“Papa…Papa.. kau ada di mana, Pa?” seorang anak perempuan kecil, berusia empat tahun, sedang mencari orangtuanya. Dia sendiri, berjalan di sekitar mall yang lumayan sepi.
“Kayaknya semuanya sudah aku beli deh buat ulang tahun Mira.” Alisha memeriksa belanjaannya. Dia belanja untuk ulang tahun keponakannya, Mira.
Alisha tidak sengaja melihat beberapa orang membawa seorang anak kecil, “Kamu cari papa ya? Papamu menyuruh Paman untuk membawamu ke sana. Ayo ikut, karena papa-mu sedang terburu-buru untuk pergi lagi.”
“Enggak! Kakek bukan suyuhan papa! Papa bilang, Anisha gak boleh ikut oyang lain!” anak itu menolak keras. Dia memeluk boneka kelincinya.
‘Dasar anak ini! Susah sekali sih dibujuk.’
“Kamu Anisa kan? Tuh, PAMAN tahu nama kamu. Masa kamu gak percaya?”
“Salah, Kek! Namaku bukan ‘Anisa’ tapi ‘Anisha’.”
“Iya, iya, itu kan sama saja. Yang penting, Paman tahu nama kamu. Ayo kita pergi dulu.” Pria itu memberi kode pada dua orang pria dewasa yang dia bawa untuk membawa gadis kecil itu.
“Gak mau! Pokoknya Anisha gak mau ikut! Papa! Papa!”
“Mau dibawa ke mana anakku?!!” Alisha berteriak. Mereka yang berusaha membawa Anisha melihat kearahnya. Alisha datang menghampiri mereka, “Permisi, ini anak saya, siapa kalian?” dia menarik pelan tangan Anisha kepadanya untuk dlindungi.
“A-apa? Anak… kamu?”
“I-iya! Kalian mau menculiknya ya?!” mendengar tuduhan itu, orang-orang jadi memperhatikan mereka.
“Akh… hahaha, tidak mungkin kami menculik anak kecil yang lucu dan imut ini. Papanya yang menyuruh kami untuk membawanya.”
“Suamiku? Tidak mungkin, karena suamiku juga sedang mencari puteri kami. Bilang saja kalian mau menculiknya! Mau aku laporkan polisi-
“Hey Nyonya! Anak ini tidak punya mama, ibu atau orang tua perempuan. Kami kenal dengan papanya. Atau, jangan-jangan kau sendiri yang penculik?”
“Tidak! Kakek salah! Dia adalah mamaku!” Anisha memeluk Alisha.
“Mama, Mama, katanya, meyeka di suyuh papa untuk menjemputku, tapi Anisha gak peycaya. Anisha takut Ma.”
“Kalian sudah dengar? Sekarang tinggalkan anakku sebelum aku menghubungi polisi!” Alisha sudah mengeluarkan ponselnya untuk mengancam, ‘Sebenarnya aku gak tahu nomor polisi. Lain kali, aku harus menyimpan nomor-nomor penting untuk keadaan darurat seperti ini.’
“Hahaha…” pria itu sebenarnya sudah mulai gentar, tapi pura-pura tenang dan tertawa kecil, “Ini pasti salah paham. Mungkin kami salah menjemput anaknya. Atau mungkin, anaknya gak kenal dengan orangtuanya. Ka-kalau begitu…” dia melihat orang-orang mulai mendekat, “Ka-kami permisi dulu.” Dia memberi kode pada orang-orangnya untuk segera pergi.
“Huuff… akhirnya mereka pergi.” Alisha menghela napas karena lega.
Beberapa saat yang lalu, sebelum dia datang untuk ikut campur, karena melihat anak itu tidak mau ikut dan pintar. Alisha merasa yakin, kalau hubungan pria-pria tadi tidak ada dengan anak kecil itu.
Alisha menurunkan posisinya, jongkok agar sejajar dengan Anisha, “Nak, kamu gak apa-apa kan? Apa kamu tadi terluka? Papa kamu di mana?” Alisha mengelus rambut Anisha.
