Angin berembus menyapa tubuh yang dibalut kesedihan yang mendalam. Rasa dinginnya tak mampu menyejukkan hawa panas yang membakar hati seseorang yang sedang kehilangan. Di samping gundukan tanah merah, seseorang duduk penuh penyesalan.
Dialah seorang lelaki bernama Ryan Alexander. Dirinya menyesal karena merasa gagal melindungi sosok perempuan yang kini jasadnya sudah tertimbun tanah yang ada di hadapannya. Karena kelalaiannya, perempuan yang sampai saat ini masih menjadi ratu di hatinya itu harus meregang nyawa di usia muda.
Ryan belum bisa move on dari kesedihan. Lelaki itu selalu dirundung rasa penyesalan. Andai saja dia bisa menyadari perasaannya lebih awal kepada Rara. Andai saja dia tidak selalu bersikap kasar terhadap perempuan itu. Andai saja dia tidak meninggalkan Rara hari itu. Andai saja.
"Andai aku tidak akan meninggalkan kamu sendirian waktu itu, mungkin kamu tidak akan mengikuti penjahat itu sendirian, Ra. Andai aku bisa lebih peka. Andai aku selalu peduli padamu. Mungkin rasa sesalku tidak akan sebesar ini ...."
Kalimat pengandaian itu terus berputar seperti kincir yang membuat kepalanya terasa ingin meledak. Ryan belum sempat merasakan indahnya menuai bahagia bersama Rara. Ryan ingat jika sudah cukup lama Rara terus berjuang untuk mengejar cintanya itu, tetapi Ryan selalu bersikap acuh tak acuh. Namun, akhirnya lelaki itu sadar jika hatinya pun bisa luluh. Setelah selama ini hidupnya selalu dipenuhi dengan kebodohan yang selalu terperangkap oleh cinta semu.
Cinta yang dia pikir adalah cinta sejati yang tidak bisa terganti. Cinta pada seorang perempuan yang sudah bersuami, tetapi pada akhirnya lelaki itu pun tahu diri karena hal itu tidak boleh terjadi.
Rara mengira jika pengakuan cinta Ryan adalah awal dari bahagia. Hati perempuan itu sudah berbunga-bunga untuk memulai kisah romansa bersama lelaki pujaannya. Namun, sayangnya Ryan adalah type lelaki yang tidak peka. Dengan bodohnya Ryan membuat hati Rara kembali bimbang karena sikap tak acuh yang dia punya.
Bodoh! Ryan memang pantas mendapatkan julukan tersebut. Tiga tahun Rara mengejar cintanya, tetapi dia selalu berpura-pura menutup mata. Tentu saja umur seseorang adalah urusan Sang Pencipta. Lihatlah, kini Ryan harus merasakan patah hati setelah ditinggal mati oleh Rara.
"Kenapa kamu pergi meninggalkan aku di saat aku sudah merasakan cinta untukmu, Ra? Apa kamu sedang menghukum aku sekarang? Kamu mau membalas rasa sakit karena terus dicampakkan? Kamu jahat, Ra ... kamu benar-benar jahat! Kamu berhasil membuat aku patah hati sekarang!"
Isak tangis mengiringi kata-kata sarkas, tetapi penuh kesedihan itu. Dia tidak peduli jika orang-orang menyebutnya lelaki cengeng dan lebay hanya karena kehilangan cinta. Karena bukan hanya itu masalahnya, melainkan penyesalan yang membuatnya sangat terluka.
Apakah ini caranya Rara untuk menghukum Ryan? Rara ingin balas dendam dan membiarkan Ryan mengetahui rasanya memendam rasa cinta yang bertepuk sebelah tangan selama bertahun-tahun lamanya?
Ryan merasa adanya ketidakadilan dalam hal ini. Dahulu, Rara masih bisa melihatnya walaupun Ryan tak pernah menganggapnya ada. Namun, kini Rara sudah tiada. Bagaimana dia bisa menyembuhkan rasa rindunya jika ingin bertemu dengan Rara?
"Ra, apa mungkin kamu bisa hidup kembali?"
Ryan memelas penuh harapan ketika melontarkan kalimat yang tidak masuk akal itu. Bahkan kini tubuh Rara sudah tertimbun tanah yang sudah diinjak-injak dengan padatnya. Mana mungkin perempuan itu bisa bangkit lalu hidup kembali.
