NovelToon NovelToon

RAGA LANGIT

Bab 1. Dia Langit

Hari ini adalah hari senin. Tepat pertama kali hari pindahan seorang Adhara Aline. Pagi ini, gadis tersebut memasuki sekolah barunya yang ada di Jakarta yaitu SMA HARAPAN BANGSA. Ya, sekolah yang terkenal dengan perpustakaan paling aesthetic.

"Ini yang bikin males, gue nggak tau kelasnya di mana." dengus seorang gadis bernama Adhara Aline.

Ia tengah berdiri kebingungan di depan gerbang sekolah tersebut. Arah pandangannya mengarah kemana-mana. Gadis itu heran mengapa ia bisa dimasukkan ke sekolah yang sepi seperti itu.

Tak lama kemudian datanglah seorang pemuda tampan berkulit putih serta memakai seragam Osis yang masih tertutup hoodie berwarna hitam.

Sial, kagak keliatan nametag nya lagi. Gimana gue bisa tau namanya siapa. Batinnya kesal.

Pemuda itu tetap berjalan melewati Dhara, semakin gadis tersebut diam pemuda itu semakin jauh. Mau tak mau Dhara harus mengejarnya.

"Mas, tunggu!" teriak Dhara sedikit lancang.

Uh, pemuda itu akhirnya menoleh ke sumber suara. "Ada apa?" jawabnya dingin.

"Mau numpang nanya, boleh nggak?" tanya gadis itu menatap mata pemuda yang ada di depannya.

Pemuda tersebut malah memperhatikan seragam yang Dhara pakai, "Kelas berapa?" tanya lelaki itu singkat.

Dhara hanya mengangguk menyembunyikan rasa kesalnya, "Kelas 11 IPS 1." jawabnya cuek.

"Ikut gue," ucap pemuda itu lalu berjalan menaiki tangga menuju lantai kedua.

Dhara pun segera mengikuti pemuda yang belum dikenalnya itu. Hingga tak sampai beberapa menit ia sampai di kelasnya.

Dhara menyapu pandangan ke sekitar, "Ini kelasnya?" tanyanya heran.

Sang pemuda itu hanya mengangguk lalu masuk kedalam kelas yang sangat berbeda dari ruang kelas lain.

"Buru masuk," ucap lelaki itu yang tengah duduk di bangkunya.

"Kelas kok aesthetic banget? nggak salah ruangan nih?" bingung Dhara sambil berjalan pelan kedalam kelas.

Seorang pemuda berbadan tinggi tersebut meletakan tasnya dan melepas hoodienya. "oh, namanya Langit." lirih Adhara seraya menatap bangku-bangku yang ada di hadapannya.

"Lo duduk samping kanan gue, cuma itu yang kosong." ucap Langit keluar kelas.

Mata Adhara membulat sempurna, "Gue duduk di samping Langit? gawat kalo doi nya tau bisa babak belur gue," oceh Dhara berbicara sendiri.

Langit yang sekilas mendengar ucapan Dhara hanya menanggapi singkat, "Gue nggak ada pacar." sahutnya sudah sedikit jauh dari kelas.

"Woi, tungguin gue Langit!" teriak gadis itu berhasil mengejar Langit.

"Lo sebenernya siapa sih? lo tuh freak tau nggak," ketus Dhara wajahnya terlihat kesal.

Tiba tiba Langit berhenti mendadak membuat Dhara menabrak punggung pemuda itu. "gue ketua kelas sekaligus ketua Osis di sini." jawabnya membuat Dhara terkejut.

"Oh, pantesan gayanya selangit nggak cuma namanya doang yang Langit. Mukanya cakep inceran para betina." cibir gadis tersebut asal.

Langit berbalik badan dan menatap wajah Dhara lekat. "ngga ada waktu buat basa basi, cepet turun tangga mau ikut upacara nggak." Tarik paksa Langit terhadap Dhara.

