Liam Arkand Damien menatap layar laptop dengan ekspresi datar, meski di dalam kepalanya, pikirannya berputar seperti badai yang tak kunjung reda.
Tumpukan dokumen di mejanya menunggu ditandatangani, namun perhatiannya terseret ke arah waktu. Tak terasa, jam terus berdetak menuju saat yang semakin ia hindari: kepulangan ke rumah.
Rumah. Sebuah kata yang sekarang terasa asing baginya. Tempat itu seharusnya memberi rasa nyaman, tapi justru menjadi ruang yang penuh tekanan sejak hari pernikahannya dengan Alina.
Wanita yang taat beragama, bercadar, dan penuh kesopanan itu adalah sosok yang bertolak belakang dengan dirinya. Dunia mereka begitu berbeda, seolah terpisah oleh jurang yang tak mungkin dijembatani.
Setiap hari, ia mendapati dirinya semakin menjauh. Bukan karena ia tidak menghargainya, tetapi karena ada sesuatu dalam dirinya yang membuatnya tidak mampu. Sesuatu yang mengunci hati dan pikirannya dalam kebekuan yang tak terpecahkan.
Dia menutup laptopnya dengan sentakan kasar. Rasa frustrasi membengkak di dadanya, Pandangan matanya suram saat menatap sejenak ke luar jendela. Perusahaan ini adalah satu-satunya yang membuatnya merasa memiliki kendali.
Di sinilah ia menjadi Liam Arkand Damien, CEO yang di segani, dihormati, bahkan ditakuti. Tapi di rumah… ia adalah pria yang tak bisa mengendalikan ketakutannya sendiri.
Ketakutan untuk menyentuh istrinya, dan ketakutan untuk jatuh cinta lagi.
Dengan gerakan cepat, Liam meraih kunci mobil dan melangkah keluar dari ruang kerjanya, meninggalkan staf yang berdiri hormat di samping pintu. Matanya lurus ke depan, tidak memperdulikan sapaan hangat mereka.
Saat Liam memasuki rumah, keheningan menyambutnya. Ruang tamu terlihat rapi, aroma dupa tipis menggantung di udara, menciptakan suasana yang seharusnya menenangkan, tetapi justru membuat dadanya semakin berat.
Dia mendengar langkah kaki ringan dari dalam, dan tak lama kemudian, muncul sosok Alina di ujung lorong dapur.
Alina mengenakan gaun panjang berwarna putih yang membungkus tubuhnya dengan sederhana namun anggun. Cadar menutupi sebagian wajahnya, hanya memperlihatkan sepasang mata yang teduh, menggambarkan senyum di balik cadarnya.
"Kamu sudah pulang," suara Alina lembut, terdengar rendah namun cukup untuk memecah keheningan di antara mereka. Dia mendekat ke arah suaminya.
Liam hanya mengangguk singkat, melepaskan jasnya dan meletakkannya di sandaran kursi. Alina mendekat untuk mengambilnya, tetapi tangannya berhenti di udara saat Liam berkata dengan nada dingin,
"Tak perlu. Aku bisa melakukannya sendiri."
Senyuman Alina yang sempat mengembang di balik cadarnya perlahan pudar. Namun, dia tidak berkata apa-apa, hanya mengangguk pelan dan mundur, memberinya ruang yang selalu dia inginkan.
Keduanya berjalan dalam diam ke ruang makan. Meja sudah tertata rapi dengan makanan yang disajikan di atas piring porselen. Liam duduk tanpa menunggu Alina, tanpa mengucapkan terima kasih. Kebiasaannya.
Sejak hari pertama pernikahan mereka, Liam selalu menjaga jarak. Bukan hanya jarak fisik, tetapi juga jarak emosional yang semakin hari semakin terasa memisahkan mereka.
Saat makan malam dimulai, hanya keheningan di antara mereka. Alina, seperti biasa, mencoba memecahkan suasana.
"Aku… hari ini belajar tentang tafsir ayat baru," ucapnya hati-hati, berharap menemukan percakapan yang bisa menjembatani jarak itu.
"Tentang bagaimana suami dan istri adalah pakaian satu sama lain… untuk saling melindungi dan melengkapi."
Liam berhenti menyuap makanannya, rahangnya mengencang mendengar kata-kata itu. Pakaian? Bagaimana mungkin dia bisa menjadi ‘pakaian’ bagi Alina jika dia sendiri hancur di dalam? Dia merasa lebih seperti tembok yang dingin, tak bisa ditembus.
