Teruntuk pembaca,
Mohon dipahami. Cerita ini hanya fiktif belaka, murni KARANGAN PENULIS SAJA. Tidak untuk disamakan dengan kehidupan nyata. Semua latar, tempat, tokoh, watak dan penamaan apapun dibuat untuk menghidupkan cerita semata. Tidak bermaksud menyinggung ataupun mencolek subjek, objek atau instansi terkait.
Mohon bijak dalam memilih bacaan 🙏 happy berimajinasi guys 😘😘😍
Salam hangat, pengarang 💕
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Aza ngga mau, bun." Belum rasa lelahnya usai mendera, bahkan otaknya masih dibuat ngebul oleh bab virus mematikan didunia serta masa inkubasinya sekarang harus dibuat konslet oleh tema perjodohan yang dicekoki kedua orangtuanya.
Usia 20 tahun dijodohin, mesti ngabdi sama satu pria seumur hidup? NO !! Baginya itu masih terlalu muda, bahkan ia belum mencicipi rasanya mengabdi sama orangtua borok-borok di pedalaman sana. Masa tinggal di bumi pertiwi cuma numpang ee, makan, terus bikin anak doang! Hello, bumi pertiwi butuh anak muda berbakat, berprestasi dan mau berkorban sampai titik da rah penghabisan.
"Belum juga wisuda, jadi dokter koas. Udah disuruh ngurusin anak bujang orang. Bunda sama ayah ngga sayang gitu, kuliahin mahal-mahal, sampai uang rokok ayah dipake buat les matematika Aza sampai gumoh, tapi ujung-ujungnya suruh jadi irt doang." Aza mengambil air dingin dari kulkas dan minum langsung dari bibir botolnya biar kesegaran fresh from the refrigerator itu langsung mengguyur tenggorokan dan otaknya yang sudah kebakaran dari tadi.
Yang benar saja, dengan dalih tak kenal maka ta'aruf, biar menghindari pacaran toxic dan maksiat, bunda dan ayah main setuju saja menikahkan dirinya dengan orang asing!
Bunda menghela nafasnya, punya anak satu aja batunya minta ampun, andai ia punya anak 5...
Krettt! suara ujung pisau beradu dengan talenan setelah berhasil memotong wortel begitu keras terdengar ketika bunda meluapkan emosinya, "emangnya ada yang salah sama pekerjaan irt? Emangnya dokter perempuan bukan irt setelah menikah? Emangnya dokter perempuan ngga boleh mengabdi lagi kalo udah nikah?"
Astagfirullah!
Bunda membetulkan ujung jilbab instan yang menutupi bagian dada hingga perutnya karena dirasa melambai ke arah wortel dan pisau, menghalangi pekerjaannya.
Aza menghela nafas beratnya lalu menyenderkan punggung dan kepalanya di sofa, bukan irt yang menjadi persoalan utama sebenarnya, namun bunda tak tau jika kenyataannya Azalea sudah memiliki kekasih, Angga...seorang staf administrasi di sebuah rumah sakit ternama, dia merupakan kaka tingkatnya di kampus sebelum Angga lulus dan bekerja.
Bunda tau Aza adalah anak yang logis, melihat Aza yang diam ia tak mau menunggu sampai putrinya itu memiliki waktu untuk menolaknya. Maka bunda segera mencuci tangannya dan bergegas ke kamar demi mengambil sesuatu.
"Dibaca, dilihat dan dipikirkan dulu. Anaknya baik, soleh, pekerja keras, dan gently kok kaya mol*to...." candanya.
Sebelah mata yang terpejam terpaksa membuka sedikit saat bunda mengusik jiwa yang mulai tenang karena rasa lelah.
"Astagfirullahhhhhh----" rengeknya mele nguh panjang, menutupi wajah dengan sebelah lengan membuat bunda tertawa gemas melihat aksi putri tunggalnya itu, ia tau Aza tak mungkin menolak permintaannya sekalipun itu mesti ngemis-ngemis, "bunda sama ayah cuma mau yang terbaik buat Aza, kretek hati bunda tuh yakin kalo Jagat itu calon imam idaman, calon mantu soleh..." wanita cantik berjilbab coklat susu itu melengos ke pantry untuk melanjutkan kegiatannya setelah berhasil menyerahkan selembar CV seorang lelaki ke tangan Aza, "kretek hati bunda bikin hati aku kretek...kretek..." jawabnya ditertawai gemas bunda.
