Gara Aditya Sumarja. Pemuda keturunan Sumatra --Jawa. Anak juragan kopi dan lada paling kaya di kotanya, tidak sombong dan suka menolong. Memakai kalung besar bak rantai kapal, gelang mencolok bak tali bra, dan memiliki gaya rambut eksentrik undercut yang tidak rapi
Hari itu harusnya jadi hari biasa. Harusnya. Tapi buat Gara, tidak ada yang namanya "hari biasa". Setiap hari adalah balapan hidup, baik itu di jalan raya, di warung kopi, atau ... di depan hati seorang gadis.
Dan di situlah Gara sekarang, duduk di atas motor bebek kesayangannya yang dia panggil “Si Ugal”, memakai helm kebesaran yang mirip tabung gas elpiji 3 kilo gram berwarna hijau yang sering di sebut "Gas melon", lengkap dengan tulisan berwarna putih di helm yang tulisannya "HANYA UNTUK MASYARAKAT MISKIN", di depan sebuah gerbang kampus dengan wajah penuh percaya diri ... atau mungkin terlalu percaya diri.
"Hari ini pasti Anya klepek-klepek!" katanya, sambil melihat pantulan dirinya di kaca spion. Wajahnya tersenyum bangga, merasa sudah siap menggempur hati Anya dengan taktik yang lebih hebat dari penakluk cinta mana pun. Rencana ini sudah ia susun matang-matang, meskipun hanya dalam waktu lima menit tadi petang.
Motor bebek Gara menderu-deru, siap meluncur seperti roket. "Oke, Gara. Lo punya segalanya. Nyali, gaya, dan ... motor bebek yang top speed-nya 60 kilometer per jam."
60 kilometer per jam? Batas kecepatan di area perkotaan memang 60 kilometer per jam. Tapi di jalan tol, kecepatan itu persis seperti ... keong berjalan, alias lambat.
Sambil memikirkan strategi gila, Gara membayangkan Anya dengan rambutnya yang tergerai, duduk manis di bangku taman kampus. "Hari ini lo pasti takluk, Anya!" gumam Gara dengan senyum miring yang bikin orang lain heran, apakah dia terlalu percaya diri atau sekedar kurang tidur, atau mungkin kurang se-ons.
Saat Zefanya Amadea, anak satu-satunya kepala desa yang cantik jelita nan memesona keluar dari gerbang kampus, Gara langsung menyalakan mesinnya. Seperti adegan film action, ia melaju ugal-ugalan dengan motor bebeknya, menyelip di antara pejalan kaki dan pengendara lain, semua demi satu tujuan, menarik perhatian Anya.
Sialnya, saat Anya mulai mendekat, bukannya pemandangan dramatis yang terjadi, Gara malah terlalu fokus dengan pose ala pahlawan yang dia bayangkan di kepalanya. Ia lupa satu hal krusial: *rem motor*. "Sial!" umpatnya. Dengan gesit, Gara pun menerobos trotoar ... dan berhenti dengan cara paling elegan yang bisa dibayangkan ... menabrak tiang lampu.
"Bruakkk!"
Suaranya begitu keras hingga membuat burung-burung di sekitar beterbangan. Motor bebek Gara terhuyung-huyung, dan dia terkapar dengan helm yang terlempar jauh. Kakinya tersangkut di stang, bintang-bintang terlihat di depan matanya. Sementara Anya berdiri di depannya, menatap dengan bingung sekaligus geli.
"Lo ngapain, Gar?" tanya Anya sambil menahan tawa.
"Eh ... gue ... cuma tes suspensi aja. Penting nih, buat keselamatan ...." jawab Gara sambil mencoba bangkit dengan kesan cool, meskipun jelas-jelas ia baru saja mengalami salah satu momen paling memalukan dalam hidupnya.
Namun, bukannya menolong, Anya malah tertawa kecil dan berlalu begitu saja. Gara hanya bisa meringis sambil merapikan dirinya. "Oke, babak pertama mungkin gagal," katanya sambil meraih helm yang tergeletak di tanah, "tapi tunggu aja, Zefanya Amadea! Gue masih punya seribu satu macam cara buat bikin lo jatuh cinta!"ucapnya dengan semangat membara bagai pejuang 45.