“Mama!” Anisha memeluk Alisha dan menangis. Alisha sampai terheran.
‘Hm? Kenapa dia masih memainkan dramanya? Dia kan pasti tahu kalau aku bukan mamanya yang sebenarnya.’
“Mama kemana saja? Kenapa bayu datang sekayang? Hiks… hiks… Anisha yindu Mama.”
‘Aduh, bagaimana ini? Orang-orang masih melihat padaku. Aku tenangkan saja dulu anak ini.’
Alisha menggendong anak tersebut untuk di bawa ke bagian receptionis dan membuat pengumuman anak hilang.
Anisha begitu erat menggendongnya seakan tidak mau lepas darinya.
“Anisha!” sementara itu, pria lain memanggilnya. Karena memiliki kemiripan nama, Anisha dan Alisha sama-sama melihat kearah orang yang memanggil itu. Satu perempuan berpakaian babysitter juga ikut bersamanya.
“Papa! Papa! Ma, Papa sudah datang!” Anisha begitu senang sekali ketika melihat papanya datang.
‘Waw…. Tampan sekali. Dia tinggi, bahunya lebar dan… berkharisma.’
“Anisha, sini sama Papa.” Pria itu meminta puterinya dari Alisha.
Tidak sengaja, tangan mereka saling bersentuhan ketika ingin memindahkan Anisha.
“Anda… benar-benar papa dari anak ini kan?”
Pria itu melihat Alisha mulai dari kaki hingga wajahnya, “Baru kau tanyakan itu setelah kau menyerahkannya padaku?”
‘Waduh, ketus sekali cara bicaranya.’
“Itu… karena dia juga memanggilmu, ‘Papa’.”
“Papa, akhiylnya mama sudah pulang.”
“Sayang, kamu habis nangis ya?” dia mengusap airmata disekitar pipi puterinya, lalu melihat dengan tajam pada Alisha, “Apa yang kau lakukan pada puteriku? Apa kau orang jahat?!”
“Apa? Orang jahat? Aku bukan-
“Papa! Kenapa Papa mayah sama Mama? Gk boleh mayah-mayah Pa!” Anisha memarahi papanya.
“Enggak kok Sayang. Papa hanya tanya-tanya saja kok.”
“Nah, sekarang, kamu bisa ikut mba Dewi dulu gak? Papa mau bicara dengannya dulu?” dia memberikan Anisha pada Dewi yang sudah bersiap.
“Tapi Papa dan Mama jangan bertengkayl ya. Nisha gak mau Mama peylgi lagi. Pokoknya nanti, Mama hayus pulang beylsama kita.”
“Iya Sayang. Dewi! Jaga puteriku dengan benar, jangan sampai kau kehilangannya lagi! Paham?!”
“I-iya Tuan.”
‘Benar-benar dia pintar sekali mengatur ekspresi wajahnya.’
“Hey! Sekarang kau harus-
“Hey, hey, hey! Jangan panggil aku seperti itu. Kesannya aku seperti orang yang jahat saja.”
“Aku tidak perduli siapa namamu, jadi terserah aku memanggilmu apa.”
“Kalau begitu aku tidak mau bicara padamu, hmph!” Alisha melipat tangannya dan buang muka.
“Apa? Padahal kau sedang berusaha menculik puteriku, dan kau-
“Aku tidak menculiknya! Memang, tadinya ada orang yang mau menculiknya tapi aku datang dan menyelamatkan puterimu. Harusnya kau berterima kasih padaku.”
“Hah… sudah ketahuan melakukan tindak kejahatan, tapi kau malah berlagak seperti pahlawan.”
“Kalau kau tidak percaya, kau bisa mengecek CCTV disini. Atau, mungkin CCTV-nya hanya sebagai pajangan saja di sini. Sayang sekali, Mall yang begitu besar dan terkenal ini memiliki CCTV rusak.”
“Kau!”
“Pokoknya, aku tidak melakukan kesalahan apa-apa. Tanyakan saja pada anak itu.”
