"Bu, tolong jangan seperti ini! Aku akan bekerja lebih keras lagi untuk mengumpulkan uang!" pinta Irene ketika Mayang menarik dirinya untuk masuk ke dalam sebuah Bar yang terkenal di kota Bartow.
"Diam! uang receh itu hanya cukup untuk makan saja! Sekarang kamu patuh, atau ibu akan membunuhmu!" teriak Mayang.
Irene hanya menggeleng dan terus memberontak ketika ia di bawa menuju sebuah kamar yang yang tersedia di dalam Bar itu.
Ia terus memberontak namun dua orang laki-laki berusaha untuk memeganginya, sehingga Irene tidak dapat bergerak lebih lagi.
"Ini putri saya, Tuan Aldi. Dia masih pera*wan. Silahkan!" ucap Mayang menyerahkan Irene kepada Aldi.
Laki-laki gendut berkumis tebal dengan cerutu di bibirnya. ia menatap Irene yang terlihat sangat cantik dengan kulit mulus yang hanya terbalut baju tipis dan minim.
Aldi mengambil ponsel dan membayarkan uang membeli Irene seharga satu miliar untuk kepe*rawanannya.
"Sudah saya transfer!" ucap Aldi langsung mengusir Mayang dan membawa Irene untuk masuk ke dalam kamar itu.
"Lakukan pekerjaanmu dengan baik, atau kau akan mati hari ini juga!" ancamnya.
Irene menggeleng kuat dengan suara yang parau ia masih berusaha untuk meminta bantuan siapa saja.
Ia dilempar begitu saja ke sebuah ranjang dan di tinggalkan dalam ruangan remang-remang di sana.
Irene berusaha untuk kabur, namun sayang pintu kamar tersebut sudah terkunci dengan rapat.
"Siapapun tolong aku!" teriaknya.
Hingga ia terkejut ketika sebuah tangan besar dan kasar menutup mulutnya. seketika tubuh gadis itu luruh ke lantai dengan rasa takut yang teramat.
"Diamlah!" lirih laki-laki itu di telinga Irene.
Ia langsung mengangkat tubuh gadis itu menuju ranjang dan menghempaskannya.
Lewis menindih Irene dengan tidak sabar karena pengaruh obat yang telah ia minum.
"Jika kau tidak pera*wan, jangan harap kau akan menatap matahari besok!" ancam Lewis.
Ia menggenggam leher Irene dan mencum*bu gadis itu dengan kasar. Tanpa pemanasan, Lewis langsung melesakkan adik kecilnya yang sudah mengeras itu dengan paksa.
Irene berusaha untuk melepaskan tangan Lewis dari lehernya, ia sudah tidak bisa bernapas karena cengkeraman tangan Lewis yang begitu kuat.
Ia berusaha untuk memukul tangan pria tampan ini dengan sisa tenaga yang ada, namun seketika ia membeku ketika merasakan sakit yang teramat dari bawah tubuhnya.
Hal itu membuat Irene langsung tidak sadarkan diri.
Lewis yang menyadari tidak ada pergerakan dari gadis itu langsung melepaskan genggaman tangannya, namun tidak dengan adik kecil yang sudah menguasai Irene dengan gagah.
Efek obat yang begitu kuat, membuat Lewis tidak bisa mengendalikan dirinya lagi. Sepanjang malam hingga pagi menjelang ia masih saja menyiksa Irene tanpa belas kasih.
bahkan ia tidak peduli ketika gadis itu beberapa kali pingsan dalam satu malam, ketika berhadapan dengannya.
Hingga pagi menjelang, mereka berdua terlelap karena kelelahan. Lewis memeluk Irene seolah tidak ingin melepaskan gadis ini.
Perlahan, mata lelah Irene mengerjab, ia merasakan tubuhnya begitu sakit dan tidak berdaya.
Ya Tuhan, apa yang terjadi?. batinnya sambil menangis.
Ia menatap wajah tampan yang masih terlelap ini dengan seksama dan mengingatnya.
Irene akan membenci laki-laki yang sudah menghancurkannya ini seumur hidup. Ia bersumpah dengan amarah yang memuncak.
Ia berusaha untuk bangkit dan berharap bisa keluar dari kamar ini dengan segera.
Namun gerakan kecil itu berhasil membangunkan Lewis yang baru saja terlelap. Ia kembali menarik Irene dan menindihnya.
"Ke mana, Kau?" tanya Lewis dengan wajah yang mulai marah.
