Sebuah pukulan keras tiba-tiba melayang dikepala Melin. Seketika Dia pingsan tak sadarkan diri. Dua orang pria dan satu wanita panik ketika ada korban akibat perselisihan mereka. Dua orang berhasil kabur dan satu orang diantaranya mencoba menolong gadis malang itu.
Sementara itu satpam dan beberapa pengunjung mulai ramai berdatangan dan mencoba ikut menolong.
Ah...... sial. Kenapa bisa jadi seperti ini, gumam Johan yang terlihat sangat kebingungan.
Setelah menunggu satu jam lebih Melin tak kunjung sadar hingga akhirnya Johan memutuskan untuk membawanya ke rumah sakit terdekat.
Beberapa jam kemudian Melin akhirnya sadar. Kepalanya yang benjol membuat Melin sedikit kesakitan.
"Auhhhhhh..........sakitttttt," ucap Melin saat mulai membuka matanya.
Melin begitu kaget ketika didepannya sudah ada sesosok pria tampan berkulit putih yang sedang menunggunya.
"Apa masih sakit mbak?" tanya Johan.
"Kamu siapa. Dimana saya?" jawab Melin.
"Saya Johan. Kamu Masih di IGD rumah sakit. Maafkan saya, pukulan tadi sudah menyasar di dahi kamu."
"Iyah, tidak apa-apa. Panggil Melin saja Mas. Terimakasih sudah membawa saya kesini.
Johan tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Melin yang sudah tidak merasa sedikit lebih baik mencoba melepaskan infus yang menancap di tangan kirinya. Meskipun Johan berusaha melarangnya namun Melin akhirnya berhasil melepasnya.
Melin mencoba berdiri meskipun perutnya mulai terasa begitu sakit. Namun baru saja turun dari bed rumah sakit, kakinya seakan tak mampu berdiri hingga akhirnya dia terjatuh. Johan dengan sigap membopong Melin dan kembali menidurkannya di bed rumah sakit.
Wajah cantik Melin terlihat begitu kesakitan sambil memegang perutnya yang semakin membuatnya malu untuk merintih kesakitan.
"Tunggulah sebentar, hingga dokter kembali datang. Dari rekam medik dokter yang memeriksa tadi mengatakan jika kamu harus segera dioperasi. Usus buntu kamu sudah parah, jika dibiarkan akan semakin parah," ucap Johan.
"Aku tidak apa-apa, hanya sakit sedikit dan tidak perlu dioperasi. Aku juga tidak mampu membayar biaya rumah sakit, jadi setelah ini biarkan saya pergi," jawab Melin.
Melihat Melin menahan sakit membuat Johan semakin merasa kasihan.
Apa aku yang harus menanggung biaya operasi, tapi dia bukan siapa-siapa. Apa dia yang dikirim Tuhan untuk menolongku menggantikan Bella di pesta pernikahan, gumam Johan.
Melin sesekali menatap Johan, Dia menyuruh Johan untuk pulang. Setelah berpikir panjang, Johan akhirnya mengungkapkan jalan pikirannya kepada Melin. Johan mulai menghela nafas dan berucap.
"Apa kamu punya pacar?"
Melin tertegun sesaat. "Apa Mas?"
"Saya akan menanggung biaya operasi kamu. Namun sebagai gantinya kamu harus menikah denganku empat hari lagi. Ini hanya pura-pura saja."
"Maaf Mas, Saya saja baru mengenal kamu, bagaimana bisa kamu mengajakku menikah secepat itu."
Johan akhirnya menceritakan kejadian sebenarnya kepada Melin. Dia ditinggalkan calon istrinya yang lebih memilih kembali kepada mantan pacarnya. Sementara pesta pernikahan mereka akan digelar dua minggu lagi. Semua undangan sudah tersebar. Wedding organizer dan hotel juga tidak bisa dibatalkan.
Sudah lebih dari lima kali Johan melihat calon istrinya berduaan dengan mantan pacarnya. Namun Johan tetap memaafkan karena Dia sudah terlanjur mencintai Bella.