"Gimana ini mas Angga..." gumamnya berkomat-kamit getir, tak berniat melihat biodata si pria. Segitu niatnya bunda dan ayah menjodohkan dirinya dengan entahlah siapa itu anak kah, cucu kah, atau anak pungut dari temannya itu. Hanya sekilas ia melihat foto si pria dan begitu tersentaknya ia.
"Astagaa! CV apaan nih! Mau main-main nih orang!" Aza langsung menaruh kasar lembaran kertas berisikan data diri pria itu dan melenggang ke kamarnya. Terang saja ia kesal dan kaget, wong foto yang dipasang adalah wajah tertutup helm operasi perang dan masker hitam tengkorak, yang terlihat hanya matanya saja, pokoknya persis tero risss!
Nama : Jagat Adyaksa
Lahir : Yogya, 12 April 19XX
Alamat : Jl. Pertiwi no 24. Perumahan Bumantara, Batavia.
Profesi : prajurit angkatan bersenjata negri.
Gol. Da rah : O
Pendidikan : akademi militer tahun ××××
Bla...bla...bla....
🍃 Di belahan bumi lain
"Dicoba dulu to le..." ibu sudah berusaha selembut mungkin menghadapi sifat keras putranya dengan segala macam jenis kelembutan, bahkan ia sudah melangitkan do'a-do'a di sepertiga malamnya, meskipun mata sambil merem melek karena rasa kantuk, demi memohon pada sang pemilik kehidupan untuk melembutkan hati putranya itu.
Jagat membuka seragam lorengnya dan memuntahkan isian tas ransel yang berisi baju-baju kesatuan kotor hasil dinasnya beberapa hari ke belakang. Namanya juga bujangan iye khannn! Pulang dari asrama oleh-olehnya ya bawa baju kotor!
Hari ini mau tak mau ia terpaksa menyanggupi permintaan bapak dan ibu untuk pulang hanya untuk membicarakan hilal jodohnya! Karena sudah tak ada lagi alasan untuknya menghindar.
"Bu, aku bisa cari sendiri...ibu sama bapak kasih aku waktu..." bujuknya melongokan kepala ke dalam perut tas yang sudah kosong dan menyisakan butiran debu.
"Sampe kapan?!" kini ibu tak bisa lagi lembut, kesabaran manusia itu rupanya ada batasnya meskipun sekelas ibu. "Sampe ibu sama bapak ndak ada?! Terus mati penasaran karena belum liat kamu nikah dan punya keluarga?! Wedus le...le... Keburu jadi po cong..." omelnya lagi.
Astagfirullah! Keduanya bergumam, termasuk ibu yang terkejut dengan ucapannya sendiri.
Jagat mengusap kening glowing kecoklatannya, lebih tepatnya sih coklat keireng-irengan, buah dari berjemur setiap saat selama menjadi prajurit negri.
Ibu melengos keluar dari kamar Jagat, namun secepat mungkin sudah kembali untuk menyerahkan selembar CV seseorang.
"IQRA!" singkatnya dengan tegas. Akhirnya ibu meninggalkan Jagat bersama secarik kertas berisi data diri seorang gadis.
"Ya Allah." Jagat cukup terkejut saat pertama menatap lembaran putih berisikan sejumlah kata dan satu buah foto print-an, dimana sesosok makhluk yang ia sendiri tak dapat memastikan siapa itu, apa gendernya ataukah ia benar-benar manusia atau cuma gedebong pisang karena foto yang ditampakan adalah makhluk berjilbab menutupi hampir seluruh bagian foto, tak lupa topi dengan lambang channel hitam menyisakan background biru pinggiran bentukan sisi kepalanya dan bahu saja.
"Becanda nih cewek." dengusnya membuang kertas itu hingga jatuh di atas lantai kamarnya.
Nama : Azalea Kamila
Lahir : Jekardah, 24 Agustus 20XX
Alamat : Blok B4 no.20 Komplek Pagarsih, Jekardah.
Profesi : Mahasiswi kedokteran kampus kuning.
Gol. Da rah : B
Bla...bla...bla....
Jagat menarik handuknya di belakang pintu dan memilih untuk masuk ke dalam kamar mandi.
.
.
.
.
.
Dentingan sendok dengan piring kontras dengan mulut Aza yang diam, sekalinya mangap cuma pas melahap nasi plus ayam saja.