"Aku tidak punya waktu untuk pembahasan agama sekarang," jawab Liam kaku, nadanya nyaris terdengar kasar. Tatapannya tetap tertuju pada makanan di depannya, menghindari kontak mata dengan istrinya.
Alina terdiam, merasa kata-kata itu bagaikan tamparan halus di wajahnya. Tapi, seperti biasa, dia tidak melawan. Dia hanya menunduk, diam-diam melanjutkan makannya. Hatinya mulai terbiasa dengan kekasaran Liam. Entah mengapa, dia selalu percaya ada sesuatu di balik sikap dingin suaminya, meskipun setiap hari terasa seperti cobaan yang semakin berat.
Saat malam menjelang, Liam pergi ke kamarnya sendiri, sebuah ritual yang telah menjadi kebiasaan sejak mereka menikah. Dia selalu tidur terpisah dari Alina, dengan alasan yang tak pernah dia jelaskan dengan benar. Ketika pintu kamarnya tertutup, Alina hanya bisa berdoa dalam hening, meminta kekuatan untuk menghadapi hari-hari berikutnya, berharap suatu hari sikap suaminya berubah.
Di balik pintu kamarnya, Liam duduk di tepi tempat tidur, kepalanya tertunduk. Dia mengusap wajahnya dengan kedua tangan, merasa sesak oleh emosi yang tak bisa dia ungkapkan. Perempuan itu, istrinya, terlalu suci, terlalu baik untuk seseorang seperti dirinya.
Sosoknya yang dingin, keras, dan arogan hanyalah pelindung bagi luka yang terus menghantuinya. Trauma masa lalu itu, yang memaksa dia mengunci hati dan tubuhnya dari kedekatan, dan keintiman. Sentuhan, bagi Liam, bukanlah kenyamanan, melainkan ancaman yang tak terucapkan.
Dan malam itu, sekali lagi, dia memilih kesendirian sebagai
pelariannya.
Liam duduk di belakang meja besarnya, pandangannya kosong memandangi layar komputer yang berisi berita utama tentang dirinya.
"CEO Tersukses Tahun ini Terjerat Skandal Manipulasi Saham: Reputasi Liam Damien Tercoreng!"
"CEO Damien Corp., Liam Damien, terjerat dalam skandal besar terkait dugaan manipulasi saham. Liam diduga menaikkan harga saham perusahaannya secara ilegal melalui pembelian rahasia sebelum menjualnya untuk meraup keuntungan besar.
Penyelidikan resmi telah dimulai, dengan bukti awal yang mengindikasikan keterlibatan Liam dalam praktik ini. Akibatnya, saham Damien Corp. anjlok dan sejumlah investor menarik dana mereka. Hingga kini, Liam belum memberikan pernyataan resmi terkait tuduhan tersebut.
Apakah ini akan menjadi akhir karier bisnis Liam Damien? Kami akan terus memberikan kabar terbaru.”
Liam menghela napas panjang, frustasi dan menutup laptopnya dengan kasar. Di sekelilingnya, ponselnya bergetar terus-menerus, dan suara percakapan di luar ruangannya semakin riuh. Para investor, rekan bisnis, dan karyawannya semua menunggu penjelasan. Namun, Liam tahu, tak ada kata yang bisa mengubah opini publik saat ini.
Suara pintu yang terbuka dengan keras membuyarkan lamunannya.
Tuan Damien ayah Liam masuk dengan raut wajah yang tajam,
"Liam! Apa yang sudah kau lakukan? Apa yang di maksud dengan semua ini? kamu ingin menghancurkan reputasi keluarga kita?!" bentaknya keras.
Liam menoleh. Ayahnya, Tuan Damien, tampak marah. Wajahnya memerah, dan rahangnya mengeras. Di belakangnya, ibunya, Nyonya Anna Damien, menatap dengan wajah khawatir.
"Aku... aku dijebak, Pah. Ini semua bukan salahku." Liam menjawab dengan tegas.
"Jebakan atau bukan, publik sudah percaya apa yang mereka lihat. Berita ini tersebar di seluruh media! Para investor mengancam akan menarik diri. Perusahaan kita bisa bangkrut, Liam!" Amarah Tuan Damien semakin membara, bahunya naik turun.
"Anakku... Kita harus melakukan sesuatu untuk memperbaiki situasi ini. Nama keluargamu sedang dipertaruhkan." Nyonya Anna mendekati putranya dan menyentuh lembut pundak Liam.
