Di sebuah rumah sakit besar, terjadi ketegangan ketika salah satu pasien yang sudah berumur mengalami kejang-kejang. Seorang suster nampak begitu panik, dia keluar dari ruang rawat dan berlari menuju salah satu ruangan dokter.
"Dokter! Pasien mengalami kejang-kejang, cepat lakukan tindakan," ucap Suster.
"Baiklah, siapkan alat-alatnya," jawab Dokter Ayuna dengan berjalan cepat menuju ruang ICU.
Seorang wanita tua yang mengidap penyakit jantung koroner, kini telah menjalani tranpalasi untuk menggantikan jantung yang rusak dengan jantung sehat dari pendonor.
Setelah mendapatkan penanganan, akhirnya jantung pasien berdetak normal kembali.
"Syukurlah, akhirnya, ibu ini masih bisa diselamatkan, denyut nadinya masih sangat lemah, dia masih dalam kondisi kritis. Usahakan sering-sering dicek ya Sus, kalau begitu saya akan kembali keruangan saya, kalau ada sesuatu yang buruk, tolong segera hubungi saya," peringat dokter Ayuna.
Ayuna keluar dari dalam ruangan ICU kembali ke ruang kerjanya. Jadwalnya memang sudah habis, namun melihat kondisi pasiennya yang belum membaik, dia tidak bisa meninggalkannya begitu saja.
Rasa capek dan kantuk mulai menyerangnya, dia mencoba untuk menguatkan dirinya dengan memesan mocacino kesukaannya.
"Huft, semoga saja ibu itu segera membaik. Keluarganya juga belum terlihat datang, apa aku harus menunggunya sampai pagi, rasanya tidak mungkin," gumam Ayuna dengan melepaskan baju putih yang menjadi kebanggaannya.
Ayuna gadis muda dengan usianya yang menginjak 23 tahun, kini sukses menjadi dokter spesialis jantung.
Semenjak dirinya masih kecil, Ayuna selalu belajar untuk memeriksa orang-orang di sekitarnya dengan menggunakan stetoskop kebanggaannya.
Derttt... Derttt....
Terdengar suara panggilan masuk di ponselnya yang dia taruh di atas meja.
Ayuna mengambil dan langsung mengangkatnya, "Hallo, apa yang sudah terjadi suster?" tanya Ayuna.
"Dokter, pasien sudah melewati masa kritis, dia sudah sadar. Dokter silahkan cek ke sini," pinta Suster.
"Baiklah, saya akan segera ke sana," jawab Ayuna.
Ayuna mengambil kembali baju dinasnya dan memakainya, setelah itu keluar ruangannya menuju ruang operasi.
"Suster, bagaimana dengan kondisi pasien sekarang? Apa ada banyak perubahan?" tanya Ayuna.
"Iya dok, tapi sekarang pasien tertidur, karena sempat meminta air, dan saya tidak memberinya," ucap Suster.
"Bagus. Jangan berikan minum terlebih dulu, nanti saja setelah beberapa jam. Oh! Ya, bagaimana dengan keluarga pasien? Apa nggak ada yang menemaninya di sini?" tanya Ayuna.
"Tadi ada kedua orang tua paruh baya, namun mereka menyelesaikan biaya Administrasi, dan setelah itu, saya nggak tahu dokter," ucap Suster.
Ayuna pun mengeceknya, keadaannya juga mulai stabil, dia sangat bersyukur karena bisa menyelamatkan nyawa pasien dalam keadaan yang cukup parah.
"Suster, nanti lakukan pengecekan secara berkala. Saya mau pulang, karena jadwal saya sudah habis. Pastikan, nanti kalau pasien sudah bangun, berikan minum, dan juga makan seperti biasanya."
Ayuna memberi penjelasan pada Suster, setelah itu dia langsung keluar dari ruangan tersebut.
Seorang paruh baya telah menunggu di depan ruang ICU, keduanya saling pandang dengan mukanya yang panik.
"Dokter, bagaimana dengan keadaan Ibu saya?" tanya laki-laki paruh baya dengan mendekat pada Ayuna.
"Anda keluarga pasien Nyonya Ane?" tanya Ayuna.
