Naura Larasati, gadis cantik berusia 17 yg tinggal di Desa terpencil dengan perekonimian yang sulit, akhirnya berhasil mendapat beasiswa di sekolah elite bertaraf internasional di Jakarta. Ia sangat bahagia sekali, tak sabar ingin segera menyampaikan kabar gembira ini pada sang ibu.
"Ibu, aku ada kejutan untuk ibu!" Seru gadis tersebut, ia baru saja pulang dari sekolah dan langsung mencari keberadaan sang ibu.
"Kejutan apa Nau, kok kayaknya kamu gembira seķali?" Tanya ibunya yang sedang membuat krupuk nasi.
"Ini buk," Naura memberikan secarik ketas dari pihak sekolah pada ibunya untuk di baca.
"Kamu bacakan Nau, ibu kan tidak bisa baca tulis, ibu ini orang bodoh, tidak berpendidikan karna dari kecil dulu nggak pernah merasakan yang namanya sekolah."
Naura mengambil napas dalam-dalam, menenangkan hatinya yang berdebar kencang. Dengan suara yang bergetar karena terlalu bahagia, ia membacakan isi surat tersebut.
"Ibu, ini adalah surat penerimaan beasiswa dari sekolah internasional yang aku ajukan beberapa waktu lalu. Aku di terima, Bu!" Mata Naura bersinar-sinar menatap ibunya yang terlihat bingung namun penuh harap. Ibu Naura, meski tidak mengerti huruf, bisa merasakan kegembiraan yang meluap dari suara putrinya.
"Benarkah itu, Nau? Kamu akan sekolah di tempat yang bagus?" tanyanya, suaranya serak karena terharu.
Naura mengangguk semangat, tangannya gemetar memegang surat itu. Di tengah kesederhanaan rumah mereka yang hanya berdindingkan bambu dan berlantai tanah, Naura memeluk ibunya erat-erat. Air mata kebahagiaan mengalir di pipi keduanya. Ibu Naura mengusap air mata dengan ujung hijabnya,
"Terima kasih Tuhan, telah memberikan kesempatan untuk anakku." Ucap sang ibu penuh rasa syukur.
Namun, kebahagiaan itu juga menyisakan kekhawatiran di hati Naura. "Tapi Bu, aku harus tinggal di kota Jakarta. Itu sangat jauh dari sini," ungkap Naura dengan nada sedikit gugup.
Ibu Naura menghela napas, memandang Naura dengan tatapan yang penuh dukungan. "Ini untuk masa depanmu, Nau. Ibu akan selalu mendukung kamu, jangan khawatir tentang ibu. Ibu akan baik-baik saja di sini." ujar ibu tak ingin putrinya mengkhawatirkannya, demi melihat putri semata wayangnya hidup sukses kelak, ibu harus rela menanggung resikonya jauh dari Naura.
Naura mengangguk, menghapus air matanya. "Ibu, aku berjanji akan belajar dengan baik. Aku akan membuat Ibu bangga," ucapnya, suaranya penuh tekad. Ibu Naura hanya mengangguk, matanya berkaca-kaca menahan air mata. Di hati kecilnya, ia berdoa semoga keputusan ini akan membawa kebaikan untuk masa depan Naura, gadis kecilnya yang kini telah tumbuh menjadi gadis remaja yang penuh mimpi.
*****
Naura Larasati hanya hidup berdua dengan ibunya, ayahnya sudah lama meninggal semenjak Naura berusia dua tahun. Mereka tinggal di kaki gunung Merapi, pekerjaan ibunya membuat krupuk nasi untuk di jual ke pengepul, kadang juga bekerja sebagai buruh tani jika musim tanam dan musim panen.
"Bu, aku berangkat ke kota dulu ya bu? Ibu baik-baik di rumah ya, jaga kesehatan." pamit Naura yang hendak berangkat.
"Iya Nau, kamu nggak perlu mengkhawatirkan keadaan ibu, ibu tinggal di kampung yang penduduknya baik-baik semua. Justru ibu khawatir dengan kamu yang akan tinggal di kota." Ujar ibu pada putrinya.
Hari ini Naura akan berangkat ke kota untuk melanjutkan pendidikanya, ia di antar oleh perwakilan dari pihak sekolah sebelumnya. Naura mengangkat ranselnya yang sudah di penuhi dengan pakaian dan keperluan lainnya. Ibunya tersenyum sambil mengusap-usap kepala Naura dengan penuh kasih sayang. "Jaga diri baik-baik di kota, Nau. Jangan lupa kasih kabar ke Ibu ya." Naura mengangguk, matanya berkaca-kaca karena harus berpisah dengan ibunya.
