Mira membuka matanya yang terasa berat.
"Nyonya! Nyonya sudah sadar?"
Nyonya? Nyonya siapa?
Pandangan Mira masih samar-samar. Dari pembaringan, ia hanya melihat bayang-bayang seorang wanita yang menyebut-nyebut 'Nyonya' itu. Namun ia cukup yakin wanita itu bukan Asih, ibu mertuanya, ataupun Dian, adik iparnya.
"Istriku sudah sadar?"
"Sepertinya sudah, Tuan. Tapi belum sepenuhnya--"
"Cepat panggil dokter."
"Baik, Tuan."
"Sayang, are you okay? Aku khawatir banget denger kamu tenggelam tadi."
Mira hanya mengangguk pelan dari atas bantal. Pandangannya mulai terlihat lebih jelas, meski ia merasa sedikit pusing. Perlahan matanya terbuka, sedikit lebar, semakin lebar, dan...
Melotot!
"S-siapa kamu?!"
Refleks Mira melompat dari tempat tidur dan mengambil jarak dengan seorang pria yang tampannya seperti aktor Turki itu.
"Sayang-"
Bukannya kaget dengan reaksi Mira, pria itu memasang wajah cemas sembari menempelkan telapak tangannya pada kening Mira.
"Kamu gak ngenalin aku?"
Mira menggeleng dengan ekspresi kebingungan. Emang harus banget aku ngenalin dia, gitu?
"Aku Ben, suami yang paling kamu cintai."
"S-suami?!"
Mira meninggikan suaranya karena kaget.
"Kita tunggu sampai dokter dateng biar kamu diperiksa ya."
"Maaf Pak, saya bukan wanita gampangan. Saya wanita baik-baik, dan sudah bersuami. Meski gak seganteng anda, tapi ehm maksud saya, kemungkinan Bapak salah mengenali saya. Saya--"
"Mira, kan?"
"Iya, benar saya Mira. Tapi--"
Mira tak lagi melanjutkan kalimatnya, saat tanpa sengaja melihat pantulan diri dari kaca rumah sakit yang menghadap keluar itu.
"Ada cermin?"
Tak sabaran dengan Ben yang merespon lambat, Mira mencabut paksa infus yang menempel di tangannya. Wanita itu segera berlari ke arah toilet, lalu mematung di depan cermin. Napasnya semakin memburu.
"Sayang, kamu gak boleh nyopot infusnya gitu aja, kalau kamu kenapa-kenapa gimana?"
Ben segera membuntuti Mira yang seperti sedang kerasukan itu.
Mira menoleh lemas ke arah Ben.
"Kamu bilang saya siapa tadi?"
"Mira?"
"Mira siapa?! Tolong jelaskan sejelas-jelasnya sekarang juga!" Mira tak kuasa menahan emosi.
"Oke, tenang, Sayang. Kamu adalah Mira Mahalia Bratadikara. Istri tercinta Bennu Bratadikara, sekaligus dikenal khalayak sebagai menantu kesayangan Bratadikara Grup."
T-tunggu... Bratadikara Grup? Jaringan perusahaan multinasional terbesar di negara ini, yang biasa aku tonton di TV itu? Bagaimana bisa, aku Mira Dania berubah menjadi Mira Mahalia Bratadikara? Fix, ini pasti mimpi.
"Sayang!"
Ben panik melihat istrinya terjatuh dan kembali tak sadarkan diri. Bersamaan dengan itu, penjaga tadi akhirnya muncul bersama dokter.
***
Mira mengerjapkan kedua matanya, sebelum ia benar-benar terjaga.
Bagaimanapun juga, ia baru saja mengalami mimpi yang sangat tidak masuk akal. Mimpi yang membuatnya merasa geli sendiri.
Benar, selama ini Mira hidup susah. Mira selalu berkhayal tiba-tiba ada keajaiban yang membuatnya menjadi kaya raya. Tapi bukan mimpi jadi anggota keluarga Grup Bratadikara juga dong!
Sedikit Berlebihan.
Namanya juga mimpi--
"Akhirnya kamu sadar juga, Mira Mahalia Bratadikara."
Aku gak salah denger? Kenapa aku masih dipanggil dengan nama itu?!
