Hari masih begitu pagi, bahkan matahari belum keluar sepenuhnya dari persembunyian. Namun hal itu tidak menjadi pengecualian untuk terjadinya keributan di sebuah rumah yang semua penghuninya sedang sibuk dengan urusan masing-masing.
"Bunda, dasinya Rafka yang warna biru dongker dimana ya?" Keributan itu bermula dari salah seorang anggota keluarga paling muda karena ia tidak berhasil menemukan dasinya.
"Kamu ini nyarinya pake mata atau pake mulut sih, dek?" Karena lumayan kesal setelah mendengar suara sang adik yang begitu keras, membuat si sulung lantas turun tangan dan langsung menghampiri lelaki yang saat ini sedang mondar mandir di ruang tamu sana.
"Ya pake mata lah, Mba. Enggak ada loh, coba mba cari kalau nggak percaya sama Rafka," ujarnya saat mengetahui sang kakaklah yang turun tangan kali ini dan bukan Bundanya.
Dengan wajah yang sudah tertekuk, Rumi berjalan menuju kamar Rafka dan yang ia lakukan selanjutnya adalah membuka lemari adik lelakinya yang luar biasa menyebalkan itu. "Kan udah Mba bilang, kalo nyari sesuatu itu pake mata!" Nah kan ternyata Rumi berhasil menemukan benda yang sejak tadi Rafka cari keberadaannya.
"Udah tua tapi masih aja manggilin Bunda." Dasi itu Rumi lemparkan begitu saja pada Rafka yang sekarang justru sedang memasang tampang bodohnya, itu satu-satunya cara agar tidak dimarahi.
"Makasih ya, Mba sayang." Bukannya senang karena mendapatkan panggilan seperti itu, Rumi malah bergidik lalu memilih untuk segera keluar dari kamar Rafka.
Membantu Rafka mencari dasi sudah Rumi lakukan, sekarang ia bisa kembali mengemas beberapa keperluan sebelum berangkat kerja nantinya. Tidak ada yang boleh tertinggal satupun, karena bagi Rumi semua barang itu penting.
"Mba, adek, ayo turun dulu sini. Sarapannya udah jadi." Suara itu seolah menyuruh pasangan kakak beradik yang masih sibuk di atas sana untuk segera turun ke ruang makan, tempat dimana pasutri paruh baya itu sedang menunggu.
"Owow, nasi goreng seafood kesukaan Rafka." Melihat sepiring nasi goreng yang masih mengeluarkan asap di atas meja sana membuat Rafka dengan cepat langsung mendaratkan bokongnya di kursi.
"Gimana adek? Dasinya nemu dimana tadi itu?" Tadi saat Rafka berteriak, Nirma juga bisa mendengarnya dengan begitu jelas meskipun ia sedang berada di dapur sana.
"Ya di lemarinya lah Bun, tempat biasa bunda susun dasinya dia tuh." Niat hati Rafka ingin menjawabnya dengan wajah polosnya, tapi urung karena Rumi lah yang menjawab pertanyaan sang Bunda terlebih dahulu.
"Belajar cari barang yang bener dulu ya adek, baru nanti boleh nikah." Mendengar topik yang sebenarnya jarang keluarganya bicarakan, membuat Rumi yang semula tengah menikmati sarapannya langsung mendongak saat itu juga.
"Apa-apaan nikah, masih kecil dia tuh Bunda." Rumi ini bagaimana sih? Padahal belum ada satu jam setelah ia mengejek Rafka dengan mengatakan kalau adiknya itu sudah tua, tapi lihat sekarang ini, Rumi malah mengatakan kalau Rafka masih kecil.
"Sembarangan, udah dua lima Mba." Decakan keras tak terelakan sama sekali, ditambah lagi dengan wajah Rumi yang nampak tidak terima.
"Kapan sih bahas-bahas nikah? Kok Rumi nggak diajak juga?" Rafka menolak untuk menjawab, pria muda itu malah melemparkan tatapan pada sang Ibu seolah menyuruh beliau untuk menjawabnya.