Gara bangkit kembali, menyalakan motor bebeknya, ingin bergegas pergi ... tanpa sadar bahwa rantai motornya masih putus gara-gara tabrakan tadi. "Lah ... kok, nggak jalan-jalan, sih?" gara turun dari motornya dan mengecek kondisi yang membuat Si Ugal tak mau jalan. "Alamak ... pakai putus segala ...."
Realita tak seindah ekspektasinya. Berangkat dengan semangat membara, menyala-nyala bak pejuang kemerdekaan 45, pulang dengan rasa kecewa. Namun tak apa-apa. Bukankah masih ada kesempatan kedua?
Seluruh tubuh bermandikan peluh karena mendorong motor di bawah terik mentari yang terasa membakar kulit. Akhirnya Gara tiba di bengkel langganannya untuk menyambung semangat, eh, salah, menyambung rantai motor yang putus.
"Kenapa lagi si Ugal, Gar?" tanya Dodo, seorang mekanik di Bengkel Primadona.
"Rantainya putus, nih!" sahut Gara seraya memarkirkan motornya.
Dodo menghela napas kasar. "Jual aja, gih, motor elu ini! Orang sudah naik motor sport dengan speed 317 kilometer per jam, elu masih makai motor dengan speed 100 kilometer per jam," celoteh Dodo mulai menyambung rantai motor Gara.
"Ini bukan masalah speed-nya, Bro! Tapi masalah history-nya. Motor ini gue beli dengan hasil jerih payah gue sendiri, menjadi buruh metik lada dan kopi, selama puluhan bulan ratusan hari. Gue bangga bisa beli motor dengan uang gue sendiri," sahut Gara penuh kebanggaan.
"Dasar aneh, Lo! Ortu kaya malah hidup sederhana. Yang kagak punya aja gayanya kek orang kaya," cetus Dodo geleng-geleng kepala dengan sikap Gara yang memang agak berbeda.
Biasanya para pemuda berpenampilan seperti orang kaya, meskipun aslinya orang tidak punya. Tapi Gara yang anak orang kaya malah hidup sederhana dan bergaul dengan orang-orang kalangan menengah ke bawah seperti dirinya.
Gara berdiri tegap, matanya menatap lurus ke depan. Suaranya tenang, tapi ada nada tegas yang tak bisa diabaikan. Tangannya terkepal di sisi tubuhnya, bukan karena marah, tetapi karena keyakinan yang ia pegang erat. “Yang kaya, ‘kan, ortu gue, bukan gue. Buat apa bangga?”
Sebuah senyum tipis muncul di bibirnya, seolah menyampaikan bahwa ia tak peduli pada hal-hal yang orang lain mungkin dambakan. “Bangga itu kalau yang kita punya adalah hasil jerih payah kita,” lanjutnya dengan suara yang lebih pelan, tapi penuh keyakinan. Ucapannya adalah cerminan dari prinsip yang ia pegang teguh, bahwa nilai seseorang bukan diukur dari apa yang ia warisi, melainkan dari apa yang ia perjuangkan.
Dodo tersenyum tipis. "Gue salut sama elu, Gar!" Dodo merasa kagum atas kepercayaan diri dan prinsip Gara tentang apa yang benar-benar pantas untuk dibanggakan.
"Plak"
Gara menepuk pundak Dodo. "Gue juga salut Ama elu. Elu anak yang berbakti pada keluarga."
Dodo tersenyum getir. Ia harus menjadi tulang punggung keluarga karena ayahnya sakit-sakitan. Ibunya hanya bisa berjualan kue dan lauk keliling kampung. Kedua adiknya masih SMP dan SMK, masih butuh banyak biaya. Karena itu, sebagian besar penghasilannya dari bekerja di bengkel dan berjualan kopi keliling di malam hari ia berikan pada orang tuanya.
"Btw, ini kenapa si Ugal rantainya sampai putus gini, Gar?" tanya Dodo mengalihkan pembicaraan.
