Konsentrasi Hamish pecah tatkala ponselnya berdering. Andai bukan nama Danish yang tertera di sana, ia pasti sudah mengabaikan. Namun, tidak ada kata tidak untuk tuan putri.
“Ada apa, sayang? Papa sedang sibuk sekali sekarang.”
[“Papa bakal jemput aku’kan?”]
“Hari ini sama Tante Agatha dulu, ya. Papa mau ada meeting sebentar lagi dan gak bisa janji kapan selesainya. Tante Agatha mungkin sudah di jalan.”
Hamish bisa mendengar nada kekecewaan dari seberang sana.
“Maafin Papa ya, sayang,” perasaan Hamish semakin tertusuk ketika Danish mengiyakan, “Nanti kita ketemuan di kafe aja. Papa sudah minta Tante Agatha untuk ngajak kamu makan enak. Sekarang tunggu dia di sana dan jangan ke mana-mana. Dah, sayang.”
Hamish mendesah berat. Namun, pekerjaan mengharuskannya membiarkan sang putri kecewa. Ia harus kembali fokus pada meeting yang menunggu.
ooOoo
Sebuah lonceng berbunyi begitu pintu mahoni itu terbuka. Sapaan hangat dari para pelayan langsung didapatkan para pengunjung begitu menginjakkan dessert café yang ada di salah satu sudut kota. Ada kesan berbeda yang ditampilkan oleh kafe tersebut. Kita seperti diajak mundur ke era 20-an. Dimana ada percampuran interior Belanda, Tionghoa, dan Indonesia kala itu. Meski terkesan jadul, tetapi para pengunjung justru memanfaatkan sudut-sudut tertentu yang memang didesain unik untuk berfoto ria. Bahkan para pelayan tak segan membantu pengunjungnya untuk mendapatkan spot yang pas.
Meski berbasis dessert café, tetapi tempat ini juga menyiapkan makan siang. Hampir semua menu berkiblat ke barat. Sehingga kebanyakan pengunjung yang menghabiskan waktu di sini adalah anak muda, terutama di malam minggu.
Di sinilah Agatha membawa Danish menghabiskan sorenya. Hamish memintanya untuk membawa gadis kecil itu ke sebuah tempat makan yang enak sebagai kompensasi karena ia tak bisa menjemput langsung. Agatha tak
keberatan dengan permintaan sang kekasih karena biasanya Hamish akan membalasnya lebih besar. Setelah berselancar di dunia maya untuk mencari tempat makan yang enak, ia menemukan tempat ini. Tanpa meminta persetujuan siapa pun, ia langsung membawa Danish ke sini.
“Kamu mau dessert apa, sayang?”
“Terserah Tante aja,” jawab Danish sambil menghabiskan fetuccini-nya.
Agatha pun memanggil pelayan lalu memesankan sebuah sundae untuk Danish dan puding karamel untuknya. Tepat ketika Danish menandaskan makananan beratnya, sundae itu datang. Tanpa babibu lagi, gadis berambut panjang itu juga menghantam tumpukan es krim super manis.
Namun, Danish menunjukkan gejala yang aneh. Ia terlihat panik. Berulang kali ia menegak air putih. Napasnya mulai tersengal. Keringat mulai membanjiri kening.
“Danish, are you alright?”
“Tenggorokanku… tenggorokanku gak enak,” tangan Danish seperti memijat-mijat lehernya.
Kali ini giliran Agatha yang panik. Tubuh Danish merosot lemas di kursinya. Napasnya masih tersengal-sengal.
“Dan, Danish… kamu kenapa?” Agatha benar-benar panik. Ia tak pernah melihat gadis kecil ini menggelepar tak berdaya. Ia berupaya mencari pertolongan, “To—tolong, tolong! Anak ini sakit.”
Pengunjung yang ada di sana ikut terkesiap. Beberapa pelayan langsung menghampiri. Mereka bertanya dan Agatha menjelaskan singkat. Mereka menyarankan supaya langsung dibawa ke rumah sakit. Ketika Agatha menyetujui gagasan itu, tiba-tiba seorang wanita menyeruak dari kerumunan itu.
