NovelToon NovelToon

Si Perawan Tua Bertemu Cintanya

Rempongnya jadi perawan tua

Gadis dengan rambut potongan layer sepunggung itu hendak beranjak menuju kamarnya, suasana bising di ruang keluarga membuat kepalanya berdenyut. Namun langkah kaki yang hendak ia ayunkan seolah terpaku di lantai tanpa bisa di angkat.

“Kalau dinasehati pasti selalu sok ngambek, kami itu sayang sama kamu, peduli sama kamu makanya kami selalu sarankan kamu untuk cepat-cepat menikah,” itu adalah suara tante Ati, tante yang paling dia benci di muka bumi ini. Suara angsa yang kasar bahkan jauh lebih indah di telinga gadis berusia 31 tahun itu daripada suara adik dari mamanya ini.

“Maaf tante, saya gak butuh saran dari kalian, saya rasa kalian mengurusi hidup saya bukan karena sayang dan peduli dengan saya, tapi karena kalian memang ingin selalu mengejek saya dengan dalih nasehat itu, lagi pula yang selama ini saya dapatkan itu bukan nasehat melainkan sebuah sindiran dan ejekan untuk saya. Status perawan tua saya ini seolah menjadi topik komedi paling menyenangkan bagi kalian semua,” emosinya kini memuncak. Selama ini ia hanya diam ketika menjadi bahan candaan di depan keluarganya. Namun kali ini kesabarannya sudah ia kurung di tempat terdalam di hatinya, ia tidak ingin lagi menjadi sabar dan sopan karena hal itu tidak membuatnya dihargai malah semakin di injak, hari ini ia ingin menjadi gadis bermulut pedas, ia tidak peduli lagi jika setelah ini mamanya akan marah padanya.

“Mbak, lihat anakmu ini, sudah berani bersikap gak sopan sama saya,” teriak tante Ati mengadu ke seorang ibu yang mengenakan daster berwarna hitam dengan motif bunga kecil-kecil berwarna putih.

“Memangnya tante pernah bersikap sopan? Jangan cuma menilai orang lain kurang ajar, sedangkan tante sendiri pun tidak kalah kurang ajar seperti itu, ngaca tante , itu cermin besar di sebelah sana, kalau memang tujuan tante datang kemari cuma untuk menertawakan saya, mending tante dan keluarga tante jangan pernah kembali lagi kesini,” ketus gadis itu, lalu melangkahkan kaki menuju kamarnya. Ia tidak peduli dengan berbagai kata yang tante Ati ucapkan dibelakangnya. Ia harus menjaga kewarasan pikirannya dengan berani melawan orang-orang penambah masalah dalam hidupnya seperti adik sang mamanya itu.

Gadis bernama Amira Balqis atau akrab dengan sapaan Rara itu memang masih belum bertemu dengan jodohnya di usia yang sudah menginjak angka 31 tahun itu, dan ia adalah jomblo sejak lahir. Entah sebuah predikat yang harus diapresiasi atau mungkin di kasihani. Tidak pernah sekalipun dalam perjalanan hidupnya ia menerima tawaran pacaran dari seorang laki-laki sampai usianya sudah sematang ini. Terkadang ia mematut dirinya di depan cermin, dan mencoba menelisik setiap sudut wajah dan tubuhnya. 

“Gue gak jelek-jelek amat kok,” ucapnya memegangi wajahnya.

Tingginya hanya 162 cm dengan berat badan 53 kg, tidak kegemukan dan juga tidak terlalu kurus, kulitnya yang kuning langsat terlihat bersih karena memang ia rutin merawat diri dengan berlulur dan juga memakai skincare. Matanya berukuran normal, bukan yang belo ataupun sipit, hidungnya kecil tidak begitu mancung dan bibirnya termasuk kategori bibir natural dengan ukuran bibir atas sedikit lebih tipis dari bibir bawahnya.

Proporsi wajahnya dan tubuhnya terlihat seperti artis Maudy Ayunda namun jika rating Maudy Ayunda adalah 10 /10, maka Rara akan mendapatkan nilai 7,5/10 atau mungkin 7/10.

