Khalifah Taimiyah telah memberikan titah kepada Jenderal Umar untuk mengambil alih posisi Panglima, setelah terbunuhnya Jenderal Asrul di Medan Perang.
"Jenderal Umar, negeri akhirat ini sangat membutuhkan seorang pemimpin untuk menumpas pergerakan pengikut Iblis. Jenderal Asrul telah mengorbankan dirinya untuk menyegel kekuatan Iblis. Namun bukan berarti negeri akhirat telah aman, masih banyak pengikut Iblis dipenjuru dunia."
Jenderal Umar bersujud kepada Khalifah Taimiyah.
"Saya terima tanggung jawab ini, tuan. Saya akan mengerahkan seluruh pasukan untuk menghapus pergerakan pengikut Iblis dari hal yang sekecil apapun hingga ke akar-akarnya."
Seribu tahun yang lalu, ratusan pasukan negeri akhirat telah terhipnotis pengaruh Iblis, membuat Jenderal Asrul menghadapi sebuah dilema. Akhirnya Asrul mau tak mau harus membunuh seluruh anak buahnya sendiri.
Namun, dalam usahanya menyegel kekuatan Iblis, Asrul harus mengorbankan dirinya dan Asrul kehilangan kemampuannya.
Terlihat ada seorang bayi yang terbalut kain di depan pintu goa.
Dengan sisa tenaga yang dimiliki Asrul, Asrul berusaha meraih bayi tersebut. Namun, ketika Asrul telah berhasil meraih bayi itu, tiba-tiba asap hitam menyerbu ke tubuh bayi itu.
Asrul berusaha sekuat tenaga untuk mengeluarkan asap hitam dari tubuh bayi itu, seperti yang telah Asrul ketahui bahwa asap hitam itulah yang membuat seluruh pasukannya kehilangan kesadaran dan terkendali pengaruh Iblis.
"Bayi siapa ini?...Li.. Liontin?.. Mungkin liontin ini satu-satunya petunjuk jatidiri bayi ini.."
Diakhir nafasnya, Asrul masih memegang liontin berwarna hijau dari bayi tersebut.
Dari kejauhan, ada seorang pria paruh baya berlarian menuju pusat terjadinya peperangan.
"Waduh.. Aku telah terlambat. Tidak ada yang bisa aku bantu untuk menyelamatkan pasukan negeri akhirat dari pengaruh Iblis."
Pria paruh baya itu bernama Jena. Beliau adalah tabib negeri akhirat yang diberi titah oleh Khalifah Taimiyah untuk membantu Panglima Jenderal Asrul.
"Panglima... Apa yang telah terjadi? Hmph.. Aku sungguh terlambat. Panglima Asrul sudah tidak bisa diselamatkan lagi. Ba.. Bayi siapa ini.. Malang sekali nasib bayi ini."
Jena menyeret tubuh Asrul kedalam goa, dan tubuh Asrul disandarkan pada sebuah batu besar.
"Panglima Asrul, posisimu sebagai panglima sangat penting. Engkau tidak boleh mati. Beristirahatlah disini sambil berkholwat. Jika memang takdirmu, engkau akan kembali memimpin pasukan negeri akhirat."
Setelah Jena memindahkan Asrul kedalam goa, Jena menyelamatkan bayi tersebut dan dibawanya pulang untuk dirawat.
Bayi itu diasuh oleh Jena di tempat tinggalnya, di lembah taman seribu bunga. Bayi itu diberi nama oleh Jena dengan nama Siti Adawiyah.
Puluhan tahun Siti Adawiyah tinggal bersama Jena. Mereka tidak tinggal disana hanya berdua, ada dua orang lagi yang tinggal bersama mereka, yaitu Wildan dan Maelin.
Sebagai tabib negeri akhirat, Jena sering mengunjungi negeri akhirat untuk mengantarkan obat yang dibutuhkan Khalifah Taimiyah dan seluruh penghuni negeri akhirat.
Maelin, Wildan, dan Siti Adawiyah juga mahir dalam ilmu pengobatan, karena selalu diajari oleh Jena.
