Kalian mau tahu bisa sejahat apa seorang wanita di dunia ini?
Yang katanya makhluk penuh kelembutan dengan perangai hangat, fisik rapuh nan lemah yang harus kami lindungi? Yang harus didahulukan selain anak-anak jika dunia ini dalam keadaan terancam? Yang pikirannya serapuh tisu bisa tergores angin?
Wanita ini tidak seperti itu.
Aku bahkan malas mengingat namanya, dan masa laluku dengannya.
Yang jelas dia sudah jadi mantan istriku baru-baru ini.
Kami memiliki Bayi Laki-laki yang lucu, dia berselingkuh dariku saat hamil.
Kau bayangkan? Saat hamil besar aku melihatnya bercinta dengan dua laki-laki di kamar tidur kami. Dan yang parahnya, istriku melakukannya saat sedang mabuk.
Siang-siang mabuk, saat lagi hamil.
Kau masih berpikiran itu jahat?
Tidak... itu bukan bagian terjahat darinya.
Aku berusaha tidak menceraikannya karena ia sedang hamil, dan keluarganya membantuku untuk mengawasi tingkah lakunya. Tapi tetap saja mereka kecolongan.
Tiba-tiba dia menghilang di suatu hari, dan pulang sudah dalam keadaan perut mengecil. Saat kutanya di mana anakku, dia bilang kalau ada pihak yang membantunya melahirkan. Mereka memberinya uang 50 juta untuk bisa memperoleh anak itu.
Dengan kata lain, anakku dijualnya seharga 50 juta.
Kami panik?
Ya tentu saja!!
Dasar betina psikopat!
50 juta itu gajiku setiap bulan dan tega-teganya dia menjual anakku seharga itu?! Aku bisa saja memberikannya uang itu kalau dia minta!
Dia bilang dia tidak ingin anak itu, karena anak laki-laki dan terlalu mirip denganku. Lagi pula anak-anak merepotkan dan mengganggu geraknya. Sudah melahirkannya susah, sakit, si bayi nangis terus, apalagi kalau menyusu pay u dara nya bisa kendor.
Aku tidak bisa mencerna semua ucapannya.
Tidak bisa.
Itu terlalu setan bagiku.
Ibunya saja sampai pingsan mendengar alasannya.
Saat itu lagi-lagi si Reina, nama mantan Istriku itu, pulang dalam keadaan mabuk.
Kujebloskan saja dia ke penjara, biarlah keluarganya menghujatku.
Dari sana baru bisa kutemukan anakku di sebuah tempat penampungan yang jaraknya 1.233 km dari Jakarta.
Aku bisa bilang itu anakku karena, ya benar, dia mirip aku. Lihat saja hidungnya mancung begitu.
Pemilik penampungan ilegal ditangkap polisi, dan saat diinterogasi semua bayi di sana akan dikirim ke India. Dibesarkan di sana untuk dijual rumah bordil atau ke pabrik tergantung permintaan.
Anak laki-lakiku mau dijual ke rumah bordil di India.
Kalian pernah baca cerita yang bertema psikopat? Yang pemeran utamanya jatuh cinta ke wanita atau pria dengan kecenderungan psikopat, gila, jahat...
Apa mereka pernah tahu psikopat itu se-berbahaya apa?! Tidak ada psikopat yang bisa sembuh seperti manusia normal karena itu sudah kelainan mental. Dan seorang psikopat tidak pernah jatuh cinta, mereka hanya menjalani kehidupan seakan ini parttime. Menikah ya menikah, membunuh ya membunuh, disuruh tobat ya tobat. Tapi kau sentil sedikit saja pemicunya, mereka bisa kambuh lagi. Karena apa?
Mereka memiliki hati tapi mereka tidak memiliki perasaan.
Dengan entengnya Reina mengeluarkan bayi dari perutnya dan menjualnya.
Dan dengan entengnya mereka meletakkan bayiku di kandang, hanya diberi air putih untuk bertahan hidup padahal tali pusarnya belum kering.
Mau menikah dengan orang seperti istriku? Atau kalau kau perempuan, mau tidur dengan orang seperti si penjual bayi?
Mereka itulah psikopat.