"Ibu juga harus jaga diri di sini. Aku janji, akan belajar dengan baik agar bisa menjadi orang sukses kelak, bisa membahagiakan ibu dan memberi kehidupan yang lebih layak untuk ibu." Ucap Naura dengan sungguh-sungguh, ia ingin mengangkat derajat kehidupanya dan membawa sang ibu untuk hidup lebih layak dari yang sekarang.
Sang ibu mengangguk, "Ibu akan baik-baik saja, Nak. Ibu sudah biasa hidup di sini. Semoga di kota kamu bisa mendapatkan pendidikan yang lebih baik dan mengubah nasib kita." Dengan perasaan berat, Naura memeluk ibunya erat-erat sebelum mereka benar-benar berpisah. Udara segar dari kaki gunung Merapi memberikan kesan melankolis pada perpisahan mereka. Setelah itu, Naura berjalan menuju stasiun bus yang akan membawanya ke ibu kota, meninggalkan ibunya yang masih berdiri di depan rumah, melambaikan tangan sambil menitikkan air mata.
Keberangkatan Naura ke kota tidak sendiri, ia di antar dan di biayai pihak sekolah sampai ke Jakarta. Setelah mulai sekolah di sana, barulah Nora menanggung biaya hidupnya sendiri.
Saat ini Naura berada di dalam bus, ini pertama kalinya bagi Naura keluar dari Desanya dan pertama kalinya ia naik kendaraan umum.
"Aduh pusing banget sih kepalaku, mual juga rasanya." Keluh Naura yang ternyata mengalami mabuk kendaraan.
Melihat wajah Naura berubah pucat dan berkeringat, guru yang mengantar Noura ke sekolah barunya pun bertanya. "Ada apa Naura? Kok kamu kelihatan kaya gelisah begitu?"
"Kepala saya pusing sekali bu, perut saya juga merasa mual!" jawab Naura dengan siara lirih.
Guru itu langsung memberi Naura plastik untuk menampung muntahnya. "Kamu mabuk kendaraan Naura, ini plastik untuk nampung muntah kamu kalau udah nggak tahan."
Naura menerima plastik pemberian dari gurunya, "terimakasih bu, bu..., kapan kita sampainya ya, masih jauh tidak bu? Saya sudah nggak tahan naik bus, buat kepala saya pusing dan mual." keluhnya.
"Sabar Naura, perjalanan kita masih jauh! Lebih baik kamu bawa tidur aja biar nggak pusing," ujar bu guru menyarankan.
Naura memejamkan matanya, berusaha keras mengatasi gelombang mual yang terus menerus menghantui perutnya. Wajahnya pucat pasi, bibirnya bergetar tipis saat menahan rasa ingin muntah. Dengan lemah, dia memegang kursi di depannya, mencoba mencari sedikit kenyamanan dalam guncangan yang tak henti-hentinya dari bus yang melaju kencang.
Sang guru yang duduk di sampingnya, Ibu Sari, memperhatikan dengan ekspresi khawatir. "Naura, coba tarik napas dalam-dalam, dan keluarkan perlahan," saran Ibu Sari sambil menepuk-nepuk punggung Naura perlahan.
Naura tak bisa menahan mual di perutnya lagi, gadis tersebut mengambil plastik dan akhirnya muntah. setelah muntah, Naura merasa lebih baik dari sebelumnya.
"Ini minum air putih dulu Nau, setelah itu kamu langsung bawa istirahat saja supaya tidak terasa nanti, tau-tau kita sudah sampai di tujuan."
"Iya bu, makasih ya bu, air mineralnya." Ucap Nora pada gurunya. ibu Sari pun mengangguk.
Setelah minum air yang di beri bu Sari, Naura langsung menyenderkan kepalanya pada sandaran kursi dan menutup matanya, berharap setelah bangun dari tidurnya, mereka sudah sampai di tujuan.
tak hanya Naura, bu Sari dan para penumpang yang lain pun memilih untuk tidur, berharap mereka segera sampai di Kota tujuan.
Setelah perjalanan panjang yang memakan waktu hampir tujuh jam, Naura merasa tubuhnya terkuras, apa lagi gadis tersebut mengalami mabuk saat di perjalanan. Namun, semangatnya segera membara saat dia membuka matanya dan melihat pemandangan yang tak pernah di bayangkannya sebelumnya. Gadis itu terbelalak, matanya membulat saat menatap gedung-gedung pencakar langit yang menjulang tinggi melalui jendela bus yang mereka tumpangi.