Selama tinggal di lembah taman seribu bunga, Siti Adawiyah tidak pernah diizinkan untuk keluar wilayah lembah taman seribu bunga, bahkan perbatasan wilayah tersebut telah dibuat pagar ilusi oleh Jena, agar yang diluar tidak bisa masuk.
Keseharian Siti Adawiyah selalu bersantai sambil membaca buku milik Jena. Salah satu buku yang dibacanya adalah buku biografi panglima negeri akhirat, Panglima Jenderal Asrul.
Siti Adawiyah tertidur dibawah pohon apel, setelah dia jenuh membaca buku. Didalam tidurnya, Siti Adawiyah bermimpi melihat peperangan antara pasukan negeri akhirat dengan pasukan bangsa iblis.
Terlihat didalam pertempuran, Panglima Jenderal Asrul membasmi pasukan bangsa Iblis dengan sangat terampil. Namun, betapa terkejutnya Siti Adawiyah melihat didalam mimpinya bahwa Panglima Jenderal Asrul tidak hanya membunuh pasukan bangsa Iblis, melainkan juga membunuh anak buahnya sendiri, namun setelah itu Panglima Jenderal Asrul terkena serangan dari raja Iblis.
"Kenapa.. Kenapa begini?"
Siti Adawiyah tersentak hingga akhirnya terbangun dari tidurnya.
Keringat dingin mengucur deras dari tubuh Siti Adawiyah. Siti Adawiyah segera mencari ayahnya untuk menanyakan takwil mimpi yang baru dialaminya.
"Ayah.. Ayah.. Ayah dimana?"
Siti Adawiyah berlarian kesana kemari mencari Jena. Akhirnya Siti Adawiyah melihat ayahnya ada di gubuk belakang rumah sedang berkholwat.
"Ayah.. Apakah saya boleh mengganggu ayah? Ada sesuatu yang ingin saya tanyakan."
Siti Adawiyah bertekuk lutut menghadap Jena.
"Ada apa sayang? Katakan saja. Kapan ayah menolak berbicara dengan anak ayah tersayang?"
Jena segera bangkit dan menyuruh Siti Adawiyah berdiri.
Lalu Siti Adawiyah mengatakan apa yang dilihatnya didalam mimpinya.
"Ayah, kenapa aku selalu bermimpi melihat Panglima Jenderal Asrul berperang melawan ribuan pasukan berjubah hitam? Bagaimana keadaan Panglima Jenderal Asrul sekarang? Apakah beliau selamat?"
Jena menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Seharusnya dia sekarang sedang berkholwat di dalam sebuah goa. Sudahlah.. Kenapa engkau selalu bertanya soal mimpimu, dan engkau menggagalkan mimpi indah ayah."
Siti Adawiyah tertunduk, sedangkan Jena tersadar dengan tugasnya.
"Walah.. Ayah hampir lupa. Ayah sedang mematangkan pil pesanan Jenderal Umar."
Jena berlarian menuju tungku obat dan mengeluarkan sebuah pil.
"Siti Adawiyah, cepat berikan pil ini kepada Wildan. Katakan padanya untuk segera mengantarnya ke negeri akhirat untuk diberikan kepada Jenderal Umar. Harus segera diberikan, kalau tidak maka khasiatnya akan berkurang."
Siti Adawiyah memasang muka cemberut.
"Kenapa tidak aku saja yang mengantarnya? Bukannya akan lebih cepat sampai?"
"Jangan! Ayah sudah ribuan kali mengatakan bahwa engkau tidak boleh keluar dari wilayah lembah taman seribu bunga ini!"
Jena terlihat sangat khawatir.
"Baiklah ayah, jangan marah-marah begitu dong.." Siti Adawiyah segera meninggalkan Jena untuk mencari Wildan.
"Wildan... Wildan.. Dimana engkau.."
Siti Adawiyah berlari kesana kemari mencari Wildan namun Wildan tidak terlihat batang hidungnya.