"Jika itu terjadi, aku janji akan memperlakukan kamu dengan sangat baik, Ra. Aku nggak bakalan nyakitin kamu lagi. Aku akan memperlakukan kamu seperti ratu. Aku juga akan menjadikan kamu sebagai istriku."
Ryan berkata sambil mengulas senyuman lucu. Pandangannya lurus ke depan dengan tatapan kosong dan penuh khayalan. Namun, beberapa detik setelahnya senyuman itu perlahan menghilang. Ryan sadar jika hal itu adalah sebuah kegilaan.
Tiba-tiba saja ingatan Ryan kembali pada momen keangkuhan sikapnya ketika Rara terus menempel tiga tahun silam.
"Apa, sih, nempel-nempel terus! Kayak ulat bulu aja!" seru Ryan sambil menepis tangan Rara yang merangkul tangannya. Namun, karena Rara sangat menakuti binatang tak bertulang itu, perempuan itu malah semakin mengeratkan rangkulannya pada lengan Ryan.
"Ah ... di mana ada ulat bulu, Bang? Rara takut ulat!" seru Rara sambil berjingkrak tidak jelas.
Ryan memutar kedua matanya dengan malas, lalu melepaskan tangan Rara begitu kasar. "Kamu ulat bulunya!"
Rara sampai terhuyung beberapa langkah karena ulah Ryan. Kedua matanya langsung terbuka, lalu genangan air yang datang tanpa aba-aba membuat Rara segera memalingkan muka. Rara takut orang lain tahu jika hatinya begitu remuk dengan sikap Ryan tersebut.
Ryan tahu akan hal itu. Ujung matanya hanya mendelik tidak suka. Waktu itu dalam hatinya hanya berisi rasa muak saja. Lalu dia pergi tanpa mengatakan apa-apa.
"Maafkan aku, Ra! Kembalilah! Aku janji nggak akan bersikap seperti itu lagi ...." Kembali sadar dengan ingatannya saat ini, Ryan meraung dengan sangat frustrasi.
Janji Ryan tidak ada artinya sekarang. Kenangan yang menyakitkan itu hanya akan menjadi beban dalam wujud penyesalan.
Tanpa Ryan sadari, tak jauh dari tempatnya kini ada seekor kucing yang tengah menatapnya tanpa berkedip. Kucing itu seperti saksi yang mendengarkan Ryan sedang melontarkan janji.
Langit seolah peka dengan suasana hati Ryan yang tengah gundah . Seketika cuaca pun ikut berubah. Angin kencang berembus dari segala arah. Hal itu membuat tubuh Ryan sedikit goyah. Kepalanya yang tadinya menunduk langsung menengadah. Menengok ke arah langit yang tiba-tiba menunjukkan tanda-tanda air akan segera tumpah.
"Sepertinya mau hujan, Ra. Aku mau ngambil payung dulu ke mobil, ya!" ucap Ryan lalu berdiri dan beranjak pergi.
Beberapa saat kemudian Ryan pun kembali sambil membawa payung berwarna navy. Ia melebarkan payung itu, lalu menyimpannya di atas batu nisan yang bertuliskan nama 'Rara Anggraeni'.
"Biar kamu nggak kehujanan di dalam sana, aku payungin kamu," ucap Ryan sambil mengusap batu nisan.
Orang lain yang melihat pasti akan mengatakan Ryan gila, tetapi memang segila itu cintanya kepada Rara. Hati dan pikirannya seperti disegel dan terkunci rapat. Ryan seperti orang yang sekarat.
"Aku pulang dulu. Nanti aku ke sini lagi."
Ryan pamit pulang pada gundukan tanah yang tak bisa menanggapi perkataannya. Walaupun demikian, Ryan tetap mengulas senyuman. Kakinya yang baru mengayun selangkah tiba-tiba berhenti tatkala kedua matanya menangkap benda aneh teronggok di bagian bawah pusara Rara.
"Itu benda apa? Perasaan tadi nggak ada," ucap Ryan sambil berjongkok lagi. Menatap aneh benda berbentuk tabung kaca yang berisi pasir di dalamnya. "Kayak jam pasir?" imbuhnya setelah berhasil meraih benda tersebut lalu memeriksanya.
Suara petir yang menggelegar membuat Ryan hampir terjengkang. Jam pasir itu pun terlepas dari tangan.