"Iya Suster, saya anaknya," jawab seorang paruh baya itu dengan menganggukkan kepalanya.
Ayuna mengangguk hormat pada kedua paruh baya tersebut dengan melepas senyumnya.
"Begini ibu, kondisi nyonya Ane sekarang Alhamdulillah sudah membaik, beliau sudah melewati masa kritisnya. Tapi maaf, belum bisa dijenguk, nanti akan ada jadwalnya untuk menjenguknya," tutur Ayuna.
"Oh! Begitu ya dokter, terimakasih banyak ya dok," ucap paruh baya itu.
"Iya, Ibu, kalau begitu mari, saya duluan," pamit Ayuna sembari tersenyum sopan pada paruh baya itu.
"Iya dok," jawab paruh baya tersebut dengan mengangguk sopan.
Ayuna langsung meninggalkan mereka berdua menuju ke tempat parkiran mobil.
Ayuna yang tidak suka mendapatkan pujian atas apa yang diraihnya sebagai dokter, diapun melepaskan baju kebanggaannya di dalam mobil dan memilih untuk memakai celana jeans dengan kaos.
"Hidup emang ribet ya, pingin jadi dokter udah keturutan, udah jadi dokter banyak yang caci, dibilang sombong. Yang ini, yang itu, huft, jadi ribet," gerutu Ayuna.
Ayuna memundurkan mobilnya, dirasa aman tempat parkirnya, ternyata tanpa diketahuinya, ada sebuah mobil melintas di belakangnya secara tiba-tiba.
Brak!!!
Suara cukup kencang menggema di telinganya.
"Astaga! Apa yang sudah terjadi, suara apa tadi?"
Ayuna mematikan kembali mesin mobilnya.
Tak berapa lama pintu mobilnya diketuk seseorang dari luar.
"Keluar!" sentak seseorang dengan memekik keras dari arah luar.
Ayuna melotot dengan menatap ke arah luar jendela mobilnya.
"Hah! Siapa dia?"
"Ayo cepat keluar," sentaknya lagi.
"I-iya aku keluar, sabar napa sih," gerutu Ayuna dengan segera membuka pintu mobilnya.
Mendapati pemuda tampan dengan tubuh atletik dan wajah tegasnya, membuat dia tercengang.
Bak dewa Yunani pemuda itu hampir mirip mendekati kata sempurna.
"Wah! Tampan banget," pujinya dalam hati.
Pemuda itu menatapnya geram, seperti ingin menerkamnya saja mendapati gadis yang keluar dari dalam mobil tersebut.
"Kenapa?" kenapa kau melihatku seperti itu?" tanya pemuda itu dengan muka ketusnya.
Lamunan Ayuna sirna ketika mendapati pemuda itu dengan sifat kakunya.
"Ah! Enggak! Biasa aja kok," jawab Ayuna.
"Dengar, apa kau tadi nggak melihat ada mobil melintas di belakang sini. Kau dengan sengaja memundurkan mobilmu wanita bodoh!" sentak Pemuda itu.
Ayuna yang mendapatkan teguran, diapun memelototkan boleh matanya kesal.
"Apa kau bilang? Aku wanita bodoh? Hey! Memangnya apa yang sudah kulakukan hah! Merugikan apamu?"
Ayuna juga tersulut emosi saat dirinya dikatakan seperti gadis bodoh oleh orang asing yang tidak pernah dikenalinya.
"Kau ingin tahu apa kesalahanmu, lihatlah baik-baik, body mobilku ringsek gara-gara ulahmu, apa matamu nggak melihat kalau ada mobil melintas di sini, kalau mau mundur, lihat-lihat dulu, kali aja bisa nabrak orang. Dan sekarang mobilku yang menjadi korban," cecar lelaki itu dengan menatapnya geram.
Ayuna melotot menatap body mobil pemuda itu telah ringsek ditabraknya. Tapi dia memang tidak sengaja.
'Oh! Jadi yang suara keras tadi mobilku nabrak mobil orang lain. Tapi ngapain dia lewat sini. Ini kan kawasan tempat parkir dokter, kenapa dia mau parkir di sini, enak aja. Berarti ini bukan murni kesalahanku,' gumamnya membatin.