"Dimana sih nih orang?.. Pasti dia sedang berkelahi lagi.. Tidak ada kapoknya nih orang, gemar berkelahi tapi nggak pernah menang. Dasar lelaki lemah.."
"Hmm.. Bukankah pil ini tidak ada gunanya jika terlalu lama tidak digunakan? Daripada nanti tidak ada manfaatnya, sebaiknya aku antar sendiri saja ke negeri akhirat. Lagipula aku butuh kebebasan untuk melihat dunia luar yang luas."
Akhirnya Siti Adawiyah memutuskan untuk mengantarkan sendiri pil tersebut ke negeri akhirat.
Dalam perjalanan, Siti Adawiyah bersembunyi didalam gerobak yang bermuatan jerami. Kebetulan gerobak tersebut menuju negeri akhirat.
Dalam perjalanan, Siti Adawiyah mendengar percakapan dari kedua warga negeri akhirat.
"Kita harus segera sampai di lumbung, setelah berkemas kita masih ada waktu untuk menghadiri upacara pelantikan Panglima yang baru, Panglima Jenderal Umar."
"Ya, benar. Walaupun Jenderal Umar tidak setangguh Panglima Jenderal Asrul, setidaknya kita memiliki sosok pelindung negeri. Bukankah belakangan ini sedang viral menyebarnya asap hitam yang konon merupakan aura Iblis."
Sesampainya didepan pintu gerbang istana negeri akhirat, Siti Adawiyah dihentikan oleh dua orang penjaga.
"Berhenti! Dilarang berkeliaran di sekitar sini! Pergilah menjauh dari sini sebelum habis.."
"Habis apanya Broo.."
Salah satu penjaga berkomentar.
"Habis kesabaranku lah..."
Jawab penjaga yang satu lagi.
"Saya mau masuk ke dalam.."
Siti Adawiyah menunjukkan rasa hormatnya.
"Apakah engkau membawa undangan? Mana undangannya." Seorang penjaga mengulurkan tangannya.
"Saya hanya mengantarkan obat untuk Jenderal Umar. Apakah perlu membawa undangan hanya untuk mengantarkan obat?"
Siti Adawiyah mengeluarkan sebuah kantong dari jubahnya.
"Tidak bisa! Hari ini adalah hari yang sangat penting, siapapun pengunjung yang tidak memiliki undangan dilarang masuk!"
Penjaga tersebut menuding dengan senjata yang dipegangnya.
"Saya kemari atas perintah ayah saya. Ayah saya adalah tabib istana negeri akhirat. Namanya Jena. Apakah kalian tidak mengenalnya?"
Siti Adawiyah bersikeras untuk masuk ke dalam istana.
"Jena? Siapa Jena? Aku tidak mengenalnya! Pergi sana! Jangan memaksaku mengotori tangan hanya untuk urusan yang tidak penting!"
Penjaga itu terlihat semakin arogan.
Dengan enggan, Siti Adawiyah terpaksa meninggalkan pintu gerbang istana negeri akhirat. Sambil berjalan lesu, Siti Adawiyah berjalan dan tidak sengaja menyentuh kayu pohon tua yang terlihat angker, bahkan tidak ada seorangpun yang berani berjalan didekat kayu pohon tua itu.
Tiba-tiba dahan pohon tua yang di sentuh Siti Adawiyah tersebut bersinar dan sinarnya menyebar meliputi seluruh bagian pohon tua tersebut, kemudian seluruh bagian pohon tua itu menjadi abu dan berterbangan, lalu keluar seekor burung yang sangat besar. Burung tersebut langsung terbang tinggi meninggalkan tempat itu.
Kedua penjaga terkejut mendengar suara menggelegar dan terlihat oleh mereka seekor burung yang berukuran sangat besar sedang terbang menjauh.
"Ayo cepat kita lihat apa yang terjadi!"
Kedua penjaga berlarian menuju sumber suara, hal ini menjadi kesempatan bagi Siti Adawiyah untuk menyusup masuk ke dalam istana.
Di dalam aula istana, Siti Adawiyah berjumpa dengan para jenderal negeri akhirat.