“Apa gue sejelek itu ya, sampai-sampai gak pernah ada yang naksir sama gue, mulai dari SMP dulu temen-temen gue udah pada pacaran, bahkan si Ika waktu SMP pacarnya sampe tiga, gue cuma kebagian bengongnya doang ngeliat temen-temen pacaran. SMA dulu pengen banget pacaran tapi nungguin sampai tamat gak ada yang nembak, kuliah pun gak ada lirik, eh sampai kerja pun tetap jomblo,” keluhnya di depan cermin.

Saat ini Rara tercatat sebagai seorang PNS dengan klasifikasi golongan III/c di divisi Inspektorat Jenderal Minyak Bumi dan Gas di bawah naungan Kementerian Energi Sumber Daya Mineral atau lebih dikenal dengan sebutan Kementerian ESDM. Urusan gaji ia sudah mengantongi gaji pokok beserta segala macam tunjungan hingga menyentuh angka 23 juta perbulan. Rara adalah anak yang mandiri tanpa terlalu banyak menjadi beban keluarga, bahkan sejak kuliah ia sudah mendapatkan beasiswa.

Diluar sana banyak yang iri dengan keberhasilan Rara, tanpa mereka tau apa yang Rara sembunyikan di balik keberhasilan yang dilihat oleh orang-orang. Mereka tidak tahu bagaimana frustasinya Rara menghadapi semua pertanyaan yang hampir setiap hari  ia terima. Pertanyaan yang seolah wajib diberikan bagi setiap gadis di Indonesia ketika mereka sudah melewati umur 25 tahun namun belum juga menikah.

Ada yang sekedar memberi nasehat dengan kata-kata, “Tenang aja Ra, jodoh pasti akan datang di waktu yang tepat, walaupun kata-kata mereka bikin kamu sakit hati, di lupain aja Ra, jangan sampai kata-kata itu membuat kamu terpuruk,”. Rara bahagia ketika ada yang berbicara positif padanya, namun tak jarang ia juga menerima kata-kata yang sangat menyakitkan. Misalnya, “Gak usah banyak pilih, umur lu udah tua, ntar yang pantas buat lu cuma aki-aki,” atau “Target lu setinggi apa sih, gak usah mimpi ketinggian, wong elunya juga gak cakep kok, sadar diri itu penting Ra, atau lu mau gue kenalin sama temen suami gue, dia duda anaknya 3, yang pertama udah nikah, yang terakhir kalau gak salah udah SMA, gimana apa perlu gue urus?” Itu adalah tawaran dari Nina tetangganya Rara yang menikah ketika baru tamat SMA karena ketahuan sudah hamil 7 bulan.

Belum lagi berbagai pertanyaan yang didapatkan dari pihak keluarganya sendiri, bahkan yang lebih parahnya, sang mama juga akan ikut-ikutan ketika yang lain sedang membullynya. Hanya kamarnya lah yang paham segala keluh kesah yang Rara ucapkan setiap malam sambil menangis.

Rara terkadang lelah dengan semua bentuk perjodohan dan jenis laki-laki yang ditawarkan padanya, akan tetapi tidak pernah ada satupun yang menawarkan hal baik padanya, ia pernah ditawar untuk dikenalkan dengan pria lajang namun sudah berusia di atas 50 tahun, ditawarkan dengan duda tua yang sudah bercucu, bahkan pernah di kenalkan dengan seorang laki-laki yang sedikit kurang dalam kewarasan namun bukan berarti gila.

“Gue harus kemana dan dengan cara apa sih buat nyari laki, susah banget dah dapatnya, kok orang lain mudah-mudah aja dapat pasangan, baru juga putus dengan yang lama, eh yang baru udah pada ngantri, apa jangan-jangan gue ini gak terlihat ya di mata-mata laki-laki,” ucap frustasi mengacak rambut.