Istriku seorang psikopat, dan aku baru tahu setelah menikah sebulan dengannya.
Ini pernikahan bisnis, kami dijodohkan. Dan aku berhasil menikah dengannya selama setahun. Setahun yang menyiksaku.
Dia memang tidak terlalu cantik, tapi supel dan bapaknya relasi bisnisku.
Di usia yang menjelang ke 35 tahun aku masih single, karena aku sibuk bekerja.
Aku memang bukan Boss Besar tapi jabatanku lumayan bonafit.
Keanehan istriku macam-macam, tidak bisa kujelaskan satu-satu saking banyaknya. Seharusnya aku tahu dari awal tapi aku dibutakan oleh cinta dan bayangan indah berumah tangga dengannya.
Juga orang tuanya tidak terlalu mengenal anaknya yang mana itu sudah jadi hal umum di negara ini belakangan. Belum tentu buah jatuh dari pohonnya. Peribahasa baru.
Tentu saja perceraianku semulus jalan tol berbayar.
Apalagi dia kabur ke luar negeri. Katanya... mau nikah sama sugar daddy. Saat ini tentu saja pemerintah menjadikannya buronan internasional.
Saat mertuanya minta hak asuh anakku. Hakim langsung bilang : Tidak.
Mohon maaf ya Bu Mertua, tidak bisa. Anakmu bahkan tidak minta maaf padaku. Merasa bersalah pun tidak. Masa dia anggap anak ini barbie? Yang bisa seenaknya dijual dan dibuang?
Istriku itu manusia bukan?
Tapi aku meloloskan permintaan mereka untuk menyembunyikan hal ini dari publik, berhubungan dengan kemajuan bisnis mertuaku soalnya.
Namaku Zaki Rakai.
Aku kini bekerja di PT. Prabasampurna Support. Anak Usaha dari Prabasampurna Grup yang bergerak dalam layanan pengelolaan Facility Management, Manpower Services, Equipment Supply & Maintenance, dan ICT Solution. Perusahaan jenis apa itu, akan kujelaskan kemudian.
Kita bicara mengenai wanita dulu.
Karena makhluk yang satu ini adalah inti dari masalahku.
Topik berikutnya...
Kalian mau tahu bisa seberapa baik wanita?
Wanita ini yang akan kuceritakan. Inti dari novel ini. Sebanyak 20 lebih bab silakan kalian simak seberapa baiknya dia.
Namun sayangnya, karena aku masih trauma terhadap mantan istri, aku malah yang jadi ‘jahat’ padanya.
**
Pagi ini aku izin dari kantor untuk melakukan pemeriksaan kesehatan Rutin anakku. Namanya Aram. Kunamai dia Aram.
Sekitar tiga hari yang lalu aku membawanya ke dokter setelah muncul eksim dan ia diare berat. Ibuku tidak terlalu concern mengurus anak karena beliau sudah tua dan juga banyak kesibukan lain, tapi kami tidak mau memakai babysitter akibat banyaknya pemberitaan negatif. Jadi hal seperti ini kurang terkontrol dengan baik. Aku tidak menyalahkan ibuku, seharusnya memang aku yang berwenang menjaga Aram.
Aku pun pergi pagi, pulang tengah malam, banyak proyek di kantor yang tidak bisa kutinggalkan.
Walau pun kami memiliki banyak ART, namun mengurus bayi bukan tugas mereka.
Aram kerap muntah dan diare, beratnya juga di bawah rata-rata. Kami sudah berganti banyak merek susu, dari mulai yang sekotak 50 ribu sampai yang sekaleng satu jutaan. Semuanya tidak ada yang cocok. Dari yang basicnya susu hipoalergenik, atau susu formula dengan protein terhidrolisis, sampai susu berbahan dasar kedelai. Tidak ada yang bisa ditelan Aram.
Setelah kasus itu, Aram dirawat lumayan lama di NICU, dan kondisi ususnya sudah mulai membaik setelah sebulan perawatan.
Namun kini mulai memburuk lagi. Usianya menginjak 2 bulan dan saat ini aku benar-benar khawatir. Aram sangat lemas sampai tangisnya tidak bersuara.