"Ya, Tuhan ... lain kali kalau mau ngasih petir bilang-bilang, ya! Biar bisa persiapan," celetuk Ryan yang malah disambut dengan suara petir berikutnya. Membuat dia terkejut untuk kedua kalinya.
"Astaga! Aku harus segera pulang." Ryan yang ketakutan segera pergi tanpa memedulikan jam pasir yang ditemukannya tadi. Namun, beberapa saat setelah Ryan pergi, jam pasir itu pun hilang sendiri.
to be continued ....
Jangan lupa cek novel keren di bawah ini juga, ya
Gemuruh yang silih bersahutan dengan kilatan cahaya dari langit membuat Ryan tak bisa berkonsentrasi mengemudi. Ditambah semburan air yang menghantam kaca mobilnya bertubi-tubi. Gerakan wiper kaca mobil di depannya membuat fokus mata Ryan pun jadi terbagi, membuat lelaki itu harus extra hati-hati.
"Kenapa hujannya langsung gede gini? Padahal sebelum aku ke sini, cuacanya cerah banget," tutur Ryan bermonolog sendiri. Tangannya pun memutar setir kemudi ke arah kiri lalu setelah berhasil berbelok, mobil itu bergerak lurus kembali.
Beberapa saat kemudian, ponsel Ryan berdering menandakan ada panggilan telepon di sana. Ekor matanya menengok layar ponsel yang menancap di dasbor mobil. Terlihat nomor tak dikenal memanggil.
"Siapa yang nelepon hujan-hujan gini?" ucap Ryan karena dirinya pun takut tersambar petir karena radiasi.
Ryan hendak menekan tombol merah untuk menolak panggilan tersebut, tetapi tak sengaja malah menekan tombol hijau dan panggilan pun diterima.
"Ah, sial! Kenapa diterima," rutuk Ryan pada dirinya sendiri. Sudah terlanjur diterima dia pun berkata pada si penelepon dengan suara tinggi, "Aku lagi nyetir, nanti ku telepon lagi."
Tangan Ryan terulur hendak mengakhiri panggilan tersebut. Namun, belum sempat tangannya menyentuh tombol, suara seseorang yang berada di seberang sana membuatnya sontak membulatkan kedua mata.
"Bang Ryan!"
"Rara?"
Ryan sangat kenal dengan suara perempuan yang sangat dicintainya itu. Sontak lelaki itu pun jadi bengong. Bagaimana bisa seseorang yang sudah meninggal bisa menghubunginya lewat telepon?
Tanpa Ryan sadari, ia sudah kehilangan konsentrasi. Sesaat kesadarannya pun kembali, tetapi seekor kucing yang tiba-tiba melintas di depannya membuat Ryan hilang kendali. Ryan pun langsung banting setir ke arah kiri.
Nahas, di sebelah kiri itu adalah turunan terjal yang di bawahnya terdapat danau besar. Ryan tidak bisa menghentikan laju kendaraannya. Mobilnya terus merosot ke bawah. Tiba-tiba rem mobil itu tidak berfungsi sama sekali. Ryan berusaha keluar dengan membuka pintu mobil, tetapi gagal. Alhasil, lelaki itu pun berpikir jika dirinya sebentar lagi akan meninggal.
"Ya, Tuhan ... jika Engkau mau mengambil nyawaku hari ini, tolong pertemukan aku dengan Rara lagi."
Bukannya berdo'a agar selamat, lelaki itu malah berdo'a seperti itu. Seolah hidupnya sudah tidak penting lagi, Ryan ingin segera mati.
Mobil itu dengan mudahnya ditelan air danau. Walaupun Ryan sudah pasrah, secara refleks lelaki itu tetap berusaha untuk menyelamatkan dirinya ketika berada dalam bahaya. Segala cara dia lakukan untuk membuka pintu mobil, tetapi tidak bisa. Hingga lelaki itu kehabisan pasokan udara karena terlalu banyak meminum air yang memenuhi ruang mobilnya.
Tubuh Ryan melemah, kedua matanya pun perlahan tertutup karena tak sanggup menahan perih berendam di dalam air terlalu lama. Napasnya terasa sesak, nyawanya seperti sedang di ujung tanduk. Pikirannya pun seketika kosong, hanya bayangan wajah Rara yang muncul di pikirannya sebelum lelaki itu benar-benar tidak bisa tertolong.
*****
"Hh ...."