“Tapi bodo amat ah, pasti Allah udah nyiapin jodoh buat gue, mungkin sekarang lagi nyasar, atau mungkin datangnya jauh dari Korea tapi naik sepeda, kan lama tuh prosesnya, tungguin aja deh,” lanjutnya persis orang gila di depan cermin, lalu merebahkan tubuhnya ke atas kasur empuk di kamarnya yang didominasi warna putih dan kuning itu, memikirkan jodoh memang sangat menguras tenaga.

****

Mohon dukungannya untuk karya terbaru aku.

Kata-kata Memuakkan

Hari Jum’at adalah hari yang paling Rara senangi, lihatlah bibirnya yang sejak tadi tidak berhenti mengukir senyuman, ia begitu bahagia mengingat jika dua hari kedepan adalah hari liburnya sebelum akhirnya akan bertemu kembali dengan hari senin. Saat ini Rara tengah fokus menatap layar komputer di depannya, tangan lentiknya menari lincah di atas keyboard, sesekali jarinya menaikkan kacamata anti radiasi komputer yang sedikit merosot di hidungnya yang minimalis itu. Ia begitu bersemangat menyelesaikan pekerjaan terakhirnya di minggu ini, hingga akhirnya sebuah suara membuat moodnya rusak dalam hitungan detik.

“Ra, weekend besok gue saranin lu ke car free day deh siapa tahu lu ketemu jodoh disana, jangan di kamar mulu, ntar sampai nenek-nenek lu gak laku,” itu adalah suara wakil ketua divisinya, namanya Mifta, seorang perempuan berumur 42 tahun dan  ia sedikit sombong dengan selalu mengatakan kepada Rara sewaktu ia seumuran Rara saat ini ia sudah mempunyai anak berumur 10 tahun, dan Rara sudah muak mendengar cerita Mifta yang selalu di ulang-ulang jika ia sudah menikah di umur 20 tahun. Sebenarnya Rara ingin sekali menjawab dengan ketus omongan atasannya ini, tapi ia hanya malas jika masalah jadi panjang. 

“Kamu tahu Ra, dulu aku sudah menikah di umur 20 tahun dan,” 

“Tidak berapa lama mbak Mifta sudah langsung hamil dan melahirkan anak di usia yang sangat muda yaitu 21 tahun, seorang anak laki-laki yang tampan dan juga cerdas, di umurnya yang 7 tahun ia sudah lancar membaca dan menghafal beberapa surah pendek, ia selalu juara kelas dan mbak Mifta terharu melihat perkembangan anak mbak Mifta yang luar biasa hebat itu, dan ketika mbak Mifta berusia 31 tahun, seumuran aku sekarang anak mbak Mifta sudah berumur 10 tahun, dan makin terlihat kecerdasannya, dan kalau aku tidak juga menikah sekarang bakalan susah dapat anak nanti, karena faktor umur yang sudah tua. Mbak Mifta pasti mau bilang itukan? Udah hafal aku mbak, udah ratusan kali aku dengar itu, dan plis gak usah di ulang lagi, muak aku mbak dengarnya,” Rara memotong cepat omongan Mifta sebelum wanita itu melanjutkan cerita panjang lebarnya. Mifta melirik sinis ke arah Rara, ia kesal melihat Rara seolah ingin mempermalukannya di depan rekan kerja yang lain, karena hampir semua dari orang-orang yang berada di ruangan ini terlihat menahan senyumnya setelah mendengar Rara menirukan omongannya.

“ Dasar aneh, dinasehati malah belagu gitu, pantes gak laku-laku,” umpat Mifta dengan suara yang sedikit pelan namun tetap bisa didengar oleh Rara.

Rara menarik nafas dan menghembuskannya dengan kasar, ia sudah muak dengan sikap atasannya ini yang terlalu semena-mena terhadap dirinya, hampir setiap hari ia selalu saja  mengusik ketenangan Rara, baru saja kemarin Rara menghajar tantenya dengan kata-kata pedas, dan hari ini tampaknya ia harus kembali marah-marah kepada atasannya itu.