"Nggak pantes lo jadi ketua kelas, apalagi jadi ketua Osis." ujarnya asal lalu membekap mulutnya.

Langit berbalik menatap anak baru itu dengan tatapan datar. "Ma-maaf ... maksud gue bukan menghina lo, tapi —" lirih Dhara takut karena omongannya di potong oleh Langit.

"Gue yang bertanggung jawab atas kedisiplinan semua anak di sini." katanya terus berjalan menuruni anak tangga.

"Ya udah maaf, abis ini sekolah sepi banget."

"Udah, sana masuk barisan." Perintah Langit kemudian ia berbaris di depan barisan yang sepertinya Langit juga sang pemimpin upacara.

••••••••••••

Setelah upacara selesai, Dhara kebingungan di tengah keramaian anak anak yang akan masuk kelas. "Langit di mana ya? aduh, gue nggak berani sendirian." lirihnya sudah panik.

Tetapi dalam kepanikan tersebut, tiba-tiba ada yang menarik tangan Dhara dan membuat gadis itu terkejut.

"Ayo ke kelas." ajaknya tetap menarik tangan Dhara.

"Ish! lo kalo dateng jangan ngagetin kek. Gue panik nih." ocehnya sambil menaiki anak tangga.

"Kalo mau kemana-mana nanya dulu, jangan asal ngilang." balasnya kini terdengar peduli pada Adhara.

Gadis tersebut menarik lengan tangan Langit agar berhenti dulu sebelum masuk ke kelas. "Lo peduli sama gue?" Pertanyaan itu langsung ditanggapi singkat oleh Langit.

"Udah, ayo masuk. Bawel banget dari tadi." sahut Langit mulai kesal.

"Iyaa, maaf."

•••••••••

Saat di dalam kelas Dhara tak bisa memahami pelajaran yang ada. "Lang, gue nggak paham, gimana ini?" tanya gadis itu khawatir.

"Ini buku paketnya," ucap Langit menyodorkan buku paket miliknya.

"Plis Lang, gue nggak suka angka." Rengek Dhara langsung menjadi titik pusat perhatian anak anak sekelas.

Di kelas Langit seluruhnya ada 10 anak termasuk Langit dan Dhara. Kursi Dhara dan Langit sangat dekat. Meskipun mereka tidak duduk bareng.

"Itu anak baru caper sama Langit," bisik salah satu siswi duduk di pojok belakang.

"Iya, merasa paling cantik keknya." sambung si teman siswi tersebut.

Dhara menoleh ke siswi yang membahas dirinya. "terganggu ya kak?" tanya gadis itu menarik kursinya jauh dari Langit.

"Saya nggak ada apa-apa sama Langit, maaf kalau kedatangan saya mengganggu keseharian kalian." tutur Adhara ramah.

Langit mendekatkan kursinya semakin dekat dengan Dhara. "mereka biasa kayak gitu tapi nggak usah ngerasa ngga enak, mereka baik dan ramah." kata Langit.

"Tapi kok-"

"Tenang aja, Ra. Kita cuma bercanda doang kok, mana mungkin kelas unggulan saling bully, nggak mungkin lah." ujar siswi tadi bernametag Kia.

Dhara hanya mengangguk tersenyum, "Nggak ada yang keberatan kalo aku nanya pelajaran ke Langit, kan?" tanya gadis itu memastikan.

"Nggak ada, Adhara Aline..." kompak semua anak termasuk siswa siswa temannya Langit.

Dhara senang dirinya bisa di sambut dan di terima baik oleh teman teman barunya. "eh, btw aku cuma tau nama Langit doang nih, nama kalian siapa aja?" gadis tersebut menoleh ke teman temannya namun langsung di bungkam mulutnya oleh Langit.

"Em ... apasih Lang?" Nada Dhara terdengar kesal tapi ia berusaha tidak emosi.

"Liat," Kode mata Langit menuju ke seorang guru mapel Matematika yang baru saja masuk setelah mengirim tugas melalui grup WhatsApp.