Disaat pesta pernikahan kurang satu minggu, calon istrinya membatalkan pernikahan dan lebih memilih kembali dengan mantan pacarnya.
Johan tidak mau mengecewakan orang tuanya karena semua undangan sudah disebar keseluruh rekan bisnis dan teman-teman ayah dan Ibunya.
Melin terdiam setelah mendengar cerita Johan. Dia merasa kasihan dengan Johan namun Dia juga baru mengenal Johan beberapa jam saja.
Sakitku ini sudah semakin parah. Uangku juga sangat menipis, Aku juga tidak mungkin mampu membayar biaya rumah sakit. Tapi Aku baru mengenal pria ini. Tuhan aku galau, gumam Melin.
"Mel, bagaimana? pernikahan ini hanya pura-pura saja. Aku juga tidak terlalu tua, Kita hanya berbeda empat tahun. Aku akan memberimu beberapa uang setelah resepsi pernikahan selesai. Setelah itu kamu bebas pergi," ucap Johan.
"Bagaimana kamu tahu umurku Mas?" jawab Melin.
"Maaf tadi aku melihat identitas kamu untuk mengurus administrasi dirumah sakit ini."
"Baik Mas. tapi ini hanya pura-pura saja, setelah itu kita bisa hidup masing-masing."
Johan tersenyum dan menganggukkan kepalanya.
"Baik aku akan menemui dokter untuk menyetujui operasi usus buntu kamu."
"Iyah Mas, terimakasih banyak."
Setelah beberapa menit kepergian Johan, Melin tertidur lelap. Tubuhnya yang lemah membuat Melin pasrah dengan keadaan.
Sementara itu Johan kembali menghampiri Melin, Dia berniat untuk berpamitan namun Dia tidak tega untuk membangunkannya. Johan akhirnya menuliskan selembar surat kepada Melin.
Saat hari mulai malam Melin mulai tersadar ketika seorang perawat datang memberikan obat yang dimasukkan pada infus Melin. Perih dan nyeri begitu terasa menusuk ditangan kirinya, namun Melin sedikitpun tak merintih. Dia menatap sebuah kertas disampingnya. Sebuah pesan singkat dari Johan yang berisi nomor teleponnya.
Apa harus aku menelpon Mas Johan malam malam begini, gumam Melin yang sedari tadi megotak-atik handphonenya.
Rasa gelisah sedikit membuat tekanan darah Melin begitu rendah, hingga hampir saja operasi ditunda.
Keesokan paginya perawat menghampiri Melin dan menyuruh Melin mempersiapkan dirinya karena satu jam lagi Melin akan dibawah keruang operasi. Namun sebelum perawat itu pergi Melin meminta agar operasinya dibatalkan.
"Maaf Mbak, operasinya sudah dipersiapkan semua. Jika dibatalkan juga harus melalui persetujuan keluarga." ucap perawat rumah sakit.
"Tapi mbak, Saya tidak punya uang untuk membayar biaya rumah sakit," jawab Melin.
"Biaya rumah sakit sudah dibayarkan, Mbak tidak usah khawatir."
Ternyata kamu menepati janji kamu Mas. gumam Melin.
Satu jam berlalu, seorang perawat akhirnya membawa Melin menuju ke ruang Operasi. Melin yang masih sadarkan diri terus menengok kesana kemari. Dia berharap Johan akan datang menemaninya hari ini. Hingga Melin mulai memasuki ruangan namun Johan tidak juga muncul.
Meskipun baru mengenal sehari namun Melin juga merasa kecewa karena Johan tidak juga datang.
Tiga jam berlalu, operasi Melin akhirnya selesai. Melin masih terlihat sangat lemah. Hanya pandangan kosong yang terus menatap.
Beberapa perawat akhirnya mengangkat tubuh Melin dan memindahkannya ke ruang perawatan.
Melin masih terdiam, Dia hanya mampu menahan rasa nyeri yang perlahan mulai terasa. Melin perlahan memejamkan matanya hingga tak terasa hari mulai sore.