"Aku nggak mau tahu, sekarang kamu harus bertanggung jawab. Jangan coba-coba buat kabur. Ini mobil masih baru, jadi jangan kau anggap itu karena ketidaksengajaan," cecarnya.
"Tapi ini bukan sepenuhnya aku yang bersalah. Ini tempat parkir mobil dokter, kenapa kamu malah memarkirkan mobilmu di sini hah!"
Ayuna tidak mau mengalah, walaupun keduanya sama-sama di posisi yang salah.
"Terus, kalau ini tempat parkir mobil dokter, kenapa kau ada di sini?" tanya pemuda itu.
"Ya, karena aku.... "
Ayuna menggantungkan ucapannya, dia juga tidak mau dirinya dikenal sebagai seorang dokter. Tidak ingin membanggakan dirinya yang berprofesi sebagai dokter.
"Apa? Kau mau menjawab apa? Mau menjawab kalau kau itu seorang dokter? Hm, bagaimana mungkin, penampilan dokter itu sangat feminin, nggak norak seperti ini," ejek pemuda itu.
"Iya, kamu memang benar, bagaimana mungkin aku seorang dokter. Penampilanku saja seperti ini. Aku datang kemari untuk mengambil mobil kakakku, jadi aku punya hak di sini, nggak salah keberadaanku di sini," jawab Ayuna.
"Oh! Jadi gitu. Memang nggak salah keberadaanmu di sini, tapi aku nggak peduli, kau harus bertanggungjawab atas kerusakan mobilku. Aku nggak mau tahu ya? Kita selesaikan sekarang juga," cercahnya.
Ayuna tidak mungkin menghindar dari perbuatannya yang salah walaupun tidak disengaja. Apa lagi kalau sampai pihak rumah sakit tahu dirinya bersalah dan tidak mau bertanggungjawab, reputasinya juga akan jelek di mata orang sekitarnya.
"Ok, besok aku bakalan kasih kerugian untuk kerusakan mobil kamu. Bawa saja dulu ke bengkel, aku akan mengurusnya. Aku akan memberimu nomer telpon, agar bisa terhubung langsung denganmu," ucap Ayuna.
"Tidak bisa, apa kau pikir aku akan percaya dengan ucapanmu itu. Aku maunya sekarang, harus sekarang," peringat pemuda itu.
"Huft, nggak bisa. Malam ini aku harus pulang, aku sudah sangat capek, kalau kamu menginginkan aku buat tanggungjawab, ok, jawabannya besok. Tapi kalau kamu tetap kekeh maunya sekarang, sorry i do not want to."
Ayuna langsung meninggalkan pemuda itu masuk ke mobilnya kembali.
Tidak ingin kehilangan jejak, pemuda itu mengejar Ayuna dengan mengetuk pintu mobilnya.
"Hey gadis bodoh, berikan nomermu," ucapnya.
Ayuna memutar bola matanya dan kembali membuka pintunya.
"Makanya jadi orang jangan sok," tegur Ayuna dengan meminta ponsel pemuda itu dan mencatat nomornya.
"Tapi beneran kan? Jangan berani macam-macam, kalau sampai kau tidak bertanggung jawab, aku bakalan cari sampai ketemu. Selagi kau berurusan sama aku, sampai Kapanpun, kau akan kukejar, " peringat pemuda itu.
"Silahkan, aku nggak takut. Kamu pikir aku takut sama orang sepertimu. Aku nggak, takut pada siapapun, apa lagi sama pemuda sombong sepertimu."
Ayuna memberikan ponsel pemuda itu kembali setelah mencatat nomornya.
Tanpa basa-basi lagi, Ayuna langsung mengendarai mobilnya meninggalkan tempat.
"Sialan!"
Sedangkan pemuda itu mengumpat keras, sangat geram, sembari menatap body mobilnya yang ringsek.
Setelah tiba di rumahnya, Ayuna mendapatkan sambutan yang begitu baik dari keluarganya. Orang tuanya nampak begitu senang melihatnya sudah kembali, walaupun tidak tahu bahwa dirinya telah mengalami kecelakaan di tempatnya bekerja.
