menuju ke area persawahan. Mereka mengambil padi padi yang terjatuh atau padi padi yang masih tertinggal di tanaman padi yang tidak ikut terpotong oleh pekerja, tanpa sengaja.
“Lumayan ya, bisa untuk makan menyambung hidup hasil ngasak. Aku kadang dapat tiga karung Ni, kalau dikumpulkan.” Ucap Jumilah sambil memunguti padi dan di taruh di dalam karung. Para pengasak memang mencari sisa padi hingga beberapa hari berkeliling dari sawah satu ke sawah lainnya yang habis di panen.
“Iya mbak lumayan banget, sambil nunggu masa tanam tiba kita dapat rejeki dari ngasak.” Ucap Mawar Ni juga sambil memasukkan padi padi ke dalam karung.
Mereka semua tampak bercanda ria, riang gembira sambil terus memungut sisa sisa padi. Teriknya sinar mentari tidak dihiraukan oleh mereka. Tampak Ayu pun tas plastik di tangannya sudah berisi banyak padi.
“Mak... lihat aku sudah dapat banyak!” teriak Ayu sambil tersenyum lebar kedua tangan mungilnya membawa kantong plastik sudah berisi banyak padi.
Akan tetapi tiba tiba mereka semua kaget karena bunyi klakson mobil yang sangat keras.
DIN
DIN
DIN
Semua para pengasak menoleh ke arah suara. Sebuah mobil sedan bagus berhenti di pinggir jalan.
Dan sesaat kemudian pintu mobil terbuka. Muncul sosok Irawan bersama Pak Handoko. Ekspresi wajah Irawan tampak tegang, wajah memerah. Dia menutup pintu mobil dengan keras dan berjalan dengan sangat cepat.
“Wan, biar saja mereka mengambil sisa sisa panen. Itu sudah tradisi di masyarakat kita, tidak rugi Wan.” Ucap Pak Handoko sambil berjalan di belakang Irawan.
“Tidak bisa Pa. Itu tidak boleh dilakukan di sawah sawah kita, Itu mengurangi keuntungan kita. Sama saja merugikan kita Pa.” Ucap Irawan sambil terus melangkah. Pak Handoko yang mengikuti tampak nafasnya ngos ngosan.
Tidak lama kemudian Irawan berdiri menghadap ke lahan sawah sambil berkacak pinggang menatap orang orang yang sedang ngasak dengan tatapan tajam.
“Hai kalian semua, pergi dari sawahku sekarang juga!” teriak Irawan dengan sangat lantang.
Para pengasak sekarang tidak hanya kaget tetapi juga sangat ketakutan.
“Itu juragan muda menyuruh kita pergi. Ayo kita pergi sekarang.” Ucap seorang Kakek yang juga sebagai pengasak di tempat itu.
“Ayo Nek, cepat kita pergi.” Ucap Mawar Ni , Nenek pun melangkah di samping Mawar Ni ikut membantu membawa karung yang berisi gabah itu. Namun isinya separuh saja belum ada .
“Hei! Tinggalkan semua padi padi itu dan jangan kalian bawa sebutir sekalipun!” Teriak Irawan lagi sebab para pengasak berjalan sambil membawa hasil pungutan mereka.
“Hah?” teriak kaget para pengasak.
“Gan, tolong biarlah ini kami bawa.” Suara mereka mengiba dengan penuh permohonan.
“Tidak boleh, aku akan rugi jika kalian mengambil padi padi yang ada di sawahku. “ teriak Irawan lagi.
Tampak wajah wajah para pengasak itu langsung terlihat sangat sedih dan kecewa. Ayu yang paham situasi tampak menangis tersedu sedu sambil memeluk kantong plastik berwarna putih susu yang telah berisi padi yang dia pungut.
Hati Mawar Ni tidak tega melihat kesedihan teman teman pengasak nya, terlebih melihat Ayu sebab ibarat dia melihat dirinya waktu kecil. Di saat dia seumuran Ayu dia pun ikut Sang Nenek ngasak.
“Gan, tolong biarlah yang sudah kami ambil ini kami bawa, ini yang terakhir kali. Kami janji.” Ucap Mawar Ni memberanikan diri sambil menatap Irawan.
“Sekali aku bilang tidak bisa, ya tidak bisa! Cepat tinggalkan padi padi yang sudah kalian ambil dan segera pergi kalian semua!” teriak Irawan tanpa menatap Mawar Ni .
Para pengasak pun dengan berat hati mengeluarkan padi padi di dalam karung mereka. Ekspresi wajah mereka tampak sedih dan sangat kecewa.
Ayu pun sambil terus menangis membuang padi padi yang sudah dia pungut ke sawah lagi.