"Dengerin ayahmu..." kritik bunda disela-sela kunyahannya.
Aza melirik berdecak, satu sendok nasi satu gelas air minum, begitu seterusnya. Diomelin pas lagi makan sungguh bikin begah, ya kenyang minum...ya kenyang diceramahin.
"Ngga ada orangtua yang mau jerumusin anaknya. Semua orangtua maunya yang terbaik buat anaknya...." kini ayah menangkap bola mata Aza yang sejak tadi sudah menghindar berputar kesana kemari, mencari perlindungan dari sergapan mata ayah.
"Tapi Aza bisa cari sendiri, malah udah ada calonnya kalo ayah sama bunda kasih kesempatan." Jawabnya lemah namun penuh penekanan, tanda ia sedang menahan emosinya padahal hatinya sudah meledak-ledak sejak tadi tak terima. Begitu banyak alasan ia tak mau membantah ayah dan bunda secara frontal atau marah-marah terus mogok makan mogok ngampus.
Tapi yang jelas ia bukan pribadi anak yang seperti itu, Aza di didik dengan ilmu parenting yang cukup baik dan lingkungan hangat serta sehat.
Ayah maupun bunda yang tak pernah memotong omongan Aza membuat gadis itu tak kuasa untuk ngamuk-ngamuk pada kedua orangtuanya.
"Siapa, Angga?" tembak ayah membuat Aza membolakan matanya, "ayah tau?" rasanya makanan sebesar bola kasti dan belum dikunyah sempurna itu langsung meluncur begitu saja demi mendengar tebakan ayah.
Binar bahagia sudah terpancar dari mata Aza ketika ayah tau, apakah ayah merestui? Sejak kapan ayah tau? Namun tiba-tiba binar itu meredup dan sirna, "dia bukan lelaki baik-baik." Serangnya.
Dengan lengkungan di bibirnya, bunda semakin menyetujui ucapan ayah, "bunda kira dugaan ayah sama bunda salah. Bunda kira Angga cuma temen, seperti yang kamu selalu bilang?!" kini bunda bersuara, seolah-olah Aza adalah pembohong dan telah menghianati kedua orangtuanya, jahat...jahat....
"Kalau dia lelaki baik-baik, dia akan datang ke rumah....minta ijin sama ayah dan bunda untuk sekedar membawa kamu keluar, bilang sama ayah sama bunda kalo dia sama kamu lagi menjalin hubungan. Bukan dengan diam-diam di belakang." Ujar ayah, "apa namanya kalo bukan maling?"
Mulut Aza menganga dibuatnya dan tak bisa lebih mangap lagi saat ayah mengatakan, "lelaki baik-baik bukan mengajak pacaran. Tapi dihalalin dulu baru pacaran, masa sayang tapi ngajak mudharat, ngajakin maksiat, di belakang yang punya lagi..." skak!!! Aza kini manyun mendengar ucapan ayah, mau mendebat, tapi memang posisinya ia yang salah...ia dan Angga berpacaran tanpa sepengetahuan ayah dan bunda.
~Jagat~
Sayur lompong, sudah lama Jagat tak makan masakan ibu itu. Meski terbilang dari bahan sederhana tapi jika tangan ibu yang penuh cinta yang membuatnya lompong aja berasa daging sapi Wahyuuuu oyyy!
"Enak le?" tanya ibu.
Jagat mengangguk cepat, "enak bu."
"Oh ya jelas, dimasakin penuh cinta. Besok lusa kalo calonmu sudah datang, mesti ngajarin masak beginian ya bu?" diangguki ibu. "Biar dibilang makanan rakyat jaman penjajahan tapi uenakk tenan..." sela bapak membuat makanan berkuah yang seharusnya ng'gleser di tenggorokan itu mendadak seret.
Asyemmm! Jagat meraih gelas berisi air mineral penuh, meneguknya tanpa jeda sampai habis dalam sekali gerakan turunnya jakun. Badasss!
"Kenyang aku, pak." Ia segera beranjak setelah menghabiskan makan malamnya beserta air putih seteko.
Dalam waktu yang bersamaan meski di tempat yang berbeda Jagat dan Aza merebahkan seluruh organ gerak, meski otak mereka tengah berpikir sekeras baja dengan pencernaan yang menggiling makanan tadi. Memikirkan segala perkara yang terkena imbas dari rencana perjodohan.