"Sayang, kamu udah pulang?" tanya Lidya, Mama kandung Ayuna.
"Iya, Ma. Capek banget," celetuk Ayuna dengan memasuki rumahnya.
Gadis itu menghempaskan tubuhnya di sofa ruang tamu. Rasa lelah begitu membuatnya malas dan ingin sekali segera merebahkan dirinya di kasur.
"Yaudah, kamu lekas mandi, biar seger dan nggak lesu gitu," tutur Lidya.
"Iya bentar," jawab Ayuna dengan memejamkan matanya yang kantuk.
"Apa tadi ada operasi?" tanya Lidya.
Gadis itu mengganggu seharian penuh ia mendapatkan jadwal operasi beberapa pasien dan yang paling membuatnya lelah operasi yang terakhir kalinya, hampir saja gagal.
"Iya, tadi ada jadwal operasi. Orangnya udah sepuh Ma, dia melakukan tranpalasi jantung, kasihan banget dia. Aku takut gagal tadi, tapi syukurlah, dia sekarang membaik, setelah melalui masa kritis," celetuk Ayuna.
Ayuna nampak termenung dengan lamunannya, sang Mama mendekat dan duduk di sebelahnya.
"Kamu lagi ada masalah? Cerita sama Mama, kalau punya masalah, jangan dipendam saja. Cerita sama Mama," tutur Lidya.
Huft, Ayuna menghela nafasnya lelah dengan menyandarkan kepalanya di sofa.
"Barusan aku mengalami kecelakaan Ma," ungkap Ayuna.
"Apa? Kecelakaan? Terus kamu ada yang luka, mana yang luka, kenapa bisa Ayuna?"
Reflek Lidya panik dan langsung melihat kondisi putri bungsunya.
"Nggak ada yang luka Ma, aku tadi nabrak mobil seseorang di parkiran. Aku nggak sengaja waktu memundurkan mobilku. Lagian ini semua bukan salahku, kenapa tuh orang mau parkir di tempat khusus dokter," ungkap Ayuna.
"Ya ampun cerobohnya kamu Yuna, gimana dengan kondisi orang yang kamu tabrak itu? Apa dia terluka, apa dia parah?" tanya Lidya.
"Dia nggak papa, cuma body mobilnya aja yang ringsek. Dia sombong banget, marah-marah juga sama aku," celetuk Ayuna.
"Ck! Jelas aja dia marah, mobilnya udah kamu rusak. Mau dia salah atau bener, yang jelas, kamu juga harus bertanggung jawab. Dia minta pertanggungjawaban nggak?" tanya Lidya.
"Ya jelas iya Ma."
Ayuna kesal, kini hari-harinya terbagi untuk urusan orang yang nggak penting. Harus datangi bengkel di mana mobil itu di servis.
Urusannya bukan lagi menangani pasien di rumah sakit, tapi mengurusi mobil orang yang juga sakit.
"Lain kali kamu itu harus hati-hati, jangan ceroboh. Kalau mau mundurin mobil, lihat-lihat dulu, apa ada orang di belakang, atau ada mobil lain yang tengah lewat," tutur Lidya.
"Iya, aku tadi nggak kepikiran sampai situ, emang bego banget aku, jadi sebel," gumam Ayuna.
"Udah, itu buat pelajaran, lain kali hati-hati, jangan karena kamu capek, jangan karena kamu buru-buru, kamu bisa bahayain diri kamu sendiri dan juga orang lain."
Lidya sebagai ibunya, sebenarnya sangat khawatir dengan Ayuna mengendarai mobilnya sendiri. Karena dulu dia tidak pernah pergi sendiri dan selalu diantar, dan setelah mendapat gelar bertugas sebagai dokter, dia harus ke mana-mana sendirian.
"Yaudah deh Ma, Yuna mau bersih-bersih dulu, mau istirahat. Besok pagi Yuna berangkat lebih awal karena harus mengecek pasien yang tadi operasi. Nggak tega juga aku Ma, keingat sama nenek di Kampung. Melihat pasien itu, aku jadi kangen sama nenek."