“Pak, kalau boleh saya sarankan bisa memakai donor ASI.” Kata Dokter.
Inilah yang kutakutkan.
Dikira memakai donor ASI semudah itu? Bagaimana dengan urusan nasab, bagaimana dengan kondisi si pendonor? Bisa saja melalui Bank ASI, namun harus dilakukan dengan sangat hati-hati, jika tidak dicatat dengan benar, maka bisa terjadi dosa saudara sepersusuan.
“Bapak sudah coba menghubungi kerabat atau kenalan yang memiliki ASI Perah?” dokter itu bertanya padaku. Kulihat wajahnya khawatir.
“Atau dokter bisa bantu saya dengan hal itu? Saya kasihan dengan Aram, dia bolak balik ke sini, disuntik ini itu. Dia masih 2 bulan Dok.” Aku memang agak menekan si dokter. Karena aku tak memiliki kenalan atau pun saudara yang sedang hamil dan menyusui.
“Ah… takdir.” Dokter menggelengkan kepalanya.
“Suster, coba cari pasien yang tadi, Bu Kayla ya? Siapa tahu masih di sekitar rumah sakit.”
Sang suster yang diberi perintah langsung mengangguk dan terburu-buru keluar ruangan.
“Siapa? Dan dia kenapa?” tanyaku penasaran.
“Sebenarnya ini menyalahi prosedur, Pak Zaki. Tapi saya juga kasihan dengan Aram. Jadi begini,” Dokter menatap Aram yang tertidur karena kelelahan di gendonganku. Sering kali anak ini tertidur karena lelah, bukan karena kenyang.
Dan akhirnya agar anak itu tertidur, untuk kenyang, Dokter harus menginfusnya.
Sebenarnya kondisi Aram ini kerap terjadi pada bayi yang secara psikologis terganggu. Aram tidak mendapatkan kasih sayang ibunya dari lahir. Kalau dilihat dari hasil lab, dia bisa saja sehat kalau mendapat asupan nutrisi yang cukup.
“Pak Zaki, saya memiliki pasien yang anak dalam kandungannya meninggal di usia kehamilan 8 bulan. Dia kerap mendapatkan kekerasan dari suaminya, dan terakhir di dorong dari…” Dokter tak sanggup meneruskan kalimatnya.
“Intinya, Pak Zaki, secara fisik Bu Kayla ini masih memproduksi ASI walau pun janinnya sudah tiada. Ia sudah sebulan ini berobat, dan kondisi dada nya membengkak karena produksi ASI yang berlebih. Istilah awam-nya Mastitis. Dua minggu pertama masih bisa dipompa, tapi sejak minggu lalu tidak ada ASI yang keluar walau pun sudah dipompa. Sudah dirangsang, sudah di theraphy, tapi tetap tidak berhasil. Selama dua minggu ini dadanya terus membengkak sampai terjadi demam, dan kami berencana melakukan operasi. Karena beliau sudah sangat kesakitan. Takutnya terjadi abses di saluran asi-nya. Mungkin saja dengan adanya Aram, bisa membantu Bu Kayla juga.”
“Apakah tidak apa-apa? Berbahaya untuk anak saya tidak? Kalau ASI mengendap di dada bisa saja beracun tidak? Memangnya benar belum terjadi abses? Itu artinya bernanah kan ya?” Aku agak ragu. Tapi terus terang saja, aku lebih mengkhawatirkan kondisi Aram.
“Laporan dari Radiologi belum terjadi abses Pak, tapi kondisi Bu Kayla lumayan berat. Ia juga dilanda postpartum depression. Skor dari hasil pemeriksaan psikiater cukup tinggi. Kalau orang normal 8 sudah dianggap tinggi, Bu Kayla ini 13. Ya wajar karena kekerasan yang dialami dan kehilangan bayinya. Kemungkinan itu yang mengakibatkan terjadinya mastitis.” Dokter menggelengkan kepalanya. “Kita berdoa saja semoga mereka cocok ya Pak. Dan tolong… jangan kaget kalau melihat kondisi Bu Kayla.”
“Ke…kenapa harus kaget…?” Rasa was was langsung melandaku.