"Waktu itu adek nanya apa dia udah boleh menikah atau belum. Pertamanya Bunda juga ngira kalau dia tuh lagi bercanda, eh taunya serius." Tatapan tajam pun bisa Rafka rasakan, siapa lagi yang melakukannya kalau bukan Rumi.
"Tapi Mba tenang aja, aku tuh nggak bakalan ngelangkahin Mba kok." Celetukan itu Rafka sampaikan tanpa mau menoleh barang sebentar saja ke arah sang kakak yang masih menatap lurus ke arahnya.
"Mba coba deh sekali-sekali tanya ke Mas Digo kapan mau nikahin Mba, biar aku juga tau harus nunggu berapa lama lagi." Mari berikan apresiasi kepada Rafka karena ia sudah berani berucap seperti itu.
Kedua orang tua mereka saja tidak berani sama sekali loh untuk menyinggung tentang pernikahan pada Rumi, tapi lihatlah si bungsu yang teramat berani ini.
"Ya, nanti ditanyain kalo inget." Sudah cukup, Rumi juga sudah tidak ingin membahas hal ini sama sekali. Lebih baik sekarang ia menghabiskan sarapannya dahulu lalu berangkat kerja sepertu biasanya.
Rumi juga harus tetap menjaga suasana hatinya agar tetap baik sampai di tempat kerja nanti, mengingat kalau dirinya adalah seorang pengajar di salah satu Taman Kanak-Kanak bertaraf Internasional.
Karena pekerjaannya itulah, Rumi dituntut untuk memiliki penampilan yang cerah, ceria dan juga harus selalu tersenyum. Jangan sampai karena permasalahan ini, Rumi malah menyebarkan energi yang negatif nantinya pada anak didiknya.
"Mba Rumi nanti pulangnya kaya biasa, kan? Enggak ada rencana mau mampir kemana dulu gitu?" Tak langsung menjawab, Rumi justru memilih diam barang sejenak untuk memikirkan apakah ada kegiatan lain selain bekerja yang akan ia lakukan hari ini.
"Iya kaya biasa, nanti Rumi pulangnya jam dua belas, Bunda. Kenapa?" Setelah merasa yakin, barulah Arumi memberikan jawaban yang pasti kepada Nirma.
"Itu, Bunda hari ini ada janjian buat ketemu sama temen lama. Jadi mungkin nanti pas Mba pulang, rumah dalam keadaan kosong. Gapapa kan kalau tinggal sendirian di rumah?" Oh ayolah, bahkan sekarang Rumi sudah berusia dua puluh tujuh tahun. Bisa-bisanya Nirma bertanya seperti itu padanya, menyebalkan sekali.
"Serius Bunda nanya kaya gitu ke Rumi?" Mungkin bagi orang lain yang berada di meja makan sana, pertanyaan yang Rumi lontarkan tadi terdengar begitu sinis.
Bukannya merasa takut atau marah, mereka justru terkekeh dengan begitu puasnya. Apalagi Rafka yang harus sampai minum karena nyaris tersedak makanannya sendiri, karmanya cepat sekali bekerja.
"Nanti Bunda bakalan tetap masak makan siang kok, jadi Mba nggak perlu masak nanti." Puas terkekeh bersama dengan suami beserta si bungsu, Nirma kembali membuka suaranya yang mana tidak lagi disahuti oleh Rumi.
Itu adalah percakapan terakhir yang terdengar di meja makan ini, karena setelahnya mereka semua kompak untuk tutup mulu dan lebih memilih menghabiskan sarapan yang rasanya luar biasa enak ini. Sampai akhirnya piring Rumi sudah bersih.
"Rumi udah selesai. Kalo gitu Rumi berangkat dulu ya Bunda, Ayah." Rasa-rasanya Rafka tidak bisa lagi untuk menelan makanannya dengan benar setelah melihat sang kakak yang tiba-tiba saja berdiri lalu menyalami kedua orang tua mereka secara bergantian.
"Semangat kerjanya, nak." Pasti, Rumi pasti akan melakukan hal itu tanpa mereka pinta terlebih dahulu.
"Oy Mba, tungguin kek. Aku loh belum minum ini." Protes yang berasal dari mulut Rafka itu tidak Rumi gubris sama sekali.