“Tunggu dulu. Tadi dia makan apa?”
“Sundae itu,” Agatha menunjuk gelas yang baru sedikit disentuh oleh Danish. Kemudian wanita itu memeriksa isi gelas dan memeriksa Danish sebentar.
“Dia alergi kacang. Tunggu sebentar.”
Wanita itu berlari ke dalam ruangan staf lalu kembali dengan sebuah benda berbentuk seperti pena. Ia pun langsung menancapkan pena tersebut pada lengan Danish. Tak berapa lama reaksi aneh Danish mereda. Napasnya mulai normal. Ia sudah sadar, tetapi masih terlihat lemas.
“Ya Tuhan, Danish!” Agatha histeris saat mengetahui Danish baik-baik saja. Ia memeluk erat gadis itu.
Semua pengunjung dan pelayan yang ada di sana langsung bernapas lega. Mereka langsung kembali ke aktivitas masing-masing. Namun, wanita tadi masih berada di sana.
“Dia akan baik-baik saja, tapi kalau Anda masih khawatir, silakan bawa ke rumah sakit.”
Agatha bersyukur wanita itu ada di sana dan langsung tanggap. Tangannya terulur untuk menyalami wanita itu.
“Saya sangat berhutang budi pada Anda. Terima kasih.”
“Sama-sama. Maaf, seharusnya kami tidak menyajikan yang seperti ini jika tahu kalau anak Anda alergi kacang.”
“Saya juga tidak tahu kalau dia punya alergi seperti ini.”
Mata wanita itu menyipit, “Aneh juga kalau ibunya tidak tahu kalau alergi anaknya. Apa ini baru kali pertama?”
“Ahh… itu…” Agatha terlihat bingung ingin menjelaskan bagaimana, “Kami bisa tunggu di sini dulu sampai papanya datang?”
“Oh ya, silakan. Kalian bisa pakai ruangan staf untuk beristirahat. Saya khawatir dia terkontaminasi dengan kacang lagi kalau di sini.”
Agatha menyetujui gagasannya. Wanita itu meminta seorang pelayan pria untuk membantu menggendong Danish ke ruangan staf.
ooOoo
Hamish secepat kilat melesat dari kantornya setelah menerima kabar dari Agatha. Ia bahkan mengabaikan ajakan makan malam dari kliennya, meski ia tahu kalau makan malam itu bisa membuat proyeknya berjalan lancar. Prioritasnya kini hanya tertuju pada Danish.
Sapaan hangat para pelayan seolah terabaikan. Ia langsung bertanya mengenaik keadaan Danish. Seorang pelayan berusaha menenangkan Hamish seraya mengantarkannya ke ruangan staf. Ia kembali panik begitu melihat Danish yang sedang berbaring di sofa.
“Danish, ini Papa, Sayang. Kamu baik-baik aja’kan?” ia memeluk putrinya dengan erat dan gadis itu hanya membalas dengan tepukan lemah di punggungnya.
“Maaf, Sayang. Aku gak tahu kalau dia alergi kacang, tapi dia—”
“Kamu gimana sih, Tha? Bukannya aku sudah pernah bilang kalau dia ada alergi. Apa kamu lupa?” sergah Hamish seraya menggendong Danish, “Kita ke rumah sakit sekarang.”
“Oh, apa Anda papanya gadis ini?”
Amarah Hamish tertahan saat mendengar suara yang menginterupsi itu. Ia terpana dengan kehadiran wanita itu. Agatha pun segera mencairkan suasana dengan menjelaskan siapa wanita itu.
“Dia yang menolong Danish tadi. Tadi Danish dikasih pen allergic sama Mbaknya.”
“Putri Anda akan baik-baik saja. Pen allergic-nya sudah bekerja,” ia mengulurkan tangannya, “Saya—”
“Nadira…”
Wanita itu tersentak. Ia menatap bingung pria tersebut, “Bagaimana Anda tahu nama saya?”
Hamish menurunkan Danish dari gendongannya. Ia mencengkram lembut bahu wanita itu seraya tersenyum girang.
“Aku teman lama kamu. Hamish.”