Dokter hanya tersenyum getir sambil menatap Aram yang masih tertidur.
“Dokter,” suster pun masuk ke ruangan. “Bu Kayla masih di sini. Dia belum sempat menebus pain killernya sih Dok.”
“Persilakan masuk, Sus.” Kata Dokter sambil berdiri.
Seorang wanita. Pucat dan tampak sangat letih. Kulitnya seputih pualam dan berjalan perlahan. Aku bagaikan melihat vampir hidup.
Dada wanita itu besar. Tapi tubuhnya kurus kering. Mohon maaf kalau aku salah fokus, tapi aku laki-laki normal. Melihat yang seperti itu tentu saja perhatianku teralihkan. Apalagi bajunya agak ketat, dia menggunakan celana sejenis kargo dan kaos lengan panjang. Yang seharusnya agak longgar tapi karena volume dadanya di atas rata-rata jadi terlihat ketat.
Wanita yang bernama Kayla itu langsung menatap bayi yang ada di gendonganku.
Lalu ia pun menatapku dengan pandangan bertanya.
“Bu Kayla, Pak Zaki.” Aku mendengar dokter angkat bicara. “Silakan dibicarakan berdua, siapa tahu ini bisa menjadi solusi yang baik. Niat saya untuk menyatukan Aram dengan Bu Kayla. Rangsangan hisapan bayi sangat penting, berbeda dari mesin penghisap. Dilain pihak Itu juga akan sangat membantu Aram untuk mendapatkan nutrisi.”
“Maksudnya… dokter ingin Aram menyusu ke… ibu ini?” Tanyaku ragu. Spontan aku mundur agak menjauhi wanita pucat di depanku ini. Aku tak kenal siapa dia. Dia cantik, tapi aku mengalami trauma yang lumayan berbekas akibat perlakuan Reina pada kami.
“Apakah itu mungkin bisa menolong saya Dok? Asi di dada saya ini sudah mengendap selama 2 minggu. Apakah tidak apa-apa?” Tanya wanita di depanku ini.
“Kita tidak tahu… harus dicoba kan?” kata Dokter dengan senyum penuh harap.
“Bagaimana riwayat kesehatannya? Ibu ini punya penyakit bawaan tidak? Alergi tertentu atau penyakit menular?” semburku. Aku panik, jujur saja. Anakku akan membuka mulutnya untuk menerima dada orang lain, aku tidak tahu wanita ini bersih atau tidak, dia orang baik-baik atau tidak.
Terlihat Kayla tersinggung dengan perkataanku, ia mengernyit tidak suka.
Aku tidak peduli. Itu adalah hal spontan yang harus kutanyakan karena aku benar-benar menyayangi Aram.
“Secara medis tidak ada penyakit menular, Pak. Juga tidak memiliki alergi tertentu. Dengan kata lain, aman untuk Aram.” Kata Dokter sambil tersenyum padaku. “Bu Kayla rutin cek kandungan sejak kehamilan menginjak 6 bulan.” Aku melihat Dokter tersenyum getir ke arah wanita itu. Senyumnya itu begitu menyakitkan di mataku, sehingga aku pun berasumsi ada kejadian sangat gawat saat usia kandungan wanita ini menginjak 6 bulan. “Saya sendiri yang menanganinya. Sampai saat terakhir, saya juga yang menanganinya.” Kata Dokter.
Wanita ini menatapku, aku balas menatapnya.
Dia tersinggung, aku waspada.
Pertemuan pertama kami lumayan buruk.
Saat itu Aram terbangun.
Lalu menangis lagi karena lapar.
Karena dia berontak, aku cukup kesulitan menenangkannya. Dan Kayla tampak sendu menatap Aram.
“Bagaimana ini dok?” tanyaku mulai khawatir.
“Kalau Pak Zaki tidak berkenan dengan bu Kayla, saya akan memberikan infus lagi untuk-”
“Dia sudah cukup ditusuk Jarum.” Potongku cepat. Tolonglah, masa aku tega melihat tangan mungil anakku ditusuk jarum hampir setiap minggu?! Memangnya tak ada cara lain yang lebih bersahabat?!