Gadis berambut panjang itu lebih memilih untuk melanjutkan langkah kakinya menuju garasi yang berada tepat di sisi kanan rumah mereka. Anggap saja saat ini Rumi sedang dalam mode balas dendam pada Rafka yang luar biasa menyebalkan itu.
Sebenarnya Rafka tidak perlu buru-buru juga sih, toh mereka akan berangkat bersama hari ini. Sesuai dengan apa yang adiknya itu inginkan semalam, Rafka mengatakan kalau mereka akan berangkat bersama menggunakan mobil karena ia enggan naik motor hari ini.
Bukan, mobil yang akan mereka gunakan nanti bukan milik Rumi. Melainkan milik mereka berdua karena itu adalah hadiah dari sang Ayah, yang mana artinya mereka harus saling berbagi.
"Lama loh, adek. Berangkat sendirilah Mba kalo gitu ceritanya." Kaki panjang Rafka langsung melangkah semakin cepat karena ia betulan takut ditinggal oleh Rumi.
"Aku aja yang bawa mobilnya, Mba duduk yang manis aja nanti." Sepertinya Rafka mulai menyadari kalau suasana hati Rumi belum membaik sama sekali setelah mereka membahas tentang pernikahan tadi. Ya setidaknya tawaran Rafka ini bisa diterima dengan baik oleh Rumi.
Sepanjang perjalanan menuju tempat dimana Rumi bekerja, mobil ini begitu hening karena tidak ada satupun di antara keduanya yang berniat membuka obrolan. Hingga pada akhirnya Rafka menyerah karena ia tidak tahan kalau hanya diam saja seperti patung begini.
"Mba lagi ada masalah ya sama Mas Digo?" Mulut sialan, kenapa Rafka malah mengeluarkan pertanyaan seperti itu sih?
Memang sejak di rumah tadi apalagi setelah mendengar bagaimana ketusnya Rumi ketika menjawab ucapannya yang menyuruh kakaknya itu untuk bertanya dengan sang pacar, Rafka seperti merasa kalau ada sesuatu yang tidak beres antara Rumi dan juga kekasihnya itu.
"Enggak tuh, kita mah baik-baik aja." Bohong sekali, terdengar sangat jelas dari bagaimana Rumi menjawabnya.
Rafka pun tahu kalau kakaknya ini tidak bisa berbohong sama sekali. Itu terlihat dari bagaimana tidak nyamannya Rumi setelah menjawab pertanyaannya. Ia pikir Rafka ini bodoh apa? Hey! Mereka sudah hidup bersama sejak Rafka masih berada di dalam perut Bundanya loh.
"Yakin? Tapi Mba, kok kayanya Mas Digo udah lama banget nggak main ke rumah kaya biasanya? Kayanya udah ada dua bulanan deh, atau lebih?" Dengan ekor matanya, Rafka bisa melihat dengan jelas kalau saat ini Rumi sedang mengerutkan keningnya dan tampak berpikir beberapa saat.
"Yakin lah, Digo itu lagi sibuk banget akhir-akhir ini semenjak dia naik jabatan. Lebih sering lembur juga di kantor karena tugasnya jauh lebih banyak daripada yang sebelumnya." Kali ini Rumi menjawabnya dengan sangat yakin dan tidak menunjukkan kalau dirinya sedang berbohong sama sekali.
"Oh, bagus deh kalo baik-baik aja. Soalnya aku khawatir sedikit sama hubungannya Mba dan Mas Digo. Tapi semoga tetap baik-baik aja deh sampai ke pelaminan nanti." Bingung, Rumi merasa bingung untuk memberikan tanggapan seperti apa.
Namun yang jelas, gadis itu diam-diam mengaminkan apa yang Rafka ucapkan tadi, anggap saja itu doa tulus yang berasal dari mulut adiknya yang menjadi baik hati.
Padahal yang sebenarnya terjadi tidak demikian, hubungannya dengan sang kekasih saat ini sedang tidak baik-baik saja. Apa ya, Digo itu luar biasa sibuk belakangan ini sampai-sampai ia tidak sempat untuk membalas pesan singkat yang selalu Rumi kirimkan setiap harinya.