"Aku sangat penasaran. Apakah jenderal Umar kali ini akan berhasil melewati ujian sambaran petir sebanyak tujuh kali? Dua tahun berturut turut beliau hanya sanggup menghadapi tiga sambaran petir, itupun beliau harus kehilangan kedigdayaan selama dua puluh tahun."
"Aku malah tidak habis fikir. Bagaimana mungkin Panglima Jenderal Asrul dengan mudah melewati ujian sambaran petir sebanyak tujuh kali tanpa cedera sedikitpun. Apakah karena beliau putra Khalifah Taimiyah atau karena ilmu yang diberikan oleh Guru Besar Gus Mukhlas telah sempurna diterimanya."
"Bukankah jenderal Ali juga murid Guru Besar Gus Mukhlas? Tetapi perbedaan kemampuan mereka berdua sangat signifikan."
Siti Adawiyah mendekati para jenderal dan bertanya.
"Maaf tuan-tuan, apakah kalian mengetahui dimana Jenderal Umar?"
Baru saja Siti Adawiyah bertanya, rombongan pengawal Jenderal Umar keluar dari aula utama.
"Sangat kebetulan sekali.. Itu didepan adalah Jenderal Umar."
Jenderal Usman menunjuk seorang pria paruh baya yang berpostur tubuh pendek dan berkulit gelap.
"Apakah tidak ada kandidat lain yang lebih baik sehingga Khalifah harus memilih dia?"
Siti Adawiyah menunjukkan kekecewaannya.
"Nona, kriteriamu cukup bagus. Akupun berfikir demikian."
Jenderal Ali menanggapi.
Siti Adawiyah mengeluarkan sebuah kantong dan ditunjukkan kepada Jenderal Usman.
"Tuan, Bukankah tuan mengenal Jenderal Umar? Tolong berikan obat ini kepadanya. Katakan kepadanya bahwa obat ini dari tabib Jena. Maafkan saya, saya ada pekerjaan lainnya."
Belum sempat Jenderal Usman berkata-kata, Siti Adawiyah langsung pergi meninggalkan tempat itu. Siti Adawiyah sangat terburu-buru karena dari kejauhan dilihatnya ada dua orang penjaga yang mengejarnya bergerak menuju tempat dia berdiri.
Jenderal Usman menggaruk kepalanya. "Bagaimana bisa makhluk dari alam dunia berada di negeri akhirat?"
Jenderal Ali berkata kepada Jenderal Usman.
"Saya penasaran. Bagaimana cara makhluk dari alam dunia bisa masuk ke negeri akhirat."
Dari kejauhan, dua penjaga gerbang berlari mendekat.
"Lihat disana! Itu perempuan yang menyusup tadi! Kejar dia!"
Siti Adawiyah berlari sekuat tenaga, dua penjaga mengejarnya seraya melempar tombak kearah Siti Adawiyah.
"Aah..."
Siti Adawiyah terkena lemparan tombak itu, menyebabkan dirinya terjatuh ke jurang yang diselimuti kabut tebal.
Siti Adawiyah mendarat di dasar jurang. Berkat ilmu Kanuragan yang telah diajarkan oleh Jena, Siti Adawiyah tidak mengalami cedera yang serius.
Di dekat tempat dia terjatuh, Siti Adawiyah melihat sebuah goa dan berinisiatif untuk bersembunyi disana agar tidak diketahui oleh kedua penjaga yang mengejarnya.
Tidak lama setelah Siti Adawiyah masuk kedalam goa, kedua penjaga sampai di depan pintu goa.
"Son.. Bukankah goa ini adalah goa tempat Panglima Jenderal Asrul berkholwat?"
"Ya. Benar. Tempat ini adalah tempat yang paling terlarang! Siapapun yang memasuki tempat ini, akan dihukum oleh Khalifah.. Kita harus segera meninggalkan tempat ini sebelum ada yang mengetahui kalau kita berada disini."
Kedua penjaga itu bersujud kearah goa dan langsung meninggalkan tempat tersebut.