Ryan tersentak ketika tiba-tiba terbangun dari tidurnya. Pundaknya naik turun dengan napas tersengal seperti habis lari maraton. Keringat dingin mengucur deras membasahi seluruh tubuhnya. Kemeja yang dikenakan pun sampai basah karenanya.
"Di mana aku?" Ryan celingukan mendapati dirinya masih terduduk di belakang setir kemudi.
Ya, Ryan masih berada di dalam mobil, tetapi di luar sana bukanlah air danau yang menenggelamkannya, melainkan deretan mobil yang berjajar rapi di sebuah lapangan terbuka.
"Ah, aku sudah di akhirat? Apa ini yang dinamakan Padang Mahsyar?" celetuk Ryan yang mengingat seorang Ustadz pernah berceramah tentang hari penghisaban setiap amal perbuatan manusia. Tempat semua makhluk akan dikumpulkan di akhir zaman untuk diperhitungkan amal perbuatannya selama hidup di dunia. Mungkin Ryan lupa, jika ada Alam Barzah dahulu sebelum hari perhitungan itu tiba.
"Tapi Pak Ustadz nggak pernah bilang kalau di akhirat bisa pakai mobil juga. Apa amal aku sangat banyak sehingga Tuhan ngasih bonus kendaraan biar bisa cepat melewati jembatan Shiratal Mustaqim untuk mencapai surga?"
Bisa-bisanya Ryan berpikir se-absurd itu. Masalah amal seseorang hanya Allah yang punya perhitungan. Seenaknya saja dia mengambil kesimpulan.
Suara nada dering ponsel membuat perhatian Ryan tersita. Pandangannya langsung beredar mencari asal suara. Ponsel tersebut tergeletak di kursi kosong di samping kemudinya. Terpampang nama Mbak Dania di sana.
Dania adalah kakak sepupu Ryan. Lekas, lelaki itu pun menerima panggilan.
"Hei, kamu udah sampai mana? Lama banget, sih? Cepetan bawa kotak make-up Mbak ke sini!"
Baru saja Ryan mendekatkan ponselnya ke telinga, rentetan kata-kata dengan suara lantang langsung menusuk telinganya. Ryan sampai menjauhkan ponselnya sebentar, lalu mendekatkan lagi ke telinga untuk melanjutkan panggilan telepon mereka.
"Mb-Mbak Dania?" Suara Ryan terdengar gagap saking bingungnya.
"Apa? Jangan bilang kamu masih di rumah, ya! Mbak udah bilang buru-buru. Make-up itu mau dipake sekarang."
"Make-up? Make-up apa?"
"Ryan!"
Ryan terperanjat mendengar Dania menyentak. Telinganya seperti di lempar petasan yang tiba-tiba meledak. "Nggak usah teriak-teriak bisa nggak, sih!" seru Ryan kesal.
"Makanya jangan bercanda terus!" Terdengar embusan napas panjang sebelum Dania kembali berkata, "oke ... Ryan, sayang. Sekarang bukan waktunya bercanda, ya. Sebentar lagi acaranya mau dimulai, tapi riasan para model belum sempurna. Riasan mereka nggak akan selesai kalau make-up mbak yang ketinggalan itu belum kamu berikan."
Ryan berpikir sejenak mencoba mencerna kalimat yang dilontarkan kakak sepupunya itu. Kali ini suaranya lebih rendah, sehingga Ryan bisa mencernanya lebih mudah.
Ketika kedua matanya menangkap sebuah kotak berwarna hitam, Ryan bisa sedikit menyambungkan benang merah. Dengan kaca transparan di bagian atasnya, lelaki itu bisa melihat jika isi kotak tersebut adalah alat make-up yang dimaksud Dania.
"Apa itu kotak make-upnya?"
Sekeras mungkin Ryan berpikir, tetapi ia tidak bisa mencerna kejadian yang menimpanya saat ini adalah nyata. Ia tidak bisa berpikir jernih tentang semua peristiwa yang dia alami. Kejadian acak yang menimpanya saat ini terasa seperti mimpi.
"Ah, sakit!" Ryan mencubit pipinya sendiri dan tentu saja terasa perih. Itu membuktikan jika yang dia alami bukanlah mimpi.
"Halo, Ryan! Ryan! Kamu masih di sana 'kan?" Suara menggelegar di balik ponselnya mengembalikan pikiran Ryan yang sempat berputar-putar.