Gara membuang napas kasar sebelum menjawab pertanyaan Dodo. "Gue melaju bak Valentino Rossi, tapi sayangnya gue lupa kalau ada masalah sama rem gue. Jadi terpaksa gue berhenti dengan elegan nabrak tiang lampu."
Mata Dodo melebar sempurna. "Gila, Lo! Elu pikir elu punya nyawa serep apa? Kalau ada yang rusak cepat-cepat dibenerin! Kalau kecelakaan langsung ketemu malaikat maut sih, mending. Lah, kalau ketemu dokter dan jadi pasien seumur hidup, apa elu mau?" Ada nada kesal, marah dan khawatir dari suara Dodo.
Gara mengangkat bahu, mencoba meredakan ketegangan. "Ya, gue tahu. Tapi adrenalin kadang bikin kita lupa risiko. Lagipula, gue udah biasa dengan risiko-risiko kayak gini."
"Dasar konyol, lo! Jangan bilang elu tadi sengaja bikin atraksi hanya untuk menarik perhatian si Anya." tebak Dodo.
"Tahu aja, Lo!" sahut Gara terkekeh kecil.
"Gara! Gara! Gawat! Gawat! Cepetan balik ke kosan!"
...🌟...
...Cinta itu buta, saat perasaan mengalahkan logika....
..."Nana 17 Oktober "...
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Gara dan Dodo langsung menoleh ke arah sumber suara saat mendengar teriakkan Yoyok yang bak jalangkung tiba-tiba muncul, lari seperti atlet maraton yang kehabisan napas, dengan peluh membanjiri tubuh. "Gar! Gar!" teriak Yoyok sambil ngos-ngosan.
Gara mengernyitkan dahi, menatap Yoyok yang seperti baru saja dikejar an-jing rabies. "Apaan sih, Yok? Kenapa lari kayak dikejar an-jing gitu?"
Yoyok mengatur napas, tangan di lutut, seperti mau roboh kapan saja. "Kon-kontrakan lu ... kebakaran, Gar!" ujarnya sambil terengah-engah.
Mata Gara langsung membelalak kayak bola pingpong. "What?! Mampus gue!" Tanpa pikir panjang, dia langsung menyalakan motornya yang baru selesai diservis sama Dodo. Suara motor pun meraung.
"Brummm!"
"Gara! Tungguin gue!" Yoyok, yang masih ngos-ngosan, mendadak menjadi tupai, dengan kekuatan maksimal, super cepat, meloncat indah ke belakang Gara. Tapi sial, dia malah meleset, jatuh tepat ke behel motor.
"Bruk!"
"Auw! Sial! Bokong gue!" Yoyok teriak kesakitan sambil meraba-raba bokongnya yang mendarat di besi behel motor. Gara cuma melirik sekilas dengan muka datar, "Yok, bokong lu kayaknya minta diganti spare part deh."
Dodo, yang dari tadi menonton, tidak bisa nahan tawa. "Wah Yok, udah jatuh kena besi, masih harus kejar kebakaran. Nasib lu tuh kayak sandwich sarden!"
Sebelum Yoyok sempat membalas perkataan Dodo, Gara sudah tancap gas secepat kilat. "Brumm!" Motor langsung melesat tanpa aba-aba.
"Setan!" umpat Yoyok yang belum siap malah nyaris terbang dari jok motor. Tangannya panik mencari pegangan dan satu-satunya yang bisa diraih adalah ... baju Gara!
"Yok! Pegangan yang bener dong!" teriak Gara. Tapi terlambat, tangan Yoyok malah menarik baju Gara dengan kekuatan super.
"Krak!" Suara sobekan baju Gara terdengar jelas, membuat keduanya kompak teriak, "Setan!"
Baju Gara langsung sobek besar, angin kencang meniup punggungnya. "Gue jadi kayak Superman KW nih! Baju gue sobek gara-gara elu!" Gara ngomel sambil terus ngebut.
Sementara Yoyok masih meringis sambil berusaha duduk dengan benar. "Ya, setidaknya gue masih selamat dari terbang, Gar! Lagian, elu mirip Superman dari mananya? Elu pakai semvak di dalam, kagak kayak Superman yang pakai semvak di luar, celana legging di dalam," cetus Yoyok tanpa dosa.