Ayuna terseyum samar ketika mengingat pasien yang ditolongnya. Sangat mirip dengan nenek dari Mamanya yang tinggal di kampung.
"Mama juga kangen sama nenek kamu Yuna. Sudah berapa bulan Mama nggak pernah lagi berkunjung ke sana. Hanya video call saja tidak cukup untuk melepaskan rindu pada nenek. Mama cuma kepikiran saja gimana dengan kondisinya yang sudah renta. Semoga saja nenek kamu masih diberikan kesehatan," ucap Lidya dengan senyuman getir.
"Mama yang sabar ya? Nanti kalau Yuna ada waktu cuti, kita kunjung ke rumah nenek ya Ma. Kita juga masih bisa nginep di sana," jawab Ayuna.
"Benarkah Yuna? Mama nggak bisa kemana-mana lagi semenjak omamu datang ke sini. Dulu waktu omamu masih tinggal di Jerman, Mama masih bisa bersosialisasi dengan warga yang lain. Tapi setelah oma sama oppa pulang, Mama udah nggak punya keberanian buat tentang mereka," gumam Lidya.
"Kamu udah datang rupanya Yuna? Mana kakak dan Papa kamu?" tanya Marta.
Ayuna dan Lidya dikejutkan dengan kehadiran Marta yang secara tiba-tiba saja sudah berada di belakang mereka.
"Oma! Oma itu ya? Ngagetin ajaaja," seru Ayuna menoleh sebal pada omanya.
"Emangnya kamu nggak tau kalau oma berdiri di sini?" tanya Marta.
"Ya enggak lah, mana oma dateng macam siluman. Nggak ada suaranya sama sekali," jawab Ayuna menggerutu.
Marta duduk di sofa dengan menatap pada Lidya dan Ayuna bergantian.
"Yuna, Lidya. Memangnya kalian mau ada rencana buat pergi ke mana?" tanya Marta menatap datar pada Lidya.
"Em, anu Ma. Sebenarnya aku ingin berkunjung ke rumah Ibu di kampung. Sudah lama aku nggak pernah berkunjung ke sana Ma, aku kangen banget sama Ibu. Aku juga kepikiran sama kondisi kesehatan ibu di sana. Semoga saja ibu masih baik-baik saja," ungkap Lidya.
"Kamu itu, masih baik anakku menikahimu. Jangan minta ya aneh-aneh, kalau kamu lebih suka kehidupan seperti yang saat ini kamu jalani, alangkah baiknya kalau kamu tidak perlu pergi ke kampung. Buat apa kamu harus pergi ke kampung, kalau di sana tidak ada hal yang bikin kamu seneng. Yang ada kamu hanya direcokin sama keluargamu. Dan itu sangat meresahkan. Aku nggak akan kasih kamu izin buat pergi."
Deg
'Ya Tuhan, aku ingin menemui orang tuaku saja tidak diberi izin. Tapi apa salahku hanya ingin menemui orang tuaku sendiri. Kenapa menikah dengan orang berada seperti ini, harga diriku diinjek-injek terus. Aku tidak pernah dihargaiya Tuhan.'
Ayuna pun mengepalkan tangannya dengan pelototan matanya yang tajam.
"Oma! Oma nggak boleh seperti itu. Jangan halangi Mama buat bertemu dengan orang tuanya. Biar bagaimanapun juga, Mama masih punya orang tua yang wajib buat dikunjungi. Jangan suka merendahkan orang lain," bantah Ayuna.
"Apa katamu Yuna? Kamu sudah berani bantah omongan oma. Dengerin oma ya Ayuna, di sini yang berkuasa untuk mengambil keputusan adalah oma sama oppa. Kalau kalian masih menganggap kami ini keluarga kamu, maka turuti lah apa yang sudah menjadi keputusan kamu. Do you understand?"
"Egois! Oma egois!"
Ayuna beranjak dari sofa. Dia sangat benci akan ucapan dari omanya.
Lidya jadi salah tingkah, sebagai menantu yang tidak pernah dihargai, dia hanya bisa menahan rasa sakit saat ucapannya tidak pernah dianggap oleh mertuanya.
"Sayang? Kamu jangan gitu ya nak," ucap Lidya ikut berdiri.