“Saya akan berdiskusi dengan dokter lain siapa tahu masih ada solusi. Tapi kami butuh waktu, Pak.” Kata Dokter. Berapa lama lagi waktu kami bertahan dengan keadaan ini?
Sudahlah...
Kuambil saja risiko ini.
“Tapi lakukan di depan saya, saya butuh melihat anak saya berproses.” Kataku.
“Bagaimana bu Kayla?” Tanya Dokter. “Kondisi ini di luar wewenang kami. Kalau ketahuan saya juga bisa dipecat dan izin saya dicabut. Kecuali ini adalah dari kesepakatan kalian berdua. Yang saya lakukan hanya ‘mengenalkan’ kalian.”
Kayla menggigit bibirnya, lalu ia mengangguk lemah. “Dicoba saja ya Dok.”
Lalu ia pun membuka kancing bajunya.
Astaga... aku membatin.
Pay u dara di balik baju itu... Merah keunguan, dengan urat bersembulan. Besar sekali sampai terlihat timpang dengan tubuhnya.
“Sakit kah?” tanyaku spontan
“Terlihatnya bagaimana Pak?” Kayla balik bertanya padaku. Ia jelas masih kesal denganku., Ya wajar, dia sedang menahan sakit, ditambah menerima hinaan dariku..
“Itu tidak busuk kan dok?! Nanti kalau berbahaya buat anak saya bagaimana?!” mulutku ini...
Dokter bahkan sampai menarik nafas panjang mendengarku sesumbar. “Secara medis kondisi ASI masih bagus karena tersimpan di dalam tubuh, namun daya tampungnya terbatas, hanya sebesar ini, jadi dia mendorong daging dan kulit.” Kata Dokter.
“Boleh Pak?” Tanya Kayla sambil menengadahkan tangannya.
Aku menghela nafas panjang, menenangkan diriku sendiri.
Demi Aram...
Sudahlah, kupasrahkan saja pada Yang Diatas. Toh selama ini Aram dalam LindunganNYa.
Aku lalu berdiri di sebelah Kayla untuk mengoper Aram ke wanita itu.
Bibir Aram yang mungil bereaksi saat pu ting Kayla ditempelkan di bibirnya.
Anak itu mulai mencari.
Anak itu mulai berharap.
Jemari kecilnya menggapai ke atas.
Tangisnya terhenti. Berganti jadi kata ‘Neh’.
Lalu ia pun membuka mulutnya dan menangkap puncak dada Kayla.
Kayla merasakan hisapan Aram.
Semakin lama semakin kuat.
Itu hanya hisapan bayi, namun reaksi tubuhnya berbeda.
Rasa sakit yang luar biasa seakan langsung menyetrumnya.
Kayla meraih lenganku yang kebetulan berdiri di belakangnya.
“Sakit! Sakit!!” Rintihnya.
Ia menangis tertahan.
Mungkin karena tak kuat akan rasa perihnya, ia sampai membenamkan kepalanya di lenganku.
Aku diam saja.
Walau pun remasannya lumayan kuat. Sakit juga tangan ini dibuatnya.
Tapi kuputuskan tidak kuganggu. Karena aku tidak merasakan sakitnya. Yang ada aku merasa miris untuk Kayla.
Sepertinya, Itu bukan sakit karena tergigit, Aram belum tumbuh gigi.
Tapi sakit karena… aliran ASInya te rang sang dan sarafnya membaca.
Tak lama kemudian, terlihat bibir Aram bergerak.
Menghisap dengan sangat rakus. Tampak tetesan berwarna kekuningan mengalir dari sela bibir mungilnya.
“Klorostrum ya...” desis Dokter sambil tersenyum. “Itu bukan nanah ya Pak, itu namanya klorostrum, tetesan pertama ASI yang mengandung sangat banyak nutrisi.”
Senyumnya kuanggap pertanda positif.
Lalu dari payu dara yang satunya, ASI pun mengalir deras sekali, bagai air mancur yang baru saja dihidupkan saklarnya.
“Alhamdulillah…” desis Dokter sambil mengusap wajahnya. Butiran air mata mulai jatuh dari kelopaknya. Ia mengambil tissue lalu menutup dada Kayla yang tidak di hisap Aram.