Dodo, yang tadi sempat menonton dan meliat sobekan baju Gara, cuma bisa geleng-geleng sambil ketawa ngakak. "Gara, lu kayak pahlawan kesiangan yang salah kostum!" karena tingkah kocak Yoyok, Dodo sampai lupa bahwa suasana sedang genting, ting ... ting ... karena kontrakan Gara sedang kebakaran.
Bak pembalap profesional yang sudah malang melintang di sirkuit, Gara membungkuk rendah di atas motornya, seolah jadi versi murah dari *Valentino Rossi* yang lagi kebut di sirkuit, tapi ini kebut menuju kontrakan. Masalahnya bukan kontrakan yang kebakar, kontrakan bisa pindah. Baju? Masih bisa beli. Tapi yang bikin dia hampir jantungan adalah tugas dari *dosen killer* yang udah susah payah dia kerjain, dan besok harus dikumpulin, ada di dalam laptop di kontrakan!
"Setan!" teriak Gara dan Yoyok barengan, saat motor mereka terpental menerobos polisi tidur tanpa ampun.
"Petok! Petok! Petok!"
Tiba-tiba, seekor ayam lewat persis di depan mereka, bikin motor Gara lompat kayak akrobat sirkus. "Buset!" Gara hampir hilang kendali, tapi yang lebih parah, mereka malah tersangkut jemuran di depan rumah orang.
Dan sialnya, jemuran itu bukan sekadar handuk atau kaos. "Kriiit!" Kutang raksasa melilit kepala Yoyok, bikin dia hampir pingsan karena aromanya. Gara terus melajukan motor tanpa peduli, sementara Yoyok sibuk berusaha melepaskan kutang itu dari kepalanya.
"Buset! Ini kutang buat orang apa buat gajah?" gumam Yoyok sambil memandangi kutang itu dengan jijik. Saking besarnya, kayaknya cukup buat dipakai dua orang sekaligus.
Tiba-tiba terdengar teriakan yang menggelegar dari arah belakang, "Yoyok! Kembalikan itu!" Ternyata suara Bu Bom-Bom, tetangga kontrakan, yang tubuhnya udah kayak drum tanpa lekukan, marah-marah sambil mengacungkan jemuran yang masih tersisa.
"Sialan!" Yoyok langsung melempar kutang itu balik ke Bu Bom-Bom dengan ekspresi ketakutan, takut jadi korban berikutnya. Gara yang masih fokus kebut cuma bisa melirik sekilas di spion sambil ketawa setengah nahan. "Hahaha, Yok, nasib lo sial banget hari ini! Siap-siap dikejar Bu Bom-Bom tuh!"
Gara tiba di lokasi dan langsung melihat kobaran api sudah melahap habis kontrakannya. Asap hitam mengepul, dan petugas pemadam masih berusaha memadamkan sisa-sisa api yang membara. Gara menatap nanar kontrakan yang kini tinggal arang.
“Mampus gue!” gumamnya, membayangkan harus mengerjakan tugas dari *dosen killer* lagi. Sialnya, detail tugas itu tidak tersimpan di memori internal otaknya. Yang pasti, ngerjainnya lagi bakal setengah mati.
Yoyok, yang berdiri di sebelahnya dengan wajah miris, ikut meratapi kebakaran itu. “Duh, Gar, gimana ini? Barang gue juga ikut kebakar!” katanya dengan nada sedih.
Gara mengernyit bingung. “Emang barang apaan yang ketinggalan di kontrakan gue?” tanyanya, merasa heran karena seingetnya Yoyok nggak pernah ninggalin barang penting di tempatnya.
Yoyok menunduk dengan wajah nelangsa, lalu menjawab pelan, “Itu, Gar… koleksi stiker hologram limited edition dari snack anak-anak. Ada yang glow in the dark, ada yang 3D. Gue kumpulin dari SD!”
Gara melongo. “Stiker? Seriusan lu?! Itu barang berharga menurut lu?”