“Lalu kenapa dia memanggilmu, ‘Mama’?”
“Itu… itu karena-
“Kenapa? Kau sulit menjawabnya kan?”
“Ya aku terpaksa berpura-pura sebagai ‘Mama’ anak itu. Karena, orang yang menculiknya bilang, kalau ‘Papanya’ yang menyuruhnya untuk membawa Anisha. Aku tidak menyangka saja kalau puteri kecil yang cantik itu keterusan memanggilku, ‘Mama’.”
‘Apakah benar yang wanita ini katakan padaku? Tapi, apa yang dia katakan seperti masuk akal. Dan Anisha juga tidak pernah akrab dengan orang lain, mau perempuan atau laki-laki apalagi belum pernah bertemu.’
“Sudah ya. Aku harus pergi. Karena kau, kesibukanku jadi bertambah. Aku bisa menjamin kalau aku tidak menyakiti anakmu. Mana mungkin aku melakukan itu pada anak yang menggemaskan itu.” Alisha pun pergi melewati pria itu. Mereka belum sempat berkenalan.
Karena masih penasaran, pria itu ingin mengecek CCTV.
“Apa? Jadi CCTV yang ada disudut sana rusak?! Apa-apaan ini! Mall sebesar ini..” tiba-tiba dia ingat dengan apa yang diucapkan Alisha tadi, “Sial! Ganti semua CCTV yang rusak! Brengsek!”
Semua pegawai staf di mall itu habis dimarahi Sadewa. Perkara CCTV yang tidak layak digunakan, rusak, atau ada yang beberapa tempat tidak memiliki CCTV. Dari jabatan tinggi hingga jabatan paling bawah, tidak ada yang luput kena omelannya.
“Ba-baik, Pak. Kami akan menggantinya dengan baru.”
“Pak, di sana, ternyata ada CCTV yang masih menyala. Mungkin, rekamannya bisa memberikan anda jawaban dari yang anda cari.” Kata karyawan lain.
Sadewa pun buru-buru untuk mengeceknya. Dan benar saja, memang tampak terlihat sekelompok pria dewasa sedang menggendong puterinya yang hendak dibawa pergi. Dan terlihat juga, perempuan yang dia temui, menolong anak satu-satunya itu. Hanya gambar yang bergerak, tapi tidak bisa menangkap suara yang sedang mereka bicarakan. Tapi, video itu sudah menjadi bukti, bahwa wanita yang dia temui, memang tidak bersalah.
Apakah Sadewa menyesali kekasarannya? Tidak sama sekali. Dia anggap itu hanya kesalah pahaman yang bisa saja terjadi.
Sadewa ingin kembali ke parkiran mobil, menemui anaknya yang dititipkan pada pengasuhnya.
Belum sampai di mobil, dari jauh, sudah terdengar suara tangisan dari Anisha, menjerit disana.
“Sshhtt, Nona Anisha, berhenti menangis ya. Sebentar lagi papanya datang kok.”
‘Akh, menyebalkan sekali. Aku paling benci dengan anak-anak, salah satunya ya ini. Menangis terus kerjanya.’
‘Kalau bukan karena Nona Miranda, sudah aku tinggalkan saja anak manja ini.’
“Ada apa? Kenapa kamu menangis, Anisha?” tiba-tiba Sadewa sudah membuka pintu mobil.
“Papa! Papa, Mama mana?” Anisha mencari sosok wanita yang dia panggil ‘Mama’ yang menolongnya tadi.
“Itu… mama kamu…”
“Papa memayahi mama lagi??”
“Bukan, Nak.”
“Teyus, mana Mama?!”
“Sayang, kamu tenang dulu, jangan menangis dan marah-marah.” Sadewa berusaha menenangkan puterinya dalam pelukannya, tapi Anisha malah semakin menjadi-jadi menangisnya.
“Gak mau! Aku mau mama! Aku mau mama! Papa jahat, papa ngusiyl mama!”
“Anisha, tenangkan dirimu dulu. Kalau kamu menangis seperti ini, kamu bisa sakit, Nak.”