“Hu... hu... hu... hu... aku sudah capek mengambilnya Mbak Ni tapi ga boleh aku bawa hu... hu.. hu...”
“Ayo Yu.. kita cari lagi di tempat lain keburu siang..” ucap Mawar Ni sambil menggandeng tangan Ayu agar cepat melangkah pergi. Karena Irawan terus melotot ke arah padi padi sisa di sawah.
“Seperti itukah hasil pendidikan tinggi Juragan muda? Ngasak adalah tradisi di desa ini yang sudah turun temurun dan bisa digunakan untuk jaring pengaman sosial bagi kami kaum marginal ekonomi rendah...” ucap Mawar Ni agak keras, sambil berjalan menuntun sang nenek yang langsung lemas tubuhnya karena kecewa dan Ayu yang masih terus menangis..
“Masa bodo! Bukan urusanku!” teriak Irawan
“Ayo Nek , Yu... kita ngasak di tempat lain bukan di lahan Juragan Handoko. “ ucap Mawar Ni lagi menghibur sang Nenek dan Ayu yang masih terus menangis..
“Cepat sana pergi!” bentak Irawan dengan kasar.
Para pengasak yang sebagian besar membawa sepeda itu segera mengayuh sepeda mereka mencari cari lahan sawah yang sedang dipanen, selain lahan milik Pak Handoko. Mereka memakai sepeda dan jika selesai ngasak, apabila mendapatkan banyak padi hasil ngasak, mereka taruh karung di sepeda lalu sepeda mereka tuntun di saat pulang. Namun jika hasil sedikit ya hanya dibonceng saja dan sepeda mereka kayuh.
“Ni, cepat agar kita masih dapat bagian!” suara Nenek sambil memegang erat pinggang Mawar Ni .
“Iya Nek, kita ke sawah Pak Dukuh, yang tidak terlalu jauh.” Ucap Mawar Ni sambil terus mengayuh sepeda lebih kencang.
Karena lahan milik Pak Handoko sangat luas meskipun Mawar Ni sudah mengayuh sepeda dengan cepat, tetap saja membutuhkan waktu agak lama. Para pengasak itu banyak yang berpisah jalan menyebar untuk mencari tempat baru. Jumilah, Mawar Ni dan beberapa orang menuju ke tempat yang sama.
Sesaat kemudian mereka sudah sampai di lahan milik Pak Dukuh, di lahan itu pun sudah ada pengasak orang orang yang biasa ngasak di tempat itu.
“Apa kami boleh ikut ngasak di sini?” teriak Mawar Ni di pinggir jalan di dekat lahan Pak Dukuh.
“Sudah siang begini kenapa kalian baru datang? Bukannya biasanya kalian ngasak di lahan Juragan Handoko? Ini sudah mau habis.” Teriak salah seorang dari pengasak yang masih di lahan. Beberapa orang pun sudah berjalan sambil menggendong karung berisi padi.
Nenek Marmi pun menjelaskan pada para pengasak di lahan Pak Dukuh itu. Dan mereka tampak kaget dan khawatir, sebab dengan dilarangnya ngasak di lahan Pak Handoko. Sudah pasti para pengasak akan berpindah dan membuat hasil ngasak mereka berkurang. Bahkan mungkin akan saling berebutan.
“Cari di tempat lain saja, ini sudah mau habis.” Ucap mereka yang tidak mau ada pengasak baru di situ.
Dengan lesu Mawar Ni dan teman teman itu pun pergi dari lokasi itu dan mencari lahan yang lain yang masih ada sisa sisa padi habis dipanen.
Hingga sore hari, Mawar Ni dan Nenek hanya mendapatkan sedikit padi hasil ngasak. Mereka pun pulang dengan rasa sedih. Mawar Ni mengayuh sepeda pelan pelan Sang Nenek duduk di boncengan sambil memangku karung yang berisi sedikit padi.
Hari hari berikutnya mereka pun kembali ngasak mencari cari di semua lahan sawah di desa itu bahkan ke tetangga desa, sampai habis waktu panen. Sawah sawah sudah bersih tidak ada lagi padi tersisa. Hasil dari ngasak musim ini hasilnya sangat jauh lebih sedikit dari musim musim sebelumnya, sebelum ada larangan ngasak di lahan Juragan Handoko.
“Jangan sedih Ni, rejeki yang sudah kita dapat kita syukuri. Tidak lama lagi kan masa tanam, kita bisa bekerja dan dapat upah...” ucap Sang Nenek sebab wajah Mawar Ni sangat kusut dan terus merayu Sang Nenek untuk bisa kerja di pabrik bulu mata. Namun nenek belum juga mengizinkan.