Didalam goa, Siti Adawiyah melihat ada seseorang yang sedang duduk bersila.
"Ups.. Maaf tuan, aku telah mengganggu ritual tuan dalam berkholwat."
Setelah Siti Adawiyah memberi hormat, dalam hatinya merasa penasaran.
"Apakah begini kehidupan warga negeri akhirat? Apakah setelah tidak menyukai lagi kehidupan dunia, lantas menyendiri hingga mati?"
Siti Adawiyah memberanikan diri mendekati pria itu.
"Pria ini lumayan tampan, usianya pun tidak terlalu tua. Tapi sayangnya dia sudah mati."
Siti Adawiyah melihat ada sebuah liontin pada genggaman tangan pria itu, lalu Siti Adawiyah mengambilnya.
"Liontin ini sungguh cantik. Sayang sekali sedikit kotor karena berdebu."
Siti Adawiyah menyeka batu giok berwarna hijau pada liontin tersebut, tiba-tiba keluar seberkas sinar keluar dari batu giok dan sinar itu langsung bergerak menuju dada pria tersebut. Ternyata sinar tersebut adalah akar Jantung Asrul.
Betapa terkejutnya Siti Adawiyah ketika melihat pria itu membuka matanya.
"Engkau masih hidup? Tetap ditempat! Jangan bergerak, atau aku akan memanggil pasukanku untuk membuatmu mati kembali!"
Pria itu masih memelototi Siti Adawiyah dan melihat liontin yang dipegang Siti Adawiyah.
"Apa lihat-lihat! Ini liontin milikku! Aku tidak akan memberikannya kepadamu!"
Siti Adawiyah langsung berlari keluar goa dengan membawa liontin yang dipegangnya.
Sementara itu, di podium pelaksanaan ujian Panglima baru, Jenderal Umar sedang menerima sambaran petir yang ke empat. Tiba-tiba datang seekor burung besar mendekati podium.
"Serang burung itu! Itu adalah burung tunggangan raja Iblis!"
Beberapa jenderal berteriak histeris.
"Tunggu! Wahai saudara-saudaraku sesama makhluk abadi! Biarkan saya sendiri yang menghadapinya!"
Jenderal Umar maju kedepan dengan posisi menyerang.
Setelah bertukar serangan beberapa jurus, akhirnya burung besar tersebut terbang menjauh.
"Kejar burung itu! Jangan biarkan dia hidup!"
Jenderal Umar berteriak dengan marah.
Sementara Siti Adawiyah berlari sekuat tenaga, burung besar itupun terbang cepat diikuti ratusan prajurit yang mengejarnya.
Secara kebetulan tanpa disangka oleh Siti Adawiyah, tiba-tiba tubuhnya jatuh ke jurang dan lagi-lagi secara kebetulan tubuh Siti Adawiyah terjatuh keatas tubuh burung besar tersebut.
Para Jenderal dan ratusan prajurit yang mengejar burung itu melihat dengan jelas bahwa Siti Adawiyah sedang menunggangi burung besar yang dikejar mereka.
"Jenderal Umar! Tidak salah lagi! Ternyata perempuan itu adalah anggota suku Iblis. Lihatlah! Betapa akrabnya perempuan itu dengan burung besar tersebut."
"Serang burung itu beserta penunggangnya sekalian!"
Jenderal Umar memotong kedepan burung besar tersebut.
Akhirnya burung besar itu mendarat, dan Siti Adawiyah turun dari punggung burung itu.
Jenderal Umar menghadapi burung besar, sementara jenderal lainnya beserta beberapa prajurit menyerang Siti Adawiyah.
Tatkala Jenderal Umar hampir kewalahan menghadapi burung besar, tiba-tiba ada sebuah pedang melesat menyerang burung besar itu dan tidak lama kemudian muncul sosok yang semua orang mengenalnya, yaitu Panglima Jenderal Asrul.
Semua tertegun sejenak, kemudian Jenderal Umar memerintahkan prajuritnya untuk menangkap burung besar itu dan juga Siti Adawiyah.