Anisha menangis keras. Dia berkeringat, dan batuk-batuk. Sadewa sangat panik, tapi tidak tahu harus berbuat apa. Dan apa yang membuatnya khawatir, terjadi.
“Anisha! Nak, Anisha, buka matamu, Nak.” Anisha pun pingsan dalam pelukannya. Sadewa berusaha memanggil nama puterinya agar bangun, tapi tetap saja.
“Kita ke rumah sakit sekarang!”
*
“Yeyy… Tante sudah pulang.” Mira, anak perempuan berusia lima tahun, sangat senang ketika melihat Alisha pulang. Apalagi ketika melihat bungkusan yang Alisha bawa.
Alisha memeluk keponakannya yang lucu itu.
“Tante, itu apa?”
“Ini?”
“Iya.” Mira mengangguk penasaran.
“Besok kamu tahu sendiri. Kalau sekarang, ini masih rahasia.”
“Akh… Mira mau tahu sekarang.”
“Jangan dong. Kan jadi gak kejutan lagi namanya.”
“Oh, itu hadiah ulang tahun untuk Mira ya, Tante?”
“Mmm… enggak tuh.”
“Akh, Tante bohong.” Tapi Mira tidak marah, dia malah memeluk Alisha.
“Mira, jangan ganggu tante kamu.” Fabian, pria berusia 28 tahun, kakak kandung Alisha sekaligus ayah dari Mira.
“Aku gak ganggu Tante kok Yah.”
“Itu kamu malah mencekiknya.”
“Akh… enggak kok.” Mira segera melepas tangannya dari leher Alisha, bukan bermaksud untuk menyakiti tantenya. Tapi, Fabian hanya bercanda, dia suka sekali menjahili puterinya.
“Akh… Ayah dan Tante senang banget ngusilin Mira.”
“Ini, kamu harus makan dulu. Dari tadi siang, kamu belum makan, sekarang makan dulu.”
Mira mengambil piring yang berisi makanannya, dan memberikannya pada Alisha, “Loh, Mira? Kenapa kamu kasih sama tante kamu?” tanya Fabian.
“Ini buat Tante makan ya? Wah, Mira baik banget ya. Kebetulan sekali Tante belum makan nih.”
“Bu-bukan Tante. I-ini buat Mira. Mira mau, Tante suapin aku makan. Ta-tapi kalau Tante lapar, Tante makan saja.” Mira jadi tidak tega menyuruh Alisha, padahal Alisha hanya bercanda mengatakan dial apar.
“Hahaha, biar Tante suapin kamu dulu makannya ya. Sini.”
“Alis, kau kan baru pulang, lebih baik istirahat saja dulu. Biar aku yang suapin Mira.”
“Gak apa-apa, Kak. Aku juga belum capek kok.”
“Akh, terserah kamu sajalah. Habis nyuapin keponakanmu, kamu istirahat langsung, atau makan dulu. Kakak iparmu sudah menyiapkan makanan tadi.”
*
Sadewa terus berada di samping puterinya yang belum bangun dari pingsan. Di rumah sakit, dia menggenggam tangan kecil itu, dan menciumnya, memberikan rasa sayang dan harapan pada puterinya agar segera bangun.
“Anisha, bangunlah Nak. Apa kamu gak kasihan sama Papa?” Sadewa bicara sendiri. Dia mengusap kepala puterinya, memberikan sentuhan hangat menandakan kalau dia tidak meninggalkan puterinya sendiri.
‘Ya Tuhan, tolong sehatkan anakku. Aku tidak mau dia sakit seperti ini. Hatiku sangat sakit melihat tubuhnya yang tak berdaya.’
Anisha Dahayu Farraz, adalah puteri kandung dari Sadewa Sapta Farraz. Anisha, sering sakit-sakitan karena memiliki tubuh yang lemah. Sudah berobat kemana-mana bahkan sampai keluar negeri, penyakitnya belum sembuh juga. Breath Holding Spells, refleks tubuh ketika anak tidak dapat mengendalikan rasa marah, sedih, takut, kaget, ataupun frustrasi. Apalagi jika dia tak hentinya menangis, bisa juga terkena demam yang tinggi.