"Ah, iya. Aku masih di sini," ucap Ryan mencoba mengikuti alurnya saja. Mungkin sebentar lagi dia akan tahu apa yang terjadi kepadanya.
"Mbak tanya sekali lagi, kamu ada di mana sekarang?"
"Aku? Sebentar ...." Ryan mengedarkan pandangannya ke arah luar. Kali ini pandangannya lebih difokuskan. Tak jauh di depan mobilnya ada sebuah gedung yang terpampang tulisan 'SMA Pelita Harapan'.
"SMA Pelita Harapan." Ryan membaca tulisannya pelan bahkan hampir tak terdengar, tetapi Dania bisa mendengarnya dari seberang.
"Oh, kamu udah sampai di sekolah? Ah ... syukurlah! Kamu ada di mana? Mbak yang temui kamu aja," seru Dania langsung menyambar.
"Eh, sekolah apa? Bukannya aku lagi di Padang Mahsyar?" Ryan terkejut tentu saja. Bagaimana bisa dia menyebut parkiran sekolah sebagai tempat penghisaban amal perbuatan setelah akhir zaman.
"Kamu ngomong apa, sih? Bercandanya nggak lucu, tahu!"
Ryan meneguk ludah menyesali kebodohannya. Sekaligus takut karena Dania benar-benar marah. Sungguh, Ryan tidak pernah berniat untuk menjadikan hal itu sebagai bahan candaannya.
"Iya, Mbak, maaf! Aku ... sepertinya ada di parkiran sekolah," ucap Ryan sedikit takut. Dania pun terdengar mendengkus.
"Oke, tunggu Mbak di sana!"
Panggilan pun berakhir setelah Dania memutuskan panggilan telepon terlebih dahulu. Tinggallah Ryan yang masih merasa ambigu. Ia menggaruk keningnya yang tidak gatal sembari berpikir keras. Kejadian tidak masuk akal yang menimpanya itu membuatnya hampir tidak waras.
"Apa kecelakaan itu yang mimpi?" Ryan frustrasi sambil mengacak rambutnya sendiri. "tapi nggak mungkin. Aku ingat betul kalau aku baru pulang dari makamnya Rara beberapa jam yang lalu, terus aku mengalami kecelakaan. Lalu, kenapa sekarang aku ada di sini? Membawa make-up Mbak Dania ke sekolahan? Kapan aku disuruh oleh dia?"
Ryan benar-benar tidak mengerti. Ia berusaha mengingat semua kejadian sebelum dirinya terdampar di sana, tetapi hasilnya tetap sama. Kepalanya seperti mau pecah memikirkan jawaban atas kebingungannya.
"Ryan!"
Suara Dania yang diiringi suara ketukan kaca membuat Ryan terlonjak kaget, lalu menghela napas kasar setelah melihat Dania-lah pelakunya. Ryan pun membuka pintu mobil setelah meraih kotak make-up yang diinginkan sepupunya itu, lalu keluar dari mobil.
"Mana kotak make-upnya?"
Ryan memberikan kotak make-up itu kepada Dania. Pandangannya menyapu ke segala arah hingga tiba-tiba perasan dejavu menyerang pikirannya. Ryan pun sontak membelalakkan kedua mata.
"Sepertinya aku pernah ke tempat ini," ucapnya sambil mengingat sesuatu.
...******...
...To be continued...
Jangan lupa cek novel keren di bawah ini juga, ya
Dalam bayangannya Ryan pernah mengalami hal yang sama. Dalam ingatan itu, Ryan membawakan kotak make-up milik Dania juga. Hanya sekejap, ingatan itu pun kembali lenyap.
"Mbak mau masuk lagi, ya. Makasih, loh, udah dianterin." Ucapan Dania membuat kesadaran Ryan kembali.
"Tunggu, Mbak!" seru Ryan menghentikan langkah Dania.
"Ada apa?"
"Ehm ... di dalam ada acara apa?" tanya Ryan sedikit ragu. Banyaknya kendaraan yang parkir membuat Ryan yakin ada acara besar di gedung sekolah tersebut. Mungkin ia bisa mendapatkan sedikit pencerahan dari sepupunya itu.
"Tadi 'kan Mbak udah bilang sebelum minta tolong sama kamu buat nganterin kotak make-up. Di sini lagi ada acara peragaan busana hasil rancangan Miss Rani Hatta. Kamu lupa?"