"Ja-jangan Tuan! Tolong ampuni saya!" lirih Irene dengan air mata yang mengalir.
Ia berusaha untuk lepas dari kukungan Lewis dengan sisa tenaga yang ia miliki.
"Jangan harap!" tukas Lewis kembali memeluk Irene dengan erat.
Gadis cantik itu hanya bisa menangis dalam diam dan membeku tanpa berani bergerak sedikitpun, hingga ia juga ikut terlelap dalam dekapan Lewis.
Mereka terlelap hingga sore menjelang. Lewis sudah bangun terlebih dahulu dan menatap sekelilingnya. waktu sudah menujukkan pukul 3 sore.
Ia berusaha bangkit dan menghempaskan tubuh Irene dengan kasar hingga membuat gadis itu juga ikut terbangun.
Tanpa mengucapkan sepatah katapun, Lewis langsung berjalan menuju kamar mandi dan membersihkan diri.
Sementara Irene masih berusaha untuk membalut tubuh polosnya dengan selimut.
Jantungnya tiba-tiba berdetak kencang ketika mendengar suara langkah kaki Lewis yang baru keluar dari kamar mandi.
Lewis melempar totebag yang berisikan baju wanita di sana. Ia menatap Irene dengan wajah datar dan aura dingin yang menyelimuti dirinya.
"Tutup mulutmu! Jangan sampai kejadian ini terdengar oleh orang lain, atau kau akan saya bunuh hari itu juga!" ucap Lewis dengan tegas dan kejam.
Irene hanya mengangguk sembari menahan air matanya. Ia tidak berani menatap Lewis karena takut.
Hingga pria tampan itu pergi meninggalkannya sendiri di dalam kamar.
Tangis Irene pecah tanpa bisa dicegah lagi. Ia menangis pilu dan terisak meratapi kehidupannya yang begitu menyedihkan.
"Ayah! Hidupku hancur!" ucapnya lirih.
Bahkan kini, Satu-satunya harta berharga yang ia miliki sudah rusak dan direnggut paksa.
Perlahan ia bangkit dengan sisa tenaga yang ia miliki. Irene harus bergegas pergi meninggalkan tempat kotor ini agar tidak ada lagi yang berbuat jahat kepadanya.
Aku tidak akan pernah memaafkan kalian atas apa yang sudah terjadi hari ini!. Batin Irene penuh dendam.
Ia berusaha berjalan dengan tertatih dan keluar dari sana. Dengan sisa uang yang ada, ia harus pergi jauh dari kota ini dan memulai hidup baru nanti.
Irene langsung bergegas menuju terminal terdekat untuk melarikan diri dari kehidupan pahit yang selalu ia jalani.
Pergi ke kota Sanford dengan membawa luka, membuat Irene menumbuhkan tekadnya untuk membalas dendam.
Hari terus berlalu, Irene berhasil beradaptasi di kota itu dengan baik. Ia memilih untuk bekerja paruh waktu untuk memenuhi semua kebutuhannya.
Hoek! Hoek!
Wanita cantik itu terus mengeluarkan isi perutnya, ini sudah beberapa kali ia bolak balik ke kamar mandi ketika rasa mual itu kembali datang.
"Apa kamu hamil?" tanya Ken terkejut.
Irene hanya mengangguk sambil bersandar di dinding dengan tubuh yang lemas.
"Anak siapa itu? Ke mana Ayahnya?" tanya Ken bingung.
Irene hanya terdiam dan melangkah keluar dari kamar mandi tanpa menjawab satupun pertanyaan pria tampan itu.
"Astaga Irene! Kau hamil tanpa suami?" tukas Ken tidak percaya.
"Diamlah! Kepalaku sangat sakit!" sentak Irene membuat Ken terdiam.
"Apa kau akan mempertahankannya? Dia akan lahir tanpa ayah!" ucap Ken membuat Irene terdiam.
Ini sudah berada dalam pikirannya. Jika suatu hari ia hamil, ia akan mempertahankan bayi ini karena hanya itu yang ia miliki nanti.
"Aku akan merawatnya!" jawab Irene tegas.
Ken tidak bisa berkata apa-apa. Beberapa bulan mengenal gadis ini, berhasil menumbuhkan rasa yang tidak biasa dalam hatinya.
"Biarkan aku membantumu!" ucap Ken membuat Irene menatapnya dengan lekat.
*
*
*
5 tahun berlalu, dua pria kecil tengah berlarian di sebuah taman kota Sanford sambil mengejar bola yang baru saja mereka beli.