Disaat Melin mulai membuka matanya, sebuah senyuman manis dihadapannya membuat melin sedikit kaget. Dia tidak menyangka jika Johan akan datang menghampirinya.
"Gimana Mel, sudah lebih baik kan?" tanya Johan.
Melin tersenyum melihat wajah tampan Johan.
"Terima kasih Mas, sudah menolongku," ucap Melin sambil tersenyum.
"Sama-sama, jangan lupa kesepakatan kita yah."
Melin tertegun sesaat menatap wajah tampan Johan.
Ah tidak tidak, Dia hanya butuh aku dipelaminan saja, gumam Melin.
Setelah empat hari dirawat di rumah sakit, Melin akhirnya harus pulang satu hari lebih awal karena hari ini dia harus menikah dengan Johan pria yang baru dikenalnya.
Beruntung Rossa sahabat Melin selalu datang setiap malam untuk menemani Melin dirumah sakit.
"Permisi Mbak, saya MUA untuk Mbak Melin," ucap seorang wanita paruh baya.
"Iyah, Saya Melin Bu. Apa harus di make up dirumah sakit?," tanya Melin yang mulai gemetaran.
"Iyah mbak, itu atas permintaan Mas Johan. Karena akad nikahnya dimulai jam 11 siang ini."
Melin tertegun sesaat, karena Johan sebelumnya menjelaskan jika hanya membantunya dipelaminan saja bukan dengan akad nikahnya.
"Hai, Mel. Sadar, jangan melamun." ucap Rossa sahabat Melin.
Meskipun sungguh kaget namun Melin mengikuti kemauan Johan karena dia sadar jika Johan yang telah menolongnya.
"Ros, kamu temani aku yah. Hari ini bolos saja kuliahnya," ucap Melin.
"Iyah Mel," ucap Rosa.
"Mbak, nanti kita make up juga yah, kebetulan kita butuh dua kembang Mayang," sahut MUA.
"Iyah Bu." sahut Melin dengan senyuman.
Sementara Rossa hanya terdiam karena bingung harus berkata apa.
Satu jam berlalu, setelah mengurus administrasi, Johan segera menghampiri Melin. Rossa yang melihat Johan calon istri sahabatnya begitu terpesona dengan ketampanan Johan.
Sementara itu Melin Johan keduanya saling menatap kagum. Melin terlihat begitu cantik dengan riasan natural.
Ternyata kamu lebih cantik daripada Bella. Ah tidak-tidak, ini hanya pura-pura, gumam Johan.
"Ayo semua sudah siapkan," ucap Johan.
"Mas, boleh aku ajak Rossa kan?" tanya Melin.
"Iyah, boleh."
Melin masih merasa kesulitan untuk berjalan karena selama tiga hari dia hanya rebahan saja. Beruntung Johan pengertian karena dia membawakan kursi roda untuknya.
"Jika cowoknya seganteng itu, Aku juga mau Mel. Kenapa kamu pakai galau segala," bisik Rossa sambil mendorong kursi roda.
"Hussttttt...... nanti saja ceritanya." jawab Melin.
Satu jam lebih perjalanan, Melin akhirnya sampai disebuah hotel. Dia merasa kurang nyaman apalagi dia baru keluar dari rumah sakit. pikirannya sedikit kacau, Dia mulai tidak percaya diri karena pernikahannya diadakan disebuah hotel berbintang. Namun setelah Johan menjelaskan, Melin akhirnya sedikit tenang.
Johan membawa Melin beserta rombongannya kesebuah kamar. Dia sedikit terkejut karena didalamnya sudah banyak orang yang sedang di make up. Melin mulai merasa canggung, Dia menggenggam tangan Rossa hingga Rossa merasa kesakitan.
"Melin, kemarilah," ucap Johan.
Melin menghampiri Johan.
"Ini kenalkan Mama dan yang diduduk dibalikin itu Papaku." ucap Johan.