“Mau mbak apa sih, ngebet banget mau lihat saya nikah, mau ngado semahal apa memangnya kalau saya nikah, awas aja ya kalau nanti cuma ngado sprei plus bed cover yang harganya cuma 300 ribuan itu. Heran deh saya mbak, tiap hari di senggol mulu padahal saya diem loh, saya belum nikah pun gak ada untung atau ruginya untuk mbak, saya gak pernah tuh kegatalan trus godain suami orang apalagi suami mbak Mifta yang jauh dari tipe saya itu, jadi plis mbak berhenti mengganggu ketenangan saya, saya gak akan kurang ajar begini kalau mbak gak mancing emosi saya duluan,” cecar Rara dengan nafas memburu, emosinya benar-benar diuji beberapa hari ini, tidak hanya di rumah, ternyata di tempat kerja sama saja.

“Gak sopan banget kamu sama saya, berani kamu kurang ajar gini bicaranya” Mifta pun sudah tersulut emosi.

“Memangnya mbak pernah sopan dan gak ngomong kurang ajar ke saya, tiap hari mbak nyindir dan ngata-ngatain saya, sekalinya saya balas gak terima,” Mata Rara tampak semakin lebar menatap ke arah Mifta yang wajahnya sudah memerah karena emosi.

“Sudah-sudah, jangan ribut seperti ini di tempat kita mencari rezeki,” Ucap rekan kerja mereka yang bernama Dani, ia dan beberapa teman lainnya mencoba menenangkan Rara yang sudah di selimuti oleh emosi.

“Giliran gue udah emosi gini baru kalian datang dan bilang jangan ribut, selama ini kalian kemana aja sewaktu gue disindir dan di kata-katain,” ucap Rara yang menepis tangan mereka yang memegang lengannya, lalu ia kembali ke kursinya untuk melanjutkan pekerjaan yang tertunda, Mifta sudah membuat rasa bahagia Rara menguap entah kemana, kini Rara harus menyambut weekendnya dengan perasaan dongkol.

Mifta juga sudah kembali ke mejanya dengan berbagai umpatan yang berhasil lolos dari mulutnya, teman-temannya tidak terlalu berani jika harus berurusan dengan Mifta karena jabatan Mifta sebagai wakil divisi sedikit lebih tinggi dari mereka.

Rara  dengan kasar menekan setiap huruf di keyboardnya, benda tak bersalah itu harus menerima pelampiasan emosi Rara. Begitu jam sudah menunjukkan pukul 16.30, Rara langsung membereskan barang-barangnya dan beranjak menuju tempat absensi untuk mengisi absensi pulangnya lalu segera meninggalkan ruangan kerja untuk turun ke basement dimana mobilnya terparkir.

Rara duduk di belakang kemudi dengan sedikit kasar, karena kekesalan masih saja memenuhi hatinya ketika membayangkan bagaimana santainya Mifta selama ini mengusik ketenangannya dengan berbagai kata-kata menyakitkan.

“Heran gue sama manusia begitu, maunya apa coba, sialan banget jadi orang sumpah,” umpat Rara pada kesunyian mobilnya.

Dering ponselnya membuat cengkraman kuat Rara di setir mobil terlepas, dengan cepat ia merogoh tasnya untuk menemukan benda yang mengeluarkan bunyi berisik itu, ternyata panggilan itu dari kakak sepupunya, Gita.

“Halo Git,” ucap Rara. Ia dan Gita memang hanya beda 6 bulan, dan karena mereka sekolah bersama membuat Rara memanggil Gita hanya dengan sebutan nama tanpa ada embel apapun.

“Lu dimana?” Tanya Gita.

“Ini di parkiran kantor, mau pulang, kenapa Git?” Jawab Rara.

“Nongkrong yuk, bosan nih gue, kita ke cafe nya si Nona deh,” ajak Gita dengan semangat membara.

“Gue sih oke-oke aja, yang selalu rempong kan elu, yang perkara anak ribet minta ikut lah, suami gak kasih izin lah, banyak alasan lu,” cibir Rara.Gita memang sudah menikah, dn memiliki seorang anak perempuan yang sudah sudah berusia 6 tahun.