Kehidupan Irene cukup baik setelah ia mendapatkan pekerjaan yang lebih bagus dari sebelumnya. Walaupun ia harus menitipkan dua jagoan kecil itu ke tempat penitipan anak.
Kini dengan uang tabungannya, ia berhasil mendirikan sebuah usaha restoran kecil yang cukup untuk menopang kehidupan mereka.
"Diego, Devon! Ayo makan dulu, Nak!" panggil Irene sembari melambaikan tangannya.
Dua bocah kembar itu berlari menuju ke arah Irene yang sudah memegang dua kue tiramisu kesukaannya.
"Ibu, terima kasih!" ucap mereka dengan wajah berbinar.
"Makanlah, habis ini kita pulang ya. kapan-kapan kita bisa main ke sini lagi!" ucap Irene tersenyum sambil mengusap kepala pria kecil itu.
Tak lama, mereka segera mengemas barang-barang yang ada di sana dan pulang kembali ke rumah yang baru saja mereka beli.
"Ibu, besok ada acara hari ayah di sekolah, apa kami boleh mengajak Uncle Ken ke sekolah?" tanya Devon dengan wajah yang berbinar.
Irene seketika terdiam, ia menatap dua pria kecil yang sudah memasang wajah penuh harap itu. "Nanti kita tanya Uncle Ken dulu ya!" ucapnya.
Diego hanya bisa menunduk ketika melihat wajah Irene yang berubah murung. Ia paham, jika mereka tidak akan pernah bertemu dengan ayah yang kini ada di kota sebrang.
"Ibu, maaf jika kami merepotkanmu," lirih Diego semakin membuat Irene merasa bersalah.
"Bukan salah kalian, Nak. maafkan Ibu, ya!" ucap Irene dengan mata yang berkaca-kaca.
Ia langsung memeluk dua pria kecil itu dengan perasaan bersalah yang teramat dalam.
"Ibu, jangan menangis. Maafkan aku," ucap Devon yang tiba-tiba saja menyadari apa yang sudah ia ucapkan.
Irene hanya bisa tersenyum dan menghibur mereka dengan perasaan yang bercampur aduk.
Maafkan ibu, Nak. Sampai kapanpun ibu berharap kalian gak akan bertemu dengan laki-laki itu. Cukup ibu yang terluka!. batinnya.
"Apa sudah ada kabar lagi tentang gadis itu?" tanya seorang laki-laki yang terlihat begitu tampan dan dingin.
"Belum ada, Tuan! Kami sudah mencari ke seluruh kota, kini mereka juga sudah menjelajah hampir ke seluruh negara," ucap George asisten Lewis.
"Ini sudah lima tahun!" bentak Lewis sambil melemparkan asbak rokok yang ada di atas meja.
George hanya bisa menghindar dan diam. Hampir setiap minggu ia menghadapi kemarahan laki-laki ini.
Ruangan itu seketika hening tanpa suara, hingga dering ponsel mengalihkan perhatian mereka.
George memeriksa informasi yang baru saja ia terima. "Tuan, mereka mendapatkan informasi di kota Sanford!" ucapnya.
Lewis terdiam, dan menatap George dengan tajam. "Apa yang kau tunggu? Cari dia sampai ketemu!" bentak pria tampan itu dengan tidak sabar.
George hanya mengangguk dan memilih untuk keluar dari ruangan Lewis. Namun ketika membuka pintu, ia melihat seorang perempuan yang selalu mengganggu pekerjaannya beberapa tahun ini.
"Apa Lewis ada di dalam?" tanya Clara dengan sombong.
George hanya terdiam dan tidak menghiraukan sedikit pun apa yang dilakukan gadis ini.
Model cantik yang selalu menempel kepada Lewis tanpa rasa malu, walaupun pria tampan itu sering mengusirnya.
Namun karena dukungan dari Orang tua Lewis, membuat gadis itu keras kepala dan selalu menang jika berdebat dengan Lewis.
"Lihat saja nanti, kamu orang pertama yang akan saya pecat ketika saya resmi menjadi Nyonya Maddison!" ancam Clara.
George tetap tidak menghiraukan wanita ini. Ia langsung pergi dari sana dan kembali ke ruangannya.
Clara dengan kesal menghentakkan kakinya masuk ke dalam ruangan Lewis.
"Saya tidak ingin bertemu dengan siapapun hari ini!" ucap Lewis tanpa memperhatikan siapa yang masuk ke dalam ruangannya.