Ryan berpikir sejenak lalu menyengir setelahnya. "Oh, iya. Aku lupa," ucapnya pura-pura malu.
"Kamu kenal Rani Hatta 'kan? Desainer terkenal itu," seru Dania lagi.
Tentu saja Ryan ingat nama itu. Desainer favoritnya yang cukup terkenal terutama di kalangan generasi muda. Desainer itu selalu bisa merancang desain pakaian yang styles dan fashionable. Ia mampu menghadirkan beraneka ragam tema dan inspirasi yang dituangkannya pada busana yang modern dan trendi, sehingga anak muda bisa memakainya untuk sehari-hari.
"Tentu saja kenal, tapi kenapa diadakan di sekolah? Apa nggak mengganggu kegiatan belajar siswa?"
"Ya, mungkin karena pasar dari desain pakaiannya itu untuk anak muda, tapi Mbak nggak tahu juga. Lagian ini hari Minggu, Ryan. Semua sekolah di negara ini libur semua."
"Minggu?" Ryan terkesiap mendengar itu. Lelaki itu ingat betul jika sekarang adalah hari Jum'at. Hari yang baik untuk mengunjungi makam Rara.
"Kenapa, sih, kamu jadi banyak nanya? Biasanya cuek sama kerjaan Mbak." Dania sedikit curiga dengan gelagat Ryan yang berbeda dari biasanya.
"Ah, nggak apa-apa, kok. Hari ini aku lagi pengin kepo aja sama urusan orang-orang di sekitar aku."
Dania berdecak sebal. Jawaban Ryan terdengar asal. Apalagi melihat senyuman menjengkelkan yang terbesit di bibir pemuda itu. Seperti sedang meledek Dania.
"Ya, udah. Kalau kamu mau tahu lebih banyak, mendingan ikut Mbak aja. Sekalian kamu bisa lihat hasil desainer Rani Hatta. Mbak lagi buru-buru ini," ajak Dania yang membuat Ryan sangat antusias.
"Ayo, Mbak! Aku mau lihat."
Bermodal rasa penasaran yang tinggi, Ryan pun mengikuti Dania dan masuk ke gedung sekolah.
"Selain peragaan busana oleh pada model yang disewa. Miss Rani juga mengadakan kontes perlombaan fashion show, loh, untuk para murid di sini. Mungkin itu juga salah satu alasannya kenapa fashion show ini diadakan di sekolah."
Walaupun tidak ditanya, Dania tetap menjelaskan kepada Ryan tentang kegiatan yang diadakan di sana sembari berjalan di koridor sekolah. Ryan hanya mengangguk-anggukkan kepalanya menanggapi perkataan Dania. Kedua matanya terus mengumpulkan informasi tentang kejadian apa yang dia alami saat ini.
"Untungnya jadwal fashion show para model dijadwalkan belakangan. Mbak masih ada waktu untuk menyelesaikan riasan mereka," ujar Dania lagi, lalu berhenti di depan pintu sebuah ruangan kelas. "Mbak mau lanjut kerja. Kalau kamu mau lihat perlombaannya ada di sana, di ruangan aula," imbuh Dania sambil menunjuk ke arah aula sekolah.
Tak banyak bicara, Ryan hanya menganggukkan kepala. Kebingungan masih menguasai otaknya. Selain mengikuti alur, dia bisa apa. Ryan seperti berada di dunia lain, tetapi anehnya orang yang dikenalnya pun ada di sana.
Langkah kakinya membawa Ryan menuju aula sekolah. Banyak sekali penonton terutama para siswa. Mereka bersorak sorai setiap ada peserta perlombaan yang masuk dan berlenggaklenggok di atas catwalk. Ryan tidak terlalu memperhatikan peserta. Kedua matanya masih sibuk mencari jawaban yang entah untuk pertanyaan yang mana.
Kebingungannya terlalu banyak. Sama banyaknya dengan pertanyaan yang menjejal di otak. Kejadian rancu yang dialaminya itu, membuat akalnya terasa buntu.
"Rara!"
Teriakan seseorang membuat kepala Ryan sontak menoleh ke asal suara. Suara itu berasal dari seorang gadis berambut ikal yang berdiri di depan panggung. Dia sedang berjingkrak kegirangan sambil mengacungkan sebuah karton berwarna putih yang bertulisan nama 'Rara' di depannya. Sepertinya dia adalah seorang siswi yang sedang mendukung temannya yang ikut lomba peragaan busana.