“Tenang aja, suami gue lagi di luar kota, dan anak gue baru aja di jemput sama aunty nya untuk jalan-jalan, udah deh buruan lu jemput gue,” ucap Gita.

*** 

Kini mereka sudah tiba di cafe sahabat mereka yang bernama Nona dan mereka memilih duduk di ruangan outdoor, kebetulan si pemilik cafe sedang ada di tempat dan terjadilah reunian mendadak itu.

“Gue lagi kesel banget sumpah,”  ucap Rara setelah meminum avocado milknya.

“Kenapa lu?” Tanya Nona sambil menyendokkan spaghetti ke mulutnya.

“Ya apalagi coba permasalahan gue sekarang kalau buka seputaran kapan nikah,” raut wajah Rara terlihat kesal begitu wajah menyebalkan tante Ati dan Mifta lewat di pikirannya.

Diantara mereka bertiga memang hanya Rara lah yang belum menikah, Nona menikah tidak lama setelah Gita menikah, bahkan anak mereka pun lahir dengan jarak waktu yang tidak terlalu jauh.

“Udah gak usah dipikirin omongan orang-orang gila itu, jangan sampai mood lu rusak setiap hari hanya karena mulut-mulut bau bangke itu,” timpal Gita, ia kasihan melihat Rara yang selalu menjadi bulan-bulanan ketika acara kumpul keluarga, dan dengan sebisa mungkin ia akan membantu menyelamatkan Rara dari mulut pedas anggota keluarga mereka, dan juga Gita sudah sering mendengar curhatan Rara tentang permasalahannya di kantor.

“Git, gue akhirnya tahu siapa yang harus gue kenalin ke Rara,” ucap Nona tiba-tiba dengan pandangan yang tertuju ke arah pintu penghubung ruangan indoor dan outdoor ini.

Luka lama

Suasana cafe yang begitu menenangkan masih menemani sore lelah Rara bersama kedua sahabatnya. Obrolan mereka terhenti ketika mendengar kata-kata yang diucapkan oleh Nona. Sontak pandangan Rara dan Gita beralih ke arah yang sama dengan pandangan Nona, mata mereka melihat tiga orang laki-laki yang sedang melihat ke arah meja-meja di ruangan outdoor ini, mungkin sedang mencari dimana mereka bisa untuk duduk. Tiga orang laki-laki dengan seragam hijau hitam lorengnya lengkap dengan sepatu sepatu khas mereka, Rara dan Gita kenal dengan salah satu di antara tiga anggota TNI itu, yang tubuhnya sedikit lebih pendek dari dua temannya adalah suami dari Nona. Ya, Nona adalah seorang ibu persit yang memiliki seorang suami dengan pangkat Lettu dan bertugas di sebuah Batalyon dekat dengan kawasan mereka tinggal.

“Abang,” teriak Nona sambil melambaikan tangannya ke arah suaminya, seketika lambaian tangan itu terbalas begitu suaminya menatap ke arah mereka, dan mengajak kedua temannya untuk menuju ke tempat dimana istrinya duduk.

“Duduk pak Revan, pak Deno,” Nona mempersilahkan kedua teman suaminya untuk duduk di kursi yang tersedia. Keduanya kompak mengangguk dan mengucapkan terima kasih, setelah itu duduk di kursi yang saling berhadapan dengan Rara dan Gita.  Revan duduk di kursi yang tepat berada di depan Rara, dan sekilas tatapan mereka bertemu membuat Rara segera memalingkan wajahnya ke arah lain.

Rara dan Gita lebih banyak terdiam dan hanya menyimak obrolan Nona bersama tiga orang laki-laki itu. Rara sejak tadi selalu mencuri pandang ke arah Revan, ia merasa jika laki-laki itu bernama Revan itu mempunyai daya tarik yang membuat Rara tidak bisa berhenti untuk tidak melirik ke arah Revan. Rara merasa jika Revan ini adalah laki-laki yang humble dan seru kalau diajak bercerita.