Mira buru-buru bangun, melihat pantulan dirinya dari dinding kaca besar di ruangan VVIP rumah sakit itu. Ia lantas memukuli kedua pipinya berkali-kali. Lantas mengaduh sendiri karena kesakitan.
Astaga! Ini benar-benar gila, sakitnya beneran kerasa. Jadi ini aku gak lagi mimpi?
"Mama tahu kondisimu sekarang sedang tidak stabil, Mira. Tapi kamu gak boleh menyakiti diri sendiri seperti itu."
Mama? Mama siapa, dia? Mamanya Mira atau mama mertuanya? Atau mama angkat, mama tiri, mamamia? Mama siapa woi!
"Ingat, kamu bukan lagi Mira si gadis manja. Kamu adalah Mira sang menantu kesayangan Grup Bratadikara, wanita yang paling bikin iri seluruh wanita di Indonesia."
"M-mama... "
"Ya, Anakku. Kamu butuh sesuatu?"
"Anda... mama saya?"
Wanita tua itu tampak mengarahkan pandangan ke pintu ruangan. Lantas ia mendekat dan berbisik...
"Kamu beneran amnesia? Ini bukan strategi supaya Ben gak marah sama kamu lagi?"
Meski tak mengerti maksudnya, Mira menggeleng perlahan.
Wanita itu menghela napas sebelum memeluk Mira. Dibelainya kepala Mira lembut, "Mama harap ingatanmu bisa segera kembali, Mira."
Mira menelan ludah. Sebagai anak piatu sejak kecil, sudah lama sekali tidak merasakan dekapan seorang ibu. Rupanya terasa sangat hangat.
Sepertinya, menjadi seorang Mira Mahalia Bratadikara sama sekali bukan ide buruk.
Ia bisa segera menyesuaikan diri. Sehingga si ibu rumah tangga yang kere ini, bertransformasi menjadi sang nyonya sosialita, seutuhnya.
***
Haloooo
Salam kenal semuanya❤
Btw, ini adalah karya pertama saya di NovelToon. Tema yang diangkat juga pertama kali di luar tema yang biasa saya tulis.
Jadi saya harap kalian suka. Suka makan, suka beberes, dan suka dengan cerita saya ini.
Berhubung saya orangnya moody-an banget, saya harap cerita ini bisa saya tulis sampe selesai. Makanya kalian jangan lupa komen, biar saya semangat terus nulisnya. Haha, pemaksaan🤣
Yodah deh, sampai jumpa di bab selanjutnya. Bhay❤
"Nyonya sudah siap?"
Ida tidak mendapat jawaban sama sekali. Dilihatnya nyonya besar yang sudah ia layani lima tahun belakangan ini.
Setelah kejadian tempo hari, Mira terlihat sangat berubah. Bukan hanya ingatan yang hilang, gerak geriknya juga sangat berbeda dari sebelumnya, seperti orang lain.
Untuk kesekian kali, Ida melihat nyonya besarnya itu termenung seperti memikirkan sesuatu.
"Nyonya? Nyonya Mira?"
Begitu namanya disebut, Mira tersentak. Tampaknya, ia belum terbiasa dengan sebutan 'Nyonya' itu.
"Ah iya. Ayo kita pulang, Mbak Ida."
"Sudah berapa kali saya bilang, panggil saya Ida saja, Nyonya. Gak pake 'Mbak'."
"Ya masa saya manggil Mas. Mas Ida? Kan gak lucu."
"Ah Nyonya bisa aja."
Ida mengangkat semua barang Mira, lalu keduanya menuju pintu keluar rumah sakit Global Internasional.
Gila. Jadi selama beberapa hari ini aku dirawat di rumah sakit yang terkenal paling mahal seantero negeri? Ruang VVIP pula. Mending duitnya buat buka warung seblak prasmanan, daripada cuma buat rebahan di rumah sakit. Huh.
"Silahkan, Nyonya."
Mira sempat terdiam saat seorang pria berkemeja putih dan jas hitam itu membukakan pintu mobil untuknya. Namun tak lama ia mengulas senyum sambil menunduk memberi salam hormat, sebelum masuk ke dalam mobil.
"Makasih ya."