"Lewis, Mommy meminta kita untuk makan siang di restoran Prancis yang di sebrang jalan!" ucap Clara yang berjalan dengan anggun dan menggoda.
Lewis hanya terdiam dan menatap Clara dengan tajam. "Kau paham bahasa manusia?" ucapnya.
"Lewis, aku...,"
"KELUAR!!" bentak Lewis membuat nyali Clara ciut.
Ia langsung keluar dari ruangan itu dengan geram. Saat ini hanya titah dari Mommy Lewis yang bisa ia andalkan.
Awas saja kau! Cepat atau lambat, kau akan bertekuk lutut dihadapanku!. Batin Clara dengan amarah yang menguasainya.
*
*
Sementara itu Irene yang masih sibuk di restoran, dengan telaten melayani pembeli dengan ramah. Tak lupa dua pria kecil juga ikut membantunya.
"Ibu, Om itu terlihat mencurigakan!" ucap Diego menyelidik menatap dua orang laki-laki yang terus memperhatikan mereka.
Irene terdiam dan menatap arah pandangan Diego. Ia merasakan hal yang sama, namun tidak tau siapa mereka.
"Jangan main jauh-jauh, Nak! Atau kalian masuk saja ke dalam, biar Ibu yang membereskan sisanya," ucap Irene.
Devon terdiam, ia menghela napas dan langsung menarik tangan Diego untuk masuk ke dalam rumah.
"Kak, Ibu gimana?" tanya Diego yang tidak rela meninggalkan Irene di sana sendiri.
"Tenang saja, ada Uncle Ken di sini!" ucap Devon menatap ibunya dengan perasaan yang berbeda.
Dua pria kecil itu segera masuk ke dalam rumah dan berdiam diri sambil mengawasi CCTV.
"Kak, apa itu orang-orangnya Ayah Badjingan kita?" tanya Diego menatap layar laptop di hadapan mereka.
"Sepertinya begitu. Mereka sudah dua hari ada di sini dan memantau sekeliling. Apa Ayah Badjingan itu sudah mengetahui keberadaan kita?" tanya Devon dengan wajah datar.
"Kak, aku gak mau Ibu kenapa-napa!" lirih Diego dengan mata yang berkaca-kaca.
"Tenanglah, Mereka gak akan mencelakai ibu. Sekarang kita harus cari cara untuk menghalangi mereka!" titah Devon.
Mereka menyusun rencana untuk menghalangi orang-orang itu semampunya. Jika hanya ada beberapa orang, itu bukan jadi masalah.
Mengingat Devon memiliki kemampuan meretas yang cukup baik di usianya yang masih anak-anak.
Sementara Diego memiliki IQ yang lebih tinggi dibandingkan Devon, hanya saja ia tidak tertarik dalam dunia IT.
Di luar restoran. Irene masih berusaha waspada dengan beberapa orang yang di tunjuk oleh Devon tadi.
"Kenapa, Ren?" tanya Ken bingung.
"Gak papa, Ken. Sepertinya kita harus tutup lebih awal!" ucap Irene.
Ken menatap wanita cantik itu dengan bingung. "Apa ada masalah?".
Irene hanya menggeleng dan kembali membersihkan meja. Ia melirik Ken yang berjalan menuju beberapa orang yang masih duduk di sudut ruangan sambil menatapnya dengan tajam.
Tidak mungkin mereka orang-orang tuan Badjingan itu. Secara, dia yang memintaku untuk menutup mulut. Kenapa sekarang dia mencariku?. batin Irene.
Sebentar, matanya membulat ketika menerka jika Lewis akan mengambil paksa anak-anaknya nanti.
Aku harus menyembunyikan Diego dan Devon. Dia tidak ada hak sama sekali atas anakku!. batin Irene dengan tangan yang gemetar.
"Permisi, mau pesan apa, Tuan? Silahkan!" ucap Ken tersenyum ramah.
"Cola," ucapnya.
Ken merasa canggung dengan orang-orang ini. Ia langsung membuatkan pesanan mereka dengan perasaan aneh.
"Ren. Apa kamu menyinggung seseorang belakangan ini?" tanya Ken.
Iren hanya menggeleng, ia masih merasa linglung dan takut jika benar mereka adalah orang utusan dari Lewis.
Tapi dari mana mereka tau jika aku melahirkan anaknya? Atau ini mata-mata dari Ibu?. Batin Irene.
Ia berusaha untuk mengalihkan pikirannya namun ia tetap waspada dengan situasi di sekitar.