Liam mengusap wajahnya dengan frustrasi, menekan emosi yang mulai meluap.
"Apa yang kau ingin aku lakukan, Mah? Semua bukti mengarah padaku. Aku tidak bisa mengendalikan apa yang orang-orang pikirkan." suara Liam melirih.
Hening sejenak.
"Ada satu hal yang bisa memperbaiki citramu." Ucap Tuan Damien, kemudian. Liam dan ibunya menoleh.
" Sesuatu yang bisa menunjukkan pada dunia bahwa kau masih bisa dipercayai, bahwa kau adalah pria yang menghargai moral dan etika." tukasnya, nada suaranya penuh tekanan yang menusuk dada Liam.
Liam menatap ayahnya tajam. Ia bisa merasakan ada sesuatu yang besar akan dipaksakan kepadanya.
"Apa maksud, Papah?"
Nyonya Anna menarik napas, dengan lembut dia menarik rahang liam agar menatapnya.
"Dengar Liam, Kita sudah lama mempertimbangkan ini, Kau perlu menikah."
Liam tersentak, memandang ibunya dengan mata lebar.
"Menikah? Dengan siapa? dan apa hubungannya dengan semua ini?"
"Dengan Alina." jawab Tuan Damien yang kini berdiri menatap pemandangan kota dari balik tembok kaca sementara kedua tangannya bertaut ke belakang.
"Putri dari keluarga Hamza. Keluarga mereka memiliki reputasi tak bercela, sangat dihormati di kalangan bisnis dan agama. Alina adalah wanita yang sangat taat agama, dan pernikahan dengan dia akan memperbaiki citramu. Orang-orang akan melihat bahwa kau berkomitmen pada nilai-nilai yang kuat." jawabnya kali ini suaranya lebih lembut.
Liam tersenyum pahit, mencoba menahan amarahnya.
"Jadi, menurut kalian, aku harus menikah dengan seorang wanita yang bahkan tak pernah kukenal... hanya demi menyelamatkan citra dan bisnis keluarga?"
Nyonya Anna mendesak,
"Ini bukan hanya soal citra, Liam. Ini tentang masa depanmu, masa depan perusahaan, dan nama baik keluarga kita. Keluarga Hamza sudah menyetujui perjodohan ini. Alina adalah gadis yang baik, dan dia akan mendukungmu melalui semua ini."
Liam melangkah menjauh dari ibunya, tubuhnya terasa terbebani oleh beban yang semakin berat. Matanya penuh amarah, namun ada perasaan lain di dalamnya, perasaan hancur. Ia tahu bahwa dalam situasi seperti ini, apa pun yang ia katakan tidak akan mengubah pikiran orang tuanya.
"Jadi, aku harus menyerahkan hidupku hanya untuk menebus skandal yang bukan kesalahanku? Menikah dengan seorang wanita yang bahkan tidak pernah aku temui?"
Tuan Damien berbalik badan, tatapannya tak berubah menatap Liam dengan tajam
"Kau sudah dewasa, Liam. Dalam bisnis, terkadang kita harus membuat keputusan yang sulit. Ini bukan tentang cinta. Ini tentang menyelamatkan segalanya yang sudah kita bangun selama ini."
Liam terdiam, mencoba menahan gejolak di dalam dadanya. Namun, pikirannya berputar-putar. Ia memikirkan reputasinya yang sudah hancur, bisnis yang terancam runtuh, dan kini, hidupnya sendiri berada di bawah kendali keputusan yang bukan pilihannya. Dalam kondisi ini, dia merasa tak ada jalan keluar.
"Liam, percayalah, pernikahan dengan Alina akan membawa perubahan baik dalam hidupmu. Dia wanita yang baik dan lembut. Mamah yakin dia bisa membuatmu lebih bahagia." Nyonya Anna mendekat dan menenangkan.
Liam menggeleng, wajahnya nampak tak berdaya dengan keputusan orang tuanya
"Kalian tidak mengerti..."
"Kita tahu lebih dari yang kau pikirkan, Liam. Ini sudah diputuskan. Dan kau akan melakukan apa yang harus kau lakukan." putus Tuan Damien tegas.
Liam menundukkan kepalanya, menahan rasa sesak di dadanya. Dia tidak punya pilihan. Skandal ini telah merusak segalanya, dan sekarang perjodohan dengan Alina adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan apa yang tersisa.