Kalau ditanya apakah Rumi lelah melakukan hal itu, tentu saja Rumi akan menjawabnya dengan 'Ya', karena memang seperti itulah yang Rumi rasakan. Namun sekali lagi, rasa cinta yang ia miliki jauh lebih besar sehingga ia memilih untuk bertahan sembari berharap kalau hubungannya dengan Digo bisa segera membaik.
"Mau dijemput nggak nanti pulangnya?" Pertanyaan itu Rafka layangkan tepat setelah menghentikan laju mobilnya di depan sebuah gerbang yang menjulang tinggi.
"Kalo jemput masih sempat makan siang nggak adek nanti?" Iya benar, jangan sampai adik satu-satunya yang ia miliki ini malah tidak makan siang hanya karena menjemput dirinya. Jadi, Rumi harus memastikannya terlebih dahulu.
"Masih lah, kantorku kan istirahatnya satu jam." Kepala Rumi hanya mengangguk saja dan Rafka akan menganggap hal itu sebagai sebuah konfirmasi.
"Hati-hati nyetirnya. Terus nanti kalo udah nyampe, jangan lupa chat Mba ya." Sebelum benar-benar turun, Rumi menjulurkan tangannya terlebih dahulu kepada Rafka yang sudah bersiap untuk menyambutnya.
Seperti biasanya, Rafka pasti akan menyalami Rumi sebelum gadis itu memasuki gedung yang tepat berada di hadapan mereka sekarang ini. Kebiasaan yang sudah diajarkan oleh kedua orang tua mereka sejak masih kecil sekali.
"Siap, bos kedua!" Setelahnya Rumi baru benar-benar turun dari sana dengan wajah yang ia buat seramah mungkin yang menandakan kalau ia sudah siap untuk menyambut hari baru dan melakukan pekerjaannya dengan baik.
Kaki jenjangnya mulai melangkah, tidak terlalu pelan maupun cepat. Intinya Rumi berjalan dengan kecepatan yang biasa sembari memberikan sapaan pada beberapa orang penjaga keamanan yang berdiri di dekat pagar sana.
Ah iya, saat ini Rumi sedang bekerja di salah satu Taman Kanak-Kanak bertaraf Internasional yang namanya sudah sangat terkenal dimana-mana. Katanya sih sekolahnya para anak artis, tapi memang seperti itu kenyataannya.
Dulu itu Rumi bekerja di salah satu Bank swasta yang namanya juga sudah sangat besar, namun Rumi memilih untuk berhenti karena merasa terlalu tertekan saat bekerja di sana. Itu juga ia lakukan setelah berdiskusi sebentar dengan sang Ibu.
Tak lama menganggur, Rumi malah melihat adanya lowongan di sekolah yang sedang ia masuki ini. Tanpa berpikir panjang dan banyak pertimbangan, Rumi lantas langsung mengirimkan surat lamarannya ke sana meskipun ia tidak memiliki basic sebagai tenaga pengajar sebelumnya.
Dan di sinilah Rumi berada sekarang, bekerja dengan begitu santai tanpa perlu merasa tertekan pula. Ditambah dengan gaji yang tinggi, siapa yang tidak senang coba? Memang baru dua tahun sih, tapi sejauh ini Rumi sangat menyukainya.
"Pagi, Miss Elia." Sapaan itu Rumi berikan pada salah satu rekan kerjanya yang tengah membereskan meja kerjanya sendiri. Jangan lupa untuk memberikan senyuman terbaik yang Rumi punya.
"Oh? Selamat pagi, Miss Rumi." Saat bekerja di tempatnya yang dulu, Rumi bahkan tidak mendapatkan sapaan secerah ini. Jadi tahu kan kenapa Rumi suka bekerja di sini.
......................
Sesuai dengan apa yang ia katakan pada kedua anaknya saat sarapan tadi, Nirma benar-benar pergi bertemu dengan salah satu kawan lamanya yang sudah lama tak ia lihat kehadirannya.
Nirma tidak pergi seorang diri ke tempat yang sudah ditentukan sebelumnya, karena ada Banyu yang selalu siap sedia akan mengantarkannya kemana pun Nirma ingin pergi.