“Papa…” Anisha menggerakan ujung jarinya. Perlahan, dia menengok kesamping, tempat Sadewa berada.
“Iya Sayang, ini Papa Nak.” Sadewa berdiri dari kursinya. Dia ingin menunjukan wajahnya pada puterinya.
“Papa, Mama… mana Mama?” masih saja Anisha mencari mamanya, padahal tubuhnya sangat lemah dan suaranya pelan. Sejak lahir, Anisha memang belum pernah melihat orangtua perempuannya, dan Sadewa tidak pernah menjelaskannya dengan benar.
“Mama kamu…”
“Anis… Anis mau bertemu Mama, Pa.”
“Iya Nak, mama kamu…. Mama kamu sebentar lagi akan datang. Tapi, kamu harus sehat dulu ya.”
“Papa…. Gak bohong kan?”
“Enggak Sayang, Papa tidak berbohong padamu. Apa yang kamu rasakan sekarang, Anisha? Apa kamu masih merasa sesak?”
Anisha menggelengkan kepalanya, “Anisha cuma mau bertemu sama mama. Anisha kangen, Pa.”
“Iya, mama kamu juga bilang, dia kangen. Katanya, karena ada urusan sebentar, sambil membelikanmu hadiah, kalian akan bertemu lagi.”
“Janji, Pa?” Anisha menunjukan jari kelingkingnya untuk membuat janji.
“Iya Sayang. Papa tidak berbohong.
Dalam hati Sadewa, ‘Kemana aku harus mencari wanita itu?’
Ceklek!
Sadewa melihat seseorang yang baru masuk, “Sadewa, bagaimana keadaan Anisha sekarang?” dia adalah pacarnya Sadewa, Miranda Sari. Wanita yang cantik berambut pendek dan putih. Mereka sudah menjalin hubungan selama empat tahun.
“Sshh, dia baru saja bangun. Pelankan suaramu.”
“Maafkan aku.” Miranda berjalan lebih dekat, “Hallo Nak, apa kabar?” Miranda melambaikan tangannya menyapa Anisha, dia tersenyum padanya.
Tapi, bukan balasan sapaan yang diterima, Anisha malah buang muka, seakan tidak mau melihat calon ibu tirinya itu.
“Aku dengar dari pembantumu di rumah, kau ada di rumah sakit, makanya aku datang ke sini. Apa kata dokter tentang keadaan Anisha?” Miranda sengaja memegang bahu Sadewa, sebagai tanda ingin memberinya kesabaran.
“Dia terlalu banyak menangis. Dan itu yang membuat tubuhnya lemah. Dia, terus memanggil ‘Mama’.”
“Mama? Sadewa, dia menginginkan sosok ‘Mama’, kenapa kau masih ragu kita menikah?”
“Gak mau!!”
Sadewa dan Miranda terkejut ketika Anisha berteriak. Padahal tadi suaranya begitu lemah, tapi dia masih bisa berteriak.
“Anisha, ada apa, Nak?”
“Aku gak mau Papa menikah dengan dia!” Anisha melihat Miranda.
“A-apa? Kenapa, Nisha? Kamu kan bilang mau punya ‘Mama’. Tante juga bisa jadi ‘Mama’ yang terbaik untuk kamu.”
“Pokoknya aku gak mau! Gak mau! Gak mau! Uhuk… uhuk…”
“Iya, iya, Nak. Jangan menjerit dulu. Papa tidak menikah dengan tante Miranda. Kamu jangan marah lagi ya.” Sadewa panik kalau sakit anaknya kumat lagi, Miranda panik karena kebencian dari Anisha.
‘Anak ini. Kenapa dia harus bicara seperti itu dan membuat Sadewa jadi tidak memikirkan tawaranku? Aku benar-benar membenci anak ini. Harusnya, dia lebih baik mati, kan?’