"Saya Melin, Tante," ucap Melin lirih sambil mencium tangan Mama Johan.
"Wah kamu cantik sekali. Terima kasih yah sudah membantu kita." bisik Mama Johan setelah mencium pipi kiri dan kanan Melin.
"Iyah sama-sama Tante."
Mama johan lalu menjelaskan tentang akad nikah yang sebentar lagi dimulai. Melin hanya berpura menjadi Bella calon istri Johan yang kabur.
"Ayo ikutlah denganku sebentar," ucap Johan sambil menarik tangan Melin.
Johan mengajak Melin keluar dan berpindah kamar disebelahnya. Namun bedanya kali ini kamarnya begitu indah dengan begitu banyak hiasan bunga yang wangi.
Indah sekali kamar ini. Bodoh sekali calon istrinya Mas Johan, padahal semua sudah dipersiapkan dengan matang, gumam Melin.
Johan menjelaskan begitu banyak rentetan acara yang akan dilakukan hari ini. Tubuhnya yang masih lemas seakan tak sanggup harus mengikuti acara hari ini.
Sebuah ketukan pintu mebuyarkan obrolan mereka. Karena Mereka harus keluar dan memulai akad nikah. Melin merasa begitu gemetaran saat Johan menggandeng tangannya menuju kesebuah gedung di lantai atas.
Keduanya kini duduk berdampingan dan didepannya sudha ada penguhulu dan keluarga Johan. Tamu-tamu juga sudah mulai berdatangan untuk menyaksikan akad nikah.
Pak penghulu mulai membaca doa dan membuka ijab Qabul. Melin begitu kaget ketika Johan menyebut namanya dan ayah Melin.
Bagaimana sah.....
sah....... sah...... teriak para tamu.
Astaghfirullah, dari mana Mas Johan tahu nama ayahku, gumam Melin.
Melin mentap Rossa dengan tajam, karena hanya Rossa yang tahu nama ayahnya.
Melin sedikit lega karena pernikahan ini hanya pura-pura sehingga tidak ada dokumen yang harus dia tanda tangani.
Acara begitu meriah, banyak tamu yang hadir dan meminta foto bersama hingga membuat Melin mengurungkan niatnya bertanya kepada Johan.
Dua jam berlalu, acara masih belum juga selesai. Melin terlihat pucat, Dia sudah tak kuat lagi untuk melanjutkan acara hari ini. Apalagi dari pagi dia belum juga makan dan meminum obat.
"Mas, Aku sudah tak kuat lagi. bisakah kita kembali ke kamar sebentar saja. Aku ingin merebahkan tubuhku sejenak," ucap Melin.
"Tidak bisa, kamu lihat tamu sebanyak ini. Tahan dulu lah, satu jam lagi selesai. Kamu duduk saja, tidak usah ikut berdiri," jawab Johan perlahan.
Melin hanya mampu menghela nafas panjang. Dia juga tidak mungkin duduk, karena tamu yang datang terus bersalaman.
Rossa yang dari kejauhan melihat Melin mulai lemah, akhirnya kembali ke kamar dan mengambil obat Melin. Rossa menghampiri Melin dna mengajaknya untuk turun sejenak. Johan hanya menatap Melin tanpa memperdulikannya.
Beruntung Melin memiliki sahabat seperti Rossa yang mmau membantunya bahkan menjaganya saat dirumah sakit.
Tak lama Johan datang menghampiri Melin dan kembali mengajaknya untuk naik dipelamainan.
"Tunggu Mas, Aku makan dulu. Aku harus minum obat, perutku mulia terasa begitu sakit," ucap Melin.
"Apa kamu tidak malu dilihat semua tamu yang hadir. Sudah minum saja obat kamu, cepat." jawab Johan.
"Apa kamu tidak malu jika aku pingsan dipesta pernikahan kamu."
Johan seakan tidak perduli, setelah meneguk obatnya. Johan segera menarik tangan Melin dan mengajaknya untuk naik dipelaminan.