Aza menatap langit-langit kamar dimana lampu kamar senantiasa menerangi malamnya.
"Aku harus ngapain?" ia memiringkan posisinya, belum selesai masalah perjodohan, ia baru mengingat masalahnya yang lain, nilai makalah dan prakteknya waktu lalu cukup jelek. Jangan, jangan begitu....ia tak mau sampai ada cacat nilai di semester yang sudah menjelang akhir itu.
Padahal rencana indahnya selanjutnya adalah ambil spesialis dan menjadi dokter spesialis yang andal, maka ia mau semua tugas dan nilainya sempurna menurut versinya.
Ia sudah menjinjing sepatu deltanya, menepuk-nepuk kaos kaki yang sudah dicuci oleh ibu di ujung tepian kursi bambu sebelum memakainya.
Bunyi *kreket---kreket* dari kursi bambu yang didudukinya menandakan jika beban yang ditanggung si kursi cukup berat.
Pagi ini ia memilih sarapan di kesatuan saja, demi menghindari obrolan dengan tema yang sama dengan kedua orangtuanya, bukan membelinya di kantin namun ibu selalu membekalinya dalam kotak makan seperti anak sd jika berangkat dinas dari rumah.
"Kapan balik lagi ke rumah, le?" tanya ibu menyerahkan kotak berwarna biru pada Jagat dari gawang pintu, lalu duduk di samping membuat kursi itu semakin menjerit berderit.
"Ndak tau bu..." ia tak cukup tega untuk mengatakan, sampai ibu sama bapak berhenti menjodohkannya.
"Nugas luar?" kembali ibu bertanya, diangguki Jagat meski itu adalah sebuah kebohongan, *maafin aku bu, jangan dikutuk yoo*. Kalimat itu cukup ia sematkan saja dalam hati.
"Nanti, selesai tugasmu langsung pulang, inget loh! Ibu sama bapak sudah ada janji mempertemukan kamu sama calonmu..." wanti-wantinya pada sang putra, kalee aja putranya itu sudah pikun.
Jagat menyelipkan baretnya di tas ransel dan memasang helm di kepala, tanpa menjawab kalimat kepastian ia hanya mengangguk saja dan mengulurkan tangannya pada ibu, bukan untuk minta uang jajan melainkan meminta do'a dan restunya, "aku dinas dulu, bu."
"Le," ibu masih kekeh memegang tangan Jagat, menahan agar anaknya itu jangan dulu pergi. Kini dengan sorot mata memelas ciri khas perempuan kalo minta uang arisan, "biar kamu ada yang jaga, ada yang ngurus, ada teman hidup, le..." pungkasnya. Jagat tau, sorot mata itu adalah sorot mata khawatir dan sayangnya seorang ibu terhadap putranya. Kini ia menghela nafas berat, "njih bu." Glekk! Ia menelan salivanya sulit. "Aku pergi, assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Dengan hati yang semakin terbebani, Jagat menaiki sepeda motornya dan keluar dari halaman rumah, menyusuri jalanan menuju kesatuan.
Hari secerah senyuman ibu itu memaksa Jagat untuk menengok awan sejenak sambil menimbang-nimbang permintaan ibu dan bapak semalam dan tadi pagi.
Meski usianya sudah matang, namun entahlah...kesiapan berumah tangga bukan ditentukan menurut umur seseorang, apalagi dengan seseorang yang ia tak tau bagaimana perangainya, visi, misi hidupnya, cocok atau tidak dengan dirinya, bahkan wajahnya saja ia tidak tau, bagaimana jika wanita itu memiliki kulit seperti papan catur? Atau tak memiliki hidung? Atau mungkin ia adalah wanita angkuh yang tak bisa menerima kekurangannya, bukankah menikah itu harus bisa saling melengkapi? *Hoffftt*.....
Terlalu konsentrasi berpikir, membuat perjalanan seolah tak berjarak. Jagat mengangguk ketika mulai memasuki palang pintu batalyon.
"Bang, tidur di rumah?" basa basi penjaga serambi depan.
"Iya." Angguknya, "yoo ah!" tanpa harus menghentikan terlebih dahulu mesin motornya bak di drive thru Jagat melenggang masuk lebih dalam.
Tak ada yang istimewa hari ini, apalagi untuk dirinya yang hanya seorang letnan satu, lettu. Menjadi pion atasan dan garda terdepan bumi pertiwi mutlak ia laksanakan.