Adhara tersenyum paham, "Baru juga sehari udah bahagia aja, semoga bahagia sampai lulus." batin gadis itu kemudian membuka buku tulisnya.

"Assalamualaikum, selamat pagi semuanya. Hari ini kalian kerjakan tugas yang sudah saya kirim tadi. Bisa di mengerti?" suara guru laki laki dengan suara khasnya yang nyaring.

"Bisa pak," Kompak sekelas.

Bab 2. Nyaman

..."Aku akan menjaganya, membuatnya terus menerangi malam. Ia seorang Bintang bagiku."...

...~Raga Langit~...

Ketika bel istirahat pertama berbunyi, Dhara keluar dari kelasnya untuk melihat lingkungan sekolah barunya. Tak lama kemudian ada seseorang yang memanggil namanya. "Adhara, kamu anak baru pindahan dari SMA MERPATI?" tanya Pak Yuda, guru Matematika yang mengajar di kelas tadi.

Adhara mengangguk sambil tersenyum ramah. "Iya, Pak. Ada apa, ya?" tanyanya.

Dhara dan pak Yuda tengah mengobrol di loby  yang tempatnya di bawah lantai dua.

"Kamu kan masih murid baru di sini dan setiap anak didik baru itu harus memenuhi identitasnya selama sekolah. Bapak kepala sekolah meminta kamu supaya foto untuk mengisi raport. Bisa di mengerti?"

Adhara mengangguk pelan, "Fotonya di mana dan siapa photographer nya, Pak?" tanyanya.

"Lokasi untuk foto kamu di perpustakaan, silahkan langsung saja ke sana." perintah beliau di angguki oleh Dhara.

"Baik, Pak. Saya ke perpustakaan dulu, permisi." ucapnya ramah.

Sesampainya di perpustakaan seorang Adhara melepas sepatunya dan segera masuk kedalam. Namun, ketika ia masuk dirinya melihat seseorang yang sudah mengalungi sebuah kamera tengah berdiri membelakanginya.

"Mas? Mas nya tukang foto bukan?" tanya gadis tersebut polos.

"Iya, mari, silahkan..." seseorang itu adalah ...

Langit.

"Loh? kok lo ada di sini? pegang kamera juga buat apa?" heran Dhara menatap seorang Photographer tersebut ternyata adalah Langit.

"Gue di suruh buat fotoin murid baru, gue kira bukan lo yang bakal ke sini." ujar Langit santai.

Raut wajah Dhara mulai terlihat kesal "yaudah buru gimana fotonya, gue nggak mau jam jajan gue kepotong gara-gara lo." ocehnya merengut.

"Lo berdiri tegak di sana, arah pandangan ke depan." perintah Langit siap untuk mengambil gambar wajah Dhara.

"Ribet banget sih," dengus kesal gadis itu sambil bergaya seperti perintah dari Langit.

Lo itu cantik di mata gue, dari namanya aja lo seperti bintang Epsilon Canis Majoris yang nama lainnya adalah Adhara. Batin Langit yang tengah fokus memfoto wajah Adhara.

Ckrek.

"Gimana, udah belum?" tanya Dhara malas.

Langit menatap hasil foto Dhara lekat lekat lalu menjawab "udah,"

Tiba-tiba cuaca berubah menjadi mendung serta petir yang bergemuruh.

Duarrr!!

"Argg! aa ... gue takut petir ... Bunda, Dhara takut." teriak Dhara ketakutan sambil berjongkok dan menutup telinganya.

Langit menatap jendela perpustakaan yang memang terlihat jelas cuaca hari itu berubah. Langit meletakkan kamera yang ia genggam tadi ke atas meja kecil.

"Udah, nggak perlu takut, kita di dalam ruangan nggak akan kenapa napa." tutur Langit lembut.

Adhara tak menggubris omongan Langit, pikirannya kembali mengingat trauma masa kecilnya yang takut pada hujan dan petir.

"Bundaaa, Dhara takut ..."