Ah sugguh tega kamu Mas, gumam Melin sambil menahan sakit.
Satu jam berlalu, Melin akhirnya mengajak Rossa untuk kembali ke kamarnya, sementara Johan masih berada ditempat untuk menemani teman-temannya yang belum pulang.
Setelah Rossa pulang, Melin akhirnya memutuskan merebahkan tubuhnya sejenak dikamar hotel. Suhu tubuhnya yang naik membuat Melin tertidur lelap. Dia hanya sesekali membuka matanya dan melihat Johan duduk disofa. Melin sudah tak sanggup berkata apapun, tubuhnya begitu lemas tak berdaya.
Kumandang adzan subuh membangunkan Melin. Dia mencoba bangun dan berdiri namun kakinya begitu lemah hingga dia terjatuh. Melin mencari keberadaan Johan namun dia sudah tidak ada ditempat. Melin menghela nafas panjang dan terus mencoba bangun dan menuju ke kamar mandi.
Melin sadar jika Johan meninggalkan dia sendirian dikamar hotel, karena dia menemukan sepucuk surat dan sebuah amplop coklat yang berisi uang sepuluh juta rupiah.
Melin mulai membaca surat itu hingga tak terasa air matanya menetes dengan sendirinya.
Tega sekali kamu Mas, gumam Melin.
tok..... tok.... tok.....
Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Melin. Meskipun tubuhnya masih lemah namun Dia masih berusaha berdiri dan membukakan pintu kamar hotel.
"Untuk siapa Mas, saya tidak pesan makanan," ucap Melin pada pelayan hotel didepannya.
"Untuk Mbak Melin dan suami. Sama ini ada bingkisan dari hotel kami," jawab pelayanan itu.
"Oh ya sudah, dibawa masuk saja Mas."
Setelah pelayanan itu pergi, Melin hanya menatap makanan itu. Dia sungguh tidak berselera untuk memakannya karena perutnya masih terasa begitu nyeri. Dia tahu jika tubuhnya tidak terlalu kuat untuk berjalan jauh, Melin akhirnya memutuskan untuk menyuruh Rossa menjemputnya dikamar hotel.
Tok.... tok...... tok.....
Suara ketukan pintu kembali terdengar, Melin tersenyum karena berharap Rossa yang datang menjemputnya namun ternyata saudara perempuan Johan yang datang.
"Hai Mel, Aku kesini mau ambil jas sama baju pengantin yang kamu pakai semalan," ucap Mbak Sinta.
"Iyah Mbak, masuk saja saya ambilkan. Saya juga bersiap untuk pulang. Oh ya, Mas Johan kemana ya mbak?" tanya Melin.
"Dia harus bekerja diluar kota pagi ini," Jawab Mbak Sinta.
Melin hanya mampu menghela nafas panjang. Namun dia tetap bersyukur karena berkat Johan, Dia bisa dioperasi tanpa mengeluarkan biaya sepeserpun.
Tak berselang lama setelah kepergian mbak Sinta, Rossa datang. Kedatangan Rossa membuat Melin sedikit lega.
"Ros, tolong bantu aku berkemas.Kita harus segera pergi dari sini." Ucap Melin.
"Mel, kamu ini sudah gila ya. Udah enak menginap dihotel malah minta pulang. Apa kamu tidak pulang kerumah suami kamu?"
"Apa kamu lupa, pernikahan ini hanya pura-pura saja. Aku juga tidak punya rasa apapun. Sudahlah ayo bantu aku, kita pulang."
"Tapi Mel, pernikahan kamu kemaren itu sah Lo. Mas Johan sudah menyebut nama kamu sama ayah kamu, ada saksi-saksi juga Lo."
"Sudahlah biarlah, tidak ada yang tahu juga. Dari awal ini hanya pura-pura saja. Ini semua juga salah kamu kenapa pakai memberi tahu nama ayahku kepada Mas Johan."
"Ada orang bertanya, ya aku jawab Mel. Lalu salahku dimana."
"Tau ah gelap."