"Pagi serdadu remahan!" sapa Jagat terkekeh pada rekannya yang pagi-pagi sudah menclok persis kakak tua di depan komputer. Rupanya, tak selamanya prajurit itu mainan pistol.
"Hm, kalo saya prajurit remahan, kamu prajurit apa? Butiran debu?" tembaknya berdesis, memancing tawa Jagat pagi-pagi. Namun sejurus kemudian Dika berseru dengan binaran bahagia penuh harap, "gat, nanti sore temenin aku ketemu sama Ayu yooo..." ajaknya bersemangat.
Kemudian Dika menggeser roda kursinya memperpendek jarak antara dirinya dan rekannya itu. Aksi itu praktis membuat Jagat menoleh dan menatap Dika dengan alis yang mengernyit singkat, "Ayu ajak temennya kok, biar kamu ngga sendiri, double date---double date, siapa tau nanti kamu cocok sama temennya Ayu..." ucapnya.
Temannya itu....setiap kali ia akan bertemu dengan perempuan incarannya, selalu ia yang jadi kambing conge nya. Tak bisakah ia melakukan pendekatan tanpa dirinya?
"Sorry Dik, aku lagi ngga na ff suu buat ketemu cewek." Balasnya sukses membuat bibir Dika julid tak ada obat, "oalah nggayamu...ngga naff suu, terus naff sumu sama apa? Ben conkk? Udah belok kamu, Gat?!" tuduhnya langsung dihadiahi tonjokan keras dari Jagat, "si alan."
"Kamu itu, Dik. Hari gini cari jodoh di fb. 1 banding 100, yang bener. Dari sekian puluh cewek yang diajakin ketemuan, saya belum liat tuh ada yang nyangkut sampe pelaminan, saranku mendingan yang pasti-pasti saja..."
"Contohnya?" tantang Dika.
"Lettu Dika, dimohon menghadap danyon..." suara seorang prajurit berwajah chubby nan manis dan berambut bop menghampiri keduanya dengan tersenyum ramah menghentikan perbincangan keduanya.
"Dek Nisaaa....sehat neng?" Dika tersenyum lebar penuh kejijayan menurut Jagat pada staff administrasi kesatuannya itu, memancing gelengan prihatin dari Jagat.
"Baik bang." Angguknya sopan.
"Ada apa ya, abang dipanggil?" tanya Dika basa-basi.
"Kurang tau, sepertinya penugasan. Kabarnya mabes meminta tambahan prajurit untuk masuk dan diikutsertakan di pasukan perdamaian ke Kongo. Mungkin abang terpilih..." Nisa menyertakan secarik kertas penugasan pada Dika yang mulai dibaca si empunya, dan dilongoki Jagat.
*Argghhh*! Dika mele nguh berat nan sedikit kecewa, gagal maning menjalin hubungan! Padahal ia sudah optimis bakal menjalin hubungan bersama Ayu, tapi mengingat tugas perdamaian ini bukan tugas yang sebentar, maka ia tak yakin Ayu mau jika ia tembak dan ia ajak melakukan long distance relationship. Selalu saja, jika niatnya sudah bulat untuk menjadi seorang cassanova, pasti ujung-ujungnya casablanca.
Lain halnya dengan Dika yang kecewa, ide lain justru terbersit di dalam pikiran Jagat, atas semua masalahnya semalam. Apakah ini jawaban Tuhan untuknya? Agar ibu dan bapak menyerah dengan perjodohan? Agar calonnya dan keluarganya menyerah dengan pekerjaannya yang memang tak memberikan harapan pertemuan?
"Let, maaf saya bertanya. Apakah tugas luar ini menerima pengajuan?" tanya Jagat memantik keterkejutan Dika, ia sampai menaikan kedua alisnya sehingga kelopak matanya terangkat ke atas, menampilkan ketidakpercayaan Dika.
"Kamu mau ngajuin, Gat?" tanya nya berseru.
"Kalau bisa." Angguk Jagat.
Dika ber-waw ria, "seriusan? Jauh dari keluarga, bro?"
"Iya saya tau. Masa iya saya mau bawa ibu saya ke Kongo..."
*Pffttt*! Nisa cengengesan dengan ditahan punggung tangannya, "komandan bisa langsung bertanya pada danyon."
"Oke."