Hingga beberapa pelanggan sudah meninggalkan tempat, mereka memilih tutup lebih awal dan berkemas untuk pergi meninggalkan ruko itu.
"Diego, Devon. Ibu tidak tau apa yang terjadi, hanya saja sekarang ibu merasa cemas. Untuk sementara kalian tinggal di rumah tante Sofia dulu ya!" ucap Irene sembari memeluk kedua putranya.
Sofia adalah sahabat Irene yang berada di pinggir kota. Jika memang benar mereka orang-orang Lewis, mungkin Devon dan Diego akan aman tinggal di sana untuk sementara waktu.
"Apa ibu akan ikut dengan kami?" tanya Diego khawatir.
"Tidak, Nak. Ibu akan tetap di sini sampai nanti tidak ada hal yang mencurigakan lagi," ucap Irene tersenyum.
Dua pria kecil itu hanya bisa pasrah dan mengangguk. Mereka pergi setelah melihat keadaan aman, agar tidak diikuti oleh orang-orang itu.
Sesampainya di pinggir kota, Sofia bertepuk tangan dengan senang karena kembali bertemu dengan Diego, namun tidak dengan Devon yang selalu membuatnya jengkel.
"Maaf ya, aku merepotkanmu!" ucap Irene tidak enak hati.
"Tidak masalah. Lagian aku memang kesepian di sini. Tinggallah selama kalian mau!" tukas Sofia tersenyum.
Hingga sore menjelang, Irene segera kembali ke ruko dan beristirahat, namun ia terkejut ketika melihat beberapa orang yang berpakaian rapi berdiri di depan tokonya yang sudah terbuka.
"Apa yang kalian lakukan?" pekik Irene mendorong mereka satu persatu.
"Ternyata kau pandai bersembunyi!" sindir Lewis dengan mata yang tajam.
"Ka-kau!" pupil mata Irene membulat sempurna.
Lewis menatap Irene dengan lekat. Gadis ini terlihat lebih cantik dan terawat dari ingatan terakhirnya.
"Untuk apa anda datang ke sini?" tanya Irene waspada.
Lewis hanya menatapnya dengan datar. Entah hal gila apa yang membuatnya mencari gadis ini selama bertahun-tahun.
Yang jelas, ia hanya mengingat kenikmatan yang diberikan Irene bertahun-tahun yang lalu. Itu tujuannya saat ini.
Lewis tersenyum sinis. "Apa kau tinggal di gubuk kumuh ini?" tanya pria tampan itu.
"Bukan urusan anda!" ketus Irene dengan mata yang mulai memerah.
Memorinya kembali berputar mengingat bagaimana laki-laki ini menggagahinya hingga pingsan berkali-kali.
Hal itu juga yang membuatnya selalu mendapatkan mimpi buruk hingga saat ini. Sudah jelas, Irene sangat membenci Lewis hingga ke akar-akarnya.
"Bawa dia!" titah Lewis berjalan meninggalkan kerumunan itu.
"Lepaskan!" bentak Irene yang dipegangi oleh dua orang yang bertubuh kekar.
"Diam!" bentak mereka.
Lewis menghentikan langkah kakinya dan berbalik. Ia menatap dua orang itu dengan dingin.
"Siapa yang menyuruh kalian membentaknya?" Pekik Lewis membuat beberapa orang di sana terkejut, termasuk Irene.
"Maaf, Tuan!".
Lewis berjalan mendekati dan menggendong Irene seperti membawa karung beras.
Wanita cantik itu terus saja memberontak dan memukul punggung Lewis dengan keras.
"Anda kenapa masih mencari saya? Kita tidak ada hubungan apapun!" teriak Irene.
"Diam!" ucap Lewis dengan suara rendahnya.
Tiba-tiba sebuah motor menghadang mereka. Ken datang dengan tergesa-gesa setelah mendapatkan laporan dari Devon, karena ada yang terjadi di restoran mereka.
"Heh! Kalian mau membawanya ke mana?" pekik Ken.
Lewis memandang rendah laki-laki yang ada di hadapannya. "Singkirkan dia!" titah pria tampan ini dan memasukkan Irene ke dalam mobil.
"Anda mau membawa saya ke mana? Tuan, tolong lepaskan saya!" teriak Irene.
Lewis hanya terdiam dan menahan tangan gadis itu. "Jalan!" titahnya tanpa menghiraukan apapun lagi.
Sementara itu, Ken berusaha untuk mengejar mobil yang membawa Irene dan menelpon polisi, namun sayang George lebih dulu merebut ponsel itu dan menghempaskannya ke tanah.