Duarrr!!

"Argg! Bunda ... " tangisan Dhara memecah membuat Langit tak tenang melihatnya.

"Ra, hujan itu rezeki bagi orang-orang yang sedang membutuhkan. Kita harus bersyukur jangan takut lagi, ya." kali ini omongan Langit di dengarkan oleh Dhara. Kemudian dalam beberapa menit hujan mulai reda.

Adhara pun segera berdiri dan menghapus air matanya. Namun, lebih duluan Langit yang menghapus air matanya.

"Udah, jangan nangis lagi. Udah SMA bukan bocil SD." ujar Langit terkekeh.

Dhara mulai di buat kesal lagi oleh Langit. "Ish! lo gitu banget sih, tau cewek abis nangis malah ngeledek. Seneng lo!" ketusnya marah.

"Dih, marah? siapa suruh lo bawel. Kayak ibu-ibu pasar." kata Langit puas meledek lagi.

"Dih! Langit ... apa maksud lo bilang gue kayak ibu-ibu pasar!" amarah Dhara sampai mencubit lengan tangan Langit.

"Bawel kalo lagi nawarin dagangan, promonya murah pas di beli harganya naik." Langit tertawa melihat Dhara yang sempat sempatnya menanyakan hal seperti itu.

Wajah gadis tersebut terlihat ganas. "Ngeselin banget asli lo, nggak boong gue."

"Iya udah, iya, udah ayo keluar mau jajan nggak?" tanya cowok ngeselin itu pada Dhara.

"Jadi sih, tapi gue males ... hehehe ..." kekeh gadis itu polos.

Langit menanggapi Dhara dengan wajah datar kemudian ia mengeluarkan ponsel dari saku celananya.

"Glenn, tolong bawa hoodie gue ke perpus." ucap Langit memerintahkan pada teman kelasnya.

Dhara juga membuka layar kunci ponselnya yang terdapat banyak pesan chat dari teman sekelasnya. Ohh ... minta disimpan nomornya kali ya, hahaha.

"Nih, Bro. Oh iya, ada info kalo istirahat pertama di perpanjang karena guru-guru lagi breafing di kantor." ujar Gleen Putra Arnold.

"Oke, btw, makasih udah nganterin ini." jawab Langit memakaikan hoodie miliknya ke Adhara.

Dhara terkejut, lalu diam. "Masih gerimis, kantinnya lumayan jauh dari sini." Itulah ucapan Langit di hari pertama Dhara masuk ke sekolah itu.

"Thank you, buat hari ini lo selalu ada buat gue," balas Dhara tersenyum saat hoodie Langit mulai menghangatkan tubuhnya.

"Udah, ayo." Tangan Langit menggandeng Dhara.

"Ayo," seru gadis tersebut senang menuju kantin apalagi digandeng sama Langit.

Bab 3. Nama Asli

Sesudah Adhara dan Langit ke kantin kini mereka berdua tengah menaiki anak tangga untuk segera masuk ke kelas.

"Lang, nama lengkap lo siapa sih?" tanya Dhara penasaran.

Bukannya menjawab Langit malah diam saja membuat Dhara akhirnya mengurungkan pertanyaannya tadi.

"Assalamualaikum," ucap salam Langit saat memasuki kelas.

"Waalaikumsalam," jawab seluruh anak anak serta guru yang baru saja datang.

Mereka berdua duduk berdekatan. "Silakan kalian buka halaman 56 di situ ada tugas untuk menambah nilai." perintah Bu Ririn guru Bahasa Indonesia.

"Individu atau kelompok, Bu?" tanya Edgar Bagaskara.

"Lihat itu individu atau kelompok? sudah jelas kelompok, Edgar ..." jawab Bu Ririn menghela napas sabar.

Semua anak menggeleng melihat tingkah Edgar yang aneh.

"Maaf, Bu, ini kan kelompokan, tapi saya nggak tau nama lengkapnya sebelah saya bagaimana, Bu?" tanya Dhara tanpa melirik Langit.