"Wah, ini toh yang namanya ibu kota Jakarta," seru Naura dengan wajah yang berbinar. Cahaya kota yang berkelip-kelip menambah kilau di matanya yang penuh kekaguman.
Di sampingnya, ada Bu Sari yang telah lama mengajar di sekolah lamanya tempat Naura belajar sebelumnya, tersenyum melihat antusiasme muridnya yang berprestasi itu. Ia memahami betul bahwa ini adalah langkah besar bagi Naura untuk meraih mimpi-mimpinya lewat jalan prestasi, sehingga ia mendapat kesempatan untuk sekolah di salah satu SMA yang bertaraf internasional.
"Iya, Nau, nanti kalau kamu sudah sekolah dan tinggal di ibu kota, kamu harus pandai memilih pergaulan, nggak boleh sembarangan," ucap Bu Sari, memperingati Naura dengan suaranya lembut namun serius. "Jakarta ini sangat berbeda dengan kehidupan di desa. Di kota ini, kehidupannya sangat keras dan bebas." Nasihat itu ia sampaikan sambil menatap lurus ke depan, mengingat kembali perjuangannya sendiri ketika pertama kali pindah ke kota untuk melanjutkan pendidikanya, sama seperti Naura saat ini yang sedang dia antar ke sekolah barunya.
Naura mengangguk, matanya masih tak lepas dari pemandangan kota yang kini semakin dekat. Di dalam hatinya, ada kegembiraan yang bercampur dengan kecemasan. Namun, lebih dari itu, ada tekad yang menguat untuk menghadapi tantangan baru yang akan dia temui kedepanya. Seraya bus melaju membelah keramaian kota Jakarta, Naura memantapkan hatinya, siap untuk memulai babak baru dalam hidupnya, dengan semua peluang dan tantangan yang akan datang.
Bus yang di tumpangi Naura dan Bu Sari akhirnya berhenti di terminal terakhir. Keduanya segera turun dari bus dan melanjutkan perjalanan mereka menuju sekolah baru Naura dengan menggunakan taksi online atau kendaraan umum lainya. Naura, seorang gadis desa yang masih sangat lugu dan polos, belum banyak tahu tentang keramaian kota, ia tampak bingung dan cemas. Ia mengamati sekeliling dengan tatapan penuh tanya.
"Kita udah sampai ya bu? Terus mana sekolah baru saya bu?" tanya Naura dengan rasa ingin tahu yang besar. Dia celingukan, mencoba mencari petunjuk atau bangunan yang mirip dengan sekolah.
Bu Sari, yang lebih berpengalaman dan paham situasi, menenangkan Naura dengan sabar. "Kita baru sampai di terminal pemberhentian terakhir bus Nau, untuk ke sekolah kamu kita harus cari angkutan umum yang lain," jelas Bu Sari sambil memeriksa ponselnya untuk mencari informasi tentang transportasi lanjutan.
Naura hanya mengangguk, menerima penjelasan Bu Sari. Meski dia tidak mengerti sepenuhnya, dia tahu bahwa dia harus mengandalkan Bu Sari dalam situasi ini. Kepolosan dan ketidaktahuannya tentang kota besar membuat dia merasa sangat bergantung pada Bu Sari dalam menavigasi lingkungan yang baru dan asing ini.
"Kita tunggu di sini ya Nau, ibu udah pesan taksi online yang akan mengantarkan kita ke tempat tujuan," seru bu Sari memberitahu Naura. Gadis cantik dan nanis itu pun mengangguk setuju.
Matahari sudah tenggelam dan berganti menjadi malam, saat taksi online yang di pesan Bu Sari datang. "Ayo Nau, itu taksinya sudah datang," ajak Bu Sari dengan semangat. Naura, dengan langkah gontai, mengikuti ibu gurunya memasuki taksi sambil membawa beberapa tas yang tampak berat.
Sepanjang perjalanan, Naura menatap keluar jendela, melihat pemandangan kota yang baru akan menjadi rumahnya, rasa cemas dan penasaran bercampur menjadi satu. Di sisi lain, Bu Sari sibuk memeriksa peta digital di ponselnya, memastikan mereka tidak melewati jalan yang salah menuju hotel tempat mereka akan menginap malam ini.
Setibanya di hotel, proses check-in berlangsung cepat. Kamar yang mereka tempati cukup nyaman dengan dua tempat tidur single yang tertata rapi. Naura menaruh tasnya di atas salah satu tempat tidur dan segera terduduk, menghela napas panjang. Bu Sari yang melihat kelelahan di wajah anak didiknya itu, menghampiri dan duduk di sisi tempat tidur. "Besok adalah hari baru, Nau. Hari pertama kamu di sekolah baru. Istirahat yang cukup ya, dan persiapkan diri kamu." Ujar Bu Sari sambil mengelus rambut Naura dengan penuh kasih.