Pengawal itu memberi ekspresi aneh melihat sikap Mira, sambil menatap Ida. Namun Ida hanya menggeleng saja.
Audi putih keluaran terbaru itu pun melaju dengan kecepatan rata-rata, hingga tiba di sebuah kawasan elit bertuliskan Graha Agung Paripurna.
Gerbang besar berwarna hitam itu terbuka dengan otomatis, seolah menyambut kedatangannya.
Hamparan hijau berbunga segera terpampang nyata di hadapan Mira. Di beberapa sudutnya, berdiri patung-patung khas kerajaan Yunani.
Mobil itu terus melaju hingga berhenti di depan rumah mewah bergaya Eropa Klasik. Di depannya, terdapat air mancur yang sedang menyala.
Mira turun saat penjaga yang berdiri di depan rumah itu membukakan pintu mobil. Sejak masuk kawasan rumah ini, sepertinya Mira sulit mengatupkan bibirnya.
Yakin ini rumah? Bukan gedung aula pernikahan?
Jika tidak dituntun Ida, mungkin Mira hanya terpaku di tempat. Siapa sangka, Mira semakin takjub saat melihat isi di dalam rumah itu.
"Selamat atas kesembuhannya, Nyonya. Selamat datang kembali ke rumah."
Segerombolan wanita dengan seragam asisten rumah tangga yang biasa Mira lihat di film-film itu, tengah menyambutnya dengan senyum sumringah.
Mira mengulas senyum sambil mengangguk sopan.
"Kita langsung ke kamar Nyonya saja ya," Ida memecah suasana kikuk yang baru saja tercipta karena sikap Mira yang sangat sopan itu.
Mira hanya mengangguk menuruti Ida.
Mereka memasuki lift, dan Ida menekan angka 3.
Begitu pintu kamar dibuka, lagi-lagi Mira melongo dibuatnya. Kamar tidurnya itu bergaya elegan minimalis dengan banyak ornamen kayu. Saking luasnya kamar itu, rasa-rasanya Mira ingin bermain futsal di dalamnya.
Wanita itu lantas membuka pintu kamar mandi, dan...
Wow, kamar mandi di sini bahkan lebih luas dibanding rumah kontrakanku yang cuma tiga petak itu.
"Kata dokter, Nyonya masih harus banyak istirahat. Jadi saya tinggal dulu, biar Nyonya bisa tidur. Kalau butuh saya, Nyonya bisa pencet bel itu."
Mira hanya menjawab singkat.
Kini fokusnya sedang tertuju pada ruangan wardrobe yang terletak di dekat kamar mandi itu. Sepertinya ia tak perlu belanja lagi di mall, karena semuanya sudah tersedia di dalam sini. Baju-baju, tas, sepatu, aksesoris...
Mira membuka satu demi satu lemari kaca yang memajang barang pribadinya itu. Sampai matanya tak sengaja menangkap sesuatu.
Ditariknya secarik kertas kecil yang terjepit diantara daun lemari dengan deretan arloji itu.
Jaga baik-baik atau kamu akan mati.
Deg.
Kenapa Mira harus membaca kalimat mengerikan di hari pertamanya datang ke rumah ini?
Pintu kamar diketuk sebentar sebelum seseorang membukanya dari luar.
"Kudengar kamu hilang ingatan. Apa itu benar, Mira?"
Seorang wanita tua berambut putih sebahu itu, tiba-tiba muncul dengan gayanya yang agak mengintimidasi.
"B-Benar."
Wanita itu lantas menunjukkan ekspresi semacam bahagia atau lega? Entahlah.
Ia lantas mendekat dan sedikit menarik tubuh kurus Mira ke dalam dekapannya. "Oohh, malang sekali nasibmu, Mira," katanya sambil tersenyum.
"Maaf, anda--"
"Aku Melinda, ibunya Ben. Selama ini kita dikenal sebagai mertua dan menantu yang sangat dekat. Sayang sekali bila kamu tidak mengingatku, Mira. Tapi tidak masalah, aku akan menuntunmu, agar kamu tahu betapa dekatnya hubungan kita."
"Baik, Ma."
"Just call me Ibu Direktur seperti biasa, Mira."
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!