"Lihatlah didikanmu, tidak bisa menghargai orang tua. Hidup kalian di sini, enak, nggak ikut sengsara, tapi kalian kebanyakan tingkah," seru Marta.
"Maafkan kami Ma," ucap Lidya dengan menundukkan wajahnya.
Ayuna pergi meninggalkan mereka berdua. Dia menuju kamarnya dengan raut muka kecewa dan juga geram oleh ucapan dari omanya.
Lidya pun sama, dia seperti orang yang tidak dihargai sebagai menantunya. Hanya karena dirinya turunan dari keluarga sederhana, dia selalu saja disudutkan oleh mertuanya.
"Oma bener-bener keterlaluan. Dia berfikir orang miskin tidak punya perasaan apa? Mentang-mentang dia orang berada, dengan semaunya sendiri mengambil keputusan tanpa berfikir sudah menyakiti orang lain."
Ayuna menggerutu, sangat kasihan pada orang tuanya yang tidak pernah dihargai.
Terdengar dering di ponselnya, dia membukanya, mengerutkan dahinya mendapati panggilan yang tidak dikenal. Ragu-ragu dia mengangkatnya, takut ada hal penting mengenai pasiennya di rumah sakit.
"Hallo, dengan siapa ya?" tanya Ayuna dengan sopan.
"Syukurlah, nomornya asli. Aku cuma memastikan, apa nomor yang kau berikan padaku itu asli atau palsu," ucap orang dari seberang.
"Oh, rupanya kau, kukira nomor penting. Apa kau pikir aku ini seorang pembohong. Tenang saja, aku tidak akan membohongimu, bawa saja mobil rongsokan itu ke bengkel. Biar aku yang membayarnya."
Ayuna sudah sangat kesal karena ulah pemuda itu. Dengan perasaannya yang kesal dengan permasalahan yang dihadapinya, diapun mengejek pemuda itu.
"Eh! Sembarangan saja kamu ngatain mobilku ini rongsokan. Ini mobil pengeluaran baru dengan harganya yang cukup mahal, kurasa kau tidak akan sanggup membelinya."
Pemuda itu juga sangat kesal karena diejek oleh Ayuna.
"Kamu pikir, kamu saja bisa membeli mobil butut seperti itu. Mobil nggak bermutu, disenggol dikit aja udah penyok, loakin aja di gudang rongsokan."
"Dasar perempuan! Kau itu sudah sangat..."
Tut... Tut... Tut....
Ayuna langsung mematikan sambungannya, sangat malas berdebat dengan orang yang tidak penting.
Ia merutuki kecerobohannya hingga memiliki masalah besar dengan pria asing yang tidak dikenalnya.
Keluarga Ayuna pagi itu telah berkumpul di ruang makan. Suasana Di ruang makan juga nampak ramai karena Nilam dan Juga Devan, kakak Ayuna juga nampak berkumpul. Mereka yang memang jarang berkumpul bertanya tanya mengenai kehidupan adiknya yang memiliki kesibukan tersendiri mengurus pasien yang memiliki riwayat penyakit jantung.
"Yuna, gimana dengan kerjamu, apa ada kendala?" tanya Nilam, kakak Ayuna yang berprofesi sebagai dokter spesialis syaraf.
"Alhamdulillah baik kak, aku semalem habis operasi pencangkokan jantung. Dia sudah tua lagi, aku takut gagal, karena difaktor usianya yang renta, agak ketar ketir gitu," jawab Ayuna.
"Kamu kalau kerja harus hati-hati, jangan ceroboh," tutur Nilam.
Gadis itu mengangguk. Selama ini masih bisa mengendalikan dirinya dengan begitu baik, ia berharap akan selalu begitu, tak memiliki banyak kendala yang akan membuatnya kebingungan mengatasinya.
"Iya, aku juga tahu itu," jawab Ayuna.
Di Mansion keluarga Ayuna juga ada Oma dan Opanya, yang tidak lain pemilik dari rumah sakit Bhakti Husada tempat Ayuna dan Nilam bekerja. Secara mereka berdua bekerja di rumah sakit keluarga.
"Yuna, Oma mau ngomong sesuatu sama kamu," ucap Marta, omanya Ayuna.