...[••••]...
...Bersambung.......
Wanita bercadar nan anggun itu duduk tenang di bangku kayu di taman belakang rumahnya. Di tangannya, kuas dengan lembut menari di atas kanvas, melukiskan sebuah rumah impian, sebuah rumah yang ia bayangkan kelak akan menjadi tempat tinggalnya bersama suami tercinta. Setiap sapuan kuasnya menggambarkan harapan dan mimpi yang ia simpan jauh di lubuk hatinya.
Suara langkah kaki ringan terdengar mendekat, Rina, pembantu setianya, muncul membawa nampan berisi segelas jus tomat yang segar dan dingin.
"Nona Alina, saya bawa jus tomat yang Non minta. Semoga bisa menyegarkan pikiran."
Alina tersenyum kecil di balik cadarnya, mengangguk pelan sebelum mengambil gelas itu.
"Terima kasih," ucap Alina, dia kemudian menyingkap sedikit cadarnya untuk meneguk jus melalui sedotan, perlahan dahaganya hilang.
Rina diam sejenak, memperhatikan majikan mudanya yang tengah menikmati jus tomat, lalu tak lama melanjutkan lukisannya kembali. Rina nampak ragu, sebelum akhirnya memberanikan diri untuk berbicara.
"Nona...Maaf kalau saya lancang bertanya, apa benar Nona akan di jodohkan dengan pengusaha yang sedang terkena skandal itu?" tanyanya dengan hati-hati
Alina menghela napas, menatap lukisannya dengan pandangan kosong sejenak.
"Benar," jawab Alina, dia kembali membuat goresan di kanvas. membuat Pembantunya mengernyit heran.
"Loh, Nona mau menerimanya Kah?"
Alina menoleh ke samping, menatap Rina dengan senyum tipis di balik cadarnya, namun senyum itu menyimpan keraguan.
"Tentu saja tidak, kamu kan tahu sendiri aku sudah di lamar Fauzan," tukasnya lembut.
Fauzan Adi pratama putra, dan Alina Zafirah Al-Mu'tasim, memiliki hubungan yang didasarkan pada prinsip keagamaan yang kuat. Fauzan, seorang pria sholeh yang taat menjaga batasan dengan wanita yang bukan muhrimnya, terkesan dengan keteguhan Alina dalam menjalankan ajaran agama. Hubungan mereka tidak dimulai dari interaksi fisik atau percakapan panjang, melainkan dari rasa saling kagum dan hormat yang perlahan tumbuh melalui kegiatan sosial dan keagamaan.
Ketika Fauzan menyampaikan niatnya kepada seorang ustadz di kajian, ustadz tersebut memperkenalkan Fauzan kepada Alina. Rasa kagum yang tersembunyi di hati keduanya bak gayung bersambut. Dalam waktu singkat, setelah mereka bertemu di Masjid Agung, Fauzan melamar Alina melalui perantara ustadz tersebut, dan Alina menerima tanpa ragu. Namun, sebulan setelah lamaran, belum ada kepastian mengenai pernikahan mereka. Fauzan terus menunda pertemuan keluarga, membuat Alina mulai gelisah.
"Tapi, Fauzan belum melamar Anda secara resmi,"
"Aku tahu, tapi secepatnya aku akan memintanya untuk datang melamarku di depan orang tuaku. Aku akan menceritakan bahwa aku akan dijodohkan dengan pria lain, lalu dia tidak punya alasan untuk menunda pernikahan kami lagi"
"Apa Non Alina, Yakin?" Rina menatap Alina dengan cemas, ragu akan keyakinan majikannya.
"Iya, aku sangat yakin, kami berdua memiliki kecocokan dan visi misi yang sama dan tidak ada alasan untuk kami tidak bersama. Kami saling mencintai"
"Semoga saja Ya, Non. Saya tidak bisa membayangkan Nona Alina menikah dengan Pengusaha itu walaupun ganteng tapi kan dia, Red flag."
Alina tertawa kecil, mencoba menenangkan suasana.
"Jangan cepat menilai seseorang hanya dari gosip, Rina. Kita tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Lagi pula, skandal itu belum tentu benar."
Rina menghela napas dalam, berharap majikannya akan selalu bahagia, apa pun keputusan yang akan datang.
...[•••]...