"Wah, emang bener-bener setia kawin kamu Gat, ngga nyangka saya....kalo kamu seloyal itu sama saya....sampe rela ninggalin keluarga demi nemenin saya..." Jagat hanya mendengus getir, "jangan geer kamu, Dik...saya cuma memang mau ikut saja dalam misi perdamaian."
Nisa kembali tertawa, "abang berdua ini...so sweet banget. Ya udah ah, Nisa mau ngasih ini buat yang lain juga, sudah ditunggu danyon." pamit Nisa, "hormat, ndan."
"Siap!" balas Jagat dan Dika, "dek Nisa, ngga mau bareng, atau saya temani, takut dicolek genderuwo, dek?!!!" teriak Dika digelengi Nisa dari kejauhan, "genderuwonya lettu Dika!" jawab Nisa.
Jagat sontak menggeplak perut Dika, "sana sini okeeee kamu, Dik...." cibirnya.
"Yuk, cabut. Ketemu danyon." tarik Jagat, menarik dan menggusur ujung kerah Dika.
.
.
.
.
.
"Prof!" teriak Aza dengan langkah super cepat, habis mata kuliah pertama saja Aza sudah menyelanginya dengan pelajaran olahraga, sepertinya selain lulus sebagai dokter ia juga akan menyabet gelar atlet sprint selepas wisuda dari kampus.
Sosok yang hampir di seluruh bagian depan kepalanya botak itu menoleh singkat dan si alnya masih terus saja berjalan tak peduli Aza yang sudah bernafas senin kamis demi mengejarnya.
"Gue lempar granat juga nih dosen, kalo ngga inget guru adalah pelita dalam kegelapan." Dumelnya mengejar, mempercepat laju larinya, "gue kejar ampe Cina sekalipun!" kembali Aza berujar ambisi.
Ckittt! Bahkan suara sol sepatunya berdecit ketika ia mulai mengerem langkah, memotong jalan sang profesor yang terkenal tegas, galak, sedikit memiliki rasa belas kasihan.
"Astagfirullah," ia berdecak berwajah masam, kaya asam jawa.
Aza mengatupkan kedua tangannya di depan wajah, layaknya umat mau do'a sama dewa, "prof. please....masa ngga ada kebijakan buat benerin nilai...ini kan bukan ujian. Saya bener-bener udah ngerjain, menghafal dengan sungguh-sungguh sesuai makalah yang saya buat dari beberapa sumber referensi terpercaya, makalah pun saya sendiri yang mengerjakan..." jelasnya tanpa jeda sekalipun untuk mengambil nafas.
May be....nafasnya masih belum teratur akibat mengejar profesor Suwitmo.
Pria tua itu menggeleng, jelas saat presentasi, kalimat yang ia ucapkan berbeda dari makalah yang ia tulis, sedikit melenceng berimprovisasi tapi sulit untuk ia tolerir.
"Prof...prof...tolong, baru kali ini kan saya berbuat kesalahan. Sebelum-sebelumnya..."
"Sudah banyak." Tukas pria itu. Aza tak menyerah, "prof..." rengeknya.
"Begini saja, apa yang bisa memperbaiki nilai saya? Buat makalah baru, presentasi ulang, atau membuat makalah dengan tema lain yang melampirkan bukti konkret dan studi kasus?" sorot matanya berujar sungguh-sungguh. Tak dapat pungkiri, Azalea adalah salah satu mahasiswi terbaiknya, gadis ini juga begitu berambisi untuk meraih gelar cumlaude di angkatannya.
"Tapi please." ia kembali menunduk mengatupkan kedua tangannya, "kasih saya kesempatan buat memperbaiki."
Netra tua itu menatap gerak gerik memohon Aza di depannya, ia tau Aza akan menahannya disini, sampai ia berkata sesuatu yang ia harapkan, bahkan mungkin sampai ia ken cing berdiri sekalipun, Aza akan tetap menahannya disini.
"Oke."
Satu kata itu membuat wajah gadis itu bercahaya persis bohlam.
"Lakukan tugas praktek menjadi tenaga kesehatan bersama dokter berpengalaman, hanya ikut saja! Camkan! Perhatikan dan amati, lalu catat ilmu apa yang kamu dapat disana sesuai studi kasus, kemudian minta beliau memberikan penilaian atas apa yang sudah kamu lakukan disana, sebagai nakes."