“Ampun dah ah, gue kenapa jadi natap-natap dia terus ya, emang sih tipe gue banget kalau masalah fisiknya, tapi gimana kalau ni orang udah nikah, kan gak lucu,” batin Rara mulai meracau.

Rara tersentak ketika lengannya di goyangkan pelan oleh Gita, membuat Rata menoleh ke arah sepupunya itu.

“Kenapa?” Tanya Rara pelan.

“Pulang yuk, udah hampir maghrib ini,” ucapan Gita membuat Rara melihat smartwatch di pergelangan tangan kirinya, dan ternyata sudah pukul 17.26.

“Ya udah yuk, pamit dulu sama Nona,” balas Rara yang sebenarnya ingin berlama-lama disini, karena ia masih betah untuk melirik tipis-tipis ke arah Revan.

“Non, kita pamit dulu ya, mau maghrib ini bentar lagi laki gue pulang kerja,” ucap Gita dan membuat Nona sedikit cemberut.

“Yah padahal baru bentar kita duduk udah pulang aja,” ucap Nona merengut.

,

“Ye si kampret, dari tadi elu nganggurin kita, malah sibuk ngobrol sama para halo dek ini,” batin Rara.

Rara dan Gita meninggalkan meja setelah berpamitan pulang pada semuanya, dan kini mereka sudah berada di dalam mobil HRV keluaran tahun 2019 warna putih milik Rara. Mereka beruntung karena cafe milik Nona tidak berada jauh dari rumah mereka, dan mereka tidak perlu terjebak macet panjang di jam pulang kerja ini. Kini Rara tengah melajukan mobil menuju rumah Gita yang berbeda enam blok dari rumahnya.

“Eh Ra, tadi kan Nona bilang kalau dia akhirnya punya seseorang yang akan dia kenalin ke lu, dan dia natap ke arah suaminya yang datang bareng pak Revan dan pak Deno itu, kira-kira siapa ya yang bakal dia kenalin ke lu, yang pasti bukan laki dia,” ucap Gita.

Rara menggelengkan kepala dan menatap jengah ke arah Gita, “Gila lu, ya kali ngenalin suaminya ke gue,” ketus Rara.

“Terus siapa Ra, gue penasaran nih, masa elu kagak penasaran sih, mana pak Revan sama pak Reno tipe-tipe cowok gentle banget kalau dilihat-lihat. Pak Revan kalau dari wajah kayaknya orang Sumatra gitu kayaknya, wajah-wajah Melayu gitu, kalau pak Deno manis banget wajah timurnya, apalagi gingsulnya itu,” Gita berbicara dengan begitu antusias.

“Kenapa jadi elu yang kesenengan sih Git, gimana kalau dua-duanya udah punya istri, kan rugi udah dipuji-puji,” balas Rara tanpa menoleh ke arah Gita.

“Ya kan gak mungkin Nona mau ngenalin lu ke laki-laki beristri, bisa jadi mereka ini jomblo atau mungkin salah-satunya dari  mereka yang jomblo, dan bakalan jadi jodoh lu,” Gita masih terlalu bersemangat untuk berbicara.

“Mending lu turun deh, udah sampai rumah lu ini, noh lihat mobil laki lu udah ada,” ucap Rara sambil menunjuk sebuah mobil yang terparkir di depan rumah Gita.

“Ya udah deh duluan ya, lu hati-hati pulangnya, nanti gue bakalan nanya sama Nona, yang mana mau di kenalin ke lu,” ujar Rara lalu menutup pintu mobil dan berjalan santai memasuki pagar rumahnya.