Malam itu Fauzan melangkah dengan hati yang berat dan langkahnya begitu lunglai. Rumah besar nan mewah di depannya sudah dihiasi dengan pernak-pernik pernikahan, tanda bahwa acara akan segera dimulai. Nafasnya tertahan, seolah udara pun tak sanggup mengisi paru-parunya. Ia tahu waktunya hampir habis, namun hatinya tetap ingin berusaha, sekecil apapun kemungkinan itu.
Begitu masuk, ia melihat kesibukan yang terjadi di dalam rumah. Para pekerja dan keluarga sedang menyiapkan segala hal untuk pernikahan yang akan segera berlangsung. Fauzan menghentikan salah satu pekerja yang lewat.
"Maaf, saya ingin bertemu dengan Tuan Rumah. Dan… Alina. Bisa saya berbicara dengan mereka?" tanyanya penuh keseriusan.
Pelayan itu ragu sejenak, matanya melirik ke arah ruangan-ruangan di dalam rumah, lalu menjawab,
"Maaf, Tuan. Pengantin wanita tidak di perkenankan bertemu dengan pria yang bukan calon suaminya, apalagi di hari pernikahannya."
Fauzan menahan kegelisahan di dadanya,
"Tolong sampaikan saja, ini penting. Saya harus bicara dengan Alina."
Pelayan wanita itu terlihat semakin tak nyaman.
"Saya tidak bisa melanggar aturan ini, Pak. Sebaiknya bicara langsung dengan keluarga, mari saya antar."
Tak ada pilihan lain, Fauzan mengangguk dan melangkah lebih dalam menuju area rumah yang lebih sepi, tempat beberapa anggota keluarga berkumpul. Salah seorang dari mereka, seorang pria paruh baya yang tampaknya adalah paman Alina, berdiri dan menatap Fauzan dengan dahi berkerut.
"Assalamualaikum, Paman," ucapnya pelan.
Paman Alina yang bernama Firman tak menjawab, begitupun dengan yang lain, wajah mereka nampak sinis dan tajam.
"Maaf, saya tahu ini mendadak," Fauzan mengatur napasnya, mencoba tetap tenang meski hatinya bergolak.
"Tapi saya harus berbicara dengan Alina, ini sangat penting."
"Fauzan," suara pamannya terdengar tegas,
"Acara pernikahan ini sudah diatur, tak sepatutnya kau datang seperti ini. Pengantin wanita tidak boleh bertemu siapa pun kecuali suaminya."
Fauzan merapatkan bibirnya, mencari kekuatan dalam kata-kata.
"Saya mohon. Ini tentang masa depan kami. Hanya sebentar saja."
Pria bertubuh besar itu melotot,
"Masa depan apa yang kau maksud? Kemana kau selama ini, saat Alina mengharapkan hadirmu menjadi calon suami? Kau memberi dia banyak harapan, tapi ketika dia meminta haknya kamu terus beralasan!" suaranya besar dan lantang,
Fauzan menunduk sebelum akhirnya mengangkat wajah dengan penuh rasa bersalah.
"Situasinya saat itu tidak memungkinkan ,tolong Paman sebelum terlambat saya ingin memperbaiki semuanya."
"Kau pikir yang kau lihat ini apa? Apa kau pikir kami akan membatalkan pernikahan Alina dengan calon suaminya?!" suaranya lebih keras, tiba tiba seorang wanita seusia paman Firman menghampiri.
"Sudah Mas, sudah... Berikan dia kesempatan terakhir untuk bertemu Alina," ucapnya membujuk.
Paman Alina tak langsung menjawab dia terus menatap tajam Fauzan, hingga akhirnya ia pun mengizinkan.
"Baiklah, tapi hanya sebentar. Kami akan mengawasi. antar dia!"
Fauzan mengikuti pelayan menuju ruangan tempat Alina tengah dirias. Suasana berubah hening begitu pintu terbuka sedikit. Alina duduk di depan cermin besar, dengan beberapa orang perias sedang menyempurnakan penampilannya.
Dia tampak memukau dengan balutan gaun pengantin berwarna putih dan cadar yang menutupi setengah wajahnya. Meski hanya sepasang bola matanya yang terlihat, tapi sorot matanya memancarkan kesedihan dan ketidakberdayaan.
Lalu Ketika matanya bertemu dengan mata Fauzan melalui pantulan cermin, ada kilasan perasaan yang tak bisa diungkapkan. Hatinya berdegup kencang, nyeri di hatinya seolah bertambah.
"Nona, Tuan ini ingin bicara dengan, Anda." kata pelayan tersebut.