Meskipun Melin terus mengajak Rossa pulang namun Rossa tetap merebahkan tubuhnya sejenak, Dia menikmati suasana dikamar pengantin baru meskipun hanya berpura-pura.
Melin mengangkat tasnya dan pergi meninggalkan Rossa. Disaat Melin mengembalikan kunci kamar kepada resepsionis hotel. Johan dan Mbak Sinta melihat Melin dari kejauhan, namun Melin tidak mengetahui keberadaan Johan.
Johan ingin sekali menghampiri Melin dan meminta maaf namun rasa kecewa karena pernikahannya yang gagal, membuat Johan mengurungkan niatnya.
Maaf. Aku harus pergi, terimakasih sudah membantuku, gumam Johan sambil terus mengamati Melin.
"Kamu yakin John?" tanya Mbak Sinta.
"Yakin mbak, hatiku seperti mati rasa. Aku hanya kasihan dengan Melin karena semalan dia baru keluar dari rumah sakit tapi langsung mengikuti resepsi pernikahanku." Jawab Johan.
Mbak Sinta tersenyum menatap adiknya. Namun mbak Sinta tidak mau ikut campur dengan urusan adiknya.
Sepanjang perjalanan pulang Melin terus melamun. Merasakan sakit pasca operasi dan kecewa karena Johan meninggalkannya begitu saja, bahkan dia belum sempat mengucapkan terima kasih secara langsung.
Sesampainya di kamar kos, Melin merebahkan tubuhnya, Dia hanya ingin tidur seharian bahkan ketika Rossa meminta penjelasan tentang pernikahannya, Melin menolak karena dia ingin sendiri dulu.
Melin tertidur hingga saat terbangun Dia melihat sebuah pesan singkat dihandphonenya.
"Maaf"
Sebuah pesan dari Johan. Pesan yang cukup singkat namun menyakitkan.
"Apa hanya itu yang bisa kamu ucapkan Mas. Setidaknya pamitlah secara langsung," pesan balasan Melin.
Namun sayangnya pesan Melin tidak dapat terkirim kepada Johan. Melin hanya menduga-duga jika Johan telah memblokir nomor teleponnya.
"Woy....... galau nih. cerita dong" teriak Rossa.
"Kamu bikin kaget aja Ros. Udah ah, ayo tidur lagi," jawab Rossa.
"Nih ada makanan dari Baim. Karena aku tahu kamu gak bakalan mau bertemu Baim lagi, jadi Aku bilang kamu tidur tapi tetep Aku ambil saja makanannya."
"Tak apalah lumayan he.... he.... he....."
...****************...
Hari demi hari Melin menjalani hari-hari seperti biasanya. Hingga sebuah nomor baru menelponnya. Melin sungguh kaget ketika mengangkat panggilan tersebut. Suara yang tak asing baginya, suara ibunya Johan. Tiba-tiba beliau menanyakan tempat tinggal Melin.
Meskipun sebenarnya Melin tak ingin lagi berhubungan dengan ke keluarga Johan lagi namun akhirnya Dia tetap memberikan alamat kontrakannya kepada Ibunya Johan.
Melin mengira beliau akan datang sore ini hingga Melin dan Rossa sibuk membersihkan kamarnya.
Sebuah ketukan pintu membuat Melin dan Rossa begitu deg degan, namun sayangnya hanya seorang kurir yang membawa sebuah paket untuk Melin.
"Untuk Mbak Melin," ucap Kurir.
"Maaf Pak, saya tidak merasa pesan apapun," jawab Melin.
"Dari Bu Winarni, Mbak."
Sejenak Melin terdiam, beberapa detik kemudian Melin akhirnya mengingat jika Ibunya Johan bernama Winarni.
Melin akhirnya menerima paket itu dan membukanya bersama Rossa. Suasana hati Melin berubah setelah melihat isi paket itu. Sementara Rossa tersenyum bahagia saat melihat-lihat isi paket itu.
Sebuah kenangan saat sehari bersama Johan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!