"Maksudnya jadi asisten dokter?" bukankah itu ada waktunya? Ia mengernyitkan dahinya.
"Seperti itu."
"Berapa lama?" tanya Aza.
Pria tua itu terlihat berpikir, "anggap saja saya sudah memberikan kamu waktu untuk menjadi koas sebentar, memberikan gambaran lapangan menjadi dokter koas." Segaris senyum tersungging di sebelah bibirnya, semakin membuat Aza berbinar. "syaratnya...." telunjuk buntet pria itu menunjuk Aza.
"Bukan di rumah sakit. Melainkan berbaur di masyarakat yang benar-benar membutuhkan nakes."
"What? Bakti sosial maksudnya, prof? Semacam relawan?"
"Smart girl. Nanti saya kasih surat pengantar dan rekomendasi bila diperlukan..." ucapnya melenggang meninggalkan Aza, yang kini kembali berdecih, "mesti kemana?!" ia menggigit kuku jari tangannya, pertama kali pikirannya tercetus adalah pusat kesehatan masyarakat, tapi puskesmas mana yang menyelenggarakan kesehatan gratis, ia tak memiliki info atau chanel apapun pasal itu, "kota mana yang lagi kena bencana?!"
Aza menyipit dengan senyuman smirknya, kebetulan sekali... Sekali dayung 2, 3 pulau terlampaui. Jika ia bisa mendapatkan tempat yang cocok maka tidak menutup kemungkinan hal ini pula yang akan membatalkan perjodohannya dengan anak teman bunda dan ayah. Yesss! Allah masih sayang gue!
"Konggoooo?!" jeritnya berseru, Angga mengangguk seraya anteng menyedot jus strawberrynya di kantin rumah sakit ternama, "Pemerintah yang kasih surat edaran langsung dibawah bendera perserikatan bangsa-bangsa. Rumah sakit diminta mengirimkan nakes terlebih dokter yang mau jadi relawan."
"Buat apa adek nanya-nanya charity yang bakalan diadain rumah sakit?"
Aza terlihat sedang berpikir keras tak mengindahkan pertanyaan Angga, memikirkan segala perkara tentang jarak yang jauh, resiko yang akan ia tanggung, dan hubungannya dengan Angga, tapi bukankah ini demi Angga juga?
"Mas...mas mau buktiin sama ayah bunda, kalo mas serius sama aku, ngga?" Angga mau tak mau menatap serius pada kekasihnya itu.
"Ada apa?"
"Sebenernya...." Aza menceritakan semua masalah yang sedang menerpanya belakangan ini termasuk perjodohan yang tengah dilakukan kedua orangtuanya itu.
"Bantu aku masuk ke dalam list nakes ke Kongo, aku mau jadi relawan....mas ijinin aku kan? Demi kita, demi masa depanku..."
.
.
Aza melambaikan tangannya ketika Angga mengantarkannya ke rumah, meski masih saja ia belum rejekinya bertemu ayah bunda.
*Kamu gila? Kamu ngga pikirin aku*?!
*Ayah sama bunda juga pasti ngga akan ijinin kamu jauh*.
*Ngga aku ngga mau, sekalipun aku bisa*.
*Resikonya tinggi, negara konflik bersenjata, ditambah wabah penyakit virus mematikan, Azalea*!
*Kamu masih terbilang mahasiswa, belum jadi dokter*.
Seruan bernada kesal dari Angga masih terngiang di ingatan Aza, bahkan jus strawberry favorit keduanya saja tak mampu meredam amarah Angga, namun Aza adalah gadis keras kepala yang memiliki pendirian teguh, "mas. Aku ini calon dokter. Selama masih di bumi, di belahan manapun sumpahku adalah mengabdi untuk kemanusiaan, secara universal."
Aza berjalan gontai, sembari mulutnya lirih mengucapkan salam, tanpa mau menoleh ataupun melakukan apa-apa ia langsung nyelonong ke arah kamar dan menjatuhkan dirinya di kasur.
"*Aku tau mas! Aku sudah tau. Bukankah akan selalu ada resiko yang harus kita ambil di dalam hidup ini? Untuk apa yang kita mau, bukankah akan butuh perjuangan untuk sesuatu yang kita semogakan, yang kita harapkan*?!"
"*Aku sudah menimbang-nimbang dan menghitung semuanya. Masukin namaku kalo mas sayang aku*."