"Iya bu, insya Allah saya sudah mempersiapkan semuanya kok." Jawan Naura penuh keyakinan. Bu Sari mengangguk, dia senang melihat semangat Naura.
Malam itu, keduanya tertidur dengan pikiran masing-masing, memikirkan hari esok yang akan membawa perubahan besar dalam kehidupan Naura.
Sinar mentari pagi yang cerah menembus jendela kamar hotel yang di tempati Naura dan bu Sari, membangunkan gadis itu dari tidur lelapnya. Dengan penuh semangat, ia segera beranjak dari tempat tidurnya untuk mandi dan setelah itu mengenakan seragam SMA lamanya yang agak besar di tubuhnya, menandakan perubahan lingkungan yang akan ia hadapi. Rambutnya diikat dua, gaya yang selama ini menjadi ciri khasnya saat masih tinggal di desa.
"Udah siap semua Nau?" tanya Bu Sari, guru yang di tugaskan untuk mengantar Naura kesekolah barunya, setelah mempersiapkan berkas dan semua persyaratan, mereka lanjut sarapan di dalam kamar hotel. Naura, yang sedang mengemas tas sekolahnya, mengangguk dengan antusias.
"Sudah Bu, semua persyaratannya sudah saya siapkan," jawab Naura, mengecek kembali dokumen-dokumen penting yang mungkin di butuhkan untuk hari pertama di sekolah baru.
Setelah sarapan, mereka berdua bergegas menuju SMA High Class School, sebuah institusi pendidikan yang jauh berbeda dari sekolah sebelumnya di desa. Gedung sekolah yang megah dan fasilitas yang modern langsung terlihat begitu mereka memasuki gerbang sekolah.
Naura merasa gugup namun juga terpukau. Ia memandangi siswa-siswa lain yang tampak modis dengan seragam rapi dan gaya yang trendi. Sejenak, Naura merasa tidak percaya bahwa ia kini adalah bagian dari sekolah elit ini.
Bu Sari merasakan kegugupan yang sama, tetapi ia berusaha menenangkan Naura dengan senyuman hangat. "Kamu akan baik-baik saja, Nau di sekolah baru. Ini adalah awal yang baru, dan kamu bisa menunjukkan semua prestasimu hingga kamu memang layak berada di sekolah ini," ujar Bu Sari, memberikan dukungan pada murid didiknya yang berprestasi hingga mendapat beasiswa di sekolah baru ini.
Dengan langkah yang sedikit ragu tapi penuh harapan, Naura dan Bu Sari melangkah masuk ke dalam lingkungan sekolah, siap menghadapi segala tantangan dan kesempatan yang akan datang.
Mata para siswa memandang sinis dan rendah kearah keduanya, menembus ruang hati Naura dan Bu Sari saat mereka berdua melangkah masuk ke lingkungan sekolah elite tersebut. Suara cibiran dan ejekan terdengar menggema di koridor sekolah, membuat langkah kaki mereka seakan berat.
"Ih, gembel dari mana itu berani masuk ke sekolah ini," celetuk seorang siswa dengan nada mengejek sambil menunjuk ke arah penampilan Bu Sari dan Naura yang di anggap lusuh dan tidak pantas berada di tempat ini.
"Tukang sapu sekolah yang baru kali," timpal siswa lain, menyebabkan gelak tawa menguar di antara kelompok siswa yang sedang berkerumun.
Wajah Naura seketika langsung memerah, perasaannya terluka mendengar kata-kata kasar tersebut. Bu Sari, sebaliknya, mencoba untuk tetap tenang, meski hatinya terasa tidak nyaman. Dia menggenggam tangan Naura, memberikan dukungan tanpa kata pada siswanya itu.
Saat mereka berdua memasuki ruang kepala sekolah, suasana menjadi hening. Mereka berdua duduk di kursi yang sudah di sediakan, sambil memberikan berkas-berkas yang di perlukan untuk persyaratan sebagai murid beasiswa. Kepala sekolah yang melihat situasi ini hanya mengangguk seraya memeriksa dokumen dengan ekspresi yang tidak bisa dibaca.
Di luar ruangan, ejekan dan pandangan sinis masih terasa, namun Naura dan Bu Sari bertekad untuk mengabaikan semua itu. Mereka berdua tahu, kesempatan ini adalah langkah awal untuk merubah masa depan Naura, dan tidak ada kata menyerah dalam kamus hidup mereka.