Hanya butuh beberapa detik sampai wanita itu menyadari siapa yang ada di hadapannya. Berikutnya ia bersorak senang.
“Ya ampun, Hamish!” Nadira melepaskan cengkraman Hamish dan sebagai gantinya menggenggam erat tangan pria itu, “Ini beneran kamu?”
“Ada berapa Hamish yang kamu kenal sih? Hei, apa kabar? Lama gak ketemu.”
Nadira tertawa riang, “Yah, baik. Sibuk tentunya mengurus kafe ini,” ia buru-buru melepaskan genggamannya begitu sadar ada wanita lain di sana, “Oh jadi ini istrimu? Aku Nadira, maaf gak memperkenalkan dari awal.”
Suasana kembali canggung saat Agatha hendak berjabat tangan. Untungnya Hamish langsung menjelaskan, “Ah, dia calonku. Namanya Agatha.”
Tampaknya Nadira tak begitu tertarik statusnya. Mereka berjabat tangan seringan sebelumnya.
“So, this is your princess?” tatapan Nadira beralih pada Danish, “Ya Tuhan, dia cantik sekali dan sangat beruntung tidak mirip dengan papanya.”
“Sialan,” maki Hamish, “Oh iya, tadi katanya kamu yang menolong Danish?”
Nadira mengangguk, “Kebetulan kami menyiapkan pen allergic. Aku sangat kenal dengan gejala alergi kacang. Jadi, langsung aja aku kasih. She will fine, tapi kalau masih ragu bisa bawa ke rumah sakit.”
“Yah, biasanya dia bawa sendiri. Mungkin ketinggalan,” Hamish mendesah seraya menatap Nadira, “Aku benar-benar berterima kasih dan bersyukur yang menolong itu kamu.”
“Biasa aja kali. Semua pengunjung akan dapat perlakuan sama. Aku senang bisa menolong kalian,” ujar Nadira, “Kita mau ngobrol dulu di luar? Cappuccino di sini gak ada duanya deh.”
“Mungkin lain kali aja, Nad. Danish harus istirahat.”
“Oke deh, aku ngerti,” Nadira tersenyum lebar pada Danish, “Cepat sembuh ya, cantik.”
Setelah saling mengucapkan perpisahan, Nadira mengantarkan mereka ke luar. Mendadak langkah Agatha terhenti seraya mengeluarkan kartu kreditnya. Melihat gelagat wanita itu, Nadira buru-buru menahannya.
“Terima kasih,” Agatha menyimpan kartu kreditnya, “Mbak benar-benar baik.”
“Gak apa, aku traktir kalian, tapi lain kali harus bayar kontan.” Ujar Nadira seraya tertawa.
Mobil Agatha melesat lebih dulu. Sementara Hamish masih ingin mengucapkan perpisahan di sana.
“Entah harus berapa kali aku harus mengucapkan terima kasih.”
“Sekali cukup kok. Kamu berlebihan deh.”
Hamish mengeluarkan ponselnya, “Minta nomormu. Supaya aku bisa traktir kamu kapan-kapan.”
“Aku ingat itu,” ujar Nadira seraya memasukkan nomornya.
“Oke deh, Nad. Sampai jumpa.”
Hamish memutuskan sambungan telepon lalu melemparkan ponselnya ke kasur. Ia sudah lelah mendengar permintaan maaf Agatha yang bertele-tele. Wanita itu memang tak sepenuhnya salah. Hanya saja jika mengingat bagaimana kepanikan yang melanda ketika mendengar Danish dalam bahaya, Hamish belum bisa memaafkan wanita itu sepenuhnya.
Kucuran air hangat dari shower membasahi kepalanya. Di saat ia hendak meredakan emosinya, sosok Nadira perlahan memenuhi pikirannya. Dia memang terlihat agak kalem, bahkan penampilannya 180 derajat berbeda. Meski begitu sorot mata dan caranya tertawa masih sama seperti yang dulu.
Bibir Hamish melengkungkan senyum. Ia teringat masa-masa sekolahnya. Bahkan ia masih berhutang budi pada catatan ekonomi gadis itu. Kalau bukan karena Nadira memberikan catatan ekonominya, mungkin Hamish tak akan pernah mendapatkan juara 1 umum untuk jurusan IPS. Mungkin juga Hamish tak akan mendapatkan beasiswa ke Amerika, jika ia tak belajar dari buku catatan itu.