Detik berganti detik, menit berganti menit, jam berganti jam, hari berganti hari. Waktu musim tanam yang dinanti nanti pun telah tiba..
Seperti pada musim musim tanam sebelumnya. Mawar Ni dan para buruh tani wanita pagi pagi hari sudah berangkat ke sawah. Nenek Marmi pun ikut serta, dia akan ikut kerja jika kondisi badan memungkinkan, jika dia merasa kurang enak badan dia hanya duduk di bawah pohon.
Saat para buruh tani wanita itu sudah sampai di lahan sawah milik Pak Handoko, betapa kagetnya mereka karena tampak pemandangan yang berbeda dengan kebiasaan di desa itu. Para pekerja laki laki sudah turun di sawah dan mereka sudah mulai bekerja menanam padi dengan menggunakan mesin mesin penanam padi.
Jantung Mawar Ni berdebar debar, keringat di telapak tangannya pun mulai keluar. Dia merasa ada hal yang tidak beres. Nenek Marmi pun langsung kepalanya terasa pusing, dia pun merasa ada hal buruk yang akan terjadi.
Seorang laki laki setengah baya yang biasa menjadi mandor jika mereka bekerja di lahan Juragan Handoko melangkah mendekat ke pada perempuan perempuan yang baru datang itu.
“Kalian semua sebaiknya cari pekerjaan di tempat lain. Juragan Handoko sudah tidak menerima pekerja perempuan untuk menanam padi, kata Mas Irawan pekerja perempuan terlalu lama dalam bekerja dan dengan mesin mesin penanaman padi akan lebih cepat.” Ucap Pak Mandor sawah
“Pak tolong beri kami pekerjaan.” Ucap Mawar Ni dengan suara mengiba, lehernya terasa sakit bagai ada sebongkah batu yang mengganjal. Kedua mata Mawar Ni pun berkaca kaca
“Sudah tidak ada pekerjaan buat kalian!” suara Pak Mandor sawah.
Tidak terasa air mata Mawar Ni meleleh begitu saja.
“Musim tanam adalah harapan kami untuk mendapatkan rejeki, kalau diganti mesin kami harus bekerja apa?” ucap Mawar Ni memberanikan diri.
“Coba saja cari ke tempat lain yang belum memakai mesin.” Ucap Pak Mandor
“Tetapi lahan di desa ini sebagian besar milik Juragan Handoko, dan lahan lain pasti juga sudah ada buruh tani yang biasa bekerja di sana.” Ucap Mawar Ni lagi.
“Iya Pak Mandor tolong kami...” ucap perempuan perempuan buruh tani itu.
“Aku tidak tahu masalah itu. Dan tidak bisa menolong kalian. Maaf ini perintah juragan. Coba cari saja pekerjaan lainnya.” Ucap Pak Mandor sawah Juragan Handoko. Lalu dia membalikkan tubuhnya kembali melangkah untuk mengawasi pekerja yang mengoperasikan mesin tanam padi. Sebab dia takut jika juragan tiba tiba datang meninjau, dia akan kena marah kalau terlalu banyak bicara melayani perempuan perempuan itu.
“Ni, kepalaku pusing sekali, dunia serasa berputar putar...” suara lirih Nenek Marmi sambil menyandarkan tubuhnya dan memegang erat tubuh Mawar Ni .
“Nek..... Nenek jangan sakit...” teriak Mawar Ni sambil memapah Nenek Marmi berjalan ke tempat sepeda nya. Para perempuan buruh tani itu pun membantu Mawar Ni untuk membawa Nenek ke puskesmas. Nenek didudukkan di boncengan sepeda sambil dipegangi oleh dua buruh tani wanita, sedangkan Mawar Ni menuntun sepeda itu menuju ke puskesmas.
Di dalam perjalanan mereka berpapasan dengan mobil bagus yang dikemudikan oleh Irawan. Mobil itu terus melaju tidak menawarkan bantuan bahkan malah menyiratkan air genangan di jalan akibat ban mobil yang melaju cepat menggilas genangan air itu.
BYUUURRR....
Air genangan di jalan membasahi baju Mawar Ni , Nenek dan perempuan perempuan yang membantu Mawar Ni .
Irawan yang mengemudikan mobil tersenyum miring melihat para perempuan berjalan menuntun sepeda.
“Papa lihat dengan mata dan kepala sendiri kan, betapa bodohnya mereka. Sepeda tidak dinaiki tetapi malah dituntun. Buat apa coba? Kalau tidak biar berlama lama sambil ngobrol ngobrol.” Ucap Irawan menilai berdasar persepsinya sendiri tidak tahu masalah yang sedang mereka hadapi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!