Rara menghela nafasnya, lalu menjalankan mobilnya untuk menuju rumahnya, sepanjang jalan ia masih terus memikirkan wajah dan suara Revan, walaupun beberapa menit kemudian ia mencoba mengusir semua hal itu dari pikirannya. Rara sebenarnya juga lelah dengan kehidupannya yang belum menemukan jodoh ini, bohong jika ia mengatakan bahwa ia tidak terlalu memikirkan sebuah pernikahan, nyatanya hal itulah yang mengusiknya setiap malam. Bayangan tentang kesendirian yang terus menghantui jelas saja membuat Rara frustasi, bahkan terkadang ia menangis sejadi-jadinya ketika mulai meratapi nasibnya, namun di pagi hari ia akan terbangun sebagai sosok yang kuat dan ceria seolah tidak memiliki sedikitpun masalah. 

Malam ini Rara sedang menikmati langit kelam lewat jendela kamarnya yang ia biarkan terbuka. Walaupun tidak di temani jutaan bintang, langit malam tetap saja indah di mata Rara hanya dengan cahaya bulan yang begitu temaram di balik awan.

“Gue bakalan bisa nikah gak ya kayak yang lain?” ucapnya pada angin malam, beberapa suara jangkrik di kejauhan seolah menjawab pertanyaan yang Rara lontarkan.

Kepalanya masih menengadah menatap bulan yang tampak malu bersembunyi, dalam hatinya ia berdoa semoga hari esok lebih baik dari hari ini dan tidak mendapatkan pertanyaan-pertanyaan yang membuat harinya menjadi tidak menyenangkan.

Rara menoleh ketika mendengar ponselnya berdering di atas tempat tidur, dengan malas ia beranjak untuk melihat siapa yang menelponnya, dan ternyata itu panggilan dari Nona.

“Halo Non,” ucap Rara.

“Ra, lu kalau gue kenalin sama bang Revan mau gak, temen suami gue yang tadi duduk depan lu itu, dia itu belum nikah Ra, umurnya setahun di atas kita, gimana mau gak?” Tanya Nona tanpa basa basi di seberang telepon sana.

Rara terdiam sebentar karena ia tidak tahu harus menjawab apa, ia tengah merangkai berbagai kata untuk menjawab pertanyaan ajaib yang Nona tanyakan.

“Gue harus jawab apa Non?” Tanya Rara dengan nada bicara sedikit bingung.

“Mau aja ya, nanti gue kenalin,” ucap Nona semangat.

“Kalau dia gak mau sama gue gimana? Kan lu tahu sendiri Non, udah berapa banyak kalian kenalin gue ke cowok-cowok tapi gak pernah ada yang tertarik pengen kenalan sama gue, dan kali ini gue gak mau itu terulang lagi Non, gue takutnya bakal mudah berharap lebih, ujung-ujungnya bakalan sakit sendiri, jujur gue capek Non,” jawab Rara panjang lebar, kini air matanya hampir jatuh namun masih ia tahan dengan sekuat tenaga agar tidak meluncur bebas mengaliri pipinya.

“Gue gak bermaksud menggali luka lama lu Ra, gue cuma pengen berusaha buat nyariin lu pasangan, maaf kalau niat gue ini bikin lu teringat luka lama dan malah berhasil noreh luka baru di hati lu,” nada suara Nona yang awalnya begitu semangat kini langsung lemah merasa bersalah kepada Rara.

“Gak usah ngerasa bersalah gitu Non, gue aja emang yang belum siap untuk berharap dulu, lu gak salah kok. Udah dulu ya Non, gue dipanggil nyokap tu,” bohong Rara. Sebenarnya ia sudah tidak sanggup lagi untuk berbicara, ia tiba-tiba saja ingin menangis entah apa penyebabnya.

“Ra, maafin gue ya, jangan marah sama gue,” ucap Nona penuh penyesalan.

“Udah gue bilang lu gak salah, serius deh nyokap gue manggil, nanti gue telpon lu lagi deh, oke” balas Rara tanpa menunggu jawaban Nona langsung mematikan sambungan teleponnya dengan Nona, dan kini tangis itu pecah tanpa suara, bahu Rara berguncang hebat karena menahan tangisnya agar tidak mengeluarkan suara. Hanya perkara jodoh saja yang bisa membuat Rara menjadi selemah ini.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!