Ayuna seketika menoleh pada Omanya yang duduk di sebelah Opanya Alexander.
"Oma mau ngomong apa?" tanya Ayuna dengan mengoles selain di rotinya.
"Kamu sudah Oma jodohkan dengan cucu dari sahabat Oma."
Deg
Seketika Ayuna menghentikan tangannya yang sedang mengoleskan selai dan meletakkan rotinya di piring.
"Apa Oma bilang? Aku mau dijodohkan? Oma aku nggak mau, aku masih mau sendiri. Aku mau menitih karirku sebagai dokter. Aku masih belum lama menjadi dokter, kenapa Oma secara tiba-tiba mau menjodohkan aku, pokoknya aku nggak mau," tolak Ayuna mengoceh kecewa dengan ucapan dari Omanya.
"Kamu itu sudah gede Yuna, jangan seperti ini. Semua keturunan Alexander, tidak ada yang bebas memilih pasangan sendiri, termasuk kamu," seru Marta.
"Tapi kenapa harus aku Oma," jawab Ayuna.
"Karena di sini yang belum menikah itu kamu. Nilam sudah menikah dan sudah memiliki anak. Devan juga sudah menikah dan memiliki dua anak. Tinggal kamu saja kan, yang belum menikah di sini," celetuknya lagi.
Ayuna menggeleng kecewa, memang di Mansion itu hanya Ayuna yang belum menikah, tapi masih ada sepupunya yang juga masih lajang dan masih berada di luar Negeri.
"Memang di sini cuma ada aku yang belum menikah Oma. Tapi bukan berarti aku yang harus dijodohkan. Masih ada Kanaya dan juga kak Pungky yang juga belum menikah," jawab Ayuna tidak terima.
"Tapi mereka belum pulang Ayuna, yang Oma jodohkan itu kamu, bukan mereka. Mereka juga akan kami jodohkan setelah mereka pulang lagi ke sini. Jadi jangan banyak membantah, tolong menurut lah, jangan buat Oma dan Opamu kecewa," seru Marta.
Lidya dan Mahendra hanya diam, sebagai orang tuanya Ayuna, mereka tidak memiliki wewenang untuk memberikan keputusan pada anaknya sendiri, selagi Alexander dan Marta masih hidup, dan perjodohan keluarga itu tetap berjalan.
Leher Ayuna seperti tercekik, nafsu makan pun mulai sirna. Seperti ditimpuk palu, ucapan Marta sangat menyayat hatinya.
"Yuna, sebaiknya kamu menurut saja sama Oma dan juga Oppa. Ini sudah menjadi tradisi keluarga, jadi kamu tidak bisa mengambil keputusan sendiri tanpa persetujuan dari mereka," tutur Lidya.
"Tapi Ma... Mama nggak pernah mengerti perasaan Ayuna seperti apa saat ini. Ayuna punya masa depan sendiri Ma. Ayuna ingin menikah dan hidup bahagia dengan pilihan Ayuna sendiri. Tapi kenapa Ayuna malah dijodohin kayak gini. Mama, tolongin Ayuna."
Ayuna menangis dalam diam, badannya terguncang dengan isakan tangisnya.
Nilam yang ada di sebelahnya memberikan tepukan pelan di bahunya.
"Sudah! Sudah. Kamu jangan nangis kayak gini. Kamu jangan pancing kemarahan Oma sama oppa ok," tutur Nilam lirih agar tidak terdengar oleh Oma dan juga Oppanya.
Ayuna mengusap kasar air matanya. Kini dia hanya bisa diam saat mendapatkan tatapan datar dari kedua paruh baya yang tidak lain adalah Oma dan oppanya.
"Sekarang lanjutkan makanan kalian. Untukmu Ayuna, sebaiknya kamu nggak mempersulit keadaan. Mau sekarang, besok ataupun nanti, kamu akan tetap Oppa jodohkan. Jadi bersikaplah yang baik, layaknya kamu yang berprofesi sebagai dokter. Jangan banyak membantah apa yang sudah kami putuskan," ucap Alexander dengan menatap pada Ayuna.