“Papa, uhuk… uhuk… aku… aku mau Mama. Mama yang waktu itu datang. Dia… dia memanggilku anaknya. Anisha… Anisha mau bertemu dengannya.”
“Iya Nak. Sebentar lagi Mama kamu akan datang. Tenang ya.” Sadewa mengusap kepala puterinya dan mengelap keringat diwajahnya.
‘Mama? Mama mana yang anak sial ini maksud? Apa Sadewa pernah bertemu dengan perempuan yang melahirkan anak penyakitan ini? Kapan?’
Perlahan-lahan, Anisha berhasil lebih tenang dan bernapas dengan normal. Tapi, dia melirik Miranda dengan tajam, “Papa, aku gak mau melihatnya.” Pintanya dengan suara pelan dan lemah.
Betapa terkejutnya Miranda, yang secara terang-terangan di usir dari sana. Sadewa pun, melihat Miranda, “Miranda, bisakah kau keluar dulu dari sini?”
“Sadewa, aku datang karena aku khawatir pada-
“Aku mohon, Miranda.”
Rahang Miranda mengeras, tangannya dikepal, dia mencoba menahan amarahnya, “Baiklah.” Bibirnya berusaha untuk tersenyum, “Aku akan pergi. Sayang, Anisha..” Miranda mendekati Anisha, tapi anak itu mengalihkan wajahnya, tidak mau bertatapan dengan Miranda, “Tante pulang dulu ya. Tante harap, kamu cepat sehat, supaya kita bisa bermain bersama. Tante akan beli apapun yang Anisha mau, ya?”
Tetap saja Anisha tidak memberi jawaban atau menengoknya sedikit pun.
‘Awas saja. Kalau aku sudah menikah dengan Sadewa, akan aku buang kau jauh-jauh!’
“Aku akan pergi, Sadewa. Kalau ada apa-apa, tolong kabari aku ya?” dia menepuk pelan bahu Sadewa sebelum dia pergi. Ketika dia menutup pintu, tatapan tajamnya masih melihat kearah gadis kecil yang kembali sumringah ketika hanya ada papanya di sana.
*
“Tuan?” Dewi, pengasuh Anisha baru datang karena Sadewa yang menyuruhnya.
“Shht.” Sadewa langsung menyuruhnya untuk tidak berisik, dan dia ingin keluar karena ingin berbicara dengan seseorang di telepon.
“Tolong jaga dia, kalau Nisha bangun dan mencariku, katakan kalau aku keluar sebentar.” Ucapnya berbisik.
“Iya, Tuan.”
Karena sepanjang malam Sadewa berada di rumah sakit untuk menjaga puterinya, dan sekarang dia harus pulang untuk mengganti pakaian dan mengecek pekerjaannya.
“Kalian belum juga menemukan wanita itu?”
“Apa CCTV sudah diganti semua?”
“Baiklah. Kalau kalian melihat wanita itu, cepat hubungi aku dan tahan dia.”
Sadewa berjalan terburu-buru keluar dari area rumah sakit dan menuju parkirannya.
“Hah.. kenapa seperti ini lagi?” dia menundukan kepalanya didepan kemudi setir. Rasanya sangat lelah dan capek. Memang Anisha sering keluar dan masuk rumah sakit, seharusnya masih baik-baik saja, tapi…. Keadaan puterinya sekarang turun drastis.
Alisha merayakan ulangtahun Mira yang ke lima tahun. Ada beberapa anak-anak yang diundang untuk merayakan bersama.
Memotong kue, tapi Mira malah memberikan potongan kue pertamanya pada Alisha, “Hm? Ini buat Tante?”
“Iya, Tante. Ini buat Tante Alisha yang cantik.”
“Ya ampun, makasih Sayang.” Alisha memeluk Mira yang memakai pakaian gaun pink dan mahkota kecil yang sudah disiapkan ayah dan ibunya.