"Nanti kalau sudah selesai, telepon Ayah ya biar dijemput." Dalam keadaan mobil yang sudah ia parkirkan di lapangan parkir sebuah gedung mall, Banyu memberikan petuah pada wanita yang sudah puluhan tahun menemani dirinya.
"Enggak ah, Bunda pulangnya naik ojek online aja nanti." Ekspresi wajah Banyu langsung berubah dalam hitungan detik karena mendapatkan tolakan mentah-mentah dari sang istri.
"Orang tuh malah suka dijemput sama suaminya loh, sayangku. Kok Bunda malah maunya naik ojek kaya gitu? Enggak boleh ya, biar Ayah jemput nanti. Pulangnya sama Ayah saja." Nirma nyaris lupa kalau suaminya ini termasuk orang yang keras kepala.
"Yaudah deh, nanti Bunda kabarin kalau udah pulang." Daripada mendebat, Nirma lebih memilih untuk mengalah saja. Karena ia pun tahu kalau tidak akan ada habisnya kalau terus menolak, jadi ini adalah pilihan yang baik.
"Ayah hati-hati di jalan ya, Bunda pergi dulu." Satu kecupan Banyu daratkan di dahi Nirma sebelum wanita itu benar-benar meninggalkan kursi penumpang di sebelahnya.
Ia belum berniat untuk pergi sebelum melihat istrinya memasuki sebuah pintu yang memang disediakan di sana untuk memasuki gedung mall tersebut. Apalagi area parkiran ini begitu sepi, jadi Banyu memilih untuk tetap berada di sana selama beberapa saat.
Nirma sendiri kini tengah menunggu lift sembari mengecek ponselnya untuk mencari tahu apakah temannya juga sudah tiba di sana atau belum. Tapi nihil, ia tidak mendapatkan satu pesan pun.
Hari ini kedua wanita dewasa itu sudah membuat janji temu di salah satu restoran sushi yang memang sudah sangat terkenal di berbagai kalangan. Itu juga setelah mereka berdiskusi cukup panjang melalui telepon genggam.
"Udah nyampe belum ya?" Sebenarnya Nirma sedikit khawatir, karena ia tiba di sana melebihi jam yang sudah ditentukan. Hanya terlambat lima menit saja sih, tapi tetap saja Nirma merasa tidak enak karena harus membuat temannya menunggu seorang diri.
Benar dugaan Nirma sebelumnya, teman yang sudah membuat janji dengannya ternyata sudah duduk manis di salah satu kursi yang berada tidak terlalu jauh dari pintu masuk. Melihat itu tentu saja membuat Nirma jadi tidak enak hati karena dirinya sudah terlambat.
"Maaf ya Lis, aku telat datangnya." Wanita lainnya yang diketahui sebagai temannya Nirma itu lantas bangkit untuk menyambut kedatangan orang yang sejak tadi memang sedang ia tunggu kehadirannya.
"Ya ampun, kok kayanya kamu makin cantik aja Nir? Apa kabar nih Bu juragan?" Alih-alih merasa kesal karena Nirma terlambat, wanita bernama Lisa itu justru mengajak temannya itu untuk bergurau bersama. Inilah yang ingin mereka lakukan makanya memutuskan untuk bertemu.
"Oh iya dong jelas, soalnya pemasukan lancar terus sih." Bahkan Nirma yang tadinya merasa tidak enak hati pun jadi melupakan perasaannya itu. Toh Lisa juga tidak keberetan sama sekali.
"Kamu gimana kabarnya? Susah banget loh dihubungin mentang-mentang istrinya pengusaha." Sekali lagi, dua wanita dewasa itu tergelak secara bersamaan. Tapi tenang saja, mereka tidak sampai mengganggu orang sekitar kok.
"Selalu baik aku mah, cuma ya gitu lagi sibuk bolak balik Indonesia-New York." Oh, ini informasi baru yang Nirma ketahui yang mana membuat wanita itu jadi penasaran.