Yoyok mengangguk penuh keyakinan. “Iya, Gar! Itu koleksi spesial gue! Gue udah hunting di pasar loak buat dapetin yang langka-langka!”
Gara cuma bisa memijat keningnya sambil ngelus dada. “Yok, gue udah kehilangan tugas yang bikin gue nggak bisa tidur seminggu, terus lu sedih gara-gara stiker? Itu tuh bukan barang berharga, itu cuma ... kertas tempel, Yok!”
Yoyok menggeleng keras, “Bagi lu mungkin cuma kertas, Gar. Tapi bagi gue ... itu sejarah hidup!”
Gara menatap Yoyok yang masih nelangsa sambil mengingat stiker-stiker itu. Dia mencoba mencerna bagaimana koleksi konyol dari snack bisa dianggap “sejarah hidup,” sementara pikirannya sendiri masih sibuk pusing dengan tugas yang hilang di dalam api. Setelah menghela napas panjang, Gara mencoba berpikir jernih.
“Yok, gue ngerti itu berharga buat lu, tapi stiker bisa lu cari lagi di pasar loak. Tugas gue nggak bisa balik begitu aja, ngerti, 'kan?” Gara mengelus rambutnya yang makin rontok karena stres.
Yoyok, yang tadinya hampir nangis, akhirnya mengangguk pelan. “Iya sih, tapi ... gue udah kumpulin dari SD, Gar! Yang glow in the dark itu udah nggak dicetak lagi, bro. Gue rasa sekarang harganya udah kayak emas.”
“Kalau gitu, coba lu ikut lelang di forum kolektor stiker hologram. Siapa tahu ada yang jual di sana,” jawab Gara setengah bercanda sambil melirik ke arah petugas pemadam yang sudah mulai membereskan peralatan mereka.
Tiba-tiba, Dodo muncul dari arah belakang sambil ngos-ngosan. “Eh, apaan yang kebakar, Gar? Tugas lu udah jadi abu, ya?” Setelah teringat betapa kerasnya Gara mengerjakan tugasnya hingga kurang tidur selama seminggu, Dodo segera pamit pada bosnya untuk menyusul Gara.
Gara melirik Dodo dengan wajah datar. “Iya, Do, tugas gue udah resmi jadi sate. Dan Yoyok, dia kehilangan *koleksi stiker hologram limited edition-nya.*” Nada sarkasme terdengar jelas dari suaranya.
Dodo, yang mendengar “stiker”, mendadak terdiam. “Stiker? Eh, tunggu-tunggu, jangan-jangan yang glow in the dark juga kebakar? Itu langka banget, bro! Harga pasarannya bisa nyampe ratusan ribu!”
Gara melongo lagi. “Seriusan lu, Do? Ratusan ribu buat stiker yang bisa nyala di gelap?”
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Dodo mengangguk antusias. “Iya! Ada komunitas kolektor yang serius, loh. Gimana kalau kita coba cari lagi lewat lelang online? Siapa tahu ada yang jual!”
Yoyok yang tadinya sedih, tiba-tiba matanya berbinar-binar. “Wah, ide bagus, Do! Gue bakal cari di forum kolektor! Mungkin masih ada harapan buat dapetin yang lebih keren!”
Sementara itu, Gara masih melongo menatap kedua temannya yang lebih peduli dengan stiker daripada kontrakan yang kebakar beserta tugas dari dosen killer. “Gue lagi pusing gara-gara tugas, terus kalian sibuk ngomongin lelang stiker?”
Dodo menepuk bahu Gara. “Bro, hidup tuh harus seimbang. Di balik kehilangan besar, kita harus nemuin yang bikin kita bahagia. Ya, kayak stiker!”
Gara cuma bisa geleng-geleng kepala, sambil meratapi nasibnya yang harus ngulang tugas dari awal. “Mungkin gue yang harus nyari kebahagiaan di pasar loak juga, ya ....”
Sambil geleng-geleng kepala, Gara duduk di tepi trotoar, menatap kontrakannya yang kini hanya tinggal puing. Yoyok dan Dodo masih ribut soal stiker hologram yang katanya bisa jadi jalan kaya mendadak, tapi pikiran Gara sudah melayang ke tugas yang harus ia kerjakan ulang.