Ayuna memalingkan mukanya kecewa. Namun dia tidak bisa berfikir dengan jernih, apa lagi di keluarganya tidak satupun orang yang mendukungnya.
"Yuna, habiskan sarapanmu," tutur Lidya.
"Aku nggak nafsu makan Ma. Aku berangkat aja sekarang," jawab Ayuna.
"Yuna! Jangan bikin masalah. Ayo habiskan sarapanmu," tegur Lidya berbisik lirih.
Dengan menekuk mukanya, Ayuna kembali mengambil roti selaynya yang sempat ditinggalkan dan mengunyahnya dengan kesal.
Lidya dan Mahendra saling bertatapan sambil menyuapkan makanan ke mulutnya masing-masing.
"Ini aku udah selesai sarapan. Aku mau berangkat sekarang."
Ayuna berdiri dari tempat duduknya dan menyalim semua orang yang ada di ruang makan.
"Ingat Ayuna, kamu jangan pulang terlambat. Oma akan mengenalkanmu dengan calon suamimu. Dia baru pulang dari Amerika, dia masih baru tinggal di sini. Jadi kamu harus taati peraturan yang sudah kami buat, jangan membantah, karena kami paling nggak suka dengan orang yang suka membantah," tegur Marta dengan menerima tangan Ayuna yang tengah menyalimnya.
"Iya, akan kuusahakan buat pulang cepat. Tapi nggak janji, soalnya aku lagi banyak pekerjaan. Ada beberapa kali operasi buat jadwal hari ini," jawab Ayuna.
"Pastikan saja. Hari ini kamu harus mempercepat waktu. Karena Oma akan menghubungi teman Oma buat pertemuan. Nanti kalau udah ada keputusan dari pihak sana, Oma akan mengabarimu," tutur Marta.
"Hemmmm."
Ayuna hanya bergumam menjawab penuturan dari Omanya.
"Yuna! Kamu nggak mau bareng sama kakak?" tanya Nilam.
"Aku bawa mobil sendiri kak," jawab Ayuna.
"Yaudah, tapi kamu harus hati-hati ya, jangan ngebut," tutur Nilam.
"Jangan ngebut Yuna," tambah Lidya.
Sebagai seorang ibu, Lidya sangat mengkhawatirkan putrinya. Apa lagi Ayuna terlihat tampak murung, tidak baik-baik saja.
"Pa, coba Papa ikuti Ayuna dong Pa. Mama khawatir kalau sampai Ayuna menyetir mobilnya dalam keadaan marah, ataupun gelisah," ucap Lidya.
"Iya Ma, Papa akan berangkat sekarang," jawab Mahendra.
Mahendra yang sudah menjabat sebagai profesor, dia sangat percaya akan kesungguhan anak-anaknya dalam bekerja. Namun karena Ayuna sendiri pikirannya tengah kacau, dia juga ikut gelisah, takut ada keteledoran Ayuna dalam perjalanannya, ataupun saat memberikan perawatan pada pasiennya.
"Yaudah, Papa berangkat dulu ya Ma. Takut Ayuna keburu jauh," ucap Mahendra.
"Iya Mas, kamu juga hati-hati," nasehat Lidya.
"Iya Ma," jawab Mahendra.
Di halaman depan rumahnya, Ayuna memasuki mobilnya dengan membanting pintunya dengan sangat keras.
Mobil yang tidak tahu permasalahannya, dijadikan tempat pelampiasan kemarahan Ayuna.
"Dasar orang tua egois. Mereka pikir dengan menikahkan aku dengan orang yang belum pernah kukenal, akan membuatku bahagia gitu? Kalian itu hanya menyerahkan neraka buat aku. Aku nggak bahagia Ma, Pa. Aku ingin hidup dengan orang yang sangat aku sayangi, itupun kalau aku udah dapat menemukan orang yang benar-benar tulus menyayangiku," cercah Ayuna.
Ayuna langsung mengendarai mobilnya keluar dari halaman Mansion menuju rumah sakit. Hatinya tak tenang mengingat ucapan Omanya. Kenapa harus dijodohkan? Apakah dirinya sudah tidak laku sehingga harus dijodoh-jodohkan?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!