Pagi ini, langit terlihat cerah namun hati Naura terasa mendung. Ia berdiri di depan gerbang besar SMA High Class School, sekolah yang kini akan menjadi bagian dari kehidupannya. Sebuah sekolah bertaraf internasional yang sangat jauh dari kampung halamannya, sebuah tempat di mana ia harus belajar mandiri.
"Alhamdulillah, semua berjalan dengan lancar, Nau. Tugas ibu mengantar kamu ke sekolah baru ini sudah selesai, ibu akan segera kembali ke desa, malanjutkan tugas ibu," ujar Bu Sari dengan senyum yang mencoba menyembunyikan kekhawatirannya.
Saat mendengar itu, wajah Naura langsung berubah murung. Bibirnya bergetar, matanya pun mulai berkaca-kaca. "Ya bu, kenapa cepat sekali ibu harus kembali ke desa? Saya masih belum berani tinggal sendiri di ibu kota ini, Bu."
Bu Sari menghela napasnya, matanya juga mulai berkaca-kaca. Ia mendekat dan memeluk Naura erat. "Kamu harus berani, Nau! Ibu tau kamu gadis mandiri yang kuat, nanti sebelum ibu kembali ke Desa. Kita akan mencari tempat kost untuk kamu tinggal selama sekolah di sini. Ibu percaya kamu bisa," bisiknya, mencoba memberikan kekuatan kepada muridnya yang masih terlihat ragu.
Hari ini Naura masih boleh pulang, dia akan memulai sekolah aktif besok. Mereka berdua melangkah menjelajahi kota untuk mencari tempat kost yang murah, aman dan nyaman, dan pastinya dekat dari sekolah. Selama perjalanan, Naura sesekali melihat ke belakang, melihat sosok ibu gurunya yang akan semakin jarang ia temui. Di dalam hati kecilnya, ada ketakutan yang menggelayut tentang bagaimana harus menjalani hari-hari di kota besar ini tanpa pelukan hangat ibunya.
Setelah menemukan tempat kost yang cocok, Bu Sari mengatur segala keperluan Naura dengan teliti. Ia ingin memastikan bahwa segala sesuatu berada dalam kondisi yang baik sebelum ia meninggalkan Naura sendirian di kota ini.
Dan pada saat tiba saatnya untuk berpisah, Naura memeluk ibu gurunya lebih erat dari sebelumnya. "Ibu guru, jaga diri baik-baik di perjalanan, ya? Terimakasih untuk semuanya, tolong ucapkan terimakasih saya juga pada guru yang lain serta semua teman-teman." Ucap Naura dengan suara yang bergetar.
"Iya Nau, nanti ibu sampaikan ya? Kamu juga jaga diri baik-baik, ingat pesan ibu ya Nau, jaga pergaulan. Jangan lupa belajar yang rajin dan jaga kesehatan kamu," balas Bu Sari. Lalu, dengan langkah gontai dan hati yang berat, Bu Sari berbalik meninggalkan Naura yang kini harus memulai lembaran baru dalam hidupnya, seorang diri di kota yang asing.
Setelah kepulangan bu Sari ke Desa, kini Naura sedang menyusun barang-barangnya di kost barunya. Naura membuka kotak terakhir yang di bawanya dari Desa. mengeluarkan beberapa buku dan perlengkapan sekolah. Dengan hati-hati, ia menyusunnya di rak buku yang sudah agak berdebu. Gadis itu segera mengelap debu dengan kain lap sebelum meletakkan buku-bukunya.
Kamar kost yang kini ia tempati cukup kecil, namun cukup untuk seorang pelajar seperti dirinya. Dindingnya yang di penuhi poster artis dan kpop memberikan sedikit warna pada ruangan itu.
Naura menghela napas, memandang sekeliling kamar barunya, berharap akan banyak kenangan indah yang bisa di buat di sini. Dia mengeluarkan foto ibunya dari dalam tasnya, meletakkan dengan hati-hati di meja belajarnya. "Untuk ibu, aku akan belajar dengan giat, aku akan menjadi kebanggaan ibu," gumamnya, seakan foto itu bisa mendengarnya berbicara.
Dia duduk sejenak di tepi tempat tidurnya, menatap keluar jendela ke arah kota yang baru akan ia jelajahi. Naura tahu tantangan menunggunya, namun dia juga tahu harapan ibunya mengiringi setiap langkahnya.
“Semoga aku bisa menemukan teman-teman baru dan lingkungan yang mendukung,” pikirnya, sebelum akhirnya memutuskan untuk beristirahat, mengumpulkan energi untuk hari esok, hari pertama di sekolah sebagai siswa baru.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!