Tiba-tiba, dari jauh, seorang petugas pemadam datang menghampiri dengan sesuatu di tangannya.
"Mas, ini tadi kami temukan di tumpukan sisa kebakaran. Nggak tau masih bisa dipakai atau nggak."
Gara mendongak, dan mata langsung membelalak. Di tangan petugas itu, terlihat sesuatu yang sangat ia kenali—laptopnya!
Namun, sebelum sempat dia ambil, petugas itu menambahkan, “Tapi ada yang aneh, Mas ... di dalam laptop ini, ada stiker hologram yang nempel di casing-nya. Dan stiker itu ... nyala di gelap.”
Yoyok dan Dodo serentak berhenti ngomong, mata mereka langsung terpaku pada laptop yang dipegang petugas itu.
"Glow in the dark ...?" bisik Yoyok dengan suara hampir tak percaya.
Gara menatap laptop itu, lalu ke arah Yoyok yang kini pucat pasi. Ada sesuatu yang sangat salah.
"Gar," Yoyok menelan ludah, "jangan bilang itu stiker langka gue yang udah lu tempel di laptop lu sejak lama ..."
Gara menatap Yoyok dengan pandangan kaku, menyadari bahwa masalah barunya bukan hanya soal tugas dosen killer ... tapi juga soal stiker yang nilainya bisa lebih dari yang ia kira.
"Jadi ... kita selamatin tugas gue, atau selamatin stiker lu, Yok?"
Yoyok menatap laptop itu dengan wajah penuh konflik. Dia menggaruk-garuk kepala seolah-olah sedang berpikir keras, lalu dengan wajah serius, dia berkata, “Gar, tugas lu bisa diulang. Tapi stiker langka gue? Itu cuma ada sekali seumur hidup!”
Gara melongo. “Yok, seriusan? Lu milih stiker daripada tugas yang udah gue kerjain seminggu gak tidur?”
Yoyok mengangkat bahu dengan enteng, “Gar, lu pinter, gue yakin lu bisa bikin tugas itu ulang dalam semalam. Tapi stiker gue? Lu mau nyari di mana lagi yang glow in the dark, limited edition, dan ... *nyala di gelap*, Gar?!”
Gara cuma bisa menatap Yoyok dengan wajah putus asa. “Yok, stiker lu kayaknya emang beneran sejarah hidup lu, ya ....”
***
Setelah insiden "tabrakan cinta" yang memalukan dan kebakaran di kontrakan, Gara duduk lesu di warung kopi langganannya, *Warung Kopi Mas Jon*, tempat berkumpulnya orang-orang yang menurut Gara punya "wawasan cinta" tak tertandingi, meskipun kenyataannya, mereka sama clueless-nya seperti Gara.
Clueless : tidak tahu apa-apa" atau "kurang pemahaman atau pengetahuan, atau bodoh.
Gara duduk dengan mata kuyu kayak orang yang habis diterjang badai tsunami kehidupan. Dia masih ngedumel karena semalaman nggak tidur buat revisi tugas dosen killer, ditambah insiden memalukan yang masih segar di ingatannya. Yoyok, yang duduk di seberang, dengan santainya ngunyah gorengan sambil nanya, “Eh, Gar, lu, 'kan bilang mau *pdkt* sama Anya. Jadi gimana? Berhasil nggak?”
Gara menghela napas panjang kayak orang yang baru gagal ujian hidup. “Yok, bukan cuma gagal. Itu ... memalukan, pakai banget.”
Yoyok langsung kepo. “Hah? Memalukan gimana? Ceritain dong!” sambil mangap lagi buat masukin gorengan.
Gara mulai cerita dengan wajah suram. “Gue udah siap mental, siap strategi. Gue bayangin Anya duduk manis di bangku taman kampus, rambutnya tergerai, dan gue bakal muncul sebagai pahlawan naik motor bebek kayak di film-film action.”
“Terus? Terus?” Yoyok makin semangat nunggu punchline-nya.
Punchline adalah bagian terakhir dari sebuah lelucon atau cerita yang memberikan kejutan dan menimbulkan tawa.