"Suamimu buka cabang sampai ke sana?" Sebelum menjawab pertanyaan tadi, Lisa mempersilakan seorang pelayan yang baru saja datang untuk menyajikan makanan yang memang sudah ia pesan sebelum Nirma tiba.
"Bukan, itu loh Nir anak lanangku kan tinggal di sana." Setelah semua makanan tertata rapi di meja, barulah Lisa kembali membuka suaranya. Ternyata jawabannya kali ini berhasil membuat Nirma sedikit kebingungan.
Mungkin di dalam kepala sahabatnya itu sesang bertanya-tanya, sejak kapan putranya Lisa tinggal di sana. Padahal sebelumnya Lisa juga sudah pernah menceritakannya.
"Kamu pasti lupa kan? Anakku udah tinggal lama di New York, sejak anaknya umur satu tahun lah." Ah, sekarang Nirma baru bisa mengingatnya. Kepalanya ia anggukan dengan semangat sebagai pertanda kalau dirinya sudah ingat.
Mari Nirma beritahukan tentang satu hal. Sahabatnya hanya memiliki satu orang anak yang malah lebih memilih untuk tinggal di negara orang sana. Lebih tepatnya keputusan itu ia ambil karena ada suatu alasan yang tidak Nirma ketahui apa.
Sekarang ini Lisa sudah menjadi seorang cucu, karena itulah ia lebih sering berpergian ke luar negeri hanya demi bisa memeluk sang cucu secara langsung. Ya meskipun agak repot sedikit, tapi tak apalah.
"Jadi kamu setiap bulan harus ke sana?" Obrolan kali ini jadi lebih santai karena mereka melakukannya sembari mulai menyuapi potongan sushi ke dalam mulut.
"Enggak setiap bulan juga, palingan tiga bulan sekali? Atau pas jadwalnya suamiku kosong." Membayangkannya saja sudah membuat Nirma lelah sendiri, bagaimana lagi kalau hal itu terjadi pada dirinya.
"Tapi setelah ini aku nggak bakalan ke sana lagi." Gerakan tangan Nirma yang baru saja akan mengambil potongan ikan mentah itu langsung berhenti begitu saja.
"Dilarang anakmu ya?" Hanya itu prasangka yang Nirma miliki saat ini karena dulu pun sahabatnya ini pernah dilarang untuk datang ke sana.
"Enggak, anakku mau balik ke Indo." Ini sedikit mengejutkan, sampai-sampai membuat kedua netra Nirma membola dengan sempurna.
"Itu juga karena dipaksa sama suamiku. Dia kan harus ngegantiin posisi papanya di perusahaan, dulu juga janji begitu sebelum pindah ke sana." Begitu rupanya. Pasti suaminya Lisa harus berupaya dengan keras agar putra semata wayang mereka mau kembali ke tanah air.
"Istrinya bakalan ikut pindah atau tetap tinggal di sana?" Sekarang giliran Lisa yang menghentikan kegiatan makannya. Kedua alis wanita itu pun saling bertautan saat pertanyaan tersebut Nirma sampaikan.
"Istri apanya? Dia tuh malah nggak mau nikah lagi, Nir. Katanya mau fokus kerja sama ngerawat cucuku aja." Kalau begitu, informasi yang pernah ia dapatkan dari teman lainnya salah besar.
Waktu itu ada yang mengatakan kalau putranya Lisa sudah menikah lagi dengan warga negara sana dan itu pula yang membuatnya semakin enggan untuk kembali ke Indonesia. Tapi setelah mendengar yang sebenarnya, Nirma jadi merasa kesal sendiri pada orang yang sudah menyebarkan gosip itu.
"Oh iya, anak kamu gimana? Udah ada hilal bakal ngadain hajatan nggak?" Kalau tadi Lisa saja yang berkeluh kesah, sekarang giliran Nirma yang sepertinya juga akan menyampaikan kekhawatirannya.
"Belum, kalau kata anakku sih tunggu aja sampai cowonya ngelamar. Sebenarnya buat aku sendiri enggak masalah kalau dia mau nikah umur berapapun, tapi kasihan juga dianya nanti. Pasti dapat omongan enggak enak dari orang-orang." Kalau Lisa hanya memiliki satu orang anak yang bisa ia bagikan kisahnya, maka Nirma memiliki dua orang anak. Namun kali ini ia lebih memilih untuk membahas tentang Rumi saja.