Bu Ririn menatap Langit. "Langit, beritahu nama lengkapmu." perintah beliau serius.

"Tengku Langit Argantara." jawab Langit santai.

Adhara menoleh ke Langit karena ia merasa kurang yakin dengan nama lengkapnya Langit. Apa benar nama lengkapnya itu?

"Nggak usah bohongin gue," bisik Dhara terdengar oleh Langit.

Entahlah, Langit malah memberikan sobekan kertas pada Dhara. "Langit Putra Ragasena."

"Jangan sebar nama asli gue," tulisan itu berada di bawah nama aslinya Langit.

"Terus gimana nulis di tugas ini?" bingung Adhara.

"Tulis aja Tengku Langit Argantara." balas pemuda itu lalu menarik buku paketnya.

Dhara hanya ber-oh-ria karena dirinya hanya sebatas teman dan tak berhak bertanya mengapa namanya di privasi.

Di sela-sela jam dinding yang berbunyi, Dhara dan Langit mengerjakan tugas bersama.

Langit mempertanyakan jawaban Dhara karena feeling-nya yang tak enak tentang jawaban yang ditulis oleh Adhara.

Melihat jawaban Dhara yang seperti itu Langit pun memasang wajah yang sulit di artikan. Adhara tau Langit pasti keberatan dengan jawabannya.

"Iya gue ganti jawabannya," ujar gadis tersebut ingin menyobek salah satu kertas yang ada jawaban itu.

Langit segera mencegat. "nggak usah diganti, jangan disobek, gue hargai lo karena lo selalu sama gue." kata itu terlontarkan dari mulut seorang Langit.

"Gak papa, Lang, gue ganti aja lagian gue juga bukan siapa-siapanya lo kan. Gue ngikutin lo cuma di hari ini aja, mulai besok nggak lagi." ucapan Adhara membuat hati Langit terasa sakit. Entah apa alasannya.

"Kenapa lo ngomong kayak gitu," nada Langit bergetar seperti merasa hancur perasaannya ketika ucapan itu di lontarkan padanya.

"Gue tau lo adalah ketua Osis di sini dan gue nggak mau nambah beban tugas lo sebagai ketua kelas." balasan Dhara semakin membuat rasa sakit Langit bertambah.

Kenapa hati gue sakit banget, padahal ucapan dia nggak salah. Dia sama gue emang cuma temen tapi kenapa gue ngerasa hancur begitu dia ngomong kayak gitu. batin Langit.

"Tapi lo nggak perlu ngejauh dari gue, karena gue nyaman sama lo." bisik Langit membuat Adhara terdiam.

"Lo serius? tapi, kita kan cuma temen." balas Dhara berbisik.

Sang guru melihat gerak-gerik Langit dan Dhara yang mencurigakan, lalu beliau pun berdehem.

"Khem! tugas kalian sudah selesai?" pertanyaan dari Bu Ririn menghentikan obrolan mereka berdua.

"Be-" jawab Dhara di potong oleh Langit.

"Sudah."

"Baik, silakan kumpulkan buku kalian di meja paling depan." perintah bu Ririn.

"Baik bu,"

Kring ... Kring ...

Bel pulang berbunyi nyaring, "baik, kita akhiri pelajaran hari ini silahkan berdoa sebelum pulang."

"Siap, berdoa di mulai."

Dhara menunggu jemputan di depan gerbang sekolah yang tak jauh dari parkiran anak anak.

Gadis tersebut berkali-kali menatap jam tangannya yang sudah menunjukkan jam 2 sore.

"Ikut nggak?" Datang seorang Langit sudah duduk di atas motor *vespa* nya.

"Nggak usah, makasih." tolak Dhara mengacuhkan Langit.

"Ya udah, gue balik duluan." ucap Langit tak memaksa Adhara.

•••••••••

Di tepi jalan raya Adhara berdiri menunggu angkutan umum karena hari itu tidak ada yang menjemputnya.