Aku?
Yah, aku sangat terharu.
Anakku akhirnya bisa makan.
Tanpa muntah.
Sambil berharap mudah-mudahan tidak ada alergi.
“Dok… Aram makan. Tidak muntah Dok…” desisku. Aku hampir saja menangis, tapi gengsiku lebih tinggi rupanya.
“Ya Pak.” Dokter pun mengangguk
Kayla masih menangis. Ia menahan sakit, sekaligus terharu dan lega.
“Terima kasih Pak...” desisnya. Sepertinya ditujukan padaku.
Siapa lagi bapak-bapak di ruangan ini selain aku?
“Siapa... nama si ganteng ini?” tanyanya.
Ya iyalah Ganteng, bapaknya kan aku.
“Aram, namanya Aram.” Jawabku.
“Wah... Astaga.” Desisnya. “Saya tadinya mau menamai anak saya ‘Arum’. Lihat saja, di nisannya pun saya beri nama Arum.” Ia membuka ponselnya dan menunjukkan sebuah nisan masih baru yang dihiasi taburan bunga.
Ya, nama Arum tertera di atas nisan itu.
Entahlah harus kuapakan wanita di depanku ini.
Aku mengawasinya menyusui, dia memandang Arran sambil terisak namun bibirnya tersenyum.
Ada sedikit rasa sedih, ada sedikit rasa khawatir, dan aku laki-laki normal. Mohon maaf tapi walau pun kondisi dadanya merah bengkak dengan sedikit memar keunguan, tapi itu tetaplah dada seorang wanita. Tentu saja aku terang sang.
Di luar itu, aku pun terharu saat melihat Aram begitu bersemangat menyusu.
Akhirnya… ada asupan nutrisi yang bisa memenuhi perut mungilnya itu.
Oke, kini tinggal bicara dari hati ke hati.
Anggaplah aku tanpa empati, tapi ini demi masa depan anakku. Kalau tidak ditegaskan dari awal, kalau tidak dibahas dari awal, takutnya berkelanjutan dan malah akan menyulitkanku.
“Berapa yang harus saya bayar untuk setetes asi dari kamu?” Tanyaku tanpa basa-basi.
Aku ingin hubungan ini profesional. Karena kami tidak saling mengenal. Kami hanya saling membutuhkan.
Wanita ini mengangkat wajahnya dan menatapku. Ia tampak kaget.
Jujur saja, setelah masa lalu yang menurutku lumayan berat menghadapi wanita, aku tidak akan gentar lagi akan tatapan seperti ini.
“Saya tidak akan-”
“Sebutkan saja nilainya. Kita saling bantu tapi saya tidak ingin hubungan ‘saling menyayangi’. Saya ingin hubungan profesional.” tegasku.
Wanita itu menggelengkan kepalanya, “Saya tidak tahu berapa nilainya Pak. Saya tidak bisa mengontrol berapa ASI yang akan keluar. Keluarnya cairan ini atas izin Tuhan, Pak. Beliau yang bisa mengaturnya. Saya bahkan tidak tahu kenapa masih keluar padahal saya sudah tidak memiliki…” dan ia menjeda kalimatnya sejenak. “Jadi, Pak… tidak etis kalau saya menyebutkan harga. Coba beritahu saya pantasnya.”
“Kalau begitu, harga tenaga kamu saja.” Kataku selanjutnya. Kucoba cari jalan tengah karena pasti dia juga butuh usaha atas keluarnya ASI itu. Kudengar cairan kehidupan ini akan menyedot nutrisi tubuhnya.
“Hm… sesuai harga Baby sitter pada umumnya saja Pak.” katanya padaku.
Babysitter…
Hal yang paling kuhindari adalah anakku diasuh oleh orang tak dikenal. Banyak kekerasan terhadap anak yang terjadi, dilakukan oleh seorang oknum ‘baby sitter’. Tapi aku juga tak bisa membawanya ke kantor. Pekerjaanku membuatku sering keluar kantor untuk mengatur kantor cabang, dan jarang menginjak ruanganku kecuali untuk meeting dan diskusi dengan anak buah.