"Tinggalkan kami!" jawabnya tegar.
Beberapa perias dan pelayan mundur, memberikan mereka sedikit privasi. Fauzan berjalan mendekat, suaranya nyaris berbisik,
"Alina…"
Alina menoleh perlahan, namun tidak bangkit dari tempat duduknya.
"Kenapa kau di sini, Fauzan?" tanyanya pelan tapi jelas, nadanya tidak menyimpan kejutan. Seolah dia sudah menduga bahwa pria ini akan datang di detik-detik terakhir.
"Aku harus berbicara denganmu," jawab Fauzan.
"Aku… Aku tahu ini sudah terlambat. Tapi aku tidak bisa membiarkanmu menikah dengan orang lain tanpa aku mencoba mengubah keputusanmu."
"Keputusanku atau keinginanmu?!" Alina bangkit dari kursi, memutar badan mendekat ke arah Fauzan.
"Bukankah kau yang lebih dulu meninggalkan aku, meninggalkan mimpi-mimpi kita? Hanya karena aku bukan seorang Syarifah?" suara Alina tajam, matanya berkaca kaca.
Fauzan merasa hatinya teriris, dia menunduk sejenak dan mengangguk karena penyesalannya.
"Aku salah Alina, saat itu aku masih bimbang karena orang tuaku_"
"Karena orang tuamu ingin menantunya bernasab mulia? lalu apa bedanya denganku Fauzan?" potong Alina, Suaranya meninggi.
"Alina aku terpengaruh oleh desakan orang tua, waktu itu aku masih belum bisa berpikir dengan benar,"
Fauzan dengan mata sendunya berusaha meyakinkan Alina, kalau dia masih masih mengingkannya meski apapun yang terjadi.
"Lalu apa bedanya denganku?" Alina berseru, air matanya berpendar dalam cahaya,
"Aku bisa saja menolak perjodohan ini karena orang tuaku memberimu kesempatan, tapi kenapa kamu baru datang, ketika calon suamiku sudah di depan pintu?"
Fauzan menatap Alina dengan putus asa,
"Alina, kauu tahu terkadang aku melakukan sesuatu tanpa berpikir panjang, itu adalah kesalahanku..."
"Kesalahan?" Alina tertawa sumbang,
"Apa ketika kamu mengatakan aku harus mematuhi perintah orang tua, itu juga kesalahan? atau kamu hanya beralasan untuk meninggalkan aku? kalau begitu kenapa kamu datang ke sini lagi?"
Fauzan tercekat, lidahnya seakan kelu, tapi dia berusaha tegar menghadapi wanita di depannya.
"Masih ada sedikit kesempatan Alina, aku akan bicara pada orang tuaku, aku akan mengatakan_"
"Kau punya orang tua? dan aku tidak?" tegas Alina suaranya pelan, air mata menggenang di maniknya.
"Lebih dari itu, aku punya kehormatan yang harus dijaga, Fauzan!" lanjutnya, bersamaan dengan itu air matanya jatuh menetes.
Hening, Fauzan pun menitikkan air matanya yang sejak tadi ia bendung.
"Nona Alina, calon suami Anda sudah datang!" suara pelayan memecah ketegangan di antara mereka.
Alina menarik napas panjang yang terasa kian sesak dan berat.
"Aku akan segera pergi!" Wanita bercadar putih itu berbalik dan mengambil tasnya di meja rias.
Fauzan menggeleng, wajahnya yang tadinya sendu berubah tajam
"Tidak Alina, aku tidak akan membiarkan pernikahan ini terjadi!" seru Fauzan, rahang pria itu mengeras.
Alina berhenti, lalu perlahan berbalik, menatapnya tajam.
"Apa yang akan kau lakukan? mau mempermalukan aku di depan semua orang?!"
Fauzan tersentak oleh ucapannya, sejenak kehilangan kata-kata.
"Mana mungkin aku melakukan hal itu?!" protesnya, kali ini suaranya lebih tajam.
"Alina, Liam bukan pria yang baik, Aku hanya takut kau tidak bahagia!" seru Fauzan lagi, nadanya penuh penekanan.
Alina mengerutkan kening,
"Bahagia atau tidak itu bukan urusanmu! kewajibanku menyelamatkan kehormatanku dan keluargaku, dan itu yang harus ku pertahankan!" balas Alina dengan suara dan tatapan dingin yang menusuk hati Fauzan.
...[••••]...
...Bersambung.......
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!