Tiba-tiba ada pengendara asing yang berhenti tepat di depan Dhara. Siapa orang itu?

"Mbak, ikut saya aja yuk. Mau dianter ke mana juga boleh." ajak laki laki berkumis dan pakaiannya terlihat seperti tukang begal.

"Oh, nggak. Terima kasih." Dhara menolak dengan perasaan mulai tak enak.

"Ayolah Mbak, saya nggak akan apa-apain Mbak kok." paksa pembegal itu kejam.

"Saya bilang tidak mau, ya berarti tidak."

Pembegal tersebut mulai murka serta menatap Dhara dengan tatapan tajam.

"Ikut aja nggak usah banyak omong!" bentak pembegal itu menarik tangan Dhara.

"Tolong! ada begal di sini, tolong!" teriak Dhara ketakutan.

"Nggak usah berisik lo!" kejam pembegal itu masih menarik paksa tangan Dhara.

Sementara Langit yang tadi meninggalkan Adhara sendirian, kini ia mampir ke sebuah warung di tepi jalan raya. Ia sering membeli martabak untuk bundanya.

Ketika Langit sudah membeli martabak, kemudian ia menaiki motornya dan memasukan martabak tersebut ke dalam tasnya.

Ada seorang pengendara ojek yang datang dari arah berlawanan. Tukang ojek tersebut tergesa-gesa lalu masuk ke dalam warung martabak tadi.

"Mas, Mas, tolong itu di pertigaan ada tukang begal yang beraksi lagi, Mas. Saya nggak berani nolongin." ucap tukang ojek itu kepada laki laki penjual martabak.

Sang penjual martabak mencoba memahami informasi dari tukang ojek tersebut. Dan secara tidak sengaja Langit mendengar berita itu.

Langit tetap berdiam di motornya. "Ya sudah ayo kita ke sana, saya akan laporkan mereka ke polisi." jawab si penjual martabak.

"Iya, Mas, ini kejadian yang ke-10 kalinya jangan sampai korban itu jadi tumbal."

"Pak, maaf. Kalau boleh tau korban begal itu ciri-cirinya seperti apa?" tanya Langit mencegat tukang ojek itu.

"Masih anak sekolah, Mas." jawab di tukang ojek itu menatap logo seragam Langit.

"Nah, korbannya itu anak SMA HARAPAN BANGSA!" sambung tukang ojol itu.

Deg!

Perasaan Langit sudah tak enak sejak tadi. Jangan sampai korban tersebut adalah...

"Nggak! nggak boleh terjadi, gue nggak mau itu terjadi." sontak Langit khawatir dengan Adhara.

Akhirnya Langit pun mendatangi tempat kejadian bersama tukang ojek dan penjual martabak.

Tak hanya itu, sesampainya Langit disana dengan mata kepalanya sendiri ia melihat Dhara yang tengah di ikat kedua tangannya.

"Dhara!" teriak Langit menyebut nama gadis yang masih ketakutan akan keselamatan dirinya.

"Diam kalian! polisi akan menangkap kalian!" tegas penjual martabak.

"Kalo sampe polisi dateng, cewek ini nggak bakal selamat! ngerti lo semua!" Amarah dua pembegal ada yang mengikat Dhara dan ada yang membawa celurit.

Langit menatap wajah Adhara yang ketakutan. Tidak ada jalan lain selain Langit yang menghadapi pembegal itu demi menyelamatkan Dhara.

"Pak, tolong jaga satu pembegal itu. Saya akan menghajar pembegal kejam yang sedang mengikat teman saya!" kali ini Langit benar benar marah.

"Lang! jangan lawan mereka, Lang ... mereka itu kejam." pesan Dhara khawatir pada Langit.

Langit tak memperdulikan ucapan Adhara. Ia melepas tasnya dan melemparkan *hoodie* -nya. 

"Gue nggak akan maafin diri gue sendiri, kalo lo nggak selamat, Ra." batin Langit.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!