Semua jenderal dan prajurit bersujud kepada Panglima Jenderal Asrul, sementara Asrul sedang berusaha melemahkan kekuatan burung besar tersebut.
"Salam Panglima.."
"Selamat datang Panglima.."
"Ternyata dia Panglima Jenderal Asrul. Kenapa kelihatannya tidak seperti yang ku baca di buku?"
Siti Adawiyah tercengang.
Sementara itu di lembah taman seribu bunga, Wildan baru pulang. Tidak lama kemudian, Maelin juga pulang.
"Hey.. Maelin! Kenapa engkau ada disini? Bukannya engkau sedang bertugas di negeri akhirat?"
Wildan kaget melihat Maelin yang berada di lembah taman seribu bunga.
"Halaah... Kurang ajar elo Wildan! Gara-gara elo nih. Sekarang Siti Adawiyah ditangkap oleh prajurit negeri akhirat."
Maelin sangat marah kepada Wildan, bahkan sampai Wildan dihukum oleh Maelin dengan cara mengikatnya di pohon apel.
Wildan terdiam seribu bahasa. Sedangkan Maelin, bergegas mencari Jena untuk melaporkan kejadian yang menimpa Siti Adawiyah di istana negeri akhirat.
"Ayah.. Ayah dimana?.. Ayah.."
Akhirnya Maelin menemukan Jena berada di beranda sedang bersantai ria.
"Ayah.. Ada yang ingin Maelin laporkan.." Tanpa membuang waktu, Maelin langsung berlutut tanda penghormatan.
Memang sejak kecil Jena telah mengajarkan adat istiadat kepada semua muridnya, yaitu anak angkatnya, bahwa harus memberi hormat kepada orang yang lebih tua dan kepada orang yang lebih tinggi derajatnya.
"Tunggu dulu, tunggu dulu.. Ngomong-ngomong kenapa engkau meninggalkan negeri akhirat? Bukankah engkau sudah diberi titah oleh Khalifah untuk bertugas di istana negeri akhirat?" Jena sengaja mengalihkan perhatian Maelin agar tidak terlalu tegang.
Jena telah melihat gelagat Maelin bahwa ada sesuatu yang sangat penting, dan Jena berharap tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan olehnya.
"Gawat ayah, gawat..." Maelin tidak sanggup menahan kekhawatirannya.
"Tenang, tenang.. Bicarakan perlahan-lahan. Ceritakan dimulai dari mengapa engkau meninggalkan istana negeri akhirat." Jena masih menggiring Maelin untuk bicara dengan tidak panik.
"Ayah, Siti Adawiyah.."
Maelin terdiam.
"Ya, kenapa Siti Adawiyah?"
Jena menjadi khawatir.
"Ketika Maelin sedang menghadiri upacara pelantikan Panglima baru, Maelin melihat Siti Adawiyah sedang di interogasi. Siti Adawiyah dikenakan tuduhan telah bekerjasama dengan bangsa Iblis."
Maelin bercerita sambil menangis tersedu-sedu.
"Kenapa bisa begitu? Kenapa Khalifah tidak memandang identitas aku?" Jena mengamuk dan tergesa-gesa ingin segera menjumpai Khalifah.
"Ayo kita ke istana negeri akhirat... Jangan lupa bawa tanda pengenal..."
Jena menarik tangan Maelin untuk segera berangkat ke negeri akhirat.
Di istana negeri akhirat, Jenderal Asrul sedang menghadap Khalifah Taimiyah untuk melaporkan kembalinya dirinya.
"Selamat datang Panglima Jenderal Asrul. Saya sangat senang sekali akhirnya engkau kembali bergabung bersama negeri akhirat."
Khalifah Taimiyah memeluk Asrul.
"Kembalinya Jenderal Asrul adalah suatu berkah. Sang Pencipta telah menganugerahkan cinta kasihNya kepada negeri akhirat." Khalifah Taimiyah kembali mengucapkan rasa syukur.
Kemudian selanjutnya Jenderal Umar melaporkan kejadian yang telah terjadi di Jurang Neraka.