Hamish cukup menyesali keputusan gadis itu untuk masuk jurusan IPA. Karena saat itu Nadira bercita-cita ingin menjadi seorang perawat. Sejak berbeda jurusan keduanya jarang bertemu. Selain karena jarak kelas yang cukup jauh, kesibukan pribadi juga menjadi alasannya. Kemudian setelah tamat SMA, keduanya seperti putus kontak. Meski media sosial sudah membumi, tetapi mereka jarang bertegur sapa. Hamish tidak ingat apakah gadis itu datang ke acara pernikahannya. Rasa-rasanya ia tak lupa memberikan undangan.
Rintikan air shower berhenti. Hamish sudah selesai mandi dan bersiap tidur. Namun, pikirannya masih bergelanyut pada Nadira. Bagaimana tidak, setelah sekian lama dan akhirnya dipertemukan, hutang budi itu justru kembali bertambah. Bagaimana mungkin hubungan mereka selalu terikat pada hutang budi.
“Nadira sudah menikah belum, ya?” gumam Hamish sambil melipat tangan di bawah kepala. “Kok gak pernah kedengaran kabar.”
Malam semakin larut. Hamish memutuskan untuk berhenti memikirkan sahabat lamanya. Meski begitu, ia sudah berencana memberikan kejutan.
ooOoo
Kejutan itu berbalik padanya.
Hamish mendatangi kafe milik Nadira sepulang kerja. Anehnya, pintu kafe itu tertutup rapat. Tak ada tanda-tanda ada orang bekerja di sana. Padahal ia datang di jam yang sama seperti ia datang pertama. Hamish berusaha meyakinkan dirinya bahwa pertemuan itu bukan mimpi.
Hampir satu jam ia menunggu di sana dan benar-benar tak ada orang yang ke sana. Berulang kali ia berusaha untuk menghubungi sahabatnya, tetapi jemarinya selalu tertahan. Ada kecanggungan untuk memulai percakapan dengan menanyakan perihal kafenya.
Tak ada pilihan, ia terpaksa memutar balik mobilnya. Tahu begini lebih baik ia menunggui putrinya di tempat kursus. Rasa kesal yang menyelimutinya perlahan sirna ketika senyuman Danish menyapanya. Putrinya sangat girang begitu melihat sang ayah menjemputnya tepat waktu.
“Pa, kita ke kafe yang waktu itu, yuk.”
“Maksud kamu ke kafe yang sama Tante Agatha?” Hamish menangkap anggukan antusias dari putrinya, “Tadi papa lewat sana, tapi tutup, sayang.”
“Yah, kok tutup? Memangnya mereka lupa buka?”
Hamish tertawa kecil, “Papa juga gak tahu.”
“Padahal aku pengen banget ke sana.”
“Oh ya?” Hamish melirik putrinya, “Kenapa memang?”
“Makanannya enak, terus tante itu juga baiiik bangeeet.”
“Tante Agatha juga baik kok,” Hamish berpromosi. Ia tahu putrinya kurang dekat dengan sang kekasih. Danish memang tak pernah mengeluhkan sesuatu. Hanya saja, gadis kecil itu tidak pernah bermanja-manja dengan Agatha.
“Gak tau deh, tapi aku pengen ketemu tante itu lagi. Eh, siapa namanya, Pa? Dia teman Papa, ya?”
“Namanya Nadira dan ya, dia teman papa waktu SMA.”
Danish mengangguk antusias. Hamish hanya bisa menghela napas. Seandainya Danish segirang itu untuk bertemu Agatha, tentu Hamish lebih senang lagi.
ooOoo
“Ini laporan yang Bapak minta.”
Vira, sang sekretaris, memberikan sebuah USB pada Hamish. Ia mengangguk dan sekretarisnya minta undur diri.
“Vir, sebentar,” suara Hamish membuat wanita itu kembali ke posisinya semula, “Kamu tahu Granny Café?”