Orangtua Mira tidak cemburu, tidak marah karena potongan kue itu. Karena, dari dulu, Alisha sudah sangat dekat dengan Mira. Dulu, sejak ketika Mira berusia beberapa bulan, hampir satu tahun, dia kesulitan untuk mengeluarkan ASI nya. Tapi, saat itu, Alisha bisa mengeluarkan ASI dan memberikannya pada Mira. Hanya satu tahun menjadi ibu susu untuk keponakannya. Dulu, Alisha pernah mengandung dan melahirkan bayinya, tapi tidak lama kemudian, beberapa menit sejak bayi itu lahir, tiba-tiba dikabarkan meninggal. Dan saat itu, tubuhnya memang sangat lemah hingga harus di rawat lebih dari dua bulan di rumah sakit untuk pemulihan.
“Nah, ini adalah hadiah untuk keponakan kecil dan imutku ini.”
“Yey… akhirnya aku bisa membuka hadiah dari Tante Alisha.” Semalaman Mira harus bertahan dengan sabar agar tangannya tidak membuka pembungkus kado dari Alisha. Dan sekarang, dia sangat senang.
“Anak-anak sangat senang sekali.” Ucap Fabian.
“Iya, untungnya kita menyewa badut untuk acara hiburannya.” Kata isteri Fabian juga, “Ini berkat Alisha loh. Aku gak sempat karena banyak kerjaan, tapi Alisha memikirkannya dengan baik. Makasih ya, Alisha.”
“Aduh, kalau di puji begini, aku bisa jadi malu nih. Lihat, pasti wajahku sekarang jadi merah.”
“Iya loh. Lihat, seperti tomat yang mateng.” Mereka malah bercandain Alisha.
Setelah acara ulangtahun selesai, rumah sedikit lebih sepi karena tidak ada anak-anak, yang sudah pulang.
“Aku akan mengantarkan Mira ke kamarnya dulu.” Fabian menggendong puterinya yang sudah tertidur namun masih memakai mainan mahkotanya.
Alisha dan kakak iparnya, Astrid, mengobrol di ruang tamu. Mereka berdua duduk di sofa dan menikmati camilan juga kue tart ulang tahun puterinya yang belum habis.
“Jadi, apa rencanamu selanjutnya, Lisha?”
“Mmm, aku akan pergi ke Bandung.”
“Bandung? Kenapa? Apa kau tidak betah tinggal di sini bersama kami?”
“Bukan, bukan begitu Kak. Aku hanya ingin menyibukan diriku sendiri. Di Bandung, aku ingin membuka butik yang sudah lama aku rencanakan. Setiap aku melihat Mira, aku selalu teringat dengan bayiku yang sudah meninggal.”
Astrid memegang tangan adik iparnya, “Alisha, anggaplah Mira sebagai anakmu juga. Kalau bukan karena bantuanmu saat itu, mungkin umur Mira tidak bisa sepanjang ini. Makanya, aku tidak bisa marah jika anak itu sangat manja padamu.”
“Makasih Kakak ipar. Aku sangat menyayangi Mira. Nanti, sekali seminggu aku akan menyempatkan diri datang ke sini.”
“Memangnya, kapan rencanamu pergi?”
“Lusa. Ada juga yang ingin aku siapkan.”
“Apa kau sudah menemukan tempat tinggalnya?”
“Sudah Kak. Ada teman juga di sana. Dia membantuku mencarikan tempat tinggal.”
“Ya, syukurlah kalau kau memiliki rencana yang baik. Jangan ragu mengatakan pada kami, kalau kau butuh bantuan.”
“Iya, Kak. Terima kasih.” Mereka berdua berpelukan. Walau mereka hanya ipar, tapi seperti saudara kandung.
Pagi hari berikutnya, Alisha kembali ke mall karena ingin membeli koper. Dia masih ada koper sebelumnya, tapi tidak suka dengan warnanya dan sedikit ada kerusakan di bagian roda.
“Tuan! Kami menemukannya!”
“Apa? Kenapa kau berteriak?!”
“Tuan. Wanita itu, kami menemukannya. Sekarang, wanita itu ada di sini. Cepat datang ke sini, Tuan!”
“Apa? Waninta yang ada di CCTV itu?”
“Iya Tuan!”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!