"Lapor Khalifah.. Kami telah berhasil mengatasi burung besar kendaraan raja Iblis."
"Jenderal Umar, saya mendengar bahwa engkau telah menggunakan seluruh kemampuanmu untuk menghadapi siluman burung tersebut. Sekarang silahkan menemui tabib Maelin untuk memulihkan kondisi tubuhmu."
Khalifah Taimiyah sangat mengenal Jenderal Umar, semangat juang tinggi namun kemampuan tidak memadai.
"Terimakasih Khalifah.. Saya rasa hal itu tidak usah dikhawatirkan. Kondisi tubuh saya baik-baik saja."
Jenderal Umar merasa tidak enak dengan kekhawatiran Khalifah.
Kemudian Jenderal Usman angkat bicara.
"Maafkan saya Khalifah.. Izinkan saya mengungkapkan saran. Sungguh.. Kami menjadi saksi, bahwa Jenderal Umar telah berusaha maksimal untuk menghadapi siluman burung itu. Seandainya Panglima Jenderal Asrul tidak datang, sudah pasti Jenderal Umar akan binasa terbunuh oleh siluman burung itu. Saran saya, sebaiknya Jenderal Umar segera dibawa ke tabib istana untuk memulihkan kembali kondisi tubuhnya."
"Lancang kau Usman!.. Engkau telah merendahkan kemampuanku!" Jenderal Umar sangat tersinggung atas ucapan jenderal Usman.
"Jenderal Usman, ingat batasanmu. Jenderal Umar adalah seniormu." Khalifah Taimiyah meredakan situasi.
"Maaf Khalifah.. Ada satu lagi yang ingin saya laporkan.. Kami telah menangkap seorang wanita dari alam dunia. Kami melihat dia menunggangi siluman burung itu. Sudah pasti dia adalah pengikut Iblis. Mohon Khalifah menghukumnya."
Jenderal Usman memerintahkan prajuritnya untuk membawa Siti Adawiyah ke hadapan Khalifah.
Lalu Khalifah Taimiyah bertanya kepada Siti Adawiyah.
"Nona, siapa namamu?Darimana asalmu?.. Mengapa engkau mengacaukan negeri akhirat?"
Siti Adawiyah menjawab.
"Maaf tuan, nama saya adalah Siti Adawiyah. Saya memang bersalah, saya patut dihukum. Saya hanya mengikuti perintah ayah saya untuk mengantarkan obat ke istana negeri akhirat. Saya terlalu percaya diri untuk memasuki istana negeri akhirat."
"Siapa nama ayahmu."
Khalifah penasaran. Setahu Khalifah Taimiyah, hanya tabib Jena yang diizinkan mengurus masalah pengobatan di negeri akhirat.
Siti Adawiyah ragu untuk menyebutkan nama ayahnya. Siti Adawiyah khawatir jika dia menyebutkan nama ayahnya maka ayahnya akan terlibat dan akan dihukum juga bersamanya.
Siti Adawiyah tidak mengetahui seberapa besar peran ayahnya di istana negeri akhirat. Daripada mempertaruhkan sesuatu yang tidak diketahui, Siti Adawiyah berinisiatif untuk merahasiakan identitas ayahnya.
"Engkau telah lancang memasuki istana negeri akhirat. Terlebih lagi engkau tidak menyebutkan identitas dirimu. Bukankah ini namanya engkau cari mati?"
Khalifah Taimiyah hampir naik pitam, namun akhirnya mereda setelah akhirnya datang seorang pria paruh baya yang memaksa untuk bertemu Khalifah Taimiyah.
"Minggir kalian! Jangan halangi aku untuk bertemu Khalifah Taimiyah! Jika kalian tidak menyingkir, jangan salahkan saya jika kalian akan terluka!"
Pria paruh baya itu berusaha masuk meskipun beberapa prajurit menghalanginya.
Dari kejauhan Khalifah Taimiyah melihat bahwa yang datang adalah tabib Jena. Maka Khalifah Taimiyah memerintahkan prajuritnya untuk membiarkan tabib Jena menghadap.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!