“Oh, kafe yang oldskul itu ya, Pak? Iya, tahu kok. Hari Minggu tadi saya diajak teman-teman nongkrong di sana,” ujar Vira, “Kafe itu emang terkenal banget di medsos. Recommended banget kalau Bapak mau ke sana.”
“Saya sudah ke sana, tapi kok tutup.”
Vira menatap bosnya bingung. Beberapa saat kemudian ia menyadari sesuatu, “Bapak datangnya di hari Rabu, ya?”
“Kok kamu tahu?”
Tawa Vira pecah, “Kafe itu selalu tutup di hari Rabu, Pak. Mungkin hari libur mereka. Makanya kalau lupa suka zonk pas datang di hari Rabu.”
Satu misteri terpecahkan. Ada perasaan lega mengalir di dadanya.
“Thank’s infonya, Vir. Kamu bisa kembali bekerja.”
Seluruh sendi-sendi Hamish terasa rileks. Ternyata pertemuannya dengan Nadira memang bukan mimpi. Sekarang ia tahu kapan harus bertemu wanita itu untuk mengenang kisah klasik mereka.
Ah, jangan lupakan permintan Danish.
Danish tergesa-gesa turun dari mobil. Ia menarik-narik sang ayah yang masih sibuk dengan ponselnya. Semalam ayahnya memberitahu bahwa hari liburnya akan dihabiskan di tempat Nadira. Danish sangat gembira. Bahkan ia merengek-rengek pada pengasuhnya untuk memilihkan pakaian terbaik.
Kali ini Hamish tak salah pilih hari. Pintu mahoni berlonceng itu siap menyambut siapa pun. Meski dari luar terlihat banyak pengunjung, tetapi itu lebih baik daripada harus berhadapan dengan pintu besi yang seolah memenjarakan tempat itu. Ada seorang pegawai sedang sibuk membersihkan kaca depan. Hamish tak terlalu memedulikan sampai pegawai itu memanggilnya.
“Hamish?”
Bukan seorang pegawai, ternyata itu Nadira sendiri. Wanita itu terlihat santai dengan kaus putih, celana biru selutut, dan sneakers. Rambutnya tergulung serampangan. Tak lupa alat pembersih jendela di kedua tanganya. Hamish sedikit tercengang dengan penampilan Nadira yang begitu berbeda dengan kemarin.
“Aku kira kamu pelayan.”
“Mana ada pelayan pakai celana pendek,” tawa Nadira pecah lalu tatapan beralih pada Danish, “Hei, cantik, sudah sehat?”
Danish mengangguk cepat.
“Yuk, masuk. Masa kita ngobrol di tempat panas-panas gini.”
Nadira meletakkan peralatan kebersihan selagi Hamish memilih tempat duduk. Ia sendiri yang langsung membawakan buku menu untuk kedua tamu itu.
“Wah, aku jadi gak enak ditraktir terus.”
“Dih, siapa bilang? Bisa bangkrut aku,” tawa Nadira pecah, “Tapi untuk si cantik ini boleh deh.”
“Bagus deh, soalnya dia bilang kangen sama kamu. Dari kemarin merengek-rengek ke sini.”
“Masa? Kalau gitu sini peluk tante dulu.”
Danish menatap ragu pada ayahnya. Wajah gadis kecil itu langsung gembira ketika Hamish mengangguk. Ia berlari menuju Nadira dan mendekapnya erat.
“Ayo bilang makasih sama tante sudah ditolongin kemarin.”
“Makasih ya, Tante. Sudah ngobatin aku kemarin.”
“Sama-sama, cantiiik,” Nadira tak dapat menahan rasa gemasnya pada gadis kecil itu, “Uwuu, anak kamu lucu banget sih.”
“Kayak bapaknya-lah.”
Nadira memberikan ekspresi seperti mau muntah. Mereka pun memesan makanan dan percakapan kembali berlanjut.
“Aku gak nyangka bakalan ketemu kamu di sini,” ujar Hamish.
“Banget. Aku kira kamu masih di luar negeri.”
Hamish tersenyum. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan, “Gak nyangka kamu bisa jadi owner kafe.”