“Gue gas motor bebek gue, Yok. Ngebut di antara pejalan kaki, semua demi narik perhatian Anya. Pas dia udah deket, gue udah bayangin pose keren ... tapi gue lupa satu hal krusial,” Gara jeda sebentar sambil menatap kosong.
“Apa tuh?” Yoyok penasaran.
“*Rem*, Yok. Gue lupa rem gue bermasalah.” Gara menghela napas dalam-dalam sebelum lanjut. “Akhirnya gue ... nabrak tiang lampu.”
Yoyok ngakak sampai nyemprot gorengannya. “Wkwkwk! Tiang lampu, Gar?! Itu kayak kartun beneran!”
“Tunggu dulu, Yok! Itu belum puncaknya!” Gara memutar matanya. “Pas gue jatuh, helm gue mental jauh, motor gue hampir terguling, dan gue tersangkut di stang. Anya liat semua itu, terus dia cuma nanya dengan ekspresi setengah nahan ketawa, ‘Lo ngapain, Gar?’”
“Wkwkwk! Gila, Anya nonton live show slapstick ( pertunjukan komedi) gratis!” Yoyok semakin ngakak.
“Dan gue jawab ... ‘Gue cuma tes suspensi buat keselamatan.’” Gara memukul dahinya sendiri. “Lu tau gimana reaksinya? Dia cuma ketawa kecil dan langsung jalan pergi, ninggalin gue kayak begitu aja.”
“Wkwkwk! Parah, Gar! Abis nabrak tiang, lo malah ngelawak!”
“Tunggu! Itu belum yang paling memalukan!” Gara menatap Yoyok dengan serius. “Setelah Anya pergi, gue bangkit dengan penuh tekad, siap buat pergi lagi dan … *brum brum*… motor gue nggak jalan!”
Yoyok masih ketawa sambil sesekali ngusap air mata di ujung matanya. “Hahaha, terus kenapa?”
“Rantai motornya putus, Yok! Gue baru sadar abis tabrakan, rantai motor gue putus. Gue bengong kayak orang bego, sementara motor bebek gue nganggur di sana.”
Yoyok langsung tersungkur dari kursinya sambil ketawa ngakak, nggak bisa berhenti. “Wkwkwk! Gara, lu pahlawan ... tapi tanpa rantai!”
Gara buang napas kasar meratapi nasib sial. Mukanya benar-benar menyedihkan.
Yoyok berusaha menetralisir tawanya. Lalu dengan ekspresi serius berkata, "Bro, lo harus pake jurus maut!" kata Yoyok yang selalu merasa punya solusi untuk segala hal, meskipun hampir 99% idenya lebih buruk dari masalah yang sedang dihadapi.
Gara, yang masih sibuk mengaduk kopi sambil memandangi jempol kakinya, menatap Yoyok dengan tatapan kosong. "Jurus maut apaan, Yok? Gue udah pake jurus tabrak tiang lampu tadi, tapi Anya malah ketawa ...."
Yoyok menggelengkan kepala dengan gaya sok bijak, seolah Gara baru saja melewatkan rahasia alam semesta. "Lo kurang dramatis, Gar. Cewek tuh suka yang romantis-romantis gitu. Lo harus bikin sesuatu yang bikin Anya terpesona. Kayak di film-film!"
"Kayak apa misalnya?" tanya Gara mulai tertarik, meskipun hatinya masih sedikit ragu-ragu.
Yoyok langsung menyandarkan diri ke kursi sambil mengangkat satu tangan, seolah sedang mendikte sebuah rencana brilian. "Lo inget adegan di film *Titanic*? Yang di ujung kapal itu?"
Gara langsung mengernyit. "Yok, gue enggak punya kapal."
"Enggak masalah, bro. Kita improvise. Kita bisa pake tempat apa aja yang tinggi. Misalnya jembatan penyebrangan, atau ...."
"Atau apa?" tanya Gara merasa penasaran, matanya menyipit seolah berusaha menebak ide gila apa lagi yang akan muncul. Tangannya meraih cangkir kopinya.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!