Lalu keduanya terdiam setelah perdebatan itu.
***Ting***!
Ponselnya berdenting tanda notifikasi masuk.
*Butuh surat ijin orangtua, dek*.
Aza menghela nafas dalam-dalam, kembali...ia akan kesulitan meminta ijin orang-orang sekitarnya apalagi bunda. Bagaimana caranya ia membujuk kedua orangtuanya?
Otak yang sudah lancip kembali ia asah dan paksa berputar, hingga akhirnya ia menemukan jawaban dan bergegas mencari kertas yang tempo hari ia buang, mulai dari bawah kasur, meja, laci meja, lalu ia ingat jika menaruhnya di meja ruang tengah. Sedikit melotot, apakah bunda menemukannya dan marah?! ia lantas bergegas ke ruang tengah, namun tak jua menemukan hingga hampir putus asa.
"Duh, dimana!"
Bu Ita melintas dengan membawa keranjang berisi pakaian kering dari luar, "bu!"
"Iya neng?"
"Bunda kemana?"
"Bu Sarah tadi bilang mau arisan, neng. Neng Aza udah makan? Bu Sarah titip pesen sama ibu, katanya kalo neng Aza mau makan ibu udah masak..."
Bu Ita yang hanya membantu mencuci dan menyetrika saja di rumahnya itu datang hanya di waktu siang hingga ke sore, apakah ia tau kertas CV itu?
"Kalo gitu ibu lanjut dulu gosok ya neng..." pamitnya, namun belum ia berlalu jauh, Aza kembali bertanya, "bu, ibu ada liat kertas ngga bu, di meja situ...ada foto tero risssnya?" tunjuk Aza ke arah meja putih pendek namun lebar.
"Kertas, tero riisss? Yang hitem-hitem, yang data data orang bukan?" Aza mengangguk demi pernyataan bu Ita, "iya bener."
"Oh, itu ibu taro di bawah meja yang ada majalahnya neng...takutnya kertas penting."
Belum selesai bu Ita berbicara Aza langsung berjongkok dan melongokan kepalanya ke bawah meja dimana tumpukan majalah lama bercampur dengan majalah baru berbagai tema. Ia menurunkan semuanya sampai terlihat acak-acakan lalu mencarinya cepat, "alhamdulillah!"
"Tugas neng?"
"Heem. Tugas negara!" angguk Aza pergi tanpa mau membereskan kembali perbuatannya.
Baru kali ini ia benar-benar membaca dengan seksama data diri Jagat, sembari melangkah ke arah kamar, "Jagat Adyaksa..." lirihnya.
Langsung saja Aza menyambar ponselnya dan mengetik nomor Jagat lalu tanpa sungkan dan segan menghubunginya, ia yakin bunda dan ayah akan luluh jika calonnya lah yang berbicara, apalagi kabar istimewanya adalah ia yang sudah berkabar dengan calon menantu idaman bunda, pasti semakin luluh!
Tutth....
Tutt....
Aza sampai menatap ulang berkali-kali layar ponselnya saat tengah menghubungi nomor tanpa foto profil itu, "asli...ngga diangkat?! Shombonggg amat bro! Ha." ia membuang nafas kasar dan singkat bernada sumbang.
Lalu Aza mencobanya lagi, "wehheyyy siapa sih lo! So banget sampe ngga mau angkat panggilan aku!" omelnya lagi pada ponselnya.
Alis Jagat terangkat sebelah, cukup dibuat terkejut nan kesal saat mengangkat panggilan yang entah nomor siapa, karena tak ia save lalu si orang yang ada di sebrang panggilan malah ngomel-ngomel menghinanya.
"Siapa ini?" tanya Jagat membuat mata indah itu membeliak karena rupanya Jagat sudah mengangkatnya ketika ia sibuk mengomel.
"Hallo, ini Jagat Adyaksa?!"
Jagat terdiam saat Aza justru berseru kegirangan, tadi marah-marah sekarang seneng kebangetan, apa perempuan ini baru saja pulang dari RSJ?
"Jagat, atau mungkin bisa saya panggil bang Jagat...."
"Saya tanya ini siapa?" pungkas Jagat tak mau berbasa basi tak penting, waktunya tak banyak melayani orang aneh.
"Aku Aza...Azalea...."
Deg.....
Kini Jagat yang menatap berkali-kali layar ponselnya, tak percaya.
.
.
.
.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!