"Punya pacar toh? Kukira nggak punya." Memang sih Nirma tidak terlalu menggembar gembor kan pada orang-orang tentang anaknya, termasuk pada Lisa yang padahal sudah menjabat sebagai sahabat.
"Coba aja nggak punya, udah aku jodohin sama anak lanangku." Rasanya Nirma tidak bisa untuk tidak terkejut saat mendengar ucapan Lisa yang barusan itu. Bagaimana bisa seseorang seperti Lisa malah memikirkan tentang perjodohan?
"Kalau misalnya amit-amit nih ya, anakmu nanti akhirnya enggak baik sama pacarnya. Nikahin aja sama anak aku ya, Nir." Wah, nampaknya pembicaraan mereka semakin kemana-mana. Nirma pun tidak berani untuk memberikan jawaban atas permintaan sahabatnya itu.
......................
Jarum jam dinding sudah menunjukkan pukul dua belas tepat, dan Rumi baru saja selesai mengemasi barang bawaannya ke dalam tas. Gadis itu juga kembali memastikan kalau tidak ada yang tertinggal di meja kerjanya.
"Kok belum pulang, Rum?" Kepalanya lantas menoleh saat ada suara lainnya yang barusan saja memenuhi ruangan para guru yang sudah sepi ini.
"Ini aku mau pulang kok, duluan ya Miss Sarah." Rumi tidak lupa melambaikan tangannya pada salah satu rekan kerjanya itu karena dirinya pun sudah ditunggu oleh Rafka di depan sana.
Sesuai dengan permintaan Rumi pagi tadi, Rafka benar-benar mengirimkan pesan padanya sebelum ia berkemas dan keluar dari gedung ini. Mungkin setelah ini Rumi akan mentraktir si bungsu nanti.
"Loh? Kok udah beli makanan aja, dek?" Mulanya Rumi nampak kebingungan kala indera penciumannya menangkap aroma sedap sata membuka pintu bagian penumpang, dan ternyata aroma itu berasal dari sebuah plastik yang entah kenapa Rafka letakkan di dashboard begitu saja.
"Sekalian tadi tuh, jadi kan nanti begitu nyampe di kantor tinggal makan aja." Kalau begini gagal dong rencana Rumi yang ingin mentraktir.
"Padahal Mba mau beliin makanan loh tadi, kalah cepet deh." Ini bukan termasuk ke dalam keluhan sih sebenarnya karena Rumi pun menyampaikan dengan nada yang tidak serius sama sekali.
"Mba masakin aja lah nanti di rumah, masakannya Mba kan lebih enak daripada makanan yang ada di luaran." Dasar lelaki bermulut manis. Kalau sudah memuji seperti ini, pasti permintaannya akan ada banyak sekali.
"Ya, atur ajalah sesuka kamu." Sekarang Rumi sudah tidak berniat untuk meladeni sikap menyebalkan Rafka, gadis itu lebih memilih sibuk dengan ponselnya sendiri.
Lagi dan lagi, yang ia lakukan hanyalah membuka ruang obrolan antara dirinya dan juga Digo. Rumi sengajak membukanya karena ingin mengetahui apakah kekasihnya itu sudah membalas pesannya atau belum.
Tapi nihil, tak ada satu balasan pun yang Rumi terima. Bahkan pesannya dari dua hari yang lalu pun tak berbalas sama sekali. Jika sudah seperti ini, Rumi jadi bertanya-tanya sendiri. Sebenarnya sesibuk apa Digo itu sampai tidak bisa meluangkan waktu barang tiga menit saja untuk membalas pesan darinya.
"Mba, mixue kuy?" Rumi memang tidak mengatakan apapun, tapi Rafka bisa mengetahui dengan sangat jelas kalau saat ini suasana hati kakaknya ini sedang tidak baik.
Jalan satu-satunya yang bisa ia tempuh adalah menawarkan kudapan manis, karena hanya itu yang berhasil membuat suasana hati Rumi kembali seperti semula.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!