“Ah, ini juga baru dua tahun kok. Sebenarnya ini rumah makan punya om-ku, tapi karena kurang laris, aku rombak jadi kafe kekinian. Butuh setahun untuk ubah semua itu, malah kredit sama om-ku masih berjalan sampai sekarang.”
“Aku pikir kita bakalan ketemu di rumah sakit. Bukannya dulu kamu bilang mau jadi perawat.”
Tawa Nadira kembali membahana, “Ihh, bahas-bahas masa lalu pula. Malu jadinya. Aku tuh gak lulus ujian masuk sekolah keperawatan. Terus banting stir ke mana-mana deh.”
“Tapi kamu kuliah dulu atau langsung kerja waktu itu?”
“Ya, kuliah dulu,” Nadira seperti tak mau membahas masa itu. Topik pun langsung beralih, “Terus kamu sekarang kerja dimana?”
“Di perusahaan tekstil, Tanaka Co.”
Nadira bersiul, “Aku dengar perusahaan Jepang itu keren banget. Hmm, biar kutebak, kamu pasti seorang direktur?.”
“Sayang, ramalanmu untuk nanti. Kalau sekarang posisiku masih seorang wakil direktur,” Hamish terkekeh melihat ekspresi takjub Nadira. Ia tak mau membahas lebih dalam soal pekerjaannya dan mulai mengalihkan pembicaraan, “Ngomong-ngomong, kok kamu bisa sedia pen allergic sih?”
“Aku punya keponakan dan dia juga punya alergi yang sama. Jadi, setiap dia main ke sini, suka gak sengaja makan menu yang ada kacangnya. Padahal sudah diawasi, tapi selalu aja kecolongan. Makanya aku selalu siapin itu, soalnya dia suka mendadak datang.”
Hamish mengangguk. Ada sebuah pertanyaan yang menggantung dalam pikirannya. Ia ragu untuk bertanya, tetapi rasa penasarannya sangat besar.
“Kamu sudah menikah, Nad?”
“Belum. Juga bukan janda jika itu yang kamu pikirkan,” Nadira menjawab tenang, tetapi reaksi berbeda justru ditunjukkan oleh Hamish.
“Masa sih? Kok bisa?”
Bahu Nadira terangkat, “Karena jodoh di tangan Tuhan, Ham,” ujarnya sembari tertawa.
Bibir Hamish terkatup rapat. Sejujurnya ia masih ingin bertanya, tetapi ia yakin itu akan merusak pertemuan ini. Mungkin ia butuh momen yang intens supaya Nadira bisa memberikan jawaban pasti.
Di sela-sela perbincangan mereka, ada sebuah adegan yang menarik perhatian Hamish. Yaitu ketika Nadira mengelap mulut Danish yang kotor akibat es krim. Ia melakukannya sangat alami, seperti memperlakukan anak sendiri. Danish pun merasa sangat nyaman dan akrab dengan wanita itu. Sesuatu yang tidak pernah terjadi jika Danish bersama Agatha.
Pertemuan itu berlangsung tak terlalu lama. Ketika matahari mulai menuju ke barat, Hamish mengajak Danish untuk berpamitan.
“Tante, kalau aku datang lagi ke sini boleh gak?”
Nadira berjongkok seraya mengacak pucuk rambut gadis itu, “Tiap hari ke sini juga boleh kok.”
Danish bersorak riang. Kali ini ia tak hanya memeluk, ia spontan langsung mencium pipi Nadira. Wanita itu kaget. Namun, ia sangat suka.
“Lama-lama aku culik anak kamu,” ujar Nadira sambil melambaikan tangan ketika Danish masuk ke mobil.
“Otak kamu masih kriminal aja,” Hamish terkekeh, “Eh, kita bisa ketemuan lagi gak? Kali ini tanpa Danish?”
“Duuh, pacarmu gak bakal marah tuh?”
“Gak kok,” ujar Hamish, “Dinner ya? Hari Rabu kamu kosong’kan?”
“Kok tahu?”
“Aku pernah ke sini hari Rabu dan ternyata sepi.”
Nadira tertawa terbahak-bahak. Tawanya masih membahana bahkan ketika mobil Hamish sudah melaju pergi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!