"Kalian siapa? Kenapa kalian membawa Irene?" tanya Ken dengan wajah datar.
"Buka urusan Anda! Lebih baik sekarang Anda menghawatirkan hidup anda dari pada orang lain!" ucap George membuat Ken menatapnya dengan tajam.
"Kalian jangan macam-macam dengan saya! ini bukan daerah kalian!" ucap Ken dengan aura dingin yang mulai terasa di sekelilingnya.
"Singkirkan dia!" titah George dan langsung pergi mengikuti mobil Lewis yang sudah pergi lebih dulu.
Ia juga meminta orang-orang untuk membereskan kekacauan yang terjadi di restoran itu.
Beberapa orang mulai menghajar Ken, namun dia susah terlatih untuk menghadapi berbagai macam situasi. Tak sulit baginya untuk melumpuhkan tiga orang bahkan lebih.
Ken hanya menatap mereka dengan datar. Ia mengambil ponsel cadangannya dan menelpon seseorang diseberang sana.
"Ikuti mereka dan bawa Irene kembali!" titahnya dengan tegas.
Sementara itu, Lewis menatap Irene dengan mata yang bergejolak. Wanita cantik itu terlihat ketakutan dan masih mencoba untuk membuka pintu mobil.
Lewis menggenggam tangan Irene dan menariknya untuk lebih dekat hingga membuat tubuh mereka langsung berdempet.
Irene terkejut dan membeku ketika tangan Lewis memeluk pinggangnya dengan posesif.
"Kali ini kau tidak akan bisa pergi ke mana-mana lagi!" bisik Lewis tepat di telinga Irene.
Hembusan napas pria tampan itu membelai telinga Irene dan membuatnya merinding.
Ia menatap tajam laki-laki badjingan ini. "Anda tidak punya hak atas saya!" ujar Irene dengan tegas.
Lewis menatapnya dengan lekat. Mata bulat yang indah, mengingatkannya dengan malam indah mereka. Tanpa sadar ia menci*um Irene dengan paksa tanpa kendali.
"Hmph!" pekik Irene tertahan.
Ia berusaha untuk mendorong Lewis, namun ia tidak memiliki kekuatan lagi. Laki-laki ini masih saja memaksa dirinya seperti lima tahun yang lalu.
Lewis masih berusaha untuk menguasai Irene tanpa memberikan gadis itu kesempatan untuk menolak.
Hingga mobil berhenti di area parkir gedung hotel, Lewis langsung menggendong Irene menuju kamar yang sudah ia pesan.
"Tuan, jangan lakukan ini!" pekik Irene dengan tidak berdaya.
Tubuhnya bergetar hebat karena perlakuan kasar Lewis. Kejadian dulu sangat membekas dan menjadi trauma dalam dirinya.
Kini Lewis kembali hadir dan melakukan hal yang sama, membuat Irene merasa menjadi perempuan hina yang tidak memiliki harga diri.
Lewis menghempaskan Irene di atas ranjang dan langsung menguasainya. Has*rat yang bergejolak membuatnya kehilangan akal.
Dengan paksa, Lewis merobek baju Irene tanpa belas kasih. Ia sudah gelap mata menunggu selama lima tahun untuk menemukan gadis ini.
Irene harus membayar semua yang sudah ia keluarkan.
"Tuan, tolong jangan lakukan ini lagi! Aku mohon!" pintar Irene dengan suara serak dan sudah menangis.
Sesaat, Lewis tersadar, ia menatap tajam Irene dan melihat wajah pucat gadis itu. Entah kenapa hatinya ia merasa tidak tega memperlakukan Irene seperti ini.
Dengan hanya mengenakan celana panjang, Lewis berdiri dan masuk ke dalam kamar mandi.
Sementara Irene masih menangis di atas ranjang dan berusaha memungut baju kemeja Lewis untuk menutupi tubuhnya.
Aku harus keluar dari sini!. batin Irene.
Ia berusaha untuk membuka pintu, namun sayang mereka terkunci dari luar. Seketika tubuhnya luruh dan bersandar di dinding yang dingin.
Lewis keluar dari kamar mandi, dengan hanya berbalutkan handuk.
"Apa, apa lagi yang Anda inginkan dari saya?" tanya Irene dengan mata yang tajam.
Ia berdiri dengan sisa tenaga yang masih ada. Menatap Lewis dengan penuh kebencian.
"Tubuhmu!" ujar Lewis dengan tanpa perasaan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!