"Rara! Rara! Rara!"
Beberapa siswa yang lain pun ikut meneriaki nama itu. Refleks, pandangan Ryan langsung beralih ke arah panggung. Jantungnya langsung berdetak kencang. Apa mungkin Rara yang mereka maksud adalah kekasihnya? Namun, kemungkinan tersebut pastilah nihil karena Rara memang sudah meninggal dunia.
Hati Ryan langsung mengembang hanya karena mendengar nama itu. Walaupun tidak mungkin, jantungnya seperti melesat ketika langkah kaki seorang gadis mengayun lenggang dari balik layar. Kedua matanya langsung terbuka lebar. Seorang gadis cantik yang berjalan di atas catwalk itu membuat bola mata Ryan hampir keluar.
"Ra—Rara?"
Wajah gadis itu sangat mirip dengan Rara—kekasihnya. Tidak! Dia memang Rara. Wajah yang sama, tubuh yang sama, dan cara berjalan yang sama. Ryan hafal betul dengan itu semua. Lagipula semua orang di sana juga menyebutnya Rara. Ryan yakin jika perempuan itu adalah kekasihnya.
"Rara ...."
Tanpa berpikir panjang, kaki jenjang Ryan langsung melesat membelah kerumunan. Ia berlari menaiki panggung yang kini tengah diadakan perlombaan. Tak peduli jika itu hanyalah sebuah khayalan.
Dunia seolah berhenti ketika Ryan berlari. Suara riuh di dalam aula terdengar seperti melodi yang menenangkan hati. Apa pun yang akan terjadi nanti, Ryan tidak peduli. Yang terpenting kini rasa rindunya bisa terobati.
"Aku kangen sama kamu, Ra. Akhirnya aku bisa memelukmu lagi," ucap Ryan setelah berhasil merengkuh tubuh mungil di atas panggung itu.
Tak memerlukan waktu lama untuk membuat seisi ruangan terdengar bergemuruh. Imajinasi Ryan runtuh ketika tubuhnya didorong dengan kasar dan hampir terjatuh.
"Lo gila, ya! Siapa lo? Dateng-dateng meluk gue." Rara yang tidak senang langsung mengumpat kasar.
"Lo ... gue?" Ryan tercekat tentu saja. Baru kali ini dia mendengar Rara berkata kasar kepadanya.
Gadis yang berambut ikal tadi pun langsung naik ke atas panggung untuk mengamankan Rara. Memeluk gadis itu lalu menjadikan tubuhnya sebagai penjaga. Wajahnya terlihat khawatir jika terjadi sesuatu yang buruk terhadap sahabatnya.
"Siapa lo? Berani-beraninya meluk sahabat gue!" cecar gadis berambut ikal yang bernama Mita.
"Woy, orang gila, turun! Ngerusak acara aja." Seorang murid laki-laki pun ikut menghardik Ryan.
"Iya, ih. Siapa sih dia?" sahut yang lainnya.
Seketika Ryan pun kembali dari dunia ilusi, kemudian suara riuh yang sempat hilang itu pun terdengar kembali. Dunia yang tadinya lengang kembali ramai. Telinga Ryan pun sontak berdengung dengan sorakan semua orang. Mereka menyebut lelaki itu sebagai biang onar.
Sungguh, perbuatan Ryan memang memalukan. Di tengah keramaian dia berlari seperti orang gila, lalu memeluk Rara yang tengah melakukan lomba. Membuat semua orang bertanya-tanya. Siapakah dia?
"Pak Satpam mana, sih? Kenapa orang gila diizinin masuk ke sini?" Mita kembali berteriak histeris. Kepalanya menengok ke kanan dan ke kiri mencari petugas security. Gadis itu seperti pahlawan yang berada di barisan terdepan untuk menyelamatkan Rara.
"Ra, kamu nggak kenal aku? Aku Ryan, pacar kamu."
"Dih, jangan ngaku-ngaku lo, ya! Gue kenal lo juga nggak," sentak Rara membantahnya.
Berbarengan dengan itu dua orang security pun tiba. Mereka langsung mengunci kedua tangan Ryan di kedua sisi yang berbeda.
...----------------...
...To be continued...
Jangan lupa cek novel keren di bawah ini juga, ya
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!