Sehari-harinya aku minta bantuan ibuku untuk mengurus Aram, tapi Ibuku sudah tua, walau pun di rumah ada dua ART untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Sementara aku menghindari saudara-saudaraku dalam mengurus Anakku. Aku tidak ingin di kemudian hari mereka menuntut balas budi. Kata-kata andalan mereka biasanya ‘Kami sudah membantu mengurus Aram, jadi kamu harus gini, jadi kamu harus gitu’, aku tidak ingin hubungan berbasis saudara.
Aku sudah pernah menerima bantuan walau tak ingin, di pernikahanku mereka memberi angpau besar-besar, saat mereka kesulitan mereka bilang ‘waktu itu aku memberimu angpau di saat kamu menikah, boleh tidak kuminta balik uangnya? Pakai bunga ya kan sudah berselang beberapa tahun’. Bah! Teori apa itu?! Sejak itu aku tak ingin terlibat di urusan apa pun. Aku akan memberi bantuan, tapi kalau menerima bantuan lebih baik aku minta orang lain saja.
Apa boleh buat… harus kubuat surat perjanjian.
“Saya sebenarnya tidak suka kalau orang tak dikenal mengasuh Aram. Anak ini sudah melalui berbagai macam hal yang tidak akan bisa kamu bayangkan.” Kataku.
“Hal yang tidak bisa saya bayangkan? Seperti saat hamil suami saya menendang perut saya? Menjorokkan saya ke depan truk?”
Astaga...
Apa yang dikatakan wanita ini?!
“Atau... menjerat leher saya dengan tali jemuran? Hanya gara-gara saya minta izin untuk bekerja lagi? Dia tak bisa membayar biaya rumah sakit saya, jadi saya berpikiran untuk bekerja agar gaji saya bisa untuk biaya Arum.” Katanya. Namun yang lebih mengherankan bagiku, nada suaranya tegas dan tertata. Sekaan semua dendam di hatinya sudah sirna, seperti sedang menceritakan cerita orang lain dan bukan dirinya sendiri yang mengalami.
“Ah ya, dia juga pernah menonjok perut saya, karena saya minta beli bedak. Bedaknya agak mahal sekitar 50 ribuan. Dia bilang saya pelacur mau ‘jualan’ dimana pakai bedak begitu? Jadi.... derita seperti apa yang Aram hadapi?”
Aku pun menarik nafas panjang.
Dunia ini... apakah saking banyaknya manusia, seakan nyawa tidak berharga?
Hati kecilku malah bersahut, kalau bersyukur Arum meninggal. Kalau dia besar, entahlah apa yang akan ayah kandungnya lakukan padanya. Biarlah dia menjadi anak surga lebih awal.
“Saya mau bertanya hal yang sensitif, mohon maaf kalau kamu tersinggung, Kamu bisa mendapat perawatan di rumah sakit besar, dari mana uangnya?”
“BPJS Pak, semuanya gratis. Dokter Hayati sangat baik, dia mendampingi saya dari pertama kali kami bertemu saat saya mengurus visum, sampai sekarang dia berpindah rumah sakit, saya pun mengikutinya. Setelah Dokter Hayati dipindah ke RS yang baru ini, sebenarnya dia sudah bukan dokter yang terdaftar untuk pasien BPJS, Pak. Tapi dia menggratiskan semua biaya perawatan saya.”
“Mungkin karena dia sudah tahu riwayat kamu di awal?”
“Dia benar-benar menolong saya dengan tulus.” Desis wanita ini sambil melepaskan dadanya dari mulut Aram. Bayi itu tidur dengan sukses. Bahkan mulutnya sampai ternganga karena kekenyangan.
Aku lega.
Luar biasa rasa kelegaan yang kini kurasakan. Melihat Aram yang tidur setelah menyusu dalam posisi dia pernah kelaparan berminggu-minggu.
“Apa... yang sudah dilalui anak ini?” Kayla mengernyit saat melihat beberapa luka gores yang ada di paha dan pinggul Aram. Itu bukan luka yang selayaknya diderita bayi. Bahkan luka itu baru saja kering.
